Tiga

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sesaat setelah keluar dari apartemen Suho, Sara berlari kegirangan ke arah uncle John.
"Uncle, kita kaya raya," ia nyaris menjerit.

Uncle John menggamit lengannya dan segera mengajak gadis itu masuk ke dalam mobil.

"Kita bicara di dalam mobil saja, aku takut ada wartawan," ujar lelaki tersebut.

Dan setelah berada di dalam mobil, Sara dengan bangga menunjukkan cek di tangannya.
"Kontrak sudah kutanda tangani dan lihatlah ini! Kita kaya raya, Uncle. Mulai sekarang uncle tak perlu khawatir biaya pengobatan Bibi Lee. Uncle juga tak perlu khawatir tentang biaya sekolah Ye Eun. Uang ini lebih dari cukup untuk membiayai segalanya," ujarnya tak sabar.

Bibi Lee adalah istri Uncle John. Sudah hampir satu tahun ini perempuan yang telah ia anggap sebagai ibu itu menderita diabetes. Ia harus keluar masuk rumah sakit.

Sementara Ye Eun adalah anak Uncle John satu-satunya. Saat ini ia duduk di kelas 7.

"Dan coba tebak, Suho juga memberiku kartu kredit yang bisa kugunakan sepuasnya. Ah, aku senang sekali, Uncle. Sepertinya aku bisa beli sofa baru dan mendekorasi ulang apartemenku." Kedua mata Sara berbinar indah.

Berbeda dengan Sara, Uncle John justru memberikan reaksi berbeda. Ia terlihat tak bahagia, bahkan cenderung kesal. Merasa keberatan dengan langkah yang di ambil Sara.

"Uncle ..." Sara merajuk manja manakala menyadari reaksi yang ditunjukkan manajernya.

Lelaki itu mengambil napas berat.
"Aku mengkhawatirkanmu, Sara. Aku khawatir dengan reaksi publik. Bagaimana jika mereka tahu kau berkencan dengan Suho, lalu mereka ramai-ramai menghujat dirimu, menerormu, mengeluarkan sumpah serapah yang mungkin saja bisa melukai hatimu? Kau tahu dunia keartisan di negera kita seperti apa." Ia berujar, setengah protes.

Sara tersenyum lembut lalu menatap Uncle John dengan sorot mata tenang.
"Aku sudah siap untuk itu, Uncle. Aku baik-baik saja. Kau sudah tahu 'kan bahwa aku bukan gadis yang lemah. Aku sudah kebal dengan ocehan netizen."

"Tapi, Sara ..."

"Jika terjadi sesuatu dan aku merasa tak sanggup untuk menghadapinya, aku pasti akan segera memberitahukannya pada Uncle. Oke?"

Uncle John kembali menarik napas berat. Dan akhirnya ia menyerah, tak beradu argumen lagi dengan gadis cantik di sisinya.

"Aku akan baik-baik saja, Uncle. Percayalah padaku."

***

Suho memberitahu Sara untuk datang ke apartemennya esok malamnya.
Dengan mengengenakan jaket hoodie tebal yang menutupi kepala, celana jeans kasual, sneakers, dan tak lupa masker yang menutup sebagian wajah, perempuan itu datang ke apartemen Suho.

Suho tidak menjelaskan secara rinci baju apa yang harus ia kenakan. Ia yang berinisiatif berpenampilan seperti itu. Bukankah artis-artis yang kepergok pacaran oleh Dispatch memang berpenampilan seperti ini?

Perempuan itu leluasa masuk ke apartemen Suho karena sebelumnya lelaki itu sudah memberitahu password pintu apartemen.

Ia baru saja beberapa langkah memasuki ruangan ketika tiba-tiba sebuah lengan kekar menyergap tubuhnya dari belakang, merenggutnya erat, lalu sebuah lengan lagi menarik masker kemudian membekap mulutnya. Tindakan itu begitu cepat, nyaris tak memberi kesempatan padanya untuk berteriak.

Siapa? Sara menjerit dalam hati.

Merasa keselamatannya terancam, ia berusaha meronta sekuat tenaga. Dan semakin ia meronta, renggutan itu kian kuat. Membuatnya tak berkutik.
Terus memberikan perlawanan, Sara punya kesempatan untuk menyikut sosok itu. Salah satu sikutnya sempat menohok dadanya yang keras, sayang tak ada reaksi. Perlawanan ini tak membuahkan hasil. Ia masih gagal melepaskan diri.

Kali ini Sara menggunakan kaki. Tungkainya mengayun keras dan tepat mengenai tulang kering yang ada di belakangnya.
Terdengar erangan, umpatan, dan seseorang mengaduh kesakitan.

Tak menyerah, Sara makin menjadi melakukan perlawanan. Kali ini ia punya kesempatan menggigit tangan yang tadi membekap mulutnya. Dan perbuatan itu berhasil membuat renggutan sosok di belakangnya mengendur.

Merasa mampu melepaskan diri, nyatanya tiba-tiba saja Sara merasakan tubuhnya diangkat, dan sekian detik kemudian, ia di banting ke lantai!

Sara menjerit.

Tubuhnya mendarat keras di lantai kayu dengan punggung terlebih dahulu.
Belum sempat ia mencerna apa yang terjadi padanya, sosok itu duduk di atas pinggulnya lalu menarik kedua lengannya ke atas kepala kemudian mencengkeramnya erat di sana.

Dan ... tatapan matanya beradu dengan sosok itu.

Lelaki, tampan, bermata jernih, dengan rambut yang sedikit berantakan.

Tersengal kelelahan, Sara menelan ludah.
"Siapa kau?" Ia bersuara terlebih dahulu.

"Aku yang harus bertanya kau siapa? Untuk apa kau mengendap-endap masuk ke apartemen orang?" Lelaki itu menjawab, sembari mendekatkan wajahnya ke arah Sara. Ia juga tersengal, terlihat sama kelelahannya dengan dirinya.

"Aku tidak mengendap-endap. Aku datang kemari dengan baik-baik. Aku bahkan lewat pintu, bukan lewat jendela!" Sara berteriak. "Kau yang tiba-tiba menyerangku dan membantingku ke lantai!"

"Kau juga menyerangku! Kau menendang kakiku dan menggigit tanganku!"

"Aku membela diri, bedebah!" Sara mengumpat.

Lelaki itu mengeratkan cengkeraman tangannya pada lengan Sara.
"Jadi kau siapa?"

"Suho yang memintaku datang kemari."

"Kau ...,"

"Aku pacarnya! Apa ia tak memberitahumu?!" Dan kali ini Sara benar-benar menjerit frustrasi.

Kedua mata lelaki itu melebar.
"Kim Sara?" Bibirnya mendesis. Ia pernah melihat perempuan ini sekilas ketika ia mengadakan pertemuan dengan Suho beberapa waktu yang lalu. Tapi ingatannya tak cukup mampu untuk cepat mengenali dirinya.

"Dan tolong menyingkir dari atas tubuhku." Sara mengeram jengkel.

Menyadari posisi tubuh mereka yang sedikit intim, lelaki itu berdehem canggung lalu melepaskan cengkeraman tangannya di lengan Sara, kemudian bangkit.

"Maaf, aku tak mengenali dirimu. Kau mengenakan hoodie dan masker." Ia mengulurkan tangan dan membantu Sara bangkit.

Perempuan itu sempat meringis.
"Sepertinya punggungku patah," rintihnya kesakitan.

Lelaki di depannya berdecih.
"Jangan berlebihan, aku tadi tidak benar-benar membantingmu."

"KAU MEMBANTINGKU!" Suara Sara melengking.

"Oke, oke, maaf." Lelaki itu menyerah.

Dengan bantuan lelaki tadi, tertatih Sara bergerak ke sofa dan duduk di sana.
"Jadi siapa kau?" Sara bertanya cepat.

Lelaki di hadapannya tampak bingung sesaat sebelum akhirnya menjawab.
"Aku Lay. Aku ... teman Suho."

"Untuk apa kau di sini?"

"Aku sering berkunjung ke sini. Aku dan Suho bersahabat dekat."

"Lalu di mana Suho?"

"Dia belum pulang."

Sara menatap lelaki jangkung itu dengan ekspresi sebal lalu kembali meraba punggungnya yang berdenyut.

"Sakit?" Kali ini lelaki itu terdengar cemas.

Sara hanya menatapnya dengan sorot berkilat.
"Coba lihat punggungku." Ia memberi perintah sambil melepas hoodie, menarik bagian belakang kaos, lalu menunjukkan punggungnya pada Lay.

Pria itu terlihat terkejut.

"Memar tidak?" tanya Sara.

Lay mendekat, menatap punggung Sara yang terbuka, dan ia lihat memar di sana. Ia meringis, tak menyangka bahwa tindakannya lumayan fatal.

"Merah." Lay menjawab singkat.

"Ada es batu? Bisa ambilkan? Ini harus segera dikompres. Kalau tidak aku bisa terkena encok," ucap Sara lagi.

Tanpa membuang waktu, Lay bergerak, mengambil es batu di kulkas, lalu meletakkannya di sehelai handuk bersih.
Ketika ia kembali, ia menyaksikan Sara melepaskan kaos yang tadi ia kenakan hingga hanya menyisakan bra berwarna biru muda. Tak ayal, hal itu membuat tubuh bagian atas Sara terbuka hingga menunjukkan kulitnya yang mulus.

Sambil menelan ludah, Lay tertegun sejenak.
"Kenapa kau membuka baju di depanku?" ia bertanya.
"Agar kau bisa mengompres punggungku dengan mudah," jawab Sara enteng, tanpa menatap ke arah Lay.
"Apakah tidak apa-apa perempuan membuka baju di depan laki-laki?" Nada suara Lay terdengar menyindir

Sara mendongak dan menatap lelaki itu dengan tajam.

"Kau 'kan tak tertarik pada perempuan," ucapnya lirih.

Lay mengerjap. "Eh?"

Kau 'kan gay! Sara nyaris meneriakkan kalimat itu.
"Sudah, kompres saja!" titahnya kemudian.

Lay mengangkat bahu lalu bergerak mendekati Sara dan mulai mengompres punggung Sara.
Beberapa menit kemudian, tiba-tiba Suho muncul dari ambang pintu. Melihat apa yang dilakukan Sara dan Lay, pemuda berpenampilan klimis itu terlonjak, tampak syok.

"Apa yang kalian lakukan?" Tatapannya tak beralih dari dua makhluk di hadapannya, di mana yang satu nyaris telanjang, sementara yang satu menekan pelan punggungnya.

Lay yang bangkit pertama kali lalu menatap ke arah Suho.
"Terjadi kesalahpahaman di antara kami dan tanpa sengaja aku melukai pungggungnya," dan ia yang menjelaskan dengan singkat.

"Dia membantingku ke lantai," celetuk Sara.

"Hah?" Suho terlihat kaget.

"Tapi kau juga menggigiti tanganku," teriak Lay seraya menatap Sara dengan kesal.

"Kau membekapku, aku nyaris tak bisa bernapas!" balas Sara.

"Lalu sekarang apa yang terjadi?" Suho mencoba menengahi.

"Aku sedang mengompres punggungnya," jawab Lay sambil bangkit.
"Kau saja yang lakukan. Aku pulang." Ia menyerahkan kompresan di tangannya kepada Suho, lalu beranjak. Pergi.

Sesaat sebelum keluar dari pintu, Sara menyaksikan lelaki itu mengipas tubuhnya sendiri dengan kaos yang ia kenakan.

Sara sempat menatap ke arah Lay yang baru saja pergi kemudian berganti pada Suho yang berdiri bingung. Dan ia sadar bahwa wajah mereka sama-sama memerah.

Seriously? Kenapa tiba-tiba akhir-akhir ini ia sering sekali bertemu orang yang kepanasan?

"Dia ... temanku." Suho berbicara lalu melangkah mendekati Sara untuk selanjutnya mengompres punggungnya dengan lembut.

"Kami sudah berkenalan," sahut Sara. "Apa dia tinggal bersamamu?"

"Tidak. Dia punya tempat tinggal sendiri. Tapi ia sering main ke sini," ujar Suho lagi.

Sara mengerutkan bibirnya.

"Sudah cukup, terima kasih. Punggungku sudah baikan," ujar Sara sembari menghalau tangan Suho lalu memakai kaosnya kembali.

"Jadi, apa yang terjadi pada kalian?" Suho kembali bertanya.

"Aku masuk ke sini, dia mengira diriku adalah pencuri, kami terlibat keributan, dan beginilah akhirnya," jawab Sara.
"Ngomong-ngomong, untuk apa kau memanggilku ke sini? Ingin mengatur jadwal kencan?"

Suho mengangguk.
"Tadinya sih begitu. Tapi melihat keadaanmu, sepertinya kita harus menundanya."

"Aku tak apa-apa. Kau bisa mengajakku ke mana saja dan kita bisa mulai kegiatan kencan kita." Sara memperbaiki letak kaosnya dengan santai.

Suho tersenyum lembut lalu menggeleng.
"Tidak, aku akan menunggumu membaik. Mungkin acara kita bisa ditunda besok saja. Setelah ini aku akan mengantarkanmu pulang. Atau kau ingin di sini dulu? Kau ingin makan sesuatu? Aku akan membuatkanmu makanan." Suho kembali berujar lembut.

Sara menatapnya dengan takjub.
Kenapa lelaki ini begitu baik dan perhatian? Ia seperti benar-benar diperhatikan olehnya?

Sejenak ia berpikir, kapan lagi ia bisa menciptakan momen manis dengan aktor terkenal ini kalau tidak sekarang? Ya, kan?

"Aku lapar," akhirnya Sara menjawab.
Suho tersenyum.
"Baiklah, akan kubuatkan sesuatu untukmu," ia beranjak.

Dan Sara terkikik pelan sebelum akhirnya meringis lagi ketika merasakan punggungnya berdenyut nyeri.

***

to be continued

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro