3. The Journey (spesial HUT RI)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Juli 2024

Seorang pemuda masuk ke mobilnya. Dia duduk di kursi kemudi. Memasang gawainya pada handler. Tertera namanya di layarnya, Rizal. Sebuah permintaan muncul di aplikasi driver online. Dengan bahagia, tombol setuju ditekan.

Setelahnya dia chat customer, 'sesuai titik ya teh'.

'iya a,' balas Dewi Sri, customer-nya.

Tancap gas mengikuti maps. Untuk belok di pertigaan, Rizal mengandalkan polisi cepek. Kacanya dibuka, tangannya keluar, dan memberikan selembar uang lima ribu padanya.

"Nuhun," kata si polisi cepek.

Lalu dia menyetop kendaraan agar Rizal bisa berbelok. Kaca mobil sengaja tidak ditutup, ingin menikmati angin alami sebelum bertemu customer. Membuat bendera merah putih di atas dashboard berkibar.

Perempatan muncul di depan, dia harus belok lagi. Begitupun polisi cepek yang berdiri di tengah jalan, sembari mengatur lalu lintas. Banyak sekali persimpangan di Kota Bandung yang tidak diurus, jadi jangan heran kalau pekerjaan ilegal ini merajalela.

Seperti yang biasa dilakukan, Rizal mengambill selembar dua ribuan. Kacanya sudah terbuka, tinggal mengeluarkan tangan.

"Nuhun, a." Si polisi cepek menerimanya.

Menit demi menit berlalu. Rizal sudah dekat dengan titik penjemputan. Kaca mobil ditutup, selain karena menjalankan SOP, tapi angin sudah enggan bertiup.

Cahaya matahari juga semakin menyengat panas, padahal ini baru jam 9, tapi sudah 35 derajat. Awan yang menutupi langit juga tidak bisa melindungi.

Jalan yang selebar dua mobil, dengan aspal yang sudah tidak hitam. Di kanan kiri banyak sekali yang berjualan minuman dingin. Seperti bukan di Bandung. Bahkan Rizal sempat terbatuk karena udaranya.

Ada persimpangan di depan. Seperti yang diduga, polisi cepek ada di sana. Seperti biasa juga, Rizal ikhlas memberikan uangnya karena dibantu belok.

"Makasih, bang."

Rizal merasa aneh. Jawaban yang tidak biasa. Dia melihat ke gawainya yang terpasang di handler. Aplikasinya memuat ulang dan setelahnya membuat pemuda itu mengucapkan satu kata.

"Hah?"

Maps menunjukan dia ada di bekasi. 130 Kilometer dari titik penjemputan yang ada di Bandung. Rasa ingin tiba-tiba berhenti tapi jalannya sedang sibuk.

Dengan bingung, Rizal mencoba ke masjid untuk parkir. Setidaknya ada ruang untuk menenangkan diri dan berpikir.

***

"... Jadi gitu ceritanya saya ada di Bekasi, Pak Ustadz. Kira-kira kenapa, ya?" tanya Rizal.

Dia sudah tidak tahu harus berbicara pada siapa.

"Itu adalah ujian, yang harus kamu lakukan sebagai hambanya adalah menyelesaikannya. Ngomong-ngomong saya punya teman psikolog," tawar Pak Ustadz.

"Tidak usah, terimakasih. Wassalamu'alaikum." Rizal pergi. Meninggalkan seseorang yang kasihan padanya.

Jarum jam sudah menunjukkan pukul satu siang. Hari yang cukup panas, bahkan ketika mencuci tangan airnya terasa lewat begitu saja tanpa meninggalkan kesan sejuk.

Pemuda itu langsung masuk ke mobilnya dan menyalakan mesin. Meletakan gawai di handler dan mengetuknya. Penumpang yang tadi sudah lama membatalkan. Rizal membuka maps, lalu mengetikan Bandung. Ternyata sekitar 3 jam perjalanannya dari Bekasi.

Tanpa menjawab pertanyaan di otak, Rizal fokus ke apa yang bisa dia lakukan. Pulang. Namun, menit demi menit, mobilnya hanya diam di depan masjid. Macet.

Tidak sabar, tangannya mengetuk-ngetuk gawai. Mencari jalan alternatif. Yang semula ingin belok kanan, berganti karena diarahkan ke kiri.

Setelah satu kilometer berjalan, persimpangan muncul lagi. Seperti biasa polisi cepek sibuk mengatur jalan.

"Makasih, bang." Katanya setelah diberi uang receh oleh Rizal.

Mobilnya berbelok ke kiri. Area yang lebih banyak pohon. Semakin jauh mobil berjalan, jarak antar rumah semakin merenggang. Aspal juga sudah tergantikan oleh tanah. Terlalu bingung dengan situasinya, Rizal bahkan tidak sadar bahwa satu-satunya kendaraan di dekatnya adalah mobil truk yang belakangnya didindingi dan diatapi oleh kain hijau tebal yang berlubang, seperti jendela.

Truk itu mendahului. Semua kepala penumpangnya melihat ke arah Rizal, atau lebih tepatnya adalah mobilnya. Dari spion, mobil safari tanpa atap ada tepat di belakangnya. Berisi 6 orang bule berseragam tentara. Mengawasi.

Sebuah cat menggambarkan bendera 3 warna ada pada kedua mobil itu. Merah, putih, biru.

"Tunggu..., apa maksudnya ini? Apa jangan-jangan aku di...."

Agustus 1935

Troek depan melambat hingga akhirnja berhenti. Memboeat Rizal maoe 'tak maoe ikoet berhenti. Beberapa tentara toeroen dari belakang dan depan. Mengepoeng. Djantoengnja berdetak kentjang ketakoetan, melihat sendjata berlaras.

"Keloear," kata salah satoe dari mereka dengan logat eropa jang kental. Sepertinja komandan ataoe sesoeatoe, sebab seragamnja berbeda sendiri.

Tidak ingin mati, Rizal menoeroetinja. Dia keloear dari mobil. Pintoe jang terboeka memperlihatkan bendera merah poetih ketjil di atas dashboard.

"Pemberontak!" teriak si komandan.

Sendjata berlaras langsoeng menodong kepala Rizal. Tangannja dikoentji dari belakang. Kakinja ditendang sampai berloetoet.

"Siapa atasanmoe?" Lagi-lagi si komandan.

"...." Rizal diam, terlaloe bingoeng sekaligoes takoet oentoek mendjawab.

"Saja bilang djawab!" Sepatoe boots hitam itoe mengambil antjang-antjang dan—

"MERDEKA!" Teriakan entah moentjoel dari mana.

Bersamaan dengan soeara tembakan dan poeloehan peloeroe menghoedjan.

Lima kompeni toembang. Granat dilemparkan entah dari mana, menghantam troek tepat di bagian bahan bakar. Ledakan dahsjat menghantjoerkan troek. Bahkan poeingnja terlempar dan membakar mobil Rizal.

Jang mpoenja, Rizal, menoetoep mata. Tidak koeat dengan gelombang kedjoet dan panas seketika.

"Kaoe tidak apa-apa boeng? Ajo ikoet kami," kata seseorang tanpa aksen boele.

Roepanja itoe tentara Indonesia. Terlihat dari seragamnja jang beratriboet petji. Rizal menganggoek, masih tidak bisa bitjara.

Langsoeng sadja tangannja digenggam. Dibawa lari mendjaoehi medan perang. Ternjata mereka bersemboenji di balik gelapnja hoetan.

September 2045

Namun tetiba saja pemandangan pepohonan berubah jadi lautan manusia. Rizal berpindah lagi. Mereka membawa spanduk bertuliskan: "Revolusi harga mati", "era reformasi = orba yang dipercantik", "Indonesia cemas 2045", "Nusantara baru, masalah baru."

Rasa sakit akibat ledakan masih menyelimuti. Ditambah senggolan dengan sejumlah orang beralmamater kampus membuatnya semakin parah.

"Turunkan senjata kalian!" teriak si polisi dari jauh. Sembari mereka menodongkan gas air mata ke para demonstran.

Seseorang dengan almamater hijau keluar dari barisan. Maju paling depan, sampai ada di tengah-tengah antara demonstran dan polisi.

"Turunkan dulu Yang Mulia Presiden dari jabatannya!" Teriaknya dengan megafon. Seraya disambut dukungan teman-temannya dibelakang.

Di samping Rizal, seorang jurnalis menjalankan tugasnya. "Pemirsa, saya Resti melapor dari Ibu Kota Nusantara, tepatnya di depan istana negara. Mahasiswa dari Sabang sampai Merauke berkumpul untuk berdemo menuntut Presiden. Seperti yang kita lihat, ada salah satu demonstran yang dikenal sebagai Kripik—"

Seseorang menyenggol Rizal yang keras. Membuatnya terjatuh.

Oktober 2075

Terjatuh di hamparan daun gugur. Kulit Rizal semakin sakit. Namun waktunya pas untuk berpindah. Sepertinya dia agak mulai terbiasa. Dengan enggan, melihat sekeliling.

Entah dimana. Namun semua orang berlomba-lomba menggugurkan pohon dan selfie dengan bahagia.

"Halo, aku Hicchan, vtuber imut kalian. Jadi sekarang aku mau ngikutin yang viral itu loh. Yap, apalagi kalau bukan bikin musim gugur di Indonesia. Betewe, jangan lupa voting aku di pilpres nanti, ya," kata sebuah robot ke drone kecil di depannya. Penampilannya seperti cosplayer.

"Dasar anak zaman sekarang, kok bisa, sih, mereka milih presiden dari popularitas doang. Katanya merdeka, tapi kok gampang banget di setir?" sindir seorang nenek. Sepertinya nenek ini gen z.

XXXXX XXX

Rizal kini terdampar lagi. Orang-orang dengan bertelanjang dada sedang mengangkut. Batu persegi panjang itu dibawa ke sebuah konstruksi candi.

XXXXX XXX

Tubuh pemuda itu mendarat di sisik keras. Rasanya seperti kerikil yang berbentuk seragam. Sisik itu menggeliat, rupanya dia ada di atas ular raksasa.

Yang setelah di perhatikan lagi, dibelakangnya terdapat Raksasa. Makhluk itu sebesar pohon kelapa.

XXXXX XXX

Kali ini dia mendarat di taman bunga. Tidak empuk tentu saja. Membuat badannya semakin sakit. Seperti biasa, Rizal melihat sekeliling.

Ada sebuah pohon besar di tengah padang bunga yang indah. Lebih tinggi dari si raksasa. Payungnya luas. Udaranya juga lembut dan sejuk.

Seorang wanita dengan pakaian tradisional seperti dewi, ada di bawah payung pohon. Tangan kanannya menyiram bunga, yang kiri penuh dengan padi.

Tidak ada gadis manapun yang bisa menandingi kecantikannya. Lengkap dengan mahkota dan selendang. Seluruh lelaki pasti tunduk.

Dia menengok ke arah Rizal. Wanita itu tersenyum. "Selamat datang di kayangan. Rizal, kau pasti lelah dan terluka. Mari sini," katanya.

Kaki pemuda itu otomatis dengan perlahan berjalan. Sang Dewi dengan cepat mencabut beberapa daun tanaman serta biji yang sudah dihaluskan. Setelah sudah cukup dekat. Beliau mengobati Rizal dengan apa yang sudah dikumpulkan. Ajaib, hilang sepersekian detik lah rasa sakitnya.

"Perkenalkan, namaku Dewi Sri. Apa kamu sudah bisa bicara?" tanya sang dewi dengan lembut.

"B-bisa. Se-sebenarnya ada apa ini?." Rizal masih bingung dengan segalanya.

"Sesuatu yang besar melebihi perang kurushetra akan terjadi. Bukan hanya Nusantara, tapi juga ketiga jagat juga akan menanggung akibatnya. Aku memberimu ajian untuk mempersiapkannya. Namun kamu merdeka memilih mau berpihak pada siapa."

"Tunggu, apa maksudnya 'sesuatu yang besar' itu?"

"Bala Raya." Sang Dewi tersenyum, dengan matanya yang tiba-tiba sembab. Entah sedih atau bahagia.

Bersambung

Eh jangan di close dulu, dibawah ada anu

btw, aku bukan nasionalis ya
aku menyebutnya "indonesian antusiast"

https://www.youtube.com/watch?v=rjhIMMSolmc

Nih dengerin, teteh yopi waktu tokecang sangat-sangat uzyywhsubwgusjwi

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro