Bab 21-Ending

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Setelah berembuk dengan kepala dingin, akhirnya Winia dan Feo bercerai. Feo tinggal di rumah istri barunya, sementara Winia menempati rumah mereka sekarang bersama Clevo dan Reiki. Sejak cowok itu masuk rumah sakit, sikap Winia semakin melunak. Sebenarnya, sejak Reiki belajar bersama Xavera, Winia sudah mulai luluh. Ia turut senang akan perubahan pada Reiki.

Saat mengetahui anak bungsunya masuk rumah sakit, nalurinya sebagai ibu tak bisa berbohong. Ia benar-benar takut kehilangan Reiki.

Kini wanita itu tengah duduk di meja makan bersama kedua putranya. Suatu hal ganjil bagi Reiki. Sepanjang hidupnya ia nyaris tak pernah menikmati suasana sarapan seperti ini. Seperti ada kebahagiaan yang telah lama hilang, kemudian kembali secara mendadak.

Winia mengunyah suapan nasi di mulutnya. Ia menyunggingkan senyum pada Reiki yang entah sudah berapa kali melirik ke arahnya. Winia senang melihat kedua putranya duduk di meja makan. Tanpa perdebatan, tanpa kekecewaan.

Reiki masih tak percaya atas apa yang terjadi. Kedua orang tuanya bercerai. Suatu hal yang sangat ia takutkan sejak dulu. Sampai-sampai ia keluar malam menemui Raka. Meski Raka sudah memberi gambaran, bagaimana ia hidup sebagai anak broken home, Reiki tak pernah bisa membayangkan seperti apa hidupnya kelak. Karena ia ada di posisi tak diharapkan pihak mana pun.

Namun, melihat ibunya sarapan dengan damai, ia seolah bermimpi. Tak sedikit pun ia membayangkan bahwa setelah perceraian itu, ia akan menikmati sarapan dengan tenang di rumah ini. Bahkan ia tak menduga akan tetap tinggal di sini bersama orang yang ia sayangi. Sekuat apa pun Reiki mengulik kenyataan, ia tak bisa mengelak bahwa ia harus mensyukuri apa yang terjadi.

"Hari ini ujian terakhir, kan?" tanya Winia. Piringnya sudah kosong. Wanita itu meraih gelas berisi air putih, kemudian menenggaknya hingga tandas.

Reiki yang tengah mengunyah, mendongak. Ia menelan nasi di mulut, kemudian meminum sedikit air.

"Iya, Ma. Semoga Iki bisa menjawab soalnya dengan maksimal," jawab Reiki.

Karena menjalani perawatan seminggu lebih, Reiki terpaksa mengikuti ujian susulan. Hari ini ujian terakhir baginya. Setiap pulang sekolah, ia belajar tanpa henti sampai sore demi meraih nilai yang maksimal. Xavera juga turut membantunya. Cewek itu menghafal beberapa soal yang keluar saat ujian, kemudian memberi comtoh soal yangserupa pada Reiki. Meski Xavera bisa memberi beberapa kunci jawaban, tetapi ia ingin Reiki mendapat nilai yang murni.

Winia mendesah. Kedua tangannya menyatu di meja.

"Ki, Mama minta maaf kalau selama ini Mama memperlakukan kamu dengan kasar. Mama kadang sampai bentak kamu."

Reiki menyendokkan suapan terakhir ke mulutnya. Ia mendongak sebentar, kemudian meraih teko berisi air putih. Cowok itu mengisi gelasnya yang sudah kosong, juga gelas Clevo yang terisi setengah.

"Mama enggak salah, kok," jawab Reiki. Ia tersenyum, berusaha memecah kecanggungan di antara mereka. "Iki tahu kenapa Mama suka marah-marah. Selain karena Papa, Iki sadar kalau Iki kadang nakal. Iki tahu, kok, enggak banyak yang bisa diharapkan dari Iki."

Winia mendesah. Ia merasa bersalah sekarang. Reiki memang sudah berubah ke arah positif, tetapi ada rasa tak nyaman dalam dirinya mendengar penuturan Reiki. Anaknya itu tak sepenuhnya salah. Winia dan Feo-lah yang mengabaikannya sejak kecil. Mereka lebih banyak memberi perhatian pada Clevo yang memang sudah menonjolkan bakat sejak kecil.

"Ma, enggak perlu disesali," sela Clevo. "Yang penting, sekarang kita hidup tenang di rumah ini. Meski enggak ada Papa, tapi kita tetap keluarga, kan?"

Reiki tersenyum pada Clevo, lalu pada Winia. Wanita itu kini ikut tersenyum, meski setetes air mata membasahi pipinya. Andai ia sadar sedari dulu, akankah akhir cerita hidupnya akan seperti ini?

***

Reiki meletakkan tasnya di kursi paling belakang. Karena ujian sudah berakhir, siswa-siswi berkeliaran bebas di kelas dan lapangan, juga kantin. Reiki mengeluarkan pensil dan penghapus, kemudian bergegas ke ruangan guru.

"Sukses, ya, Ki," ucap Evano saat Reiki nyaris melangkah melewati pintu. Reiki berbalik, kemudian mengangguk seraya mengacungkan jempol. Ia bergegas melewati koridor. Saat melewati kelas X1, Xavera memanggilnya dari dalam kelas. Reiki berhenti, menunggu cewek berambut panjang itu berlari.

"Lo mau ke ruangan guru?"

Reiki mengangguk.

Xavera bergumam, kemudian masuk ke kelas. Ia kembali membawa beberapa lembar kertas.

"Bareng, ya. Gue juga mau ke sana," ucapnya.

Reiki tersenyum sebagai jawaban.

"Ini hari terakhir lo ujian, kan?"

Reiki menunduk sedikit, menatap wajah Xavera di sebelahnya.

"Iya, mata pelajaran matematika dan Bahasa Indonesia."

Xavera bergumam, kemudian berhenti. Reiki mengikuti gerakan Xavera. Kini mereka berdiri berhadapan.

"Gimana kalau gue nantang lo harus dapat nilai delapan untuk dua mata pelajaran itu?"

Reiki mengernyit. Ia bukan pakar rumus atau ahli bahasa. Dua pelajaran itu tidak ada yang disukainya sejak dulu. Matematika dengan segala rumusnya, Bahasa Indonesia dengan segala kemiripannya.

"Wah, susah dong. Tapi kalau ada hadiahnya, bisa aja, sih."

"Lo mau hadiah apa?"

Kini mereka kembali berjalan beriringan. Reiki bergumam. Ujung penanya diketuk-ketuk ke dagu.

"Apa, ya? Bingung gue. Lo aja, deh, yang nentuin."

Xavera diam sejenak. Ia memikirkan apa yang bisa membuat cowok di sebelahnya lebih semangat menjawab soal ujian.

"Ah, gimana dengan sekotak lolipop?" saran Xavera. "Lo, kan, suka banget sama lolipop."

Reiki menoleh, keningnya berkerut.

"Kata siapa gue suka banget sama lolipop?"

Xavera menoleh, menatap bingung cowok yang jelas-jelas kecanduan pada lolipop di sebelahnya.

"Lo, kan, emang kecanduan lolipop?"

Reiki tertawa kecil.

"Itu dulu, sekarang gue kecanduan sama lo."

Xavera merasakan pipinya memanas. Jantungnya berdetak cepat, paru-parunya sesak seakan oksigen berubah menjadi batu. Ini bukan kali pertama Reiki berkata manis, tetapi tetap saja ia tak siap setiap kali mendengar kalimat seperti itu. Terlebih Reiki bukan tipe orang yang romantis. Saat cowok itu berucap bak pujangga, Xavera selalu kecolongan.

"Tapi boong. Hayuuu, pal pale pal pale pal pale pal pale pale."

Reiki berlari saat Xavera hendak memukul bahunya. Mereka berlari sampai tepat di depan ruangan guru. Reiki berdiri ngos-ngosan. Ia menyandarkan punggungnya ke tembok.

"Capek, ya?"

Reiki mengangguk.

"Sama aku juga," tambah Xavera sembari menjulurkan lidah. Ia masuk lebih dulu, disusul Reiki yang menarik napas panjang.

***

"Gimana ujiannya tadi?" tanya Xavera yang duduk berhadapan dengan Reiki di meja kantin. Evano dan Arvin duduk di meja yang agak jauh dari mereka.

Reiki tersenyum. Ia memainkan sedotan di gelas jusnya.

"Lumayan berhasil. Kalau nilai 80 dapatlah," jawabnya enteng. Raut wajahnya menunjukkan bahwa ia sangat yakin atas ujiannya tadi. Xavera yang masih ragu, menatap lebih tajam pada Reiki.

"Oke mungkin lo bisa jawab soal matematika karena gue udah kasih rumusnya. Tapi Bahasa Indonesia?"

Reiki menoleh ke kanan, beberapa saat kemudian kembali pada Xavera. Ia menarik napas panjang.

"Bahasa Indonesia itu sebenarnya enggak rumit, asal kita tahu apa yang ditanya. Semua jawaban benar, sangat mirip, butuh ketelitian untuk menemukan yang paling benar. Sama kayak cinta. Kita hanya perlu memilih yang paling tepat."

Xavera mengernyit. Kok malah bahas cinta? pikir Xavera.

"Lo cuma perlu memilih dua pilihan sulit tetapi bakal menentukan seperti apa lo ke depannya. Mencintai atau dicintai. Dan gue memilih mencintai. Itulah kenapa gue yakin bisa dapat nilai delapan. Bingung? Gini. Gue memilih buat mencintai lo, meskipun lo enggak cinta sama gue. Kalau nanti gue enggak dapat nilai delapan, dan lo memilih buat ngejauhin gue, enggak ada masalah. Karena gue memilih mencintai, bukan dicintai."

Xavera nyaris berteriak histeris. Ia melihat sesuatu yang sangat berbeda dalam diri Reiki.

"Awalnya gue pengen dua-duanya. Gue pengen ketika mencintai, gue juga dicintai. Tapi, gue sadar. Gue enggak bisa memilih keduanya. Dan akhirnya gue memilih buat mencintai lo. Entah lo suka atau enggak sama gue, yang pasti gue cinta sama lo, Xav."

Xavera tak menjawab.

Reiki mendesah.

"Gue enggak bakal nembak lo."

Xavera membelalak.

"Kenapa?" tanya cewek itu.

"Karena, buat gue, ketika lo tahu kalau gue suka sama lo, secara enggak langsung gue udah nembak lo. Dan kalau lo juga suka sama gue, artinya lo nerima gue."

"Gimana lo tahu kalau gue juga suka sama, lo?"

Reiki menarik tangan Xavera.

"Gue enggak perlu tahu, dan lo enggak perlu bilang ke gue." Reiki menatap lembut cewek di depannya. "Cukup jujur ke diri lo sendiri. Biarkan keadaan yang berbicara."

"Caranya?"

Reiki mendesah. Raut wajahnya berubah muram.

"Gue bakal ikut Papa ke luar kota. Setelah nerima rapot, gue bakal pindah."

Xavera tak bisa menahan diri. Ia meneteskan air mata. Tangannya gemetar dalam genggaman Reiki.

"Tapi boong. Pal pale pal pale pal pale pal pale pale."



Terima kasih untuk semua sahabat pembaca yang sudah meluangkan waktu membaca cerita ini. Kalian terbaik!

Jika berkenan, boleh mampir ke ceritaku yang lain, ya.

Salam manis dari Reiki. 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro