Prolog

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Prologue :

Brakkk!

"Sialan!" umpatku.

Aku langsung keluar dari mobil dan melihat seorang gadis muda berlari meninggalkan sepedanya yang baru saja menabrak dengan cukup keras ke bagian belakang mobilku.

"Hey!!! Jangan lari!" Aku berteriak kencang ke arah gadis itu. Ia berlari dengan kencang, aku langsung mengejarnya dengan cepat.

Ia memasuki gang kawasan padat penduduk. Aku berlari kencang mengejarnya. Aku akan memberikan pelajaran padanya.

"Hey! Berhenti!" Aku berteriak kembali ke arahnya.

Saat aku berbelok mengikuti jejaknya, ia terjebak di sana. Di depannya hanya ada tembok tinggi besar.

Aku menyeringai.

"Heh! Mau kabur ke mana lagi?! Kurang ajar, sudah merusak mobil orang malah kabur!" Aku mengatur napasku.

"Minggir! Gue enggak ada urusan sama elo!" hardik si gadis depanku tampak pongah.

Ia sama sekali tak merasa bersalah karena telah menabrak mobilku.

"Tanggung jawab dengan mobil saya!" protesku.

Ia melirik ke belakang tubuhku, tapi aku tetap menatapnya. Aku tidak akan mudah dibohongi olehnya agar aku ikut menoleh ke belakang dan ia kabur lagi.

Ia tersenyum miring lalu berjalan mendekatiku dan ia meraih tanganku lalu meletakkan di dadanya.

Di payudaranya!

Shit!

What the fuck?!

"Hey!" teriakku panik.

Namun, ia menahan tanganku agar tetap berada di payudaranya.

"Tolong! Tolong saya pak, ada orang mesum!" teriaknya.

Lalu, kudengar langkah kaki cepat mendekat ke arah kami. Aku panik dan langsung berusaha cepat melepaskan tanganku yang sedang memegang payudaranya-ralat-tanganku ditahan olehnya agar tetap berada di payudaranya. Aku ingin berlari secepatnya dari sana sebelum orang-orang tersebut mengeroyokku.

Ia tersenyum miring melihatku panik dan berusaha kabur dari sana.

Bibirnya berucap, "bye bye." Tanpa suara dan tersenyum mengejek.

"Heh mana orangnya?! Kita gebukin!" teriak beberapa suara lelaki yang mulai mendekat.

Aku berlari sekencang mungkin, entah ke arah mana. Aku harus keluar dari tempat ini secepatnya.

"Brengsek!" Napasku masih memburu. Lelah berlari dari kejaran massa.

Padahal di sini aku korban, tapi gadis licik itu membalikkan keadaan, sehingga aku seperti seorang pelaku mesum dan abnormal.

Aku mengambil ponsel di saku celanaku dan menekan panggilan.

"Roy, jemput saya!"

"___"

"Saya di minimarket, nanti saya shareloc. Cepat yah!" Aku segera mematikan panggilan tersebut tanpa menunggu jawaban dari Roy dan memberikan lokasiku saat ini berada.

Aku bersembunyi di sebuah minimarket. Semoga saja Roy bisa datang menjemputku secepatnya.

Setelah sejam aku menunggu, akhirnya Roy datang dan tanpa menunggu lagi, aku segera keluar dari minimarket dan memasuki mobilnya.

"Lama banget!" hardikku.

"Slow bro, tadi lagi nyuci mobil. Tanggung antri," Roy langsung menjalankan mobilnya meninggalkan pelataran parkir minimarket.

"Kamu dari mana? Mobil kamu mana?"

"Saya kena sial hari ini," jawabku.

"Kenapa?" Roy masih menatap lurus ke jalan.

Dan aku menceritakan kejadian tadi yang menimpaku, tanpa mengurangi sedikitpun.

Roy tergelak, "ha...ha...ha..."

"Jadi, ada bocah yang berani nantang kamu? By the way, bagaimana ukuran payudaranya?" lanjut Roy.

"Sialan, jangan ketawa!"

"Jadi, bagaimana ukuran payudaranya?" Roy bertanya kembali setelah berdehem sesaat karena tertawa sangat keras.

"Shit! I don't know and i don't care with that fucking boost," kesalku.

"Wooooo, santai man! Sebenarnya kamu beruntung hari ini. Hari ini kamu menang tender dan sorenya bisa menyentuh payudara seorang gadis dengan gratis, bahkan dia yang menaruh tangan kamu ke payudaranya," Roy tertawa mengejek.

*****

"Halo, baby. Kenapa lama banget sih jemput aku?" suara centil Mona melewati gendang telingaku.

Ia langsung menghampiriku dan bergelayut manja di lenganku. Sungguh, aku risi sekali dengan sikapnya.

"Tadi ada pertemuan soal tender kemarin," jawabku cepat.

"Ini kan Minggu, kenapa kamu masih aja ngurus kerjaan?"

"Justru biar beres di hari Senin-nya. Saya enggak suka bikin kerjaan jadi numpuk."

"C'mon darling, aku kan udah datang kesini karena kangen sama kamu."

Aku diam saja, tak berniat menjawab dan meresponnya. Yang aku inginkan sekarang adalah, cepat-cepat sampai di rumah setelah mengantarkan Mona ke apartemennya.

Mobil ku lajukan dengan cepat sampai tujuan, yaitu apartemen mewah milik Mona.

Aku memarkirkan mobil di basement di lantai yang sama dengan unitnya. Aku bawakan kopernya dan dia tetap bergelayut manja di lenganku.

"Saya pulang!" pamitku pada Mona setelah meletakkan kopernya di ruang tamu.

"Tunggu!" Mona mengelus wajahku, seperti biasa.

"Aku masih kangen, tunggu sebentar," pintanya dengan nada manja. Seraya jemari lentiknya yang bercat warna merah meraba dengan sensual di dadaku.

"Ayolah, sayang. Stay here, please! I miss you so bad!" ucapnya lagi karena aku tidak menjawabnya.

Aku menatapnya agak lama dan ia mencium ceruk leherku seraya menjilatinya. Tubuhku meremang, walaupun aku tidak menyukainya, tapi aku tidak munafik bahwa tubuhku tidak menolak dengan yang ia lakukan.

Tanpa berpikir lebih lama lagi, aku mendorongnya di sofa panjang tak jauh dari tempat kami. Aku pagut bibirnya dengan kasar dan brutal, kulepaskan semua kain yang menempel di tubuhnya.

Dengan tergesa, aku menurunkan ritsleting celanaku hanya setengahnya tanpa berniat melepas kaosku. Mona berada tepat di bawahku, ia menikmatinya. Ia memandangiku dengan penuh takjub dan terangsang sepenuhnya.

"Di mana?" Aku bertanya.

"Apa?" tanyanya bingung.

"Kondom."

Ia menunjuk kamarnya dan aku mengangkat tubuhnya seraya memagut bibirnya dengan tetap berjalan menuju kamarnya.

Mona, berusia 29 tahun. Ia teman sejak kecilku, adik kelasku, tetanggaku. Sejak kecil kami hidup bersama karena kami memang bertetangga. Awalnya aku tidak keberatan dengan sikapnya yang selalu menempel denganku.

Namun saat SMA, ia menyatakan perasaannya padaku, ternyata dia mencintaiku. Tentu saja aku langsung menolaknya, ia sudah kuanggap seperti adikku sendiri.

Namun justru di situlah kesialanku. Setelah penolakanku, ia mengurung diri di kamarnya dan tidak mau makan. Orangtuanya tidak tahu-menahu soal itu. Mereka semua cemas.

Lalu terdengar suara jeritan dan tangis dari kamarnya, ayahnya, ayahku dan aku mencoba mendobrak pintu tersebut. Saat belum berhasil mendobraknya, aku berinisiatif memasuki kamarnya lewat balkon jendelanya dengan memanjat pohon yang mengarah ke kamarnya.

Orangtua kami menunggu dengan cemas di luar kamar Mona.

Saat aku sampai di balkonnya, aku membuka jendela kamarnya dan segera masuk ke kamarnya. Wajahnya berantakan, kamarnya hancur, tangisannya penuh pesakitan.
Aku mendekat dan ia menatapku dengan nanar.

"Kalau kamu tolak aku, aku akan bunuh diri, Naga!" ucapnya kala itu.

Ia mengeluarkan cutter dari balik tangannya dan mengarahkan ke bagian nadi pergelangan tangannya. Tentu saja aku panik setengah mati.

Aku berusaha bicara baik-baik tetapi ia tak mau mengerti. Ia hanya ingin mendengar jawaban 'iya' dariku. Lalu dengan nekat, ia mendekatkan cutter tersebut di pergelangan tangannya sambil menangis.

"Lebih baik aku mati daripada kamu tolak!"

Seketika aku langsung meng-iyakan tawarannya. Dan ia sangat senang mendengarnya. Bahkan cutternya ia lempar dan langsung mendekap tubuhku dengan erat.

"Aku mencintaimu, Naga," serunya sambil memeluk tubuhku.

Aku hanya diam mematung.

Seterusnya seperti itu, jika aku dekat dengan wanita lain, ia akan berlaku posesif padaku. Bahkan pernah ia memukul wanita yang ternyata ketahuan menyukaiku.

Setahun lalu aku sudah bilang tidak ingin melanjutkan hubungan ini lagi. Dan ia kembali melakukan hal nekat. Ia menelan obat tidur dengan dosis yang banyak, sehingga ia harus dilarikan ke rumah sakit.

Mungkin dia memang terobsesi padaku, hingga nekat melakukan hal gila seperti itu.
Aku sudah katakan padanya, hubungan ini kami anggap saja seperti friend with benefits.

Pertama kali aku melakukan seks dengannya saat aku masih kuliah. Namun tentu saja bukan aku yang memerawaninya. Aku tidak akan melakukan hal itu, karena aku memang tidak berminat dengannya.

Ia kehilangan perawannya oleh teman seangkatanku di kampus. Aku tahu karena Aldi yang memberitahuku. Ya, Aldi yang pertama kali menidurinya.

Murahan sekali!

Katanya mencintaiku, tapi ia bisa melakukan seks dengan siapapun. Saat ia menggodaku, aku pun tak keberatan melakukan seks dengannya. Tentu saja menggunakan pengaman. Aku tidak mau melakukan hal bodoh, sampai ia hamil anakku.

Aku tidak ingin memiliki istri seperti dia. Atau lebih tepatnya, aku tidak mau menikah dengan Mona.

Wanita penuh obsesi dan licik.

Kembali lagi saat ini...

"Darling, kenapa kamu selalu aja nggak mau melepas pakaian saat kita sedang making love?" tanyanya masih berbaring dengan keadaan polos.

"Saya sudah enggak tahan," jawabku asal.

Padahal, aku memang tidak berniat memperlihatkan tubuhku padanya.

"Dan satu lagi, kita bukan making love. We're just having a sex," ralatku.

Aku melakukannya tidak pakai perasaan.

"Oh, ayolah, sayang. Kita sudah lama bersama, masa kamu enggak ada cinta sama aku?"

"Dengar! Saya melakukan ini karena saya enggak mau kamu melakukan hal bodoh lagi dan saya enggak mau menerima rasa bersalah karena perbuatan bodoh kamu itu!" ucapku sarkas dan dingin.

Dia diam dan menatapku datar.

Aku tidak peduli!

"Saya pergi!" pamitku tanpa menunggu jawaban apapun dari mulutnya.

Setelah sampai di basement dan memasuki mobilku, aku menghela napas kasar. Aku meremas setirku, aku kesal, benci dengan diriku.

Aku ingin mengakhiri ini semua, tapi aku belum tahu caranya bagaimana. Aku tidak mau menanggung rasa bersalah karena Mona bunuh diri. Aku ingin berpisah darinya dengan perasaan lega.

Aku mengeluarkan ponselku dan menghubungi seseorang.

"Halo..."

***

Lanjut?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro