Bab 12

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Bu, Teh Gelas tiga, ya," ujar Reiki seraya mengacungkan Teh Gelas yang baru saja diambilnya dari lemari pendingin. Ia meletakkan minuman dingin itu di meja kayu yang ditutupi taplak meja plastik.

"Ya, jangan lupa nanti dibayar," sahut wanita bertubuh kurus dari dalam warung.

"Aman, Bu." Kali ini, Evano yang menyahut.

Reiki duduk di sebelah Evano, sementara Arvin di depan mereka. Hanya ada mereka di warung ini. Beberapa siswa hanya mampir untuk membeli minuman atau makanan ringan, kemudian pergi. Tempat ini tidak begitu besar. Namun, Reiki dan kedua temannya begitu betah nongkrong di sini. Selain karena lokasinya yang berada tidak jauh dari sekolah, warung ini kerap menjadi langganan Evano kasbon rokok batangan.

Saat Reiki tak ikut bersama mereka, Arvin akan dijadikan alat pembayaran kasbonnya.

"Kemarin lo ngapain di rumah Xavera?" tanya Evano.

Reiki tersedak Teh Gelas. Dari mana Evano tahu Reiki berada di rumah Xavera kemarin? Apakah cowok itu mengikutinya? Tapi untuk apa? Reiki terbatuk beberapa kali, kemudian meletakkan Teh Gelasnya di meja. Matanya berair, hidungnya terasa perih.

"Lo tahu dari mana gue ke rumah Xavera kemarin?"

Evano bergumam. Sepertinya ia menyesal telah menanyakan itu pada Reiki. Sudah pasti cowok itu akan semakin curiga padanya. Kali ini, ia harus mencari alasan yang tepat.

"Kebetulan aja gue lewat dari sana," ujar Evano. "Kan, rumah gue daerah sana juga. Gue biasa sepedaan lewat sana."

Reiki memandangi wajah Evano sejenak, mencoba membaca ekspresi temannya itu. Namun, kali ini Evano tampak lebih tenang. Ia mulai bijak dalam menyikapi tatapan curiga Evano. Sekali lagi, atas nama persahabatan, Reiki mengalah.

"Kenapa enggak singgah?" tanya Reiki. "Kan, kita bisa belajar bareng sama Xavera. Oh, ya, Xavera punya adek ternyata."

Evano hendak menjawab bahwa ia sudah tahu. Namun, ia buru-buru menahan diri.

"Ya, yah? Gue baru tahu kalau dia punya adek." Evano berpura-pura terkejut.

Arvin yang sedari tadi sibuk bermain ponsel, kini mendongak. Teh Gelasnya sudah habis. Ia beranjak menuju lemari pendingin.

"Sekalian buat gue, Vin," ujar Evano.

Arvin mengambil tiga Teh Gelas lagi.

"Tambah tiga lagi, ya, Bu," ucap Arvin.

Ia meletakkan Teh Gelas di meja, kemudian duduk. Ia kembali berkutat dengan ponselnya. Reiki tak ingin bertanya. Ia tahu kalau Arvin sibuk dengan ponsel, pasti sedang menonton Anime. Terkadang ia merasa kasihan, setiap kali mereka berkumpul, Arvin lebih banyak diam dan sibuk sendiri. Namun, di sisi lain ia bersyukur. Setiap Arvin berbicara, maka darah rendah seketika menjadi darah tinggi.

"Oh, ya, kira-kira Xavera mau enggak, ya, ajarin gue juga," ujar Evano. Ia menusuk bagian atas gelas plastik itu dengan sedotan. Ia menyedot beberapa kali, kemudian meletakkan minuman itu di meja. "Belakangan ini gue susah buat fokus. Kadang gue malas belajar sendiri di rumah."

Reiki menoleh. Sedari tadi ia sibuk memandangi Arvin yang begitu serius dengan ponselnya. Namun, pikirannya bukan pada cowok itu. Melainkan pada Xavera dan si kecil Dheo. Siang ini ia tidak ada jadwal belajar dengan Xavera. Ada yang aneh dengan dirinya. Ia menyadari itu. Gelisah. Ia seolah-olah khawatir saat tak bersama cewek itu.

Xavera lagi apa, ya? batin Reiki.

"Woi!"

Reiki memekik kaget. Tangannya nyaris menyenggol Teh Gelas di meja. Ia mengusap wajah.

"Lo bilang apa tadi?"

Evano mendesah.

"Xavera mau enggak, ya, belajar bareng sama gue?"

Reiki bergumam. Jemarinya mengetuk-ketuk meja.

"Kenapa enggak lo tanya langsung ke dia?" Reiki menatap Evano yang tampak bingung. "Lagian kenapa lo harus belajar bareng sama dia? Lo terancam tinggal kelas juga?"

Evano mengusap tengkuk. Tangannya yang basah memberi sensasi dingin pada lehernya.

"Enggak, sih. Gue cuma pengen perbaikin nilai aja."

Evano menyedot kembali minumannya. Jantungnya mulai berdetak tak beraturan. Tangannya sedikit gemetar saat ia mendekatkan gelas plastik itu ke mulut. Meski sudah lama mengenal Reiki, Evano merasa was-was jika cowok itu terpancing emosi. Ia ingat ketika mereka duduk di bangku SMP. Reiki nyaris dikeluarkan dari sekolah karena berkelahi dengan siswa kelas lain. Orang yang menjadi lawannya mengalami luka parah di bagian kepala dan lutut.

Reiki meregangkan tubuh. Ia tak berminat untuk meminum Teh Gelas yang dibawakan Arvin untuknya. Ia merogoh saku, mengeluarkan lolipop.

"Mau?" Reiki menyodorkan lolipopnya pada Evano.

"Enggak, buat lo aja." Evano berbalik badan. "Bu, sempurna satu."

Wanita yang tengah menonton televisi itu bangkit. Ia mendekati lemari kaca tempat aneka merk rokok tersusun. Ia mengambil sebatang rokok Sampoerna.

"Yang kemarin jangan lupa dibayar," ucap wanita itu sebelum menyerahkan rokok di tangannya.

Evano tersenyum tipis. "Aman, Bu."

Reiki menoleh tak suka pada Evano. Lolipop yang tadi ditawarkannya pada Evano sudah terbenam di mulutnya. Reiki tidak pernah berniat untuk mencicipi rokok. Mencium asapnya saja ia tak suka. Terkadang ia heran, kenapa Evano begitu suka dengan benda itu.

"Nggak takut ketahuan sama orang tua lo," tanya Reiki.

Evano menyalakan rokok yang dijepit di antara kedua bibirnya. Ia mengisap rokok itu lamat-lamat. Sesaat kemudian, asap putih mengepul dari mulut dan kedua lubang hidungnya.

"Ya, gue enggak merokok depan mereka," ucap Evano. Ia mengisap kembali batang rokoknya. Asapnya ia embuskan ke arah Reiki.

"Eh, kutu loncat, kalau mau mati, jangan ngajak gue dong," ketus Reiki.

Evano terbahak. Sudah beberapa kali ia mengajak Reiki memakai benda yang dilarang pihak sekolah itu. Namun, Reiki selalu menolak dengan alasan kesehatan.

"Emang apa sih enaknya merokok?" Reiki mengemut lolipopnya, seakan-akan ia tengah berlomba dengan Evano.

Evano menjentikkan batang rokoknya ke asbak di meja. Abu di ujung rokok terjatuh ke asbak.

"Gue tanya juga sama, lo. Apa enaknya ngemut tuh lolipop? Udah kayak anak kecil aja, lo."

Reiki menarik lolipop di mulutnya.

"Karena ini manis," jawab Reiki santai. "Lagian siapa bilang lolipop buat anak kecil doang."

Evano tersenyum geli.

"Ya udah. Alasan gue juga sama." Evano mengisap kembali rokoknya, kemudian mengeluarkan asap berbentuk lingkaran dari mulutnya. "Dan gak ada aturan, kan, kalau rokok cuma buat bapak-bapak?"

Reiki bengong sejenak. Kemudian, ia mengangguk beberapa kali. Kali ini. Evano menang. Jelas terlihat di wajah cowok itu bahwa ia merasa bangga membuat Reiki tak mampu berkata-kata. Namun, Reiki tidak mau kalah dengan mudah. Ia tengah mempersiapkan sesuatu. Namun, ia berharap, apa pun yang terjadi, persahabatan mereka tetap utuh.

"Kalian belum balik?" tanya Arvin. Ia memasukkan ponselnya ke saku celana. "Gue balik duluan, ya."

"Hati-hati," ucap Reiki. Evano hanya mengangguk. Wajahnya tampak kesal. Ia hendak meminta Arvin membayar rokoknya kemarin dan hari ini. Namun, ia sadar itu mustahil dengan adanya Reiki di sana.

"Berapa semua, Bu?" tanya Arvin sebelum ia pergi.

"Sama Rokok Evan yang kemarin?" tanya wanita berdaster itu. "Semua jadi sepuluh ribu."

Arvin membuka dompet, mengeluarkan selembar uang sepuluh ribu.

"Enggak usah, Vin. Entar gue aja yang bayar," ujar Reiki.

Arvin tersenyum ramah. "Enggak apa-apa, Ki. Sekali-sekali gue berguna buat kalian."

Reiki dan Evano tertawa bersama.

"Bisa aja, lo, biawak air."

Arvin mengenakan helm. "Gue duluan, ya."

Begitu cowok itu pergi, Evano menopangkan kedua sikunya ke meja. Reiki paham maksud gerakan itu.

"Ki."

"Em."

"Lo mau enggak bantuin gue?" tanya Evano. "Tanyain ke Xavera kira-kira dia mau enggak gue gabung sama kalian."

Reiki bergumam sejenak. Ia menggigit lolipop di mulutnya yang sudah mengecil. Ia melempar tangkainya tepat ke tong sampah.

"Kenapa enggak lo tanya langsung?" Reiki menepuk tangannya untuk membersihkannya dari debu di meja. "Kan lo sering lewat depan rumah dia."

Evano mengusap-usap tengkuk.

"Gue enggak begitu dekat sama dia. Gue enggak enak, Ki."

Reiki mendesah.

"Entar gue coba tanya." Reiki bangkit berdiri, menyandang ranselnya di lengan kiri. "Tapi dia mau atau enggak, itu bukan urusan gue, ya."

Evano tampak senang dengan jawaban itu.

"Bu, Iki pamit, ya."

Reiki beranjak dari sana. Saat ia menyalakan mesin motor, Evano masih duduk di sana memandang ke arahnya.

"Belum balik, lo?" tanya Reiki. Ia merasa aneh melihat temannya itu.

"Duluan aja."

Reiki membunyikan klakson, yang dibalas dengan acungan tangan dari Evano. Begitu Reiki melaju meninggalkan warung, Evano berbalik badan.

"Bu, satu lagi, ya. Besok aku bayar."





Terima kasih sudah membaca.

Jangan lupa vote dan komen, ya.

Salam manis salam gemoy...!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro