Bab 15

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Reiki merapikan buku di meja. Setelah menyimpan buku ke ransel, ia meregangkan tubuh. Ia menutup mulut saat menguap. Cewek di sebelahnya merapikan buku miliknya yang berserakan. Ujian akhir semester akan tiba satu minggu lagi. Reiki meminta agar jam belajarnya dengan Xavera ditambah. Awalnya Xavera tidak setuju, karena ia harus mengerjakan pekerjaan rumah saat petang tiba. Ibunya biasa pulang kerja selepas senja. Tidak mungkin membebankan wanita itu untuk memasak setibanya di rumah.

Namun, Reiki merasa dirinya butuh belajar lebih banyak untuk menghadapi ujian semester nanti. Ia bahkan rela membantu Xavera memandikan Dheo sebelum pulang. Akhirnya Xavera setuju. Namun, selama proses belajar, cewek itu enggan menatap langsung mata Reiki. Ucapan Evano selalu membayangi pikirannya. Reiki bukan cowok baik-baik.

Xavera melirik jam di dinding ruang tamu. Sudah pukul 17.00. Reiki bangkit berdiri, hendak mengajak Dheo yang tengah bermain untuk mandi. Namun, Xavera buru-buru bangkit.

"Biar gue, aja." Xavera menghampiri Dheo yang masih sibuk dengan mainan yang berserakan di lantai. "Dheo mandi, yuk."

Dheo menoleh pada kakaknya, kemudian pada Reiki. Sejak tiga hari yang lalu, Reiki yang memandikan Dheo sementara Xavera memasak untuk makan malam. Dheo menggeleng, kemudian melanjutkan aktivitas bermainnya.

"Mending lo masak aja," ucap Reiki. Ia mendekat ke arah Dheo. "Kan, kemarin juga gue yang mandiin dia."

Reiki berjongkok di dekat Dheo, mengambil mainan bebek di antara mainan yang berserakan. Xavera menggigit bibir. Ia kehabisan akal untuk meminta Reiki agar segera pulang. Bukan tanpa alasan. Melihat Dheo semakin akrab dengan Reiki membuat Xavera menyesal telah menyetujui tambahan jam belajarnya dengan Reiki. Ucapan Evano selalu membuatnya khawatir.

Xavera selalu merasa nyaman dan aman di dekat Reiki. Setiap Reiki datang ke rumahnya, ia merasa tidak akan ada masalah yang mengganggu. Bahkan Dheo yang selalu membuat kepalanya migrain, kini bukan lagi masalah. Bujukan Reiki dan tawaran untuk jajan atau keliling kompleks selalu membuat bocah itu luluh. Ia akan bermain dengan tenang, meski sesekali memanggil Reiki saat ingin menunjukkan sesuatu.

"Ki, mending lo pulang aja, deh," ucap Xavera. Ia menelan ludah, menunggu reaksi cowok itu. Reiki mendongak, tangannya masih memegang mainan bebek. Mata cokelatnya menatap Xavera bingung. "Gue enggak bermaksud ngusir, tapi gue bisa kok mandikan Dheo sendirian."

Reiki meletakkan mainan bebek itu ke lantai. Dheo menoleh sekilas, kemudian kembali sibuk. Reiki bangkit. Kini ia bertatapan lurus dengan cewek yang kini menggigit bibir seraya meremas tangan di kedua sisi tubuhnya itu. Xavera berusaha menahan diri agar tidak gugup.

"Lo kenapa, Xav?" Reiki sedikit menunduk, sebelah alisnya terangkat. Xavera tidak bisa menahan diri untuk tidak mengagumi ketampanan cowok itu. Alis tebalnya begitu memesona saat Reiki menggerakkannya naik-turun.

Xavera berdeham.

"Gue baik-baik, aja, kok," jawab Xavera sedikit gugup. Ia meremas ujung bajunya. "Gue cuma enggak mau ngerepotin lo aja. Gimana pun, gue ngajarin lo ikhlas, kok."

Reiki mengamati Xavera cukup lama. Xavera semakin tak nyaman dengan perlakuan cowok itu. Pikirannya mulai melambung jauh. Membayangkan bahwa Reiki adalah cowok kasar yang suka berkelahi. Bagaimana jika sekarang ia berbuat nekat pada Xavera?

Cewek itu mengamati sekitar, mencari sesuatu yang bisa ia gunakan sebagai pertahanan diri.

Reiki tersenyum puas. Ia tak tahan untuk tidak tertawa kecil melihat cewek itu gemetar di hadapannya. Reiki merasakan dadanya sedikit perih. Ia tahu, pasti Xavera tidak mau mereka terlalu akrab. Seperti yang didengar Reiki waktu itu. Xavera hanya membantunya agar naik kelas. Reiki menekankan kembali kalimat itu dalam pikirannya.

Ia bergumam, kemudian mengusap tangannya ke celana.

"Ya, udah kalau lo enggak mau menerima bantuan gue." Reiki menunduk, menoleh pada Dheo. "Dheo, Om pulang, ya. Nanti mandinya sama Kak Xavera aja, ya."

Dheo meletakkan mainan robot di tangannya. Ia mendongak, bibirnya dimajukan. Bola matanya berkaca-kaca. Reiki menatapnya dengan gemas. Dheo selalu begitu untuk menarik perhatian atau ketika permintaannya tidak dituruti.

Reiki menoleh pada Xavera, kemudian mengedikkan bahu. Xavera berjongkok, mengusap lembut kelapa adiknya.

"Dheo, mandi sama Kakak aja, ya." Cewek itu mengusap air mata yang menetes dari pipi adiknya. "Om Iki masih ada urusan. Nanti Om Iki telat lho."

Reiki melambaikan tangan untuk mengisyaratkan kalau Xavera berbohong. Dheo melihatnya dalam diam. Xavera menoleh, saat itu juga Reiki pura-pura melihat plafon.

"Dheo mau mandi sama Om Iki." Dheo mengambil mainan bebek karet di lantai. Ia bangkit, mendekati Reiki. "Om, ayo. Kita main bebek lagi."

Reiki memandang Xavera, meminta persetujuan. Cewek itu mengembuskan napas pasrah. Ia tak punya pilihan. Percuma memaksa Dheo untuk menuruti perintahnya. Cewek itu hanya mengangguk sebagai jawaban. Saat Reiki menghilang bersama Dheo di kamar mandi, Xavera melihat ponselnya berdering. Satu notifikasi pesan masuk dari Evano.

Xavera mengernyit. Ia menoleh ke kamar mandi, terdengar tawa riang Dheo di sana. Ia membuka pesan itu.

Ex Crocodile

Xav, nanti malam makan di luar, yuk. Ada yang mau gue omongin sama lo. Ini soal Reiki. Penting!

Xavera hendak membalas saat Reiki tiba-tiba muncul dari kamar mandi. Cowok itu berjalan ke arahnya.

"Handuk Dheo mana, ya?"

Xavera menekan tombol power di sisi kanan ponselnya. Ia bergegas ke kamar mengambil handuk kecil berwarna biru muda. Reiki mengambilnya dari tangan Xavera kemudian kembali ke kamar mandi. Xavera menghidupkan kembali ponselnya. Ia diam sejenak. Apakah ia harus menerima tawaran itu? Namun, akhirnya rasa penasaran tentang seberapa nakal Reiki memaksanya untuk menerima tawaran itu. Terlebih Evano terlihat serius menyampaikan siapa sebenarnya Reiki.

***

"Pesan apa?" Evano memandang cewek berkaus  marun di hadapannya. Xavera bergumam. Pupil cokelatnya sibuk memandangi daftar menu di tangannya. Sebenarnya ia tidak begitu lapar. Satu-satunya alasan ia datang ke tempat yang cukup ramai ini hanya demi informasi mengenai Reiki.

"Samain aja, deh," ucap Xavera setelah merasa muak berpura-pura dengan kertas menu di hadapannya.

Evano melambaikan tangan. Seorang pelayan pria menghampiri, di tangannya ada buku kecil dan pena. Ia mengenakan seragam berwarna merah hitam dengan topi berlogo perahu. Evano mengatakan pesanan mereka pada si pelayan yang kemudian dicatat di buku kecil yang ia bawa. Xavera memandang ke luar kafe. Mereka duduk lantai dua, meja paling dekat dengan tepi Restoran.

Evano menoleh pada cewek itu.Cowok itu menyentuh tangan Xavera, membuatnya tersentak. Ia tidak mendengar panggilan Evano sejak tadi.

"Mau minum apa?"

Xavera bergumam, pura-pura berpikir. Tangannya kembali meraih daftar menu di meja, memandangi menu di sana.

Evano mendesah, kemudian menggeleng. Pelayan pria di samping meja mengulum senyum. Evano menyentuh daftar menu yang dipegang Xavera, kemudian membaliknya.

"Daftar minuman ada di sebelah sini," ucap Evano.

Xavera merasa pipinya mulai memanas. Kemudian, ia pura-pura membaca beberapa saat, kemudian menoleh.

"Samain aja, deh."

Evano menarik napas panjang, kemudian tersenyum tipis. Ia menyampaikan minuman pesanan mereka, kemudian si pelayan pergi. Begitu cowok yang nyaris menertawakannya itu pergi, Xavera langsung menyerbu Evano dengan pertanyaan. Ia tak ingin membuang-buang waktu.

"Lo mau bilang apa soal Reiki?" Xavera meletakkan kedua tangan di meja. Ia menatap serius cowok berkemeja kotak-kotak di hadapannya. Evano mengerutkan kening.

"Santai aja, Sayang. Jangan buru-buru, gitu," jawab Evano. Ia mengambil tisu di meja, mengelap meja yang bahkan sudah dibersihkan pelayan sebelum mereka tiba. "Kita ke sini mau makan malam. Kenapa harus bahas cowok brengsek itu sekarang?"

Xavera membelalak. Sebelumnya Evano tidak pernah berbicara kasar perihal Reiki. Namun, malam ini cowok itu terlihat sangat berbeda. Xavera mulai tak nyaman dengan suasana di sekitarnya. Meski situasi di sana cukup ramai, suara pelanggan kafe bersatu padu di telinganya. Namun, ia merasa seolah-olah hanya ada mereka berdua di sana.

"Gue enggak punya banyak waktu." Xavera berusaha agar suaranya terdengar tegas. "Kita bisa obrolin ini sembari menunggu makanan datang."

Evano mendengkus, kemudian menjulurkan tangan untuk meraih tangan Xavera. Cewek itu langsung menarik tangan, meletakkannya di atas paha. Evano membuang napas, merasa setengah kesal.

"Lo kenapa, sih?" tanya Evano. "Ok, gue tahu. Kita udah enggak ada hubungan apa-apa. Tapi kenapa kita enggak kembali kayak dulu lagi, Xav? Gue udah berubah demi lo."

Xavera membuang pandangan ke luar kafe. Sejak mereka lulus SMP, dan akhirnya bersekolah di SMA yang sama, ia tak pernah mendengar kabar kedekatan Evano dengan cewek lain. Namun, ia sudah terlanjur sakit hati. Dan bukan hal mudah untuk menerima kalau ia sudah berubah dari kebiasaannya pacaran dengan banyak cewek.

"Van, enggak usah bahas yang enggak perlu," tegas Xavera. Ia menatap tajam cowok itu. "Lo pasti tahu alasan kenapa gue datang ke sini. Jadi, enggak usah mengulur-ulur waktu. Kata-kata lo enggak akan mengubah apa yang udah terjadi. Keseriusan itu dibuktikan bukan diucapkan."

Evano menarik napas berat. Ia merasa tidak akan menang jika terus memaksa kemauannya.

"Baik. Tapi lo harus dengerin gue. Ini juga demi kebaikan, lo," ucap Evano. "Mungkin kita enggak bisa balikan, tapi gue harap lo berubah pikiran untuk itu. Gue cuma enggak mau lo pacaran sama orang yang salah."

"Dua kali," sela Xavera.

Evano menelan kejengkelannya bulat-bulat.

"Belakangan gue tahu, Reiki ternyata pakai narkoba," kata Evano setengah berbisik. Xavera membelalak tak yakin. Senakal-nakalnya Reiki, ia tidak mungkin mengonsumsi benda terlarang itu. Evano yang melihat keraguan di mata Xavera melanjutkan, "Lo bisa tanya sama Arvin. Dia tahu semuanya. Bahkan Reiki menjadikan Arvin sebagai ATM berjalan."

Xavera terdiam. Ia tidak sepenuhnya percaya akan informasi ini. Namun, entah kenapa hatinya perih saat mendengarnya. Kenapa ia harus prihatin? Bukankah ia hanya ingin membantu agar Reiki naik kelas? Xavera menarik napas untuk menenangkan diri. Satu-satunya cara untuk membuktikan hal ini hanya dengan mengajak Arvin bicara empat mata.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro