Bab 14

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Reiki tersenyum puas melihat nilainya di mading. Nilau ujian matematikanya dua hari yang lalu meningkat pesat. Namanya ada di urutan kelima belas dengan perolehan nilai tujuh puluh lima. Suatu pencapaian besar baginya. Ada harapan baru yang kini tumbuh dalam dadanya. Ia berharap, nilai rapot nanti bisa lebih baik dari ini. Meskipun ia harus belajar lebih giat untuk itu.

Ujian semester tinggal satu bulan lagi. Namun, ia merasa itu waktu yang cukup untuk belajar lebih giat. Terlebih ada Xavera yang membantu. Cewek itu terbilang sabar mengajari Reiki.

Cowok itu berbalik, masuk ke kelas. Ia duduk di kursinya, membayangkan bagaimana reaksi ibunya jika nanti malam ia memberitahukan perolehan nilai ulangan matematikanya. Mungkin Winia akan senang atau mungkin juga tidak. Wanita itu selalu mengharapkan Reiki bisa seperti kakaknya yang selalu mendapat nilai nyaris sempurna.

Reiki mendesah. Beberapa menit lagi bel pertanda berakhirnya jam istrahat akan terdengar. Ia merogoh saku, mengeluarkan lolipop dari sana. Tadi pagi, ia tak sengaja mendengar ketua kelas berbicara dengan sekretaris perihal jam kosong pada pelajaran Bahasa Inggris. Mata pelajaran itu berlangsung dua jam pelajaran setelah istirahat, kemudian dilanjutkan pelajaran Bahasa Indonesia.

Reiki memanfaatkan itu untuk menikmati lolipop di kursinya tanpa harus sembunyi-sembunyi. Biasanya jam kosong akan diisi dengan kegiatan mencatat rangkuman pelajaran dari papan tulis. Reiki bisa mencatat sembari mengemut lolipop. Untuk ketua kelas, ia tidak perlu khawatir. Di kelas ini, selagi bisa menjaga ketenangan, maka semua adalah teman.

Evano duduk di kursi di samping Reiki. Teman sebangkunya itu tidak masuk karena sakit. Sebelum istirahat, Reiki duduk di sana seorang diri.

"Ki, nanti lo ke rumah Xavera?"

Reiki menoleh, kemudian mengangguk.

"Gue gabung sama kalian, ya," pinta Evano. Ia menyatukan kedua telapak tangan di depan dada.

Reiki menarik tangkai lolipop dari mulutnya, kemudian menelan ludah.

"Kenapa bilang ke gue?" Reiki menatap heran. "Gue, sih, enggak masalah. Tapi, tuan rumah, kan, bukan gue."

Evano meletakkan kedua tangannya di meja. Ia menarik napas panjang, seolah-olah frustrasi. Wajahnya terlihat murung.

"Lagian kenapa, sih, lo pengen ikutan belajar?" tanya Reiki tanpa menoleh. Bel sudah berbunyi. Semua siswa berhamburan masuk kelas. Reiki mengeluarkan pena dan buku tulis dari ransel di belakangnya.

"Lo lihat sendiri tuh di mading, nilai Matematika gue turun." Evano meletakkan dagunya ke meja. "Malah nilai lo lebih tinggi dari gue."

Reiki membuka buku tulisnya. Sekretaris kelas mulai menulis di papan tulis. Reiki menulis setiap kata yang tertulis di sana.

"Ya, udah, sih. Ikut aja," jawab Reiki. "Tapi gue enggak tanggung jawab kalau Xavera keberatan."

Reiki melanjutkan aktivitasnya, mengabaikan Evano yang merenung di sebelahnya. Setelah beberapa saat, Sekretaris berpindah ke papan tulis di sebelahnya. Saat itu, Reiki menyadari Evano tidak menulis sama sekali.

"Eh, lo enggak nyatet?"

"Entar gue pinjam buku lo aja," jawab Evano santai. "Gue mau tidur bentar. Nanti bangunin ya, kalau udah ganti jam pelajaran."

Reiki hanya bergumam sebagai jawaban.

***

"Motor lo kenapa?"

Xavera menoleh pada orang yang menghampirinya di parkiran. Ia tersenyum tipis melihat cowok itu, kemudian kembali fokus pada ban motornya yang kempes.

Reiki ikut berjongkok di sebelah Xavera. Cowok itu menekan ban motor Xavera dengan jarinya. Ban itu terasa lembek, tidak akan kuat jika dipaksakan. Padahal bengkel cukup jauh dari sini. Xavera tampak cemas.

"Gue anter lo pulang?"

Xavera menoleh, terkejut mendengar tawaran itu. Cewek itu menggeleng, lalu berdiri. Ia merapikan tali ransel yang nyaris meluncur dari bahunya.

"Enggak usah," jawabnya ragu. "Gue harus bawa motor ini dulu ke bengkel."

Reiki menatap ban motor itu sekali lagi, kemudian menoleh pada Xavera. Ia berdiri.

"Enggak ada bengkel dekat sini," ucap Reiki mengingatkan. "Lo enggak bakal sanggup dorong motor ini sendirian. Lagian, lo kan harus jagain Dheo."

Xavera ragu. Ia ingin menerima tawaran Reiki. Ia tidak mungkin mendorong motornya sampai beberapa kilo meter. Selain menguras tenaga, itu juga akan memakan waktu. Namun, ia merasa tak enak jika harus berboncengan dengan Reiki. Ia takut Evano melihatnya, dan berujung pada pertengkaran Reiki dan Evano.

Reiki menarik tangan Xavera. Ia mengambil kunci dari tangan cewek itu, kemudian mengantonginya. Cowok itu menyeret Xavera ke motornya, kemudian ia naik lebih dulu. Xavera termenung di dekat Reiki, bimbang apakah ia harus ikut dengan Reiki.

"Mau pulang enggak?"

Xavera naik dengan ragu. Ia duduk agak jauh dari Reiki. Cowok itu menoleh, menatap penuh arti pada cewek itu. Xavera hanya memandanginya dalam diam. Enggan duduk lebih dekat. Xavera berusaha untuk meredam bunyi detak jantungnya yang sulit diajak kerja sama.

"Maju dikit, entar jatuh gue juga yang repot."

Xavera maju sedikit, tetap memberi jarak di antara mereka. Ia memindahkan ranselnya yang penuh buku ke depan, agar Reiki tidak memaksanya lebih dekat. Reiki mengulum senyum. Berada sedekat ini dengan Xavera membuat jantungya berdetak lebih cepat. Hal yang tak pernah ia rasakan bila ada cewek yang mendekatinya, bahkan mencoba memeluknya.

"Pegangan, ya." Reiki masih saja menggoda Xavera. Cewek itu berusaha tetap tenang, meski ia ingin memeluk Reiki. Motor Fu hitam bercorak merah itu melaju meninggalkan pekaranagan sekolah. Reiki mengendarai sepeda motornya dengan kecepatan sedang. Meski ia ingin Xavera memeluknya, ia tak mau membahayakan nyawa mereka berdua dengan mengebut di jalanan. Reiki menahan diri untuk tidak terburu-buru. Ia yakin, suatu saat tanpa diminta, Xavera akan melakukannya tanpa diminta.

Xavera berusaha menahan keseimbangan di belakang Reiki. Ia sangat takut saat cowok itu tiba-tiba mengerem atau menyalip. Beberapa kali ia memekik tertahan. Sampai akhirnya mereka tiba di depan rumah Xavera, cewek itu turun dengan kaki gemetar. Ia berusaha tetap tersenyum untuk menutupi kegugupannya.

"Gue balik, ya. Nanti gue anterin motor lo sekalian belajar bareng," ucap Reiki. Ia memutar balik motornya. "Oh, ya. Katanya Evan nanti ikut belajar bareng."

Xavera terbelalak. Ia ingin memprotes, tetapi teringat bahwa Reiki tidak tahu sama sekali permasalahan mereka.

"Kok Evan ikut?" tanya Xavera. "Lo yang ajak?"

Reiki mengedikkan bahu. "Kemauan dia sendiri, kok," jawab Reiki. "Kalau lo keberatan, lo bisa nolak kok. Kan, lo tuan rumah."

Xavera memaksakan senyum. "Ya, udah deh. Asalkan ada lo juga."

Sesaat kemudian, Xavera merasa malu atas ucapannya. Ia tidak bermaksud menggoda Reiki. Namun, melihat senyum tipis Reiki, Xavera tahu cowok itu salah paham atas ucapannya.

"Eh, enggak usah baper," ketus Xavera. Pipinya memanas karena malu sekaligus kesal. "Maksud gue kalau ada lo, kan lebih rame. Terus ada yang bujuk Dheo juga kalau rewel."

Reiki mengangguk sembari menyunggingkan senyum penuh arti. Reiki berpamitan, kemudian melaju meninggalkan rumah Xavera.

Cewek itu menepuk pipinya beberapa kali. Ia merutuki dirinya yang tanpa pikir panjang sebelum berbicara. Namun, di satu sisi ia merasa senang melihat Reiki tersenyum mendengar ucapannya. Mungkinkah ia menaruh hati pada cowok itu? Tapi itu tidak mungkin. Cewek itu bahkan sangat membenci kebiasaan Reiki.

***

"Lo beneran mau belajar atau cuma main-main doang?" tanya Xavera ketus pada Evano. Cowok itu duduk di sebelah Reiki. Ia tertawa kecil. Reiki memandangi dua orang yang sedari tadi berdebat secara bergantian.

"No what-what, no angry-angry," ucap Reiki dengan Bahasa Inggrisnya yang berantakan. Karena hari ini mereka akan belajar Bahasa Inggris, Xavera menetapkan aturan setiap berbicara harus menggunakan bahasa inggris khusus untuk Reiki.

Xavera yang sedari tadi kesal, berusaha untuk menahan tawa. Sebenarnya, ia tidak suka akan keberadaan Evano di sana. Ia tahu, belajar bareng hanya alibi Evano untuk berada di dekatnya. Seperti sekarang, cowok itu bahkan tidak membawa buku.

Xavera hendak melanjutkan ceramahnya saat terdengar suara tangis dari kamar. Reiki lebih dulu bangkit.

"Gue aja," katanya pada Xavera. Cowok itu bergegas ke kamar untuk menenangkan Dheo yang tadi tidur siang.

Begitu Reiki lenyap dari ruang tamu, Evano menutup buku yang ia pegang. Ia menatap lurus cewek yang pernah mengisi hari-harinya itu.

"Xav, lo suka sama Reiki?"

Xavera menghentikan aktivitas tulis menulisnya. Ia menoleh pada Evano yang menunggu jawaban darinya. Ia ingin menjawab iya agar Evano tidak mengganggunya lagi. Namun, Xavera takut jika nanti Evano memberitahukan hal itu pada Reiki.

"Emangnya kenapa?" Hanya pertanyaan itu yang mampu diucapkan Xavera.

Evano menarik napas. Ia mengusap tangan di atas meja.

"Gue cuma pengen bilang sesuatu sama, lo." Evano menjaga suaranya agar terdengar dramatis. "Reiki bukan cowok baik-baik. Gue udah kenal dia dari SMP. Dia suka berkelahi, dan parahnya, gue sering lihat dia merokok di warung dekat sekolah."

Xavera terpancing untuk mendengar lebih banyak tentang Reiki. Meski Evano tak sepenuhnya bisa dipercaya, tetapi mengingat ia dan Reiki berteman cukup lama, mungkin saja Evano benar.

"Terus?" tanya Xavera.

"Ya, gue enggak mau aja lo sampai pacaran sama orang kayak dia," ucap Evano. "Pergaulan Reiki enggak baik, Xav. Lo tahu kan, kalau dia dikenal bad boy di sekolah."

Xavera membenarkan hal itu dalam hati. Sepanjang yang ia tahu, Reiki dikenal nakal di sekolah, meski beberapa siswi mengatakan ia bad boy gemoy. Dan untuk hal itu, Xavera juga tidak bisa membantah. Reiki memang menggemaskan.

Xavera menahan ekpresi agar tetap netral. Ia tidak mau Evano melihat bahwa ia percaya ucapan cowok itu.

"Makasih infonya. Gue bakal lebih hati-hati." Xavera berdeham. "Lagian gue cuma bantu dia biar naik kelas kok. Enggak lebih dari itu."

Reiki terpaku di belakang sofa. Setelah menidurkan Dheo, ia kembali ke ruang tamu. Namun, saat kembali ia mendengar sepenggal percakapan kedua temannya itu. Dadanya teriris mendengar penuturan Xavera. Seharusnya Reiki menyadari hal itu, dan tidak berharap terlalu banyak. Sekarang, ia terluka tanpa bisa menyalahkan siapa-siapa.


Terima kasih sudah membaca!

Jangan lupa vote dan komen, ya.

Salam manis salam gemoy...!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro