Bab 13

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Begitu memasuki rumah, Reiki mendapati kakaknya menonton televisi di ruang tamu. Cowok berkaos hitam itu berselonjor sembari menyaksikan berita banjir di salah satu siaran televisi. Ia bangkit saat Reiki menutup pintu. Punggungnya disandarkan ke punggung sofa.

"Baru pulang sekolah?"

Reiki meletakkan sepatu di rak dekat pintu.

"Enggak, Kak. Tadi Iki main sama temen."

Reiki mengemut kembali lolipopnya, kemudian menenteng ranselnya ke sofa. Ia mengempaskan tubuh ke sofa. Clevo mengamati wajah adiknya yang tampak kelelahan.

"Lesu amat tuh muka," sindir Clevo. "Abis ditolak cewek, ya?"

Reiki tersenyum geli.

"Ya kali ada cewek yang nolak Iki," jawabnya enteng. Saat itu, pikirannya teringat pada Xavera. Apakah cewek itu akan menolak jika Reiki menyatakan perasaannya?

"Bagus juga keyakinan lo." Clevo mengganti siaran. "Gimana tantangan dari Kakak? Udah satu bulan, lho."

Reiki mendengkus. Meski tantangan itu penting baginya, tetapi ia tidak benar-benar memikirkannya. Ia lebih fokus pada nilai rapot di semester kedua nanti. Pertaruhan hidup matinya. Untuk tantangan dari Clevo, ia hanya berharap Tuhan mempertemukannya dengan seseorang lewar cara yang tak diduga.

"Santai aja, Kak." Reiki menegakkan punggung. Ia meraih satu bantal sofa, melatkkannya di atas paha. Kedua lengan ditopangkan di atas bantal. "Cepat atau lambat, Iki pasti memenangkan tantangan ini. Siap-siap aja bangkrut selama sebulan."

Clevo tertawa. Ia merasa Reiki terlalu berlebihan. Ia tidak pernah melihat adik satu-satunya itu dekat dengan cewek. Bahkan isu-isu tentang Reiki dekat dengan cewek pun tak pernah terdengar olehnya. Ia lebih sering mendengar kabar kalau adiknya bolos, terlambat ke sekolah, atau berkelahi saat Reiki masih SMP.

Namun, di sisi lain, Clevo bangga atas besarnya keyakinan Reiki.

"Oke, Kakak tunggu sampai lo selesai ujian semester," ucap Clevo. "Cukuplah buat deketin satu cewek doang. Lo kan cowok gemoy. Idaman banyak cewek." Clevo menjulurkan lidah untuk membuat adiknya kesal.

Reiki mengambil bantal di pangkuan, kemudian melemparnya pada Clevo. Bantal itu tepat mengenai kepala kakaknya. Reiki mengambil ranselnya, kemudian lari ke kamar sebelum Clevo balas dendam.

Reiki mengunci pintu kamar untuk menghindari ancaman balas denam dari Clevo. Kakaknya tidak mudah menyerah sebelum puas menjahili adiknya itu. Cowok itu meletakkan ransel di kursi dekat meja belajar. Ia mengganti pakaian sekolahnya dengan boxer dan kaos putih polos.

Cowok itu duduk di kasur. Ia mencolokkan charger pada ponselnya. Sembari mengisi daya, ia membuka pesan WhatsApp. Tidak ada yang menarik. Hanya ada ratusan pesan dari grup kelas, dan grup alumni sewaktu ia SMP. Ia teringat pada Xavera.

Reiki mengulir ponsel, mencari nama Xavera pada pesan masuk. Setelah menemukan nama cewek itu, ia hendak mengetik pesan. Namun, ia mengurungkannya. Ia langsung menekan ikon video pada bagian atas layar. Sesaat kemudian, wajahnya muncul di layar diiringi nada sambung.

Tak butuh waktu lama, panggilan video darinya dijawab Xavera. Cewek itu mengenakan kaos putih polos. Hal itu membuat Reiki ingin tertawa geli. Xavera yang menyadari itu berpura-pura tidak tahu.

"Ada apa?" tanya Xavera. Ponselnya disandarkan pada botol minum. Cewek itu sibuk melipat kain. Ia hanya menoleh sesekali pada Reiki.

"Mau gue bantuin?"

Xavera menoleh, kemudian tersenyum sinis.

"Emang lo bisa lipat kain?"

Reiki tersenyum sembari menggaruk kepala.

"Enggak bisa sih," jawab Reiki. "Eh, Dheo mana?"

Xavera berbalik badan. Ia menarik tumpukan kain di belakangnya.

"Dheo! Dipanggil Om Iki!"

Beberapa saat kemudian, bocah laki-laki dengan pipi tembem itu berlari kegirangan menghampiri kakaknya. Karena buru-buru, Dheo menendang pakaian yang sudah dilipat. Xavera menggeram, menatap tajam pada adiknya.

"Dheo!" ucap Xavera setengah membentak.

Reiki terbahak, kemudian buru-buru menutup mulut dengan tangan saat Xavera menoleh ke arah ponsel. Dheo menangis, kemudian duduk di depan ponsel kakaknya.

"Dheo kenapa nangis?" tanya Reiki lembut.

Dheo mengusap air matanya. Ia terisak beberapa kali, kemudian menangis dengan suara yang lebih kencang. Reiki tersenyum gemas melihat si kecil mencari perhatian darinya.

"Dheo dimarahin Kak Xavera, ya?"

Dheo mengangguk. Ia memanyunkan bibir seraya terus menangis.

"Deo kan enggak sengaja," ucap Dheo terbata-bata.

Reiki semakin gemas melihat bocah gembul itu. Ia melirik jam tangannya. Pukul 15.30.

"Dheo mau makan es krim enggak?"

Dheo menghentikkan tangisnya. Ia mengusap air matanya, kemudian tersenyum.

"Iya, Deo mau, Om."

"Kalau makanan cepat, ya," ejek Xavera pada adiknya itu.

Dheo berbalik, menjulurkan lidah pada kakaknya.

"Ya, udah. Om ke sana, ya. Dheo mau es krim rasa apa?"

Dheo tampak berpikir. Ujung jari telunjuknya diletakkan di dagu.

"Deo mau lasa coklat aja, Om. Enak."

Reiki tersenyum, kemudian menyudahi panggilan itu. Ia bergegas mandi, dan berganti pakaian. Di ruang tamu, ia berpapasan dengan Clevo yang baru selesai menonton televisi. Ia memandang adiknya itu dari ujung rambut hingga ujung kaki.

"Mau ke mana? Rapi bener," sindir Clevo.

"Biasalah," jawab Reiki sembari menaikkan alis.

Clevo mengangguk paham. Ia menepuk pundak Reiki.

"Sukse, ya. Kalau udah jadi, jangan lupa kenalin sama Kakak."

Reiki tersenyum. "Aman."

***

Reiki mampir ke supermarket di dekat rumah Xavera. Ia membeli dua es krim cokelat, kemudian melaju ke rumah Xavera. Ia terkejut mendapati Evano berdiri di depan gerbang rumah Xavera. Motornya diparkir agak jauh dari sana. Reiki membunyikan klakson, membuat Evano terlonjak kaget.

Cowok yang mengenakan hoodie putih itu mengusap dada. Wajahnya berubah pucat saat melihat Reiki di belakangnya.

"Ngapain, Van?" tanya Reiki.

Evano memasukkan kedua tangannya ke kantung hoodie. Ia menoleh ke arah rumah Xavera. Tidak ada tanda-tanda kemunculan cewek itu.

"Ah, gue kebetulan aja lewat," ucap Evano. "Gue denger kayak ada suara anak kecil nangis. Jadi gue penasaran. Kali aja kan ada yang enggak beres."

Reiki melayangkan tatapan curiga. Jawaban yang diberikan Evano seringkali terlalu dibuat-buat. Reiki hendak turun dari motornya saat Dheo muncul di teras.

"Om Iki!" Dheo berteriak. "Kak, ada Om Iki sama Om Epan."

Sesaat kemudian, Xavera muncul di teras. Ia terkejut melihat ada Evano di sana. Cewek itu melangkah ragu menuju gerbang. Kunci di tangannya bergemerincing saat ia melangkah. Dheo melangkah di belakangnya.

"Evan kok ada di sini?" tanya Xavera. Orang yang ditanya hanya menggaruk kepala, berusaha mencari jawaban. Namun, ia tak berkata apa-apa. Di hadapan Reiki mungkin ia bisa berdalih. Namun, tidak di depan Xavera. Cewek itu tahu, siapa Evano.

"Om, mana es klimnya?"

Reiki mengangkat es krim di kantong plastik putih yang ia gantung di stang motor. Xavera membuka gerbang, kemudian Reiki memasukkan motornya ke halaman.

"Masuk aja, Van! Kita ngobrol di sini," ajak Reiki saat ia melihat temannya itu berdiri terpaku di depan gerbang. Xavera hanya diam. Tangannya menggenggam besi ukiran gerbang dengan kuat. Evano menatap sekilas pada Xavera kemudian menyunggingkan senyum yang diartikan Xavera sebagai senyum kemenangan.

Xavera tidak berkata apa-apa. Sejujurnya ia tidak suka jika Evano ikut masuk. Ia sudah berusaha sejak lama menjauh dari cowok itu. Bahkan ia harus mengunci gerbang setiap kali ia berada di rumah. Ia sering mendapati Evano melintas bahkan berhenti di depan rumahnya. Namun, kali ini ia tidak mungkin mengusir cowok itu dengan adanya Reiki di sana.

Reiki duduk di kursi rotan di teras. Ia meletakkan kantung plastik berisi es krim di meja. Ia mengangkat Dheo ke pangkuannya. Sementara Evano duduk di sebelahnya. Reiki membuka satu es krim, memberikannya pada Dheo. Bocah laki-laki itu langsung menyambar tangkai es krim dari tangan Reiki. Ia menjilati makanan dingin itu dengan lahap. Wajahnya belepotan.

"Mau minum apa?" Xavera berdiri di dekat mereka, tetapi pandangannya hanya tertuju pada Reiki seolah-olah ia hanya bertanya pada cowok itu.

Reiki menoleh pada Evano meminta pendapat.

"Apa aja, pasti gue minum, kok," jawab Evano.

Xavera mendengkus kesal. Akan berbeda jika Reiki yang mengatakan itu padanya.

"Gue air teh obeng aja, deh. Takut ngerepotin lo," ucap Reiki. Ia mengambil tisu di tas kecil yang disandangnya. Ia menarik satu lembar kertas tipis itu kemudian mengelap pipi dan mulut Dheo yang belepotan es krim. Dalam waktu beberapa menit, Dheo sudah menghabiskan es krimnya.

"Om, mau lagi." Dheo menunjuk es krim di meja.

Reiki melirik es krim di meja, kemudian melirik Evano. Cowok yang ditatap itu mengangkat sebelah alis, bingung dengan kode Reiki. Reiki menunjuk es krim di meja dengan tatapan matanya. Evano mengangguk.

"Dheo itu es krim punya Bang Evan. Kan, Dheo udah makan satu."

Dheo cemberut. Air mata menggenang di ujung matanya. Reiki merasa kasihan, kemudian mengangkat bocah itu berdiri di atas pahanya.

"Dheo enggak boleh makan es krim banyak-banyak. Nanti sakit perut," ucap Reiki lembut. "Gimana kalau kita keliling aja naik motor?"

Dheo langsung mengangguk girang. Reiki merasa lega. Ia mengambil sendal Dheo di rak dekat pintu, kemudian meminta kunci motor Xavera untuk membawa Dheo. Reiki tidak berani membonceng Dheo di belakang tanpa ada yang menjaga. Tadinya ia mengajak Evano, tetapi cowok itu menolak.

Begitu Reiki berlalu meninggalkan rumah, Evano masuk ke rumah. Ia menghampiri Xavera yang tengah memasak air di dapur. Cewek itu tengah memasukkan gula ke teko saat Evano tiba-tiba muncul di belakangnya. Xavera nyaris berteriak, mengira ada penyusup masuk ke rumah. Meski ia merasa penyusup dan Evano tidak ada bedanya.

"Mau gue bantuin?" Evano mengeluarkan tangannya dari saku hoodie. Tangan kanannya disandarkan pada meja kompor. Ia mengamati Xavera yang sibuk mengelap meja, mengabaikan tawaran darinya.

"Xav, kenapa sih, lo selalu menghindar dari gue?"

Xavera menarik napas panjang. Namun, ia hanya menoleh sekilas, kemudian mengempas serbet yang ia pakai mengelap meja di wastafel. Evano mengekor, berusaha mendapat perhatian cewek itu.

"Lo masih marah sama gue?" Evano tak mau menyerah. "Itu kan kejadiannya udah lama banget, Xav. Dan, itu cuma salah paham. Kenapa sih lo enggak mau ngasih gue kesempatan buat perbaiki semuanya?"

Xavera meletakan serbet di wastafel. Ia mencuci tangan, mengibaskannya beberapa kali. Ia menoleh pada Evano, melayangkan tatapan mengintimidasi.

"Van, kurang sabar apa gue ngadepin sikap lo?" tanya Xavera. Ia berpindah ke dekat kompor. Air di dandang sudah panas. Meski ada dispenser, Xavera tidak suka menggunakan air dari sana untuk membuat teh. Cewek itu mematikan kompor. Ia membuka tutup dandang, mengambil air dari sana menggunakan cangkir plastik bertangkai.

Ia nyaris menumpahkan air panas ke kakinya saat tiba-tiba Evano menyentuh pundaknya. Cowok itu berdiri di sebelah Xavera, merasa tak ada yang salah atas tindakannya. Xavera menuang air panas lebih dulu ke teko, kemudian melepas tangan Evano dari bahunya.

Ia berbalik, menatap Evano.

Cangkir di tangannya teracung ke wajah Evano.

"Lo ngerti kan, kalau gue udah enggak mau tahu alasan lo?" Xavera merasakan dadanya memanas. Ada luka lama yang kembali menganga di sana. "Gue udah kasih kesempatan sama lo. Bukan satu dua kali. Tapi apa, lo masih aja ngulangin kesalahan yang sama. Lo bilang enggak ada hubungan apa-apa dengan Abila. Tapi nyatanya, setelah putus dari Abila, lo malah pacaran sama Sena. Jangan lo pikir karena kita beda sekolah, gue enggak tahu, Van."

Kini luka itu semakin lebar. Xavera merasakan matanya ikut memanas, bahkan perih. Ia mengusap air mata yang menetes di pipinya saat mendengar suara motor di depan rumah. Evano segera kembali ke teras. Ia berpura-pura merapikan celana seolah-olah ia baru dari toilet.

"Kita sampai," ucap Reiki. Dheo melompat turun sembari menenteng kantung berisi camilan. Mereka duduk di kursi rotan, disusul Xavera yang membawa teh obeng di teko. Ia tersenyum saat Dheo menunjukkan kantung berisi camilan padanya. Ia berusaha menyembunyikan perih di dadanya. Reiki tidak boleh terlibat dalam masalah ini. Terlebih ia tahu, Evano bersahabat dengan Reiki.





Terima kasih sudah membaca!

Jangan lupa vote dan komen, ya.

Salam manis salam gemoy...!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro