2. Kayaknya Ada Kesalahpahaman

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Bang, kayaknya ada kesalahpahaman di sini!"

Saat keluarga besar mengusulkan agar kami memisahkan diri dari seluruh tamu untuk saling mengenal satu sama lain, aku segera menggunakan kesempatan itu dengan baik. Tanpa tedeng aling-aling, aku mengutarakan isi hatiku di depan Bang Domu. Inginku menatap kedua bola matanya mantap untuk menunjukkan keseriusan ucapanku, tapi sepertinya mataku malah menjelajah ke seluruh gumpalan daging pada tubuhnya. Aku baru menyadari tingkah konyolku itu saat melihat Bang Domu mulai mengikuti arah pandangku.

"Di sini maksud kamu ... di perut saya?" tanyanya persis saat mataku berhenti pada perutnya yang buncit.

Aku mengangkat kepala, menggeleng kuat. "Bukan-bukan! Maksud saya, di perjodohan ini, Bang!"

Bang Domu mengusap dagu. "Saya dengar dari Mama, kamu sendiri yang menyetujui ide perjodohan ini. Lalu, di mana letak kesalahpahamannya?"

"Iya, saya memang setuju untuk dijodohin. Tapi bukan langsung lamaran kayak gini, Bang!" aku nyaris memekik saking gemasnya.

"Boleh saya tahu, kenapa kamu setuju dijodohin sama saya?"

Pertanyaan itu terlontar dengan sangat santai, tanpa riak emosi ataupun nada menyudutkan. Tapi kalau aku bilang karena dia adalah cinta pertamaku, tentu saja kami nggak akan bisa mundur. Jadi aku berusaha memodivikasi jawaban agar terdengar dewasa dan masuk akal.

"Ya karena saya pikir kita bakal melewati masa penjajakan dulu. Nggak mungkin ujug-ujug langsung nikah, kan? Kita perlu saling mengenal satu sama lain, membangun chemistry, menilai kecocokan ... nah, kalau semua itu bisa lewati dengan baik, baru deh kita ke tahap selanjutnya."

Bang Domu tersenyum lembut. "Anggap saja ... semua tahap yang kamu katakan itu sudah kita lewati dengan baik. Dan, di sinilah kita sekarang. Tahap selanjutnya."

"Ya, nggak bisa gitu dong! Kan—"

Suaraku tenggelam saat kedua tangan gempal Bang Domu memegangi lengan kiri dan kananku. "Percaya sama saya, ketakutan kamu nggak akan terjadi. Karena saya akan melakukan apapun untuk membuat kamu yakin saya adalah pria yang layak untuk menjadi suamimu. Saya janji ... saya akan melakukan apa saja untuk kamu."

"Termasuk ... nurunin berat badan?"

Bang Domu membawa pandangannya pada tubuhnya yang bengkak, lalu mengangguk. "Kalau itu yang kamu mau."

Sebentar-sebentar! Ini sedikit aneh. Bukankah semua kalimatnya terdengar berlebihan? Apalagi ... ini adalah pertemuan perdana kami setelah sekian lama tak berjumpa. Jangan lupakan sejarah hubungan kami yang hanya sekadar tetangga. Harus kugaris bawahi kalau selama ini hanya aku yang memendam cinta diam-diam untuknya. Kalaupun semua kalimat itu terucap, harusnya bukan dari bibirnya, melainkan dari bibirku.

"Bang Domu ... cinta sama saya?" tanyaku, memastikan.

Aku bisa merasakan remasan tangannya yang semakin erat di kedua lenganku, sebelum menjawab. "Kalau itu yang kamu perlu, saya janji akan mencintai kamu."

Akan? Berarti belum?

"Bang Domu janji akan melakukan apa saja agar lamaran ini tetap dilangsungkan kan?" Dia menjawab dengan anggukan mantap. "Kalau gitu saya minta kejujuran. Saya nggak mau dibohongi."

"Saya janji akan selalu jujur sama kamu."

"Saya mau tahu alasan yang sebenarnya. Kamu belum cinta sama saya. Kenapa kamu rela melakukan apa saja untuk menikahi saya?"

Bang Domu melepaskan pegangannya pada lenganku. Matanya beralih menatap rombongan tamu yang masih sibuk dengan obrolan masing-masing di ruang tengah. Senyumnya terkembang tulus dan dalam saat memerhatikan Bou Anggun tertawa riang di antara obrolannya dengan para tamu lainnya.

"Saya nggak pernah lihat Mama sebahagia ini, sebelumnya," katanya dengan suara lirih. "Saya udah terlalu banyak membuat masalah hingga Mama sedih dan menderita. Saya hanya ingin Mama bahagia. Dan kamu...," Bang Domu mengalihkan pandangannya untuk menyorot mataku, "adalah kunci untuk kebahagiaan Mama."

**

"Aku sih nggak ngeliat ada masalah di sini. Dia cinta pertamamu. Dia bersedia diet. Dan, dia rela melakukan apa saja untukmu. Problem solved!" seru Jihan, yang segera ditepis oleh Sukma.

"Problem solved gimana? Justru di situlah masalah terbesarnya. Dia memang rela melakukan apa saja, tapi semata-mata karena ibunya, bukan karena Pinkan! Artinya dia nggak cinta sama Pinkan. Dan tolong, jangan lupakan masalah terbesarnya adalah dia itu cowok gagal move-on!"

Belum juga dua jam yang lalu kami mendengarkan khotbah Pendeta tentang hidup damai dan penuh kasih lewat kebaktian di Gereja, Jihan dan Sukma sudah lupa untuk menerapkannya. Mereka justru berdebat dengan suara tinggi di dalam kamarku. Masih dengan pakaian rapi karena sepulang ibadah kami langsung mengadakan rapat untuk membicarakan kelanjutan kisah perjodohanku.

"Ya, tapi kan dia juga udah bersedia untuk mencintai Pinkan!" balas Jihan, tak mau kalah.

"Emangnya bakal semudah itu? Ini kita lagi ngomongin soal hati, lho! Kalau memang semudah itu pindah ke lain hati, harusnya dia nggak perlu sampai melar gitu badannya!" Saat Jihan terlihat siap untuk menyela, Sukma dengan cepat menambahkan. "Please, jangan pura-pura nggak tahu kenapa dia jadi bengkak gitu! Kita udah sama-sama dengar sendiri pengakuan dari keluarganya semalam, kalau dia stress berat waktu ditinggal nikah. Sampai nggak bisa ngontrol makannya sendiri dan akhirnya gendut kayak sekarang!"

Jihan terdiam. Nggak mampu mendebat Sukma lagi.

Sebenarnya, isi perdebatan mereka sama persis seperti pergulatan batinku. Aku tiba-tiba merasa nggak siap dengan semua ini, tapi juga nggak bisa mengelak karena semalam lamaran resmi berakhir dengan lancar tanpa protes dariku. Bahkan saat Bou Anggun mengusulkan agar pernikahan dilangsungkan dalam waktu enam bulan lagi, aku menerimanya begitu saja. Dan alasan itulah yang melatarbelakangi rapat dadakan yang sedang berlangsung ini.

"Gini aja deh, mumpung masih ada waktu, kita liat aja dulu keseriusan Bang Domu. Dia janji bakal diet kan? Kalau dia benar-benar bisa menepati janjinya, mungkin dia memang layak dipercaya." Jihan memberi usul. "Diet itu kan butuh komitmen, ya! Komitmen sama diri sendiri, at least. Kalau dia bisa memenuhi komitmen itu, harusnya dia bisa dipercaya dong!"

"Kamu kayaknya belum paham masalahnya, Ji! Menerima perjodohan ini sama aja kayak memelihara bom waktu. Syukur-syukur meledaknya sebelum pernikahan benar-benar terjadi. Gimana kalau bom waktu itu justru meledak setelah pernikahan terjadi? Pinkan bisa berakhir menjadi janda dan kita semua tahu itu adalah hal terakhir yang kita inginkan di muka bumi ini!" Sukma akhirnya melontarkan poin utamanya.

Ya, itu juga adalah bagian dari kegalauku.

Dan itu adalah poin terpentingnya.

Cinta.

Satu kata yang ajaib sekaligus mengerikan. Aku tahu apa-apa saja yang bisa dilakukan satu kata itu. Bukan hanya tentang tawa, canda, nyaman dan kebahagiaan. Tapi juga pahit, sakit dan kehancuran.

Dan sekarang ... aku jelas-jelas sedang mempertaruhkan semuanya dengan perjodohan ini.

"Trus ... sekarang aku harus gimana dong?"

Pertanyaanku dijawab dengan dua reaksi berbeda.

"Putuskan Bang Domu secepatnya, Pinky! Jangan sampai terlalu terlambat untuk menyesali. Kalau dia masih kekeuh, aku janji bakal bersedia bantu bikin dia ilfeel sama kamu. Biar dia sendiri yang memilih mundur," jawab Sukma mantap.

Pilihan yang cukup bagus. Sebesar apapun cintaku untuk Bang Domu nggak akan pernah cukup kalau nggak saling berbalas.

"Kalau menurutku...," Jihan mendramatisir dengan tatapan tajam dan suara yang dalam. "Kamu harus buat Bang Domu benaran jatuh cinta."

🌞🌞

Hayooo.. kamu tim Sukma yg mau bikin Bang Domu ilfeel aja?

Ato tim Jihan yg mau Bang Domu jatuh cintrong sama Pinkan?

Sementara simpen aja dl ceritanya di library yaa, aku bakal lanjutin begitu cerita Bastian selesai.
Nantinya bakal diupdate rutin per minggu.

Nantikan Pinkan dan Domu yaaa 💋


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro