Bab 18

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

            Reiki memarkirkan motor di halaman rumah Xavera. Ia bergegas membuka pintu. Ia tak perlu mencari yang mana kamar Xavera. Karena hanya ada dua kamar tidur di sana. Cowok itu masuk ke kamar yang bersisian dengan kamar ibu Xavera. Sejenak, Reiki mengagumi kondisi kamar yang rapi.

Meja belajar di sisi kanan jendela dan lemari di pojok sejajar dengan pintu. Lampu-lampu kecil menggantung di sepanjang sudut plafon.

Cowok itu mengambil dompet cokelat di meja. Namun, saat hendak pergi, buku harian bersampul merah muda mencuri perhatiannya. Ia teringat akan pesan Xavera agar tidak menyentuh apa pun.

"Larangan adalah perintah," monolog Reiki.

Ia membuka halaman pertama dan tertarik membuka halaman berikutnya. Sesekali ia mengangguk, sampai akhirnya ia membelalak mendapati nama seseorang di sana. Ia tidak menduga kalau Xavera memiliki hubungan spesial dengan cowok itu. Rasa penasaran itu semakin besar, dan Reiki mendapati lebih banyak jawaban dari semua keanehan yang ia rasakan selama ini.

Ia berhenti membalik saat melihat tulisan yang ditulis sekitar beberapa minggu yang lalu.

Gue udah lama menutup hati.

Sejak diselingkuhin, gue trauma buat percaya sama cowok. Ternyata benar ya, cinta enggak cukup dengan ungkapan doang. Tapi harus dibuktikan. Dan bodohnya gue saat itu, gue percaya aja. Apakah akhirnya gue menyesal? Enggak, juga, sih. Dari sini gue belajar, nyaman dan baper oleh kata-kata enggak jadi jaminan kalau dia setia. Pada akhirnya, yang selalu ada akan kalah dengan yang katanya setia.

Belakangan ini, gue ngerasain yang namanya cinta. Entah, ini beneran cinta atau hanya rasa kagum. Gue, nyaman saat dekat sama dia. Awalnya, sih, gue takut. Bukan karena dia jelek, atau berkumis kayak om-om. But, dia berkumis, sih. Tipis-tipis tapi manis.

Yang bikin gue takut, dia suka makan lolipop. You know, gue phobia sama tuh makanan sejak kecil. Sampai sekarang gue enggak bisa melupakan trauma masa kecil yang akhirnya merenggut nyawa saudara gue. Ya, gue punya adik cowok selain Dheo.

Setelah sekian lama belajar sama dia, gue merasa nyaman. Dia orangnya dewasa, meski kadang suka ngeselin. Tapi, jujur aja, sih. Dia gemoy banget. Dheo yang nakalnya minta ampun, bisa luluh sama dia. Siapa dia?

Ya, Reiki Savian.

Kata orang-orang, sih, dia bad boy gemoy. Gue udah sering dengar nama dia sejak ospek. Tapi, gue enggak terlalu kepo buat cari tahu sosoknya. You know, gue trauma berhubungan sama cowok. Dan entah kenapa, gue mulai nyaman sama dia.

Segaris senyum terukir di wajah Reiki. Tanpa sadar ia meneteskan air mata. Di satu sisi ia terharu. Namun, di sisi lain ia terluka. Ia tersadar bahwa Xavera tak lagi menginginkannya. Entah apa alasannya.

Reiki melihat masih ada tulisan di balik kertas itu. Ia penasaran apa yang ditulis Xavera di sana. Ia membalik, dan kembali membaca.

Beberapa hari ini gue seneng banget. Sejak belajar bareng sama dia, gue merasa terbantu banget. Dheo yang biasanya rewel, sekarang udah mau main sendiri sementara gue belajar. Meskipun sebenarnya harus diiming-iming jajan di warung. Tapi, enggak masalah, sih. Gue senang lihat Dheo akrab sama dia. Gue berasa punya suami. Wkwkwk. Canda suami.

Tapi beneran. Gue penasaran, gimana kalau nanti gue punya anak. Dan suami gue kayak Reiki. Maksud gue Reiki. Amin. Pasti hidup gue bahagia banget. Dia tuh cowok yang enggak banyak bacot. Gue jatuh hati sama sikapnya, bukan kata-katanya. Dia tahu banget, kalau membuat seseorang nyaman enggak harus care sama orang tersebut, tapi juga pada orang di sekitarnya. Dan itu yang gue dapetin dari Reiki yang enggak pernah ada di mantan gue dulu. Apalagi Ev.... skip. Gak boleh bahas mantan.

Gue harap, kedekatan ini enggak segera berakhir. Gue pengen lihat dia naik kelas dengan nilai yang memuaskan. Dan, tahu gak, gue selalu berdoa, dia bakal nembak gue. Meski terkesan halu, tapi gak apa-apa, kan?

Siapa tahu ....

Reiki menutup buku harian itu saat ponselnya berdering. Nama Xavera muncul di layar. Saat itu Reiki menyadari ia sudah terlalu lama di sana.

"Halo, Xav. Tunggu, ya. Gue mampir bentar beli makanan."

Reiki bergegas meninggalkan rumah Xavera. Ia singgah ke supermarket membeli roti dan air mineral.

Setibanya di rumah sakit, ia mendapati Xavera terduduk lesu di ruang tunggu. Begitu ia mendekat, Xavera langsung menyambar dompetnya lalu pergi. Reiki terdiam sesaat, kemudian duduk di kursi besi memanjang. Ia menunggu sampai Xavera kembali. Ada banyak pertanyaan yang ingin ia sampaikan. Terlebih atas hubungan Xavera dengan Evano.

Begitu Xavera kembali, Reiki menyunggingkan senyum. Meski kedekatannya dan Xavera kurang baik, tetapi ia tak bisa melupakan bagaimana Xavera menceritakan pengalamannya berkenalan dengan Reiki.

Xavera memandangnya aneh. Cewek itu duduk di sebelah Reiki tanpa ada kursi kosong yang memisahkan. Reiki menoleh, masih tersenyum. Pikirannya tertinggal sebagian di buku harian itu.

"Kenapa lo senyum-senyum?"

Reiki menggaruk tengkuk, kemudian memalingkan wajah. Ia menatap suster dan pengunjung rumah sakit yang berlalu lalang. Xavera memasukkan kertas di tangannya ke tas kecil.

"Ada hubungan apa lo sama Evano?"

Xavera terdiam. Ia nyaris tak bernapas. Dari mana Reiki tahu gue ada hubungan sama Evano? Batin Xavera. Jangan-jangan Evano cerita ke dia?

"Gue enggak ada hubungan apa-apa sama dia," jawab Xavera tanpa menoleh. Ia sibuk mengaduk-aduk isi tasnya.

"Kok lo enggak pernah cerita kalau kalian pernah pacaran?"

Xavera terdiam beberapa saat. Aroma obat dan oksigen bersatu memenuhi paru-parunya. Di tempat yang luas ini, ia merasa kesulitan bernapas. Satu sisi dirinya geram pada Evano.

"Kenapa gue harus cerita? Emang lo siapa?"

Reiki tersenyum mendengar suara ketus cewek itu.

"Oke, lo berhak enggak cerita." Reiki berbicara pelan, penuh penegasan. "Lo suka kan sama gue?"

Xavera terdiam. Kebenciannya pada Evano kini berganti penasaran pada Reiki. Dari mana cowok itu tahu? Kemudian, Xavera teringat buku harian di mejanya. Pasti Reiki membaca buku itu.

"Lo baca buku harian gue?" Xavera menoleh.

"Sebagian. Gue baca yang penting-penting aja, sih."

Xavera geram pada nada bicara Reiki yang terlalu santai seolah-olah tak bersalah.

"Oke, gue salah karena gue melanggar." Reiki memutar badan menghadap Xavera. Mereka bersirobok. "Tapi kenapa lo jauhin gue?"

Xavera terpaku menatap kedua bola mata Reiki. Tatapan tajam itu membekukannya. Hanya detak jantung yang menandakan ia masih hidup. Xavera tidak mungkin menceritakan kalau Evano mengadukan kelakuannya selama ini. Namun, bagaimana jika Reiki sudah membaca seluruh buku hariannya?

Xavera memalingkan wajah. Ia menghirup oksigen sebanyak mungkin, kemudian menenangkan diri. Reiki menyodorkan air mineral di sampingnya. Cewek itu meraihnya, kemudian meneguk airnya hingga tersisa setengah.

"Lo enggak perlu takut, Xav," ucap Reiki. "Kalau lo enggak suka, gue enggak bakalan maksa. Mungkin lo mikir, gue bad boy, jadi gue suka maksa orang gitu? Enggak, Xav."

Xavera merasa tak nyaman. Ucapan Reiki mengikis sedikit bayangan tentang sosok Reiki yang kasar, memakai narkoba dan suka memeras temannya.

"Udahlah, Ki," jawab Xavera. Ia tak mau berdebat di sini. "Gue udah tahu siapa, lo. Dan tolong, jangan pernah temui gue lagi. Minggu depan kita udah ujian, mending lo fokus belajar. Waktu gue sama lo udah habis."

Reiki mendesah, lalu menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi. Ia mengusap wajah dengan tangan. Cowok itu memandang langit-langit rumah sakit. Sadar atau tidak, air matanya menetes. Seperti ucapannya, ia tak ingin memaksa Xavera. Meski sebenarnya ia ingin jawaban pasti.

"Maaf, Ki. Gue juga enggak mau kayak gini." Xavera bangkit berdiri. "Tapi gue enggak bisa menerima sikap lo yang suka manfaatin orang lain. Kalau lo bisa jadi parasit buat teman lo sendiri, bukan gak mungkin itu juga berlaku buat gue."

Reiki tersentak. Ia menarik tangan Xavera.

"Apa maksud, lo?"

Xavera tak mau menoleh.

"Udah deh, Ki. Arvin udah cerita ke gue," katanya, lalu pergi.

Reiki melepas tangan cewek itu. Amarahnya membuncah. Kecurigaannya mulai terjawab. Siapa pun dalangnya, ia akan mendapat ganjaran yang setimpal.





Terima kasih sudah membaca!

Jangan lupa vote dan komen, ya.

Salam manis salam gemoy...!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro