3. Ilfeel nggak? Ilfeel dong? Ilfeel kaaaannnn...?

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Untuk menjawab kegalauan yang menerpa, aku mencari bala bantuan dengan membuka polling kecil-kecilan di part terbaru ceritaku di wattpad, dengan sengaja meminta pendapat para pembaca tentang kisahku. Hasilnya? Pembacaku lebih banyak ngedukung Jihan. Untuk membuat Bang Domu jatuh cinta saja.

Yang benar saja?

Masa aku harus mengikuti hasil polling itu?

Masalahnya, ini tentang masa depanku, lho. Mana boleh aku mempertaruhkan masa depanku dengan sebuah polling yang hasilnya berasal dari suara orang-orang yang nggak benar-benar mengenalku?

Maka akhirnya kuputuskan untuk mengikuti saran Sukma saja. Untuk membuat Bang Domu ilfeel. Se-ilfeel-ilfeel-nya!

Kenapa? Karena, hei, aku ini penulis cerita romansa. Erotis pula. Aku seringnya ngebayangin kisah cnta yang super romantis dengan calon suami yang seharusnya—paling enggak—mendekati karakteristik tokoh-tokoh fiksi ciptaanku. Seksi, atletis, bucin, dan yang pasti, semua itu nggak mewakili Bang Domu sama sekali.

Lagipula, kayaknya lebih baik aku menjaga perasaan kagum dan cinta monyet yang kumiliki dulu untuknya. Jadi kayaknya mendingan aku simpan dia dalam kenangan sebagai Kakak-Kelas-Seksi-Nan-Menawan. Daripada calon suami gagal move-on, gendut dan nggak punya pendirian.

"Besok boleh saya antar kamu kerja?"

Pesan Bang Domu masuk tepat di saat aku sudah membulatkan tekad untuk membuatnya ilfeel. Aku mencoba meraba-raba perasaanku. Takut salah langkah. Well, ada sedikit desir. Tapi nggak sama kayak reaksi kimia lainnya yang sering kutuliskan dalam novel. Maksudku, nggak ada perut melilit ataupun pipi menghangat. Maka kuputuskan cintaku pada Bang Domu pastilah hanya sekadar cinta monyet.

"SORI. NGGAK BISA. SAYA BIASANYA KERJA NAIK MIBTAS!!!"

Sengaja, aku membalas dengan huruf kapital, karena biasanya huruf kapital mengidikasi teriakan. Biar saja dia mengira aku sedang berteriak. Biar ilfeel, sekalian.

Dan, sengaja pula aku menyebut Mibtas tanpa menjelaskan bahwa mibtas itu adalah nama yang kuberikan pada sepeda motor kesayanganku. MIBTAS: Mio Butut Tapi Aku Sayang. Nama yang sama sekali nggak lazim dan aku yakin nggak ada di internet. Dengan begitu Bang Domu bisa segera merasakan betapa nggak nyambungnya komunikasi kami.

"Boleh ikut? Saya belum pernah dengar alat transportasi yang namanya mibtas."

Oke, aku terkesan karena dia terus terang dan cukup agresif. Tapi aku nggak akan membuat semuanya mudah.

"SORI. NGGAK BISA. MIBTAS NGGAK BAKAL MAU NGANGKUT ORANG GENDUT!"

Nggak ada balasan.

Bagus. Memang itu yang kuharapkan.

Paling nggak sampai sepuluh menit kemudian kupikir memang aku nggak butuh balasan. Tapi di menit ke sebelas aku mulai membongkar pesan yang kubalas. Apa nggak terlalu jahat? Tanyaku pada diri sendiri.

Baru saja aku ingin meminta maaf, balasan Bang Domu datang lagi.

"Gimana kalau naik Mibtas-nya tiga bulan lagi? Saya yakin deh, dalam tiga bulan udah kurus. Paling enggak turun 20kg-lah. Nah, selagi menunggu tiga bulan, kamu diantar-jemput sama saya aja, mau ya?"

Lho, lho, lho? Kenapa aku malah jadi senyam-senyum begini sih?

Well, ya, aku senang, sih, Bang Domunya nggak gampang menyerah gitu. Tapi, kan, ceritanya mau bikin dia ilfeel. Jadi aku balas aja "TERSERAH".

Tapi yang terjadi keesokan harinya adalah, aku ninggalin dia.

Sengaja aku berangkat lebih awal tanpa memberi kabar, biar dia ngerasa zonk pas sadar udah ditinggalin. Ha-ha. Aku kayaknya emang punya bakal alami untuk bikin ilfeel.

Pukul setengah delapan pagi, saat aku baru saja memasuki ruang kerjaku, Bang Domu mengirimi pesan.

"Saya pikir kita sudah sepakat untuk berangkat bareng."

Lalu kubalas dengan, "TRUS?"

"Saya jemput ke rumah kamu. Tapi Mama kamu bilang, kamu berangkat buru-buru banget tadi."

"OH YA?"

"Tapi kamu sampai dengan selamat kan, di kantor? Meski harus buru-buru, keselamatan tetap nomor satu. Oke?"

"SAYA UDAH CUKUP DEWASA UNTUK TAHU CARA MENGUTAMAKAN KESELAMATAN."

"Baguslah kalau begitu."

"KAYAKNYA KITA EMANG NGGAK JODOH."

Nggak nyambung ya? Biarin aja. Aku bebas ngomong sesukaku. Nggak perlu mikirin etika, tata-krama, apalagi perasaan Bang Domu. Lagipula, kalimat itu adalah inti dari segala sikap kekanak-kanakanku sekarang. ENGGAK JODOH. Baiklah, kuputuskan untuk menggunakan dua kata ajaib itu sebagai amunisi untuk membunuh harapan Bang Domu atas perjodohan ini.

Dan, dengan semena-mena aku segera menyelipkan ponsel ke dalam tas. Mengabaikan apapun yang menjadi balasan Bang Domu atas kalimat absurdku.

Tapi, tahu nggak? Aku malah bolak-balik ngecek ponsel setiap lima menit sekali. Memastikan pesanku terkirim, memverifikasi pesan telah dibaca, dan memberengut setiap kali menyadari dia telah membaca pesanku namun nggak memberi reaksi apapun.

Hah! Katanya bakal ngelakuin apa saja untuk meluluhkanku dan membuat perjodohan lancar? Mana buktinya? Baru dibikin ilfeel dikit udah nyerah?

Tapi ya sudahlah, ini juga yang kuinginkan kan?

Aku seharusnya tenang. Setidaknya, aku berhasil menenangkan diri meski sedikit kecewa. Hingga pada jam makan siang tiba, tepatnya saat aku bersama teman-teman satu ruangan kerjaku ingin keluar untuk mencari makan siang, Pak Rinto, satpam di kantorku mengetuk pintu ruangan untuk menyampaikan pesan padaku. Merusak semua usahaku untuk menenangkan diri.

"Ada yang cari Kak Pinkan," katanya.

"Siapa, Pak?" Perasaan aku nggak punya janji sama sekali.

"Kurir online kayaknya."

Hmm, mungkin Mama mengirimkan makanan, pikirku. Aku memang lupa membawa bekal yang disiapkan Mama karena terlalu buru-buru meninggalkan Bang Domu. "Kenapa Pak Rinto nggak terima aja?" Biasanya, Satpam berkumis tebal itu berinisiatif untuk menerima segala barang pengiriman untuk nantinya diantarkan ke ruangan yang bersangkutan oleh OB kantor.

"Orangnya bilang harus serahin langsung ke Kak Pinkan. Padahal saya juga udah bilang biasanya makanan dititip di pos saya, nanti bakal dianter sama OB. Tapi ngeyel aja tuh driver ojol, malah maksa saya buat manggil kakak langsung, lagi. Orangnya nungguin tuh, di bawah."

Perasaanku mulai awas. "Supir ojol-nya kayak gimana, Pak? Gendut?"

Pak Rinto segera tertawa terpingkal-pingkal. "Iya, Kak. Betul."

Aneh. Tawa Pak Rinto menyeramkan, tapi sukses menulariku dengan cepat. Bukan karena tawanya yang lucu, pastinya. Melainkan karena aku bisa menduga siapa yang dimaksudnya dengan supir ojol. Siapa lagi kalau bukan Bang Domu. Eh, tapi ini juga bukan ketawa ngeledek ya. Tawaku bahkan mendadak lenyap kala menyadari Pak Rinto menertawai Bang Domu.

"Hush, Pak! Dia itu bukan supir ojol, tauk!" protesku.

Lantas, kembali menahan senyum. Hei, namanya juga cinta monyet, ya. Tetap ada kata cinta meski ditambahkan kata monyet. Aku senang dong dia nggak semudah itu menyerah. Duh, monyetku ternyata pantang menyerah. Eh, maksudku, cinta monyetku!

Gawat! Jadi, aku harus gimana nih?

Pakai gaya jinak-jinak merpati? Malu tapi mau? Atau kembali pada rencana awal untuk bikin dia ilfeel? Aduuuuhhh, kenapa sih aku harus dilema begini urusan perjodohan dengan Bang Domu?

Terlebih dilema saat aku akhirnya turun ke lantai dasar, mengintip Bang Domu dari balik pintu pembatas. Hei, kenapa setelah berbadan gemuk begitu pun dia tetap menawan? Oke, aku nggak akan memungkiri barang-barang bermerek yang menempel di tubuhnya memberi dampak khusus. Baju kaus hitam bertuliskan Tom Ford yang dikenakannya sesuai dengan ukurannya. Nggak membuat lemaknya menyembul ke sana-kemari. Pilihan topi flat cap-nya juga sesuai. Bayangan ujung topi yang membias ke tepi wajah menyamarkan tembam pipinya. Tapi, bukan hanya penampilan, caranya duduk dan bercengkerama dengan Tiara—sang custumer service—tampak begitu luwes dan memberi kesan ramah. Mungkin efek dari senyum dan tatapan matanya yang tulus.

PLAK! Segera kutampar pipiku sendiri!

Katanya cinta monyet! Masa belum diapa-apain udah lumer duluan sih? Awas jadi cinta beneran, lho!

Dan, ingat! Cinta monyet yang satu ini harus segera dibuat ilfeel! Hati yang rapuh ini jadi taruhannya, Pinkan! Aku mengingatkan diriku sendiri.

"Ngapain sih, dateng ke kantorku segala?" decakku sebal saat keluar dari persembunyian. Sengaja kubiarkan Tiara menyaksikan sikap kasarku, biar Bang Domu merasa nggak dihargai. Eh tapi, kenapa aku sendiri yang merasa sakit hati mendengar suaraku yang galak ini? Mana Bang Domu masih bisa senyum lebar dan manis gitu, lagi. Ck!

"Tadi waktu aku mau jemput kamu, Mamamu bilang kamu buru-buru banget sampai bekal makan siang aja ketinggalan. Jadi, ya udah, saya inisiatif buat nganterin ke kamu."

Tepat setelah dia selesai dengan kalimatnya, aku menjulurkan tangan untuk menerima tas bekal dari tangannya. Sungguh, ketulusan yang terpampang di wajah lugunya membuatku nggak tega.

Tanpa kusadari, Tiara ternyata masih setia memerhatikan. "Cieee ... akhirnya punya pacar juga Kak Pinkan!"

"BUKAN! DIA TUH SUPIR OJOL!" teriakku histeris, lalu berlalu tanpa mengacuhkan Bang Domu.

Jangan tanya bagaimana reaksi Bang Domu atas perlakuanku. Aku sendiri bahkan nggak berani melihatnya lagi setelah hari ini. Padahal tadi aku sendiri yang protes saat Pak Satpam mengatai Bang Domu supir ojol, sekarang malah aku sendiri yang bilang gitu.

Udah ya, Bang Domu! Mundur aja, ya! Sumpah, aku nggak yakin bisa lebih kejam lagi daripada ini. 

🙈🙈

Knock ... knock ... masih adakah orang?
Iya, aku harus tahu diri, updatenya kelamaan, pembaca males nungguinnya...

Tapi pliss, kalo masih ada org kasi tanda lewat vote dan komen yaa 😘😘

Andai saja kalian tahu, betapa sulitnya menghalu akhir2 ini, sampai2 aku bingung jg harus mulai drmana..

Kmrn saking kagoknya, aku pemanasan dl dong, nulis cerita singkat yg bs dibaca sekali duduk. Kali aja kalian mau baca, boleh mampir di akunku di Karya Karsa yaa... ini dia penampakan cover ceritanya..

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro