Sebelas (END)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Suho berdiri membeku di samping pintu ruang operasi. Mengabaikan tubuh dan bajunya yang berlumuran darah, mengabaikan tatapan miris dari segelintir pengunjung yang berlalu lalang, pria itu bergeming. Punggungnya tersandar di dinding, bahunya terkulai, dan wajahnya tertunduk lesu.

Kristal bening tak berhenti menetes dari kedua matanya. Jatuh titik demi titik, membasahi lantai yang kotor terkena bercak darah dari sepatu pantovel yang ia kenakan.
Anehnya, ia tak terisak.

Mati rasa.

Suho mati rasa.

Mengingat kembali peristiwa pilu yang baru saja ia alami layaknya mimpi buruk.
Mengingat kembali bagaimana Sara terkulai lemah dalam pelukannya, berlumuran darah, dan tak berdaya.

Masih jelas ketika rasa hangat darah wanita itu bersentuhan dengan kulitnya.
Takkan pernah bisa ia lupakan ketika wanita itu bernapas pendek-pendek dalam dekapannya, seolah ia ingin mengucapkan salam perpisahan.

Tak pernah.
Tak pernah Suho merasa setakut ini.

Bagaimana jika Sara tak selamat?
Bagaimana jika ia mati?
Bagaimana Suho akan menghadapi semuanya?

Terbersit penyesalan mendalam dalam benak lelaki itu.
Kenapa ia harus membawa Sara bersamanya?
Kenapa ia harus meninggalkan wanita itu di sana, sendirian?
Kenapa ia tak menggandeng tangannya dan membuatnya aman?
Kenapa?
Ia hanya meninggalkan perempuan itu sekian detik, dan sekarang bisa jadi ia akan kehilangan sosok itu selamanya.

Tidak.
Suho takkan sanggup menghadapi kemungkinan terburuk itu.
Jika wanita itu pergi, maka hidupnya juga selesai.

"Bertahanlah, Sara. Ku mohon...," pria itu mendesis serak.

"Kak ...,"

Dan panggilan itu layaknya hembusan angin yang menampar wajahnya.
Pelan, Suho mendongak dan mencari asal suara tersebut. Dan tampak olehnya seorang lelaki berwajah pucat berdiri sekitar 50 meter darinya.

"Lay?" Suho mendesah lirih. Nyaris tak percaya dengan apa yang ia lihat.

Adiknya, berdiri di sana.
"Aku melihat berita tentang Sara di internet dan aku memutuskan untuk menunda penerbanganku ke Amerika." Sosok itu menjawab.

Dengan satu tangan yang tersandar pada dinding, ia terlihat rapuh.
"Dia tidak mati, kan? Sara tidak mati, kan?" Suaranya serak. Ia terhuyung, melangkah pelan ke arah Suho.
Kedua matanya berkaca-kaca, air matanya nyaris berjatuhan.

"Dia akan selamat 'kan, Kak?" ulangnya.

Bibir Suho bergetar.
Dan tepat ketika adiknya menghampiri, memeluknya, tangisnya pecah.
Lelaki itu menangis dengan hebat di pundak Lay.
Menumpahkan semua ketakutan dan rasa sakit yang menghimpit dadanya.

Lay menelan ludah. Ia menepuk lembut pundak kakaknya, dan air matanya pun ikut menitik.

***

Berita tentang Sara yang ditembak orang tak dikenal tersebar cepat ke khalayak ramai. Peristiwa itu menjadi headline hampir di semua media Korea baik cetak maupun elektronik.
Tak ada yang menyangka bahwa aktris cantik itu akan mengalami nasib tragis seperti itu.

Foto ketika Suho berlarian ke Rumah Sakit membawa Sara dalam gendongannya demi untuk menyelamatkan wanita itu menjadi viral. Termasuk ketika ia tampak terpukul dengan baju yang dipenuhi noda darah di sana sini, melahirkan ribuan simpati dari publik.

Antusiasme untuk mengetahui kabar tentang kejadian tragis itu semakin tak terbendung.
Setiap hari, tak henti-hentinya media memberitakan tentang kondisi Sara.
Manajer Suho dan juga manajer Sara pun harus pontang panting melakukan konferensi pers dan menjawab pertanyaan wartawan.

Bahkan kepolisian pun dibuat sibuk mencari sosok asing yang menjadi pelaku penembakan tersebut.

Dan usaha mereka akhirnya membuahkan hasil.
Pihak berwajib menemukan sosok misterius itu.
Ternyata pelakunya adalah orang yang sama yang melakukan penyerangan pada Sara beberapa waktu yang lalu. Seorang lelaki berumur sekitar 30 tahun, sasaeng fans yang mengaku sebagai penggemar berat Sara, yang akhirnya menjelma menjadi psikopat.

Polisi menemukan ia di rumah kontrakannya, tewas, gantung diri.
Sebuah surat wasiat ditemukan di bawah tubuhnya yang menggantung.
Sebuah surat yang berisi bahwa ialah yang menembak Sara. Ia yang teramat mencintainya. Daripada melihatnya menjadi milik orang lain, ia lebih memilih untuk menghabisinya.

***

Setelah sempat mengalami kritis selama beberapa hari, Sara selamat. Dokter bekerja dengan baik untuk menyelamatkan nyawanya. Beruntung, pelaku penembakan seorang amatiran hingga peluru yang ia lesatkan ke dada Sara tidak mengenai organ vital dalam tubuhnya.

Perempuan itu sudah dipindahkan ke ruang perawatan setelah sempat dirawat beberapa hari di ICU. Ia belum sadarkan diri.
Sementara Suho dengan setia mendampinginya, baik siang maupun malam.
Lay juga begitu.
Mereka berdua dengan sabar menunggui Sara, di ruangannya.

Pun yang terjadi sore waktu itu.
Kedua kakak beradik itu tetap setia menunggui perempuan yang terkulai lemah dengan selang infus di tangan dan juga selang oksigen di hidungnya.

Suho duduk dengan sabar di kursi di samping Sara, sesekali mengelus tangannya dengan lembut dan menyeka keringat di kening wanita itu.

Sementara Lay duduk diam di sofa utama.
Kedua lelaki itu sama-sama terdiam. Hanya suara dari Bed Side Monitor yang memecah keheningan.

Suho sibuk merapal doa dalam hati agar perempuan yang ada di hadapannya segera sadar. Sementara Lay berada pada fase gamang, antara mengatakan kegalauan hatinya pada Suho, ataukah tetap menyimpannya di hati.

"Aku akan tetap pergi ke Amerika." Akhirnya Lay bersuara.
Tatapan Suho yang terpatri pada wajah pucat Sara, kini beralih ke adiknya.

Lay yang duduk di ujung sofa memainkan ujung bajunya, merasa tak punya keberanian yang cukup untuk menatap balik ke arah kakaknya.

"Jadi kau akan tetap melakukan operasi donor jantung itu?" tanya Suho.

Lay mengangguk cepat.

"Jadi mereka bersedia mengatur ulang jadwal operasinya?"

Lay kembali mengangguk.

"Tapi setelah operasi berhasil, kau akan kembali ke sini, kan? Kau akan pulang ke rumah, kan?" tanya Suho lagi.

Lay terdiam sesaat.  "Itu ..."

"Aku sudah bicara pada ayah. Dia takkan lagi melarangmu kembali ke Korea setelah operasi berhasil. Kau bisa kembali ke sini."

"Tidak." Lay menyahut cepat.
"Aku takkan kembali ke sini. Aku akan menerima tawaran keluarga pendonor untuk mengadopsi diriku. Dan aku akan jadi bagian dari keluarga mereka. Aku takkan kembali ke Korea."

"Lay, kumohon ...," Suho bangkit dari kursi yang berada di samping ranjang Sara, lalu melangkah mendekati adiknya. Berdiri di hadapannya dan menatap ia lekat.
"Aku tak ingin kau pergi. Kita saudara, aku menyayangimu. Percayalah padaku, aku pasti bisa membujuk ayah agar dia mau mengadopsi dirimu. Kita pasti bisa menjadi keluarga yang utuh." Ada nada putus asa pada kalimatnya.
"Bersabarlah sebentar saja, Lay. Tunggu kondisi Sara membaik, dan aku akan bicara pada ayah lagi," lanjutnya.

Lay menggeleng.
"Bukan, Kak. Aku memutuskan ke Amerika bukan karena sekedar ingin mendapatkan sebuah keluarga, bukan pula karena ayahmu memintaku untuk pergi. Tapi ...," ia melirik ke arah Sara yang terbaring di ranjangnya.
"Tapi karena aku mencintainya, dan ... aku harus pergi," lanjutnya getir.

Tatapan Suho seketika terasa kosong.

"Kenyataanya kita mencintai perempuan yang sama. Dan faktanya ia lebih memilih untuk bersamamu daripada denganku. Dan jujur aku tak sanggup menyaksikan ia menjadi milik lelaki lain, walau itu adalah kakakku sendiri. Berada dekat dengannya sementara aku tak dapat menjangkaunya terasa lebih menyakitkan buatku. Aku takkan pernah bisa menganggapnya sebagai sekedar teman ataupun saudara. Karena kenyataanya dia adalah wanita yang istimewa buatku. Jadi ...," suaranya serak. "Aku harus pergi. Aku perlu waktu dan jarak untuk mengenyahkan dia dari benakku. Aku ingin menenangkan diri. Dan tawaran untuk tinggal di Amerika adalah pilihan yang tepat."

Kedua lelaki itu berpandangan.

Lay menggigit bibir.
"Aku takkan menunggu hingga Sara sadar. Karena hanya dengan mendengar suaranya, menatap wajahnya, mengagumi matanya, aku pasti akan berubah pikiran." Kedua matanya berkaca-kaca.
"Sama seperti kau menjagaku selama ini, aku yakin kau akan menjaga dan merawatnya dengan baik. Biarkan aku pergi. Ini termasuk ucapan pamit dariku." 

Dan lagi-lagi, Suho merasa ada sesuatu dari dirinya yang hilang.

Lelaki itu berdiri pasrah. Merasakan air matanya mengalir melewati pipi.

***

Dan begitulah akhirnya.
Lay memutuskan berangkat ke Amerika, tanpa menunggu Sara sadar.
Dan sehari setelah lelaki itu pergi, Sara membuka mata.
Membuat Suho menangis haru, berjam-jam.

***

Keadaan Sara kian membaik. Beberapa hari kemudian ia diperbolehkan pulang. Ia meninggalkan Rumah Sakit tanpa memberikan keterangan pada pers yang berjubel di halaman Rumah Sakit.

Barulah sekitar dua minggu selanjutnya, mereka memberikan pengumuman yang mencengangkan.
Suho, didampingi manajernya sendiri dan juga manajer Sara melakukan konferensi pers singkat dan mengumumkan bahwa Sara akan mundur dari dunia hiburan.
Di singgung soal alasan, ia mengutarakan bahwa Sara sedang dalam pemulihan pasca insiden penembakan itu dan terlalu trauma untuk kembali menjadi artis. Banyak yang menyayangkan keputusannya mengingat Sara sedang naik daun sekarang. Tapi apa boleh buat, setelah melalui diskusi panjang dengan sang manajer, Sara tetap memutuskan untuk menghabiskan waktunya dengan tenang. Menjauh dari hingar bingar dunia hiburan.

Setelah Ia tak menjadi artis, Uncle John tidak serta merta menganggur. Sara  dan Suho sudah menyiapkan sebuah mini market untuk menopang hidupnya. Hal yang sudah ia cita-citakan sejak dulu.

Suho sendiri berpikir untuk mengundurkan diri dari dunia hiburan setelah menyelesaikan beberapa kontrak. Ia berencana mengambil alih perusahaan ayahnya.
Entah, sejak melihat Sara nyaris mati di hadapannya karena ulah sasaeng fans, ia jadi wanti-wati. Trauma.

Kepopuleran dan gemerlap industri hiburan tak lagi seindah yang ia bayangkan seperti dulu.

Ia hanya ingin hidup tenang, tanpa diributkan kehadiran wartawan, dan yang terpenting, menjaga Sara.
Menjaga dalam artian benar-benar menjaganya, merawatnya, bertanggung jawab atas kehidupannya.

***

Suho sampai di apartemennya beberapa saat sebelum jam makan malam tiba. Ketika lelaki itu memasuki ruang tengah, tatapan matanya singgah pada dua foto berukuran nyaris setengah meter yang dipasang bersebelahan.

Entah kenapa, setiap memasuki ruang ini, dua foto berharga itu yang selalu menarik pandangannya pertama kali.

Yang sebelah kiri adalah foto pernikahannya. Iya, foto pernikahannya, dengan Sara. Beberapa bulan yang lalu mereka menikah secara sederhana dan diam-diam. Tak ada media, tak ada pesta mewah, tak ada pula liputan khusus. Hanya dia dan Sara, dan beberapa orang dekat saja.

Suho tak berniat memberitahu pada publik soal pernikahannya. Ia merasa tak punya kewajiban untuk berbagi berita bahagia itu pada masyarakat. Biarlah, itu menjadi semacam rahasia manis buat mereka. Sekarang Ia menjadi begitu over-protective pada Sara. Sebisa mungkin ia akan menjaga penuh privasinya.

Lagipula mereka tidak lagi menjadi selebritis. Itu artinya, kehidupan pribadi mereka bukan lagi konsumsi publik.

Ah, sayang sekali orang yang paling ia harapkan untuk hadir di pernikahannya ternyata tak datang.

Perhatian Suho beralih pada foto di sebelah foto pernikahannya.
Foto Lay.
Foto keluarganya.

Terlihat Lay berdiri bersebelahan dengan seorang anak  perempuan berusia sekitar 10 tahun, sementara dua orang setengah baya, lelaki dan perempuan, duduk di kursi yang berada di depan mereka. Terlihat mencolok karena mereka semua berkulit putih, kecuali Lay.

Tidak apa-apa. Tak ada aturan bahwa sebuah keluarga harus punya warna kulit yang sama, kan?

Foto itu dikirimkan Lay padanya beberapa waktu yang lalu sebagai hadiah pernikahan. Di bagian bawah foto terdapat sebaris kalimat : Kak, ini foto keluargaku. Akhirnya. Dan selamat atas pernikahanmu.

Entah mengapa, Suho selalu terharu ketika membaca kalimat itu. Ia bahagia, mengetahui bahwa akhirnya adiknya punya keluarga utuh dan juga punya sebuah foto keluarga. Hal yang sudah ia maupun Lay impikan sejak lama. Hanya saja, tak ada dirinya di foto itu. Itulah kenapa ia sengaja memasang foto itu bersebelahan dengan fotonya. Sekedar pengingat bahwa mereka adalah saudara, apapun bentuknya.

Sudah setahun lebih Lay menetap di Amerika.
Ia aman dan baik-baik saja di sana.
Skandal keluarga mereka, ibu yang berselingkuh, anak haram, keluarga yang tak harmonis, semua tetap tertutup rapat. Fakta bahwa Lay adalah adik Suho dari ayah yang berbeda juga tetap tersembunyi dengan rapi dari publik. Yang masyarakat tahu selama ini adalah Suho anak tunggal, dan dari keluarga bahagia. Biarlah seperti itu.
Mereka tak perlu tahu yang sebenarnya.

"Kau merindukannya?" Sebuah pelukan hangat Suho rasakan di punggung.
Lelaki itu menatap lengan yang melingkar di pinggangnya. Ia tersenyum dan beringsut pelan lalu berbalik. Menatap seraut wajah di depannya.

Sara menyapa dengan senyumnya yang manis.
"Iya. Aku merindukannya, dan aku juga merindukanmu." Suho membungkuk, mengecup bibir istrinya ringan.
"Suatu saat kau pasti bertemu dengannya, percayalah," ucap Sara sambil meremas lembut lengan Suho.

Lelaki itu tersenyum lagi, lalu mengangguk.

"Makan malam sudah kusiapkan."

"Aku ganti baju dulu." Suho menepuk pipi Sara lembut lalu bergerak ke kamarnya.
Dan sekarang ganti Sara yang berdiri termangu, memandangi foto keluarga Lay.

Terkadang, Ia sempat merasa bersyukur atas insiden penembakan yang ia alami sekitar setahun lalu. Setidaknya peristiwa itu membuat Lay menunda keberangkatannya ke Amerika dan bertemu dengan Suho.
Jika saja ia tak tertembak, Lay takkan kembali dan bertemu dengan kakaknya. Mereka takkan berpamitan satu sama lain. Dan jika itu terjadi, seandainya Lay pergi begitu saja ke Amerika, entah bagaimana Suho akan menjalani kehidupannya.
Barangkali lekaki itu akan selalu dihantui rasa bersalah, seumur hidupnya.

Syukurlah, itu tak terjadi.
Well, pepatah yang mengatakan bahwa selalu ada hikmah di setiap bencana ternyata benar adanya.

"Makan malam sekarang?"
Dan tiba-tiba Suho sudah berdiri di belakangnya, merengkuh tubuhnya erat.
Sara melepaskan rengkuhan suaminya lalu berbalik dan mencubit pipi lelaki itu dengan gemas.
"Ayo, sekarang. Aku sudah kelaparan. Mulai sekarang kau harus bekerja lebih keras karena porsi makanku akan semakin bertambah. Aku perlu asupan gizi dobel," Ia menggandeng lelaki itu lalu mengajaknya ke meja makan.

Ketika perempuan itu menyeret tangannya, pandangan Suho kembali singgah pada foto Lay.

Sara benar. Suatu saat ia akan bertemu lagi dengannya, dengan adiknya, entah kapan.
Kelak, jika Lay sudah mengijinkan ia mengunjunginya, mau bertemu dengannya, maka ia takkan ragu untuk memesan penerbangan ke Amerika, saat itu juga. Pasti.

Suho baru saja ingin menyendok makanan dari piringnya ketika tiba-tiba ia teringat sesuatu.
"Kau tadi bilang apa?" Ia menatap Sara lekat.
Perempuan itu mengernyit bingung. "Memang aku bilang apa?"
Suho melotot, meletakkan sendoknya kembali ke piring lalu bangkit.
"Kau hamil?!" Ia nyaris berteriak.

Sara mengerjap.

"Kau tadi bilang bahwa kau memerlukan asupan gizi dobel? Kau juga menyuruhku bekerja keras karena porsi makanmu bertambah? Apa itu berarti ...?"

Sara tersenyum lembut. Ia melipat kedua tangannya di atas meja lalu menatap lurus ke mata suaminya.
"Selamat Tuan Suho, kau akan segera jadi ayah," ucapnya.

Suho ternganga.
Ia terlonjak, merasa girang seketika. "Yess!" teriaknya.

Ia berjalan memutar, menghampiri istrinya, lalu meraih tubuhnya dan memeluknya erat.
"Terima kasih. Aku pasti bekerja keras," bisiknya.
"Dan aku akan selalu memperlakukanmu dengan baik," lanjutnya.

"Terima kasih, Sayang." balas Sara.

"Ini ... benar-benar luar biasa," dan lelaki itu mengecup puncak kepalanya, berulang-ulang, dengan penuh kasih.
"Semoga saja dia perempuan, dan ia punya mata cantik seperti dirimu," ucapnya girang.

Dalam hati Suho berujar haru. Terbersit sosok Lay di benaknya.

Lirih ia merapal doa:
Lay, kau akan segera jadi paman. Mari bertemu kalau dia sudah lahir di dunia ...

***

selesai.

Terima kasih sudah mengikuti cerita ini. Semoga terhibur...
Kritik dan saran tetap ditunggu. 😊😊

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro