Bab 20

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Om Iki, tendang bolanya ke sini."

Dheo berlarian di lapangan. Reiki yang menggiring bola karet menendang pelan benda bulat itu ke arah Dheo yang kini berdiri di dekat gawang. Dheo berlari mengejar bola, kemudian menahan bola di kakinya.

"Kak, lihat Dheo!"

Xavera yang duduk di pinggir lapangan tersenyum. Cewek itu menyatukan telapak tangan, lalu mendekatkannya ke mulut.

"Ayo, Dheo. Kamu pasti bisa!"

Dheo mengambil ancang-ancang, kemudian menendang bola ke gawang tanpa penjaga. Bola menggelinding cepat ke arah gawang, melewati tiang hingga mengenai jaring. Dheo bersorak gembira. Xavera juga bersorak seraya bertepuk tangan di tepi lapangan. Reiki berlari menghampiri Dheo, kemudian mengangkat bocah gembul itu ke pundaknya.

Reiki memundak Dheo berkeliling lapangan, diikuti Xavera yang bernyanyi riang di belakangnya. Mereka berhenti setelah beberapa putaran. Dheo diturunkan di rumput. Reiki memanjangkan kaki. Kedua tangannya memijat betisnya yang terasa sakit.

"Om Iki capek, ya?"

Dheo bangkit berdiri, kemudian beranjak menuju penjual minuman di dekat lapangan. Xavera mengikutinya dari belakang. Reiki mendongak ke langit, menarik napas panjang. Namun, saat ia melihat ke arah perginya Dheo dan Xavera, dua orang itu sudah menghilang.

Reiki mengamati sekitar. Padang rumput luas menghampar luas di sekelilingnya. Sedari tadi, ia tidak menyadari betapa luasnya lapangan ini. Ia tak bisa melihat tepi lapangan ini. Gawang pun tak lagi terlihat di sana. Ia seorang diri.

Reiki mulai gelisah. Ia sangat yakin sebelumnya ia bermain bola dengan Dheo, dan Xavera memberi semangat pada mereka. Kedua orang itu hanya pergi sebentar, dan lenyap begitu saja. Reiki menepuk pipinya. Ia tak bisa merasakan apa-apa. Hanya ada kehampaan. Bahkan saat angin berembus meniupkan rerumputan, ia hanya merasakan kekosongan. Ia sendiri. Benar-benar sendiri.

"Xavera!"

Reiki berputar di tempat. Tak ada yang menyahut panggilannya.

"Xavera, lo di mana?"

Masih tak ada yang menyahut. Kekosongan itu semakin menyiksa. Tak seorang pun yang mendengar suaranya. Tak ada yang tetap bersamanya. Air mata mulai menetes di kedua pipinya.

"Apa gue udah meninggal?"

"Xavera!"

***

Clevo berbalik saat seorang cewek berambut panjang sebahu masuk ke ruangan tempat Reiki dirawat. Cowok itu terlihat lelah karena sudah menunggu adiknya siuman selama berjam-jam. Saat Reiki terjatuh dan tak sadarkan diri, Evano meminta bantuan orang sekitar untuk membawa temannya itu ke rumah sakit. Namun, begitu Clevo datang, cowok itu langsung pergi. Ia merasa bersalah atas musibah yang menimpa Reiki.

Xavera mendekat. Clevo menyunggingkan senyum lelah pada cewek yang tak dikenalnya itu.

"Gimana keadaan Reiki, Kak?"

Clevo mendesah. Ia menatap adiknya yang masih terbaring lemah di ranjang. Infus menjuntai dari tiang ke tangan kirinya. Tangan kanannya diperban karena luka akibat terkena botol.

"Kata Dokter enggak ada masalah serius, sih. Tapi dari tadi dia belum sadar."

Xavera berdiri di sisi kiri ranjang Reiki. Bibir cowok itu terlihat pucat. Melihatnya terbaring tak berdaya membuat Xavera merasa bersalah. Memori di kepalanya kembali berputar. Reiki yang sering bermain dengan Dheo, membantunya membawa Dheo ke rumah sakit.

"Tapi Dokter belum melakukan rontgen. Semoga aja lukanya enggak parah," tambah Clevo.

Cowok itu mengusap wajah. Ia juga terlihat lemas karena belum makan siang. Ibunya baru bisa datang setelah pulang kerja.

"Kakak udah makan?"

Clevo mendongak, kemudian menggeleng.

"Kakak enggak sempat makan siang," jawabnya. "Setibanya Kakak di sini, teman Reiki yang bawa dia ke sini langsung pulang."

Xavera mengernyit. Kenapa Evano ninggalin Reiki?

"Boleh Kakak tinggal sebentar, enggak?" tanya Clevo. "Bentar aja, kok. Kakak lapar banget."

Xavera mengangguk. Clevo meraih tas kecil di meja, kemudian meninggalkan ruang perawatan. Xavera duduk di kursi yang tadi diduduki Clevo. Cewek itu mengusap lembut kepala Reiki. Ia menggenggam tangan kanan cowok itu.

"Ki, lo cepat sadar, ya. Dheo kangen banget sama, lo," ucap Xavera.

Air mata menetes di pipinya. Bukan hanya Dheo, ia juga rindu pada sosok Reiki. Beberapa saat yang lalu, Evano mengirim pesan padanya. Cowok itu membeberkan semua kebenarannya dan meminta maaf. Hal itu pula yang akhirnya memaksa Xavera datang ke sini. Ia sangat terpukul.

"Ki maafin gue, ya. Gue enggak tahu kalau Evano berbohong." Ia mengusap punggung tangan Xavera. "Lo butuh jawaban dari gue, kan? Sekarang gue mau bilang, gue juga suka sama lo. Please, sadar, ya. Gue enggak mau kehilangan lo."

Segaris senyum terukir di bibir Reiki. Ujung jarinya bergerak pelan. Xavera mengerjap. Ia mengamati wajah Reiki lekat-lekat, berharap kedua kelopak mata cowok itu terbuka. Namun, akhirnya ia meneguk kepahitan. Reiki belum sadar sepenuhnya.

"Ki, sadar dong. Sebentar lagi kita ujian akhir semester. Lo harus buktiin kalau lo bisa naik kelas."

Xavera tak peduli pada orang di sekitarnya. Terserah dianggap tak waras, yang pasti ia berharap Reiki segera sadar. Mengulang pertanyaannya kemarin dan Xavera akan menjawab dengan lantang.

***

Seminggu berlalu dengan membosankan. Setelah dirawat di rumah sakit selama tiga hari, akhirnya ia diperbolehkan pulang. Namun, ia masih harus menjalani beberapa hari perawatan sebelum kembali beraktivitas. Beberapa teman sekelasnya datang menjenguk sehari setelah ia dibawa ke rumah.

Ini hari ketujuh cowok itu dirawat di rumah. Kondisinya sudah membaik. Minggu depan ia akan kembali ke sekolah untuk mengikuti ujian susulan. Selama dirawat, Reiki sangat ingin Xavera datang menjenguknya. Namun, ia berusaha menekankan ke dirinya sendiri bahwa Xavera tidak akan datang. Bahkan Evano yang membuatnya seperti ini, tak pernah menampakkan batang hidungnya.

Arvin yang datang beberapa hari yang lalu menyampaikan salam dan permintaan maaf dari Evano. Cowok itu merasa bersalah atas musibah yang menimpa Reiki. Ia belum siap menemui temannya itu.

Reiki menopang kedua tangannya ke ranjang. Ia bersandar ke dinding. Senja sudah tiba. Cahaya kemerahan menelusup lewat jendela kamarnya. Cowok itu meraih ponsel di nakas. Ia mengulir layarnya naik turun. Tak ada yang menarik. Ia hanya membalas pesan beberapa teman yang menanyakan kabarnya.

Reiki meletakkan kembali ponsel ke nakas. Ia hendak kembali berbaring saat mendengar samar-samar suara anak kecil di ruang tamu. Suara yang tak asing, sekaligus sangat dirindukannya. Tak lama setelah suara itu terdengar, pemilik suara lucu itu muncul dari balik pintu. Ia mengintip dari balik dinding, seolah-olah takut menemui Reiki.

Reiki tersenyum, kemudian bergeser ke tepi ranjang. Dheo menoleh ke belakang, kemudian mendekati Reiki. Dheo berdiri di dekat Reiki, kemudian menyunggingkan senyum. Xavera mengekor di belakangnya membawa kantung plastik berisi buah.

"Om Iki udah sembuh?" tanya Dheo. Ia tampak kegirangan bisa bertemu kembali dengan Reiki. Ia sering merengek pada Xavera agar Reiki datang ke rumah mereka.

Reiki tersenyum. Ia mengusap lembut kepala Dheo.

"Udah, kok. Makasih, ya udah datang jenguk, Om."

Dheo berlari ke luar kamar.

"Om Epan, ayo masuk," ajak Dheo. Reiki mengernyit saat Evano muncul di hadapannya. Cowok berkaus hitam polos itu melangkah dengan enggan. Rasa bersalah tersirat jelas di wajahnya. Ia duduk di sebelah kanan Reiki sementara Xavera di sisi kanannya.

Xavera berdeham, kemudian bangkit berdiri.

"Dheo kita main di luar, yuk."

Xavera menarik tangan Dheo, menuntunnya keluar dari kamar. Reiki memandangi sampai mereka lenyap di balik pintu yang menutup.

"Ki, mungkin kata maaf enggak cukup buat menebus kesalahan gue sama lo."

Evano terus menunduk, memandangi kakinya yang terbungkus jins hitam. Sebenarnya ia enggan datang ke sini. Rasa bersalah itu terus menggerogoti pikirannya. Ia malu bertemu dengan Reiki setelah apa yang terjadi. Namun, Xavera membujuknya agar meminta maaf secara langsung.

Reiki berdeham. Kedua tangannya ditopangkan ke tepi ranjang.

"Seperti kata, lo, kata maaf enggak cukup buat menebus kesalahan lo ke gue," jawab Reiki. Tangannya merangkul pundak Evano. "Tapi maaf adalah kata sederhana yang hanya mampu diucapkan orang berhati besar. Bahkan gue, belum tentu mampu ngucapin itu, Van."

Evano tersenyum. Air mata membasahi pipinya. Ia berbalik, memeluk erat Reiki.

"Makasih, ya, Ki. Gue kira setelah apa yang terjadi, persahabatan kita bakal berakhir."

Reiki mengusap pundak Evano yang bergetar.

"Van, yang diselesaikan masalahnya, bukan hubungannya."

Evano mengangguk.

"Eh, by the way, selamat, ya. Enggak sia-sia lo berusaha balikan sama Xavera."

Evano melepas pelukannya. Ia menatap heran pada Reiki.

"Gue sama Xavera udah jadi sahabat, Ki. Gue sadar, enggak semua bisa dipaksakan. Ini kesempatan buat lo nyatain perasaan lo ke dia."

Reiki tersenyum. Pikirannya melambung jauh.



Terima kasih masih membaca sejauh ini.

1 bab lagi menjadi akhir cerita ini.

Mungkin bab ini agak ganjil. Karena ada sesuatu hal yang menganggu konsentrasi. 😁😁
Semoga dalam waktu dekat, aku bisa revisi semua bab dari awal supaya lebih enak dibaca.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro