Sepuluh

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Setelah mengunjungi Lay di Rumah Sakit, Sara langsung meluncur pulang ke apartemennya.
Ketika sampai di sana, ia terkejut menyaksikan Suho berdiri menunggu dirinya di depan pintu apartemen.

"Kenapa kau tak masuk?" Sara berjalan mendekat, merentangkan tangan untuk memeluknya, dan tak lupa mengecup pipinya ringan.

Suho tersenyum.
"Entah, tiba-tiba saja aku ingin menunggumu di sini, melihat kepulanganmu," jawabnya.

"Ayo masuk." Sara menggamit lengannya erat dan mengajak pria itu masuk ke apartemen.

"Aku tadi mengunjungi Lay di Rumah Sakit," ujar Sara seraya meletakkan secangkir teh di depan Suho, lalu ia berjingkat, dan bergabung dengan kekasihnya di sofa. Berdusal mesra di sisinya.

"Oh ya?" Suho menjawab pendek, pura-pura tak tahu.

"Maaf kalau aku tak memberitahumu sebelumnya," ucap Sara.

Suho mengulurkan tangan dan membelai rambut perempuan itu, lembut.
"Tak apa-apa. Lalu bagaimana keadaannya?"

"Baik. Dia ... baik-baik saja," jawab Sara ragu. Menciptakan atmosfir berbeda di sekeliling mereka.

Suho memainkan untaian rambut Sara dengan gamang.
"Oh iya, aku sudah membereskan rumor tersebut," ujarnya kemudian.
Punggung Sara tegak seketika. Ia menatap lelaki yang kali ini tengah melingkarkan lengan di bahunya.
"Rumor?" Ia memastikan.
Suho mengangguk. "Rumor bahwa kau melakukan aborsi."
"Jadi kau tahu ada rumor seperti itu?"
Suho terkekeh lembut. "Tentu saja, Sayang. Aku memang sibuk syuting, tapi aku tetap memantau semua berita tentang diriku, tentang kau, dan juga tentang kita. Aku sudah membereskan berita itu. Jadi kau bisa bernapas lega sekarang. Kau bisa melakukan semua jadwalmu semula, dan aku bisa pastikan bahwa keikut sertaanmu di drama baru itu takkan terganggu."

Kedua mata Sara mengerjap.
"Kau yakin?"

Suho kembali mengangguk.
"Kau bisa cek artikel di internet sekarang, jika kau ingin memastikan," sarannya.

Tanpa menunggu komando, Sara meraih ponsel di dekat cangkir teh, lalu mulai mengetikkan namanya dan juga nama Suho di mesin pencarian.

Dan benar adanya, artikel yang muncul tentang dirinya berisi bantahan dari Suho bahwa ia melakukan aborsi.
Suho juga mengatakan bahwa saat ini mereka baik-baik saja.
Judul artikelnya pun membuat ia tersenyum lega.

:: Suho dan kekasihnya, Sara, terlihat bahagia menghabiskan waktunya di sebuah kencan romantis.:::

Ow, dan ada foto juga.
Foto sewaktu mereka melakukan dinner romantis di sebuah gazebo di dekat pantai. Ia bahkan tak ingat kapan kencan itu berlangsung.
Terlalu banyak kencan yang ia lakukan bersama Suho.
"Terima kasih, Sayang." Ia meletakkan kembali ponsel tersebut ke tempat semula, lalu menghambur ke arah Suho, dan kembali bergelayut mesra di pelukannya.

Suho meletakkan dagunya di puncak kepala Sara.
"Aku lelah sekali ...," ucapnya lirih.
"Tidurlah di sini jika kau lelah." Sara menawarkan.
Suho tak bersuara.
Ia memejamkan mata sesaat, merasakan keberadaan Sara di pelukannya, membiarkan aura Sara mengisi setiap inci dari tubuhnya, menakhlukkan jiwa dan raganya.

"Sara..." Pria itu memanggil lirih seraya mengeratkan pelukan.

"Hm." Sara hanya menggumam pendek.

Suho menelan ludah. Teringat semua obrolan wanita itu dengan Lay di Rumah Sakit tadi, tenggorokkannya tercekat.
Membayangkan Sara di masa lalu yang sebatang kara, mengais makanan di tong sampah, hatinya berderak.
Begitu banyak hal yang telah perempuan itu lewati.

"Terima kasih," bisiknya kemudian.
"Untuk?" Sara kembali berujar tanpa menatap ke arah sosok yang memeluknya erat.

Suho kembali menelan ludah dengan susah. Kedua matanya berkaca-kaca.
"Terima kasih karena kau kuat. Dan terima kasih karena kau baik-baik saja hingga detik ini." Ia kembali berbisik.

Aku akan menjagamu, batinnya.

Dan ia cium puncak kepala wanita itu dengan penuh kasih.

***

Senyum merekah di bibir Lay ketika lelaki itu memasuki ruang perawatannya.
"Ayah," panggilnya girang.
Yang dipanggil merengut seketika.
"Jangan panggil aku ayah, aku bukan ayahmu. Aku hanya ayah Suho," jawabnya seketika, ketus.
Tetap saja Lay tak bisa menyembunyikan kegirangannya karena dikunjungi oleh orang yang sudah ia anggap ayahnya sendiri, walau sosok itu kerap menolaknya.

"Aku ingin memberikan kabar baik untukmu," lelaki tua itu kembali berujar.
"Apa?" Lay bertanya antusias.
"Pihak Rumah Sakit di Amerika yang beberapa waktu lalu kuhubungi memberitahu bahwa kau akan segera mendapat donor jantung."
Lay mengerjap, harapan akan hidup panjang menari-nari di pelupuk matanya.

"Pendonor adalah seorang laki-laki seumuran denganmu. Dia mengalami kecelakaan parah beberapa tahun lalu dan koma hingga saat ini. Mengalami kematian batang otak selama hampir beberapa tahun, orang tuanya berpikir untuk merelakan dia pergi, dan memberikan jantung putranya pada orang lain agar putranya terus hidup. Jadi ...," lelaki itu berdehem.
"Kau akan menjalani operasi ini, tapi ada syaratnya."

Lay mematung. Sedikit putus asa ketika lelaki itu mengemukakan syarat. Karena ia tahu, ini pertanda tidak baik.

"Syaratnya adalah, kau harus melakukan operasi ini di Amerika. Dokter akan memantau dan menyiapkan kapan kau bisa melakukan penerbangan ke sana. Kami sudah menyiapkan pesawat khusus untuk membawamu ke sana. Dan setelah operasi ini berhasil, kau harus tinggal dengan keluarga pendonor, mereka akan mengadopsi dirimu sebagai anaknya. Dan yang paling penting, tinggalkan Korea, dan jangan pernah kembali lagi ke sini."

Tubuh Lay membeku. Tak terpikir olehnya bahwa syaratnya akan seperti ini.

***

Suho menata ulang kamar Lay. Ia sendiri yang melakukannya. Membelikan beberapa furniture dan perabot baru, serta mengganti wallpaper lama dengan tema yang lebih cerah. Hijau dedaunan, warna kesukaannya.
Dokter bilang, sore ini Lay sudah diperbolehkan pulang. Jadi ia berinisiatif memberikan suasana baru pada kamarnya.

"Woa, kau hebat." Sara muncul dari balik pintu dan menatap kamar baru Lay dengan takjub. Ia sengaja menghabiskan waktunya seharian di sini. Kencan, sekaligus membantu kekasihnya berbenah. Meski tak banyak yang bisa ia lakukan, setidaknya ia bisa membuatkan makanan yang Lezat untuk lelaki itu.

"Ini benar-benar hebat. Lay pasti terharu dengan apa yang kau lakukan, Sayang," ujar Sara lagi.
Raut wajah Suho seketika bersemu merah. Bibirnya membentuk senyum bangga.
"Aku pandai menata rumah, itu salah satu keahlianku. Jadi kalau kelak kita punya rumah pribadi, serahkan saja padaku soal desainnya," ucapnya.
"Keren," jawab Sara.
"Oh iya, kapan kau akan menjemput Lay?"
"Nanti sore."
"Aku ikut," cetus Sara.
Suho menatapnya dengan sorot keberatan. "Tapi ..."
"Aku ikut," ulang perempuan itu cepat, sambil berjalan mendekati Suho dan memeluk pinggangnya.
"Ayo kita jemput Lay bersama-sama. Aku harus menghabiskan banyak waktu dengan kalian berdua agar, well, ketegangan di antara kalian mencair. Mari jadi sebuah keluarga, oke?" ucapnya lagi.
Suho menangkup wajah Sara dan tersenyum.
"Oke, ayo kita jemput dia, bersama-sama," ucapnya.

Dan akhirnya, mereka memutuskan bersama-sama pergi ke Rumah Sakit.

***

Suho mengernyit bingung ketika memasuki ruang perawatan Lay.
Ia tak menemukan adiknya di sana. Ruang itu kosong, seolah tak pernah ditempati sebelumnya.

"Suster, apa Lay dipindahkan ke tempat lain?" Ia bertanya pada perawat yang berjaga.
Perawat itu tampak bingung menjawab.
"Sebaiknya anda temui saja dokter Kim," ucapnya gugup.
Tanpa bertanya banyak hal lagi, Suho beranjak diikuti Sara. Menuju ruangan dokter Kim, dokter yang bertanggung jawab atas Lay.
Ketika sampai di sana, jawaban yang tak memuaskan pun kembali ia dapatkan.

"Suho, aku tak bisa menjawab di mana Lay berada. Tapi percayalah, dia baik-bai saja. Hanya saja ..."
"DI MANA LAY?!" Suho berteriak marah.

Dokter Kim terlihat kaku.
"Temuilah ayahmu, dia yang akan memberitahukan segalanya."

Mendengar nama ayahnya disebut, Suho merasakan amarahnya sampai di ubun-ubun.
Pasti.
Pasti ayahnya telah melakukan sesuatu padanya.

Lelaki itu mengumpat, lalu melesat keluar.
"Sara, pulanglah dengan taksi. Aku harus ke rumah ayahku," ucapnya.
"Aku ikut," Sara menjawab cepat seraya mengikuti Suho berlari ke mobilnya.
Terlalu panik, Suho tak berkesempatan mendebat perempuan itu, atau bahkan melarangnya ikut serta.
Yang ingin segera ia lakukan adalah melarikan mobilnya secepat mungkin ke rumah ayahnya.

***

Ketika sampai di sana, yang Suho lakukan adalah menyeruak masuk ke ruang kerja ayahnya. Dan seperti yang ia duga, lelaki yang beranjak tua itu ada di sana, berkutat dengan berkas-berkas yang berserakan di meja.
Suho menata napasnya yang terengah-engah, pun begitu dengan Sara yang nyaris kehabisan napas di belakangnya.

"Di mana Lay?" Suho bertanya langsung.
Ayahnya tak menggubris, ia masih saja asyik menatap berkas di hadapannya.
"Jaga sopan santunmu, Bocah. Aku orang tuamu, setidaknya berilah ucapan salam terlebih dahulu," ucapnya dingin, tanpa menatap Suho yang berdiri dengan gusar di hadapannya.

"Apa yang ayah lakukan pada Lay?! Katakan dimana dia?!" Ia kembali berteriak.
"Jika ayah tak mau mengadopsinya sebagai anak, setidaknya jangan lakukan hal buruk padanya!" teriaknya lagi.

Ayah Suho terkekeh sinis. Ia mendongak dan menatap putranya dengan tajam.
"Demi orang lain kau tega membentak ayahmu sendiri?!"
"Dia bukan orang lain, Ayah. Dia adikku. Lay, adalah adikku!"

Kedua lelaki itu berpandangan tajam.

Sementara Sara hanya mampu melihat adegan itu dengan was-was. Takut jika Suho kalap dan melakukan sesuatu di luar batas, atau bahkan sebaliknya.

Ayah Suho menegakkan punggungnya di kursi kerjanya, lalu menatap putranya, kali ini dengan tatapan tenang.
"Jadi kau tak tahu? Apa Lay belum memberitahumu?" Suaranya dalam.
Suho merasakan rahangnya kaku.
"Apa yang kalian sembunyikan?" Tangannya mengepal.

"Tenanglah, Suho. Aku tidak melakukan hal buruk padanya. Justru aku berusaha menyelamatkan hidupnya. Dia mendapat donor jantung, dari seorang pasien koma di Amerika. Jadi, dokter mengirimnya ke sana untuk melakukan operasi. Dan jika operasinya berhasil, ia akan menetap di sana. Keluarga pendonor ingin mengadopsi ia sebagai anak. Bukankah itu bagus? Akhirnya ia bisa punya sebuah keluarga 'kan?"

Suho ternganga. Begitu pula dengan Sara yang berdiri di belakangnya.
"Amerika?" Lelaki itu mendesis, tak percaya. Lengannya terkulai lemah.
"Apa ayah mengancamnya? Dan menyuruh dia meninggalkan negara ini?" Suaranya parau.

Ayah Suho tampak tenang.
"Untuk apa aku harus memaksanya. Toh dia ingin hidup. Harusnya dia merasa beruntung ada kesempatan ini," jawabnya.

Suho menggeleng.
"Aku mengenalnya dengan baik, Ayah. Dia takkan mengambil keputusan besar seperti itu tanpa berbicara dulu padaku. Dan yang paling penting, ia suka berada di sini. Ia bahagia tinggal bersamaku," giginya terkatub.

Ayah Suho menatapnya datar. Lelaki gemuk berkaca mata itu membuka laci, mengeluarkan secarik kertas yang dilipat rapi, lalu ia sorongkan pada Suho, melalui permukaan meja.

"Itu surat darinya, bacalah, " titahnya.

Suho menelan ludah. Ia meraih secarik kertas tersebut dan buru-buru membukanya dengan tangan gemetar. Dan segara tatapan matanya di sambut barisan tulisan tangan yang rapi. Ia tahu, itu tulisan Lay.

:::
Kak ...
Terima kasih karena selama ini kau sudah merawatku dengan baik.
Ketika aku sendirian, kau merangkulku.
Ketika aku kelaparan, kau menyuapiku.
Ketika aku menangis dan merindukan ibu, kau mendekapku, menghapus air mataku. Mengatakan bahwa cinta yang kau berikan sama besarnya seperti cinta seorang ibu, dan juga ayah bagiku.

Kau, yang melakukan apapun untuk melindungiku, menyayangiku, memenuhi semua kebutuhanku.

Bahkan meskipun aku sudah memberikan jantungku padamu, rasanya tetap saja itu tak sepadan dengan apa yang sudah kau lakukan padaku.

Hanya kau satu-satunya yang aku punya, dan aku selalu berharap agar kau baik-baik saja.

Aku harus pergi, ini keputusanku sendiri. Aku tak bisa selamanya bergantung padamu, dan tak bisa selamanya menjadi 'bukan siapa-siapa'.

Anggap saja ini kesempatanku untuk punya sebuah foto keluarga. Kau tahu 'kan? Sejak dulu aku selalu ingin melakukannya.
Mempunyai sebuah foto keluarga. Ada ayah, ada ibu, dan yang penting, ada kau sebagai kakakku.

Tapi, sepertinya itu tidak akan mungkin kita lakukan 'kan?

Tak apa-apa. Aku takkan menyesalinya.

Operasi ini akan berhasil, dan aku akan baik-baik saja.
Jadi walaupun kelak kita tidak bertemu lagi, percayalah bahwa aku akan tetap menganggapmu sebagai satu-satunya keluarga terbaikku.
Satu-satunya yang kupunya, satu-satunya, karena kita punya darah yang sama.
Maaf jika aku pernah menyakiti perasaanmu.

Hiduplah dengan baik dan bahagia.
Lay.

:::

Air mata Suho mengumpul di pelupuk mata membaca surat tersebut.
Ia meremas surat tersebut.
"Jam berapa pesawatnya berangkat?" Ia menatap ayahnya pilu.
Lelaki itu memeriksa arloji di tangannya.
"Mungkin kau masih punya kesempatan untuk mengucap salam perpisahan padanya. Pergilah ke bandara."

Dan tanpa mengucapkan sepatah katapun, Suho melesat, diikuti Sara.
Ia memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi, menuju bandara.

***

Selama dalam perjalanan, tak henti-hentinya Suho berusaha menghubungi Lay melalui ponselnya.
Berharap bahwa lelaki itu menerimanya, bersedia berbicara dengannya, dan mengucapkan apa saja. Setidaknya tidak seperti ini.
Jika memang ia harus pergi, setidaknya bukan dengan cara seperti ini.

"Angkat telponnya, berengsek." Ia mengumpat lirih sambil memukul-mukul kemudi. Sementara Sara yang duduk di sisinya hanya mampu menatap peristiwa itu dengan iba.

Dan entah pada panggilan yang ke berapa, telpon Suho tersambung. Lay menerimanya.

"APA YANG KAU LAKUKAN, IDIOT?!" Suho segera berteriak, frustrasi. Sejenak tak ada suara dari seberang sana. Sampai akhirnya suara lirih itu terdengar.
"Kak ...,"
"APA YANG KAU LAKUKAN, HAH?"
Hening lagi.
"Maaf karena aku tak sempat berpamitan padamu. Aku harus melakukan ini, Kak. Sampaikan terima kasihku pada ... ayahmu,"
"SETIDAKNYA TEMUILAH AKU DULU, BERENGSEK! KAU TAK BISA PERGI BEGITU SAJA TANPA MENGATAKAN APAPUN PADAKU! KAU ADIKKU!" Suho kembali berteriak.
Air matanya menitik tanpa mampu ia bendung.
"JANGAN LAKUKAN INI PADAKU, LAY!" Rintihnya. "AKU KAKAKMU! KAU TAK BISA PERGI DENGAN CARA SEPERTI INI!" Emosinya pecah.
"Kembalilah ... Kita bicara ...," lirih.

"Selamat tinggal, kak."

"LAY!!"

Tut ... tut ... tut ..

Pembicaraan terputus.
Suho kembali memukul kemudi, beberapa kali. Sebelum akhirnya memacu mobilnya lebih kencang.

Ketika sampai di tempat parkir yang berada di bandara, lelaki itu membuka pintu lalu segera melesat keluar.
"Sara, tetaplah di sini," perintahnya.
"Aku ikut," jawab Sara seraya keluar dari mobil.
Suho tak sempat memberikan bantahan karena sosoknya keburu berlari pergi.

Sara baru beberapa langkah mengikuti langkah lelaki itu, ketika tiba-tiba ia merasakan sesosok asing menghadang dirinya, lalu menodongkan sebuah benda tumpul tepat ke dadanya. Sara sempat melirik sekilas dan ia terbelalak. Pistol!

Belum sempat ia menjerit, sosok asing bertubuh kekar yang mengenakan masker itu mendekap dirinya dan membisikkan kata-kata kejam di telinganya.
Jauh di hadapannya sana, ia sempat melihat punggung Suho yang mulai lenyap dari pandangan. Ingin ia berteriak memanggil namanya, tapi suaranya tertelan kembali ke kerongkongan.

"Aku penggemar beratmu Nona Sara. Akhirnya kita bertemu lagi. Jauh-jauh aku mengikutimu dari apartemen pacarmu hingga ke sini demi untuk hari ini. Kau hanya milikku, daripada melihatmu menjadi milik orang lain, lebih baik kau mati."

Sara menelan ludah, ketakutan.
"SUHO!" Akhirnya Ia memutuskan menjerit. Tak mempedulikan resiko yang akan ia alami selanjutnya. Setidaknya Suho kembali untuknya.

Dan .... Dorr!!

Semua terjadi dengan cepat.
Sosok asing itu menarik pelatuk dan timah panas menembus dada Sara.

Samar, Suho mendengarnya. Suara tembakan, dan juga teriakan.
Sempat ingin mengabaikan, toh akhirnya ia memutuskan menghentikan langkah dan berbalik. Entah kenapa tiba-tiba saja perasaannya tak enak.
Manik matanya sempat menangkap kelebat sosok asing berlari menjauh.

Dan ketika ia sampai kembali ke tempat semula, tempat terakhir kali ia meninggalkan Sara di sana, ia menyaksikannya. Perempuan yang teramat ia cintai itu ambruk, berlumuran darah.

Suho merasakan jantungnya mencelos. Dadanya sesak.
Lelaki itu melangkah terhuyung, mendekati perempuan yang tergeletak tak jauh darinya.
Kedua lututnya keburu lemas, mencoba memahami apa yang terjadi.

Tidak ....

"Sara ...," suaranya tercekat dan nyaris tertelan kembali ke tenggorokannya. Melihat wanita itu kesakitan, seolah tengah meregang nyawa.
Satu tarikan napas panjang, dan perempuan itu diam tak bergerak.
Suho ambruk di sisi tubuhnya.

Tidak ...

"Saraa!!"

***

to be continued

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro