Bab 19

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Reiki menunggu dengan gelisah di jok motornya. Kepalan tangan kanannya dibenturkan ke jok motor FU yang ia duduki. Arvin menunggu dengan tak kalah gelisah di sebelahnya. Meski Reiki sudah menjamin keselamatannya, Arvin tetap khawatir Evano akan nekat melukainya.

Siswa-siswi datang dan pergi. Pelataran parkir sekolah yang tadinya dipenuhi sepeda motor, kini mulai sepi. Xavera melangkah ragu saat melihat Reiki di parkiran. Cewek itu menutup kepala dengan kupluk hoodie-nya.

Reiki hanya mengamati saat cewek itu memasukkan kunci motornya dengan tangan gemetar. Meski ingin menyapa, Reiki berusaha menahan diri agar tidak mengatakan apa pun. Urusannya kali ini bukan dengan Xavera, meski berkaitan dengan cewek itu.

Reiki menemui Arvin tadi pagi, meminta cowok lugu itu menceritakan semua padanya. Awalnya Arvin takut, karena sebelumnya ia diancam akan dipukuli oleh Evano jika sampai buka mulut. Namun, karena tak tega pada Reiki yang kini dijauhi Xavera, Arvin membeberkan semua pada Reiki. Karena Arvin terlihat ketakutan, Reiki memberinya jaminan kalau Evano tidak akan menyentuhnya sedikit pun.

Xavera berlalu begitu saja. Hati kecilnya sangat ingin Reiki menegurnya atau sekadar menanyakan kabar Dheo. Namun, saat ia berlalu dan Reiki tak berkata apa-apa, sebagian diriya merasa ada yang kurang.

Tak lama setelah Xavera pergi, orang yang ditunggu tiba di parkiran. Evano mengernyit mendapati dua temannya masih ada di sana, padahal mereka tidak membuat kesepakatan untuk berkumpul di warung.

"Kok belum pulang, Ki?"

Reiki tersenyum. Kepalan tangannya mengendur. Meski dadanya disesaki amarah, Reiki berusaha meredamnya. Ia tak mau emosinya yang menggebu-gebu menyeretnya ke ruang BK. Meski sudah pulang sekolah, tetapi tetap saja ini masih di ruang lingkup sekolah.

"Ke tempat biasa, yuk. Hari senin, kan, udah ujian, kita enggak bakal bisa nongkrong di sana lagi." Reiki turun dari motornya.

Evano menggaruk kepala. Bukan tak ingin, tetapi ia tak punya uang untuk membeli sebatang rokok nanti. Memintanya pada Arvin rasanya mustahil.

"Ah, gue enggak bisa, Ki. Lain kali aja, ya."

Reiki mendekat, kemudian merangkul pundak Evano. Diperlakukan begitu justru membuat Evano sedikit khawatir. Meski mereka bersahabat dekat, Reiki tidak pernah seramah itu padanya.

"Tenang aja, Arvin bakal traktir kita," ucap Reiki. Cowok itu menoleh pada Arvin, kemudian menaikkan sebelah alisnya. "Ya, kan, Vin?"

Arvin diam sejenak, kemudian segera paham maksud Reiki.

"Ah, iya, Van. Itung-itung menyambut ujian hari Senin. Biar enggak tegang-tegang amat."

Evano tersenyum. Kalau ada yang gratis, kenapa harus ditolak.

"Boleh deh. Gaslah," ucapnya.

Mereka bergerak serempak ke warung langganan mereka. Seperti biasa, Arvin mengambil tiga Teh Gelas dingin. Evano duduk sendiri. Sementara Reiki duduk bersebelahan dengan Arvin membelakangi jalan.

Reiki menyedot Teh Gelas di meja, kemudian tersenyum pada Evano yang memandang curiga padanya.

"Enggak merokok, Van?" tanya Reiki. Cowok yang ditanya memelotot. "Bu, kasih Evano sebungkus. Entar Arvin yang bayar."

Evano tergagap. Ia hendak menolak, tetapi di sisi lain ia tak ingin menyia-nyiakan kesempatan berharga. Traktiran selalu membutakan pikirannya. Meski akhirnya Evano menerima rokok itu, sebagian dirinya bertanya-tanya ada apa di balik semua ini.

"Oh, ya, Van, gue mau tanya sama lo," ucap Reiki saat Evano menyalakan rokok di mulutnya. Evano mengembuskan asap putih.

"Tanya aja."

Reiki bergumam, lalu menoleh pada Arvin di sebelahnya. Cowok itu sibuk dengan ponselnya, membebaskan diri perdebatan yang mungkin akan terjadi.

"Sejak kapan lo putus sama Xavera?"

Evano terdiam. Matanya menatap tak percaya pada Reiki. Lidahnya kelu. Firasatnya mengatakan ada yang tidak beres. Dari mana Reiki tahu gue pernah pacaran sama Xavera? pikir Evano. Ia melirik Arvin yang mengabaikan obrolan mereka.

"Gue tahu dari Xavera, kok. Bukan dari Arvin," tegas Reiki.

Evano mengisap ujung rokok di tangannya. Kepulan asap putih kembali memenuhi atmosfer.

"Oh, jadi lo udah tahu kalau gue pernah pacaran sama Xavera?"

Reiki mengangguk.

"Ya. Termasuk gimana lo mengadu domba gue dengan Xavera."

Evano merasakan dunia seakan terbalik. Dadanya sesak, seolah-olah oksigen disedot habis oleh cowok yang kini melayangkan tatapan tajam padanya. Tak ada alasan untuk mengelak. Reiki sudah tahu kebusukannya, dan dapat dipastikan Arvin terlibat dalam hal ini.

"Vin, lo ingat, kan, apa yang pernah gue bilang?" tanya Evano.

Arvin mendongak, melihat Evano dengan takut. Kemudian, Arvin menoleh pada Reiki yang tersenyum.

"Lo ngancam Arvin, sama aja lo ngancam gue," ucap Reiki. "Gue enggak habis pikir ya, Van. Bisa-bisanya lo jadi parasit buat teman lo sendiri."

Evano berdeham. Ia meneguk ludah yang anehnya terasa begitu pahit.

"Kayaknya lo udah tahu sejak lama, kan?"

Reiki muak mendengar nada bicara Evano yang angkuh. Bahkan setelah terkuak, cowok itu masih bisa menyombongkan diri. Seharusnya, ia tak diberi kesempatan sejak dulu.

"Ya, gue udah curiga sejak lama. Tapi gue menghargai persahabatan kita bertiga, Van. Gue diam saat lo manfaatin Arvin, dan saat lo menutupi masa lalu lo sama Xavera. Gue enggak mau ikut campur masalah kalian. Tapi sayagnya, lo dengan sengaja melibatkan gue dalam masalah ini."

Evano mendengkus. Ia meletakkan rokoknya di asbak.

"Terus lo mau apa?" Evano menatap sinis pada Reiki. Meski dadanya kini dipenuhi rasa takut, ia berusaha mempertahankan harga dirinya. "Enggak mau berteman lagi sama gue? Silakan. Gue enggak peduli."

Reiki tak lagi bisa menahan diri. Kepalan tangannya terasa begitu ringan saat ia melayangkan tinju ke wajah Evano. Kepalan tangan Reiki mengenai pipi Evano. Cowok itu terjerembab ke samping. Darah segar menetes dari bibirnya yang terluka. Arvin yang sedari tadi sibuk dengan ponsel, kini menjauh dari meja.

"Bangun lo!" teriak Reiki. "Kalau lo enggak suka sama gue, kita selesaikan secara jantan. Jangan main belakang. Dasar pengecut!"

Evano menyentuh darah yang kini menetes ke dagunya. Pipinya lebam akibat pukulan keras dari Reiki. Satu kesalahan karena telah mencari masalah dengan mantan ketua geng tawuran. Namun, semua sudah terlanjur. Sebagai laki-laki, ia harus mempertahankan harga dirinya.

Evano melangkahi kursi, berjalan ke lantai kosong di samping meja. Wanita penjaga warung hanya diam, tak berani melerai. Reiki ikut berpindah, menghampiri Evano. Ia memasang kuda-kuda.

Tanpa basa-basi, Evano menendang perut Reiki. Cowok itu berhasil menangkis, kemudian melayangkan pukulan keras di perut Evano. Cowok itu mengaduh sembari memegangi perutnya yang perih.

"Ayo, jangan lemah dong. Kalau lo emang cowok, buktikan," tantang Reiki.

Evano menatap bengis pada Reiki. Meski keahlian bertarungnya tak sepadan dengan Reiki, ia tak ingin kalah tanpa menorehkan luka pada Reiki. Ia melirik sekitar, kemudian menemukan botol kaca di dekat lemari pendingin. Evano menyambar botol itu, kemudian berlari menghampiri Reiki.

Evano mengayunkan botol ke wajah Reiki. Percobaan pertama gagal karena Reiki bisa membaca gerakannya. Percobaan kedua dari arah berbeda juga gagal. Reiki berdecih menyadari Evano sama sekali tidak tahu caranya berkelahi.

Pada percobaan ketiga, Evano yang sudah terbakar amarah mengayunkan botol di tangannya secara membabi buta. Reiki kewalahan karena serangan bertubi-tubi. Secara refleks, ia menangkis botol yang nyaris mengenai kepalanya dengan pergelangan tangan. Bunyi pecahan kaca terdengar nyaring saat botol itu pecah dan berhamburan ke lantai.

Arvin menutup mata dengan tangan. Pergelangan tangan Reiki terluka. Darah mengucur dari tangannya. Saat ia lengah, Evano memanfaatkan kesempatan untuk menendang perut cowok itu. Tendagannya tepat mengenai dada Reiki. Saat itu Evano menyesali perbuatannya. Reiki tersungkur ke lantai, dadanya terasa remuk saat sepatu Evano mendarat di sana. Ia kesulitan bernapas, bahkan saat ia berusaha menghirup udara sebanyak mungkin. Tak lama kemudian, semua berubah gelap.




Terima kasih sudah membaca.

Semoga kalian masih menikmati cerita ini.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro