4. What? Masih Belum Ilfeel Juga, Masa?

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Dari meja kerjaku yang letaknya persis berdampingan dengan kaca jendela yang menghadap area parkiran depan, aku bisa melihat Bang Domu akhirnya naik ke atas Bentley Continental berwarna biru. Ah, sepertinya dia cukup pintar memamerkan kekayaannya. Juga pintar mengecoh, tentunya. Banyak orang yang akan tertarik hanya dengan kendaraannya, meski nggak menyangka seekor kodok besar sebagai pemiliknya.

Hei, kenapa aku jadi julid begini sih?

Iya, aku memang sedang berusaha buat Bang Domu ilfeel dengan bersikap menyebalkan, tapi aslinya kan aku nggak semenyebalkan itu, sih.

Aduh, bahaya nih. Bisa-bisa kepribadian asliku terpengaruh hanya karena aku pengin bikin Bang Domu ilfeel.

Begitu mengambil posisi duduk dan berhadapan langsung dengan makanan yang dibawakan Bang Domu, hati kecilku terasa tercubit. Aku bahkan nggak sempat ngucapin makasih sama orang yang kutuduh sebagai supir ojol itu. Biasanya, aku nggak pernah lupa ngucapin terima kasih sama supir ojol beneran, nah, ini bukan sekadar supir ojol lho! Lebih tepatnya lagi, ini dianterin calon-suami-yang-entah-bakal-jadi-atau-enggak-ku lho! Kok bisa-bisanya aku jadi lupa tata krama begini!

Ternyata capek ya, bermuka dua begini. Heran deh, kenapa ada banyak orang yang bisa kerasan dengan sikap bermuka dua? Aku nih, belum juga seharian full masang topeng sebagai cewek nyebelin, rasanya udah capeeeekkkkk banget. Batinku tersiksa.

Sekadar mengurangi sedikit kegalauan yang melanda, aku bercerita pada Sukma lewat telepon. Kenapa aku memilih untuk bercerita pada Sukma? Jelas karena aku sedang mengikuti sarannya untuk membuat Bang Domu ilfeel. Lalu apa katanya?

"JAKENDOR! JANGAN KASIH KENDOR, QAQA...! Logika aja deh, kalau setelah ini Bang Domu masih nggak menyerah, artinya dia beneran nggak peduli apa-apa selain memperistri kamu dong, ya? Masa harga diri diinjak-injak begitu dianya bisa bertahan? Jangan-jangan dia sebenarnya udah kesal banget tapi tetep nggak mau ngaku asalkan kamu jadi isterinya? Kalau begitu terus, kebayang deh gimana toxic-nya pernikahan kalian nanti. Dan, dia sendiri udah ngaku kan, dia cuma butuh istri untuk ngebuat Mamanya senang. Nggak ada cinta sama sekali. Kasarnya, kamu cuma diperalat! Dan entahlah apa yang akan terjadi setelah dia merasa kamu nggak cukup penting lagi."

Atas dasar sugesti dari Sukma, aku akhirnya memaksakan diri untuk kembali menyerang Bang Domu, meski beban di pundakku terasa dua kali lebih berat.

"LAIN KALI JANGAN DATANG KE KANTOR SEBELUM NGABARIN AKU!"

Balasannya datang dengan sangat cepat. "Siap, Nona."

Kalimat yang sukses membuatku semakin tertekan. Sungguh, aku nggak suka peran menjadi cewek kasar begini. Tapi Bang Domu pun nggak membuat semuanya menjadi lebih mudah. Dia malah bersikap persis seperti yang dituduhkan Sukma. Pantang menyerah. Dia juga menambahkan pesan dengan isi:

"Sori, saya nggak bermaksud membuat kamu nggak nyaman. Saya janji nggak akan mengulanginya lagi."

Tuh kan, aku jadi makin takut.

Takut dugaan Sukma benar.

**

"Kok muka Kakak jadi khawatir gitu?"

Isna bertanya setelah menemukan kerutan penuh di wajahku paska mendengar cerita singkatnya. Bukan cerita horor sih, tapi lebih mengerikan daripada serial berhantu. Isna bilang, dia mencuri dengar gosip terpanas ibu-ibu kompleks sore ini. Nggak lain gosip tentang keseriusan Bang-Domu-yang-dulunya-ganteng-pakai-banget itu benar-benar fokus menurunkan berat badan. Sepanjang sore dia olahraga lari keliling kompleks, dan Bou Anggun sendiri mengonfirmasi kalau anak bungsunya itu udah mulai langganan catering makanan sehat.

"Kalau dia beneran jadi kurus gimana dong?" tanyaku panik.

"Ya, itu artinya Kakak berhasil mendapatkan calon suami penurut. Diminta ngurusin badan, eh, dia beneran diet. Besok-besok kalau kakak minta setengah harta kekayaan keluarganya dialihkan atas nama kakak juga mungkin dia bakal setuju-setuju aja!"

"Kenapa harus setengah? Semuanya dong!"

Bukan karena keserakahanku, Isna berjengit untuk alasan lain. "Jadi, Kakak beneran mau nikah sama pangeran kodok itu?"

Aku mengela napas panjang. "Emangnya kalau aku nyesal sekarang, kita bisa mutar waktu kembali?"

Isna tiba-tiba menjadi lebih bersemangat. "Ya, nggak usah diputar, Kak. Toh, Kakak belum nikah ini. Kalau kita nggak bisa mengubah masa lalu, gimana kalau kita menyiapkan masa depan sesuai keinginan Kakak?"

"Aku lagi nggak bisa mikir, Na. Kalau kamu emang punya cara untuk bikin Bang Domu mundur dari rencana pernikahan ini, ya udah aku ikut aja!"

Isna menjentikkan jemari. "Aku punya rencana, Kak!"

Sebelum melancarkan idenya, Isna sempat bertanya ini-itu. Kenapa aku tiba-tiba berubah pikiran, apakah aku benar-benar nggak bakal menyesal terutama jika Bang Domu kembali kurus dan ganteng lagi, dia juga menanyakan kesiapan mentalku jika mendapati Bang Domu benar-benar ilfeel, dan basa-basi lainnya.

Sebagai inti jawaban dari semua basa-basi itu, aku mengembalikan ucapan Isna tempo hari. "Bukannya kamu sendiri yang bilang Bang Domu itu bermasalah? Cowok yang saking nggak bisanya move-on dari mantan tunangannya sampai nggak peduli sama apapun lagi? Bahkan badannya sampai melar begitu karena stress?"

"Dan, bukan itu masalah terbesarnya, Kak."

"Apa lagi?"

"Aku udah stalking instagram mantan pacarnya itu, dan aku menemukan kecurigaan."

Bulu kudukku kontan meremang. "Curiga apa, Na?"

"Sang Mantan nggak meng-update apa-apa sejak dua tahun terakhir, dan semua foto-fotonya bareng Bang Domu nggak dihapus sama sekali. Nggak ada yang tahu apa yang bakal terjadi kalau dia tiba-tiba balik ke Bang Domu lagi kan?"

Menelan ludah saja tiba-tiba rasanya sulit banget. Kalau sekadar cinta monyet, harusnya aku nggak perlu kebawa perasaan gini kan?

Tenggorokanku rasanya semakin kering saat dengan ekor mata kutemukan mobil Bentley Continental berwarna biru yang sama persis dengan yang dikendarai Bang Domu siang tadi merapat ke teras rumah kami yang nggak berpagar.

"Na, apapun idemu untuk membuat Bang Domu mundur, I'm in!" seruku mantap.

Isna meraih sikuku sebelum aku berniat kabur dari sofa tempat kami bergosip sejak tadi. "Kakak yakin nggak bakal nyesal?" tanyanya memastikan.

Kulirik keluar jendela. Bang Domu tampak turun dari mobil dengan mengenakan kaus berwarna hijau. Kali ini nggak ada topi yang menyamarkan bulat wajahnya tapi gelapnya malam cukup sukses menyamarkan gempal tubuhnya. Jika cinta monyet punya level akut, aku yakin berada pada level tertinggi. Bisa-bisanya aku masih merasa dia tampak imut. Arrrggghhh ... Pinkan payah!

Sebelum semakin parah daripada ini, aku kembali mengangguk mantap di hadapan Isna. "Pastikan aja rencanamu berjalan lancar."

Isna nggak mencegah lagi saat aku berusaha kabur. Aku memutuskan untuk mendekam di dalam kamar saja, seenggaknya sampai Isna berhasil mengusir Bang Domu dan keadaan kembali kondusif.

Malam adalah waktu produktifku menjalankan profesi sebagai tukang halu. Sembari berusaha mengenyahkan pikirkan tentang Bang Domu, aku membuka laptop dan mulai melanjutkan cerita yang masih 'on going' di Wattpad. Cerita tentang seorang cowok super ganteng yang trauma karena sang tunangan meninggal di depan matanya. Kisah yang akan kukemas secara ringan karena tujuanku menulis adalah untuk menghibur. Aku akan menyandingkan cowok super ganteng ini dengan bawahannya yang punya sifat blak-blakan. Judul cerita ini pun kupetik dari kutipan di film Spiderman yang sepertinya cukup mewakili keadaan si-cowok-super-ganteng : My Gift is My Curse.

Untuk lebih menghidupkan suasana Event Organizer yang kuangkat sebagai latar cerita, aku melakukan beberapa riset malam ini. Risetnya sih lancar, tapi aku malah kesulitan melanjutkan kisahnya. Entah sudah berapa kali aku merevisi paragraf pertama part terbaru sejak dua jam terakhir. Aku baru menyerah saat pintu kamarku diketuk. Selanjutnya penampakan Isna muncul dari balik pintu.

Nggak kayak Isna yang tadinya begitu bersemangat, kali ini Isna muncul persis anak anjing yang enggak dikasi makan selama seminggu. Menyedihkan. "Maaf, Kak...," lirihnya.

Perasaanku langsung nggak enak. "Kenapa?"

"Aku nggak bisa ngusir Bang Domu," lirihnya.

Berpikir sejenak. "Ya udah, biarin aja. Ntar kalau bosan dan ngantuk juga dia bakal pulang sendiri."

"Tapi Mama udah pulang dari pesta, Kak." Sepanjang malam ini Mama memang nggak terlihat karena harus menghadiri pesta di Hotel Santika. "Dan, Mama minta Kakak turun untuk nemuin Bang Domu."

Aku menghela napas lelah. Aku benar-benar nggak tahu bisa sekejam apa lagi dan itu benar-benar menyiksa. "Trus, rencana yang kamu bilang tadi gimana? Berhasil nggak?"

Nggak ada jawaban. Isna hanya meringis sembari menggigiti bibirnya.

Aku pun nggak bisa menuntut lebih lanjut karena teriakan Mama memanggil-manggil namaku membuatku harus menyerah. Dalam hati aku menyugesti diri untuk lebih keras lagi pada Bang Domu. Malam ini harus menjadi kali terakhir aku bersikap menyebalkan. Untuk itu aku harus benar-benar total.

Bang Domu nggak perlu berusaha keras untuk menampilkan senyum terbaiknya. Sepertinya dia benar-benar sedang berbahagia. Aneh, bukankah seharusnya Isna membuatnya merasa dongkol? Kenapa dia justru terlihat sangat bahagia?

Ah, masa bodohlah! Yang penting aku harus menyorotnya tajam seolah akan memakannya hidup-hidup, lalu duduk tepat di sebelahnya untuk bisa berbisik dengan tajam. "Ngapain sih, ganggu aja malam-malam begini?"

Kenapa harus berbisik? Aku takut kedengaran Mama. Mama masih sibuk memeriksa isi kulkas—seperti yang selalu dilakukannya untuk menentukan menu besok pagi. Posisi Mama nggak kurang dari lima meter dari ruang tamu tempatku sedang meladeni Bang Domu.

Aku hampir saja terperanjat saat Bang Domu menjawab dengan santainya. "Ya, pedekate-lah. Emangnya ngapain lagi?"

Nih anak! Kok ngegemesin?

Takut salah memberi reaksi, aku memilih diam saja. Biar dia bosan dan memilih untuk pulang dan mengadu kepada Ayah dan Ibunya. Tapi apa yang kutemukan hingga setengah jam selanjutnya? Bang Domu asik sendiri dengan ponselnya, sesekali tersenyum, lalu nggak henti-hentinya melirik ke arahku dengan tatapan menilai. Dan semua itu dilakukannya dengan mata yang penuh dengan kilat antusiasme. Sungguh, dia membuatku penasaran dengan apapun yang dilihatnya pada ponsel pintar dalam genggamannya itu.

"Kalau emang nggak ada yang mau kamu omongin, pulang aja, gih. Kita kayaknya emang NGGAK JODOH."

Aku memberi tekanan kuat pada kata "Enggak Jodoh" sesuai dengan niatku semalam. Aku akan mengulang dua kata itu sampai dia bosan merasa ide untuk membatalkan rencana pernikahan adalah yang terbaik untuk kami. Untungnya Mama sedang sibuk dengan wastafel dan bunyi air yang mengucur dari keran itu pasti membuat pendengarannya sulit menangkap gelombang suaraku yang tajam.

Bang Domu tersenyum ringan, seolah nggak terpengaruh dengan usiran halusku.

"Saya nggak nyangka ternyata daya imajinasimu cukup liar juga!" serunya antusias.

Mataku segera bergerak cepat menuju ponsel dalam genggamannya. Samar-samar kutemukan kata "Fuad dan Gladys" dari rentetan tulisan yang terpampang di sana.

MAMPUS!

Itu adalah dua nama tokoh imajinasiku yang sudah dipublikasikan menjadi buku cetak dan digital!

Kutegakkan punggung. Berusaha bersikap tak acuh. "Saya nggak ngerti. Tuh kan, kita beneran nggak nyambung. Tanda-tanda nggak jodoh!" Kuharap suaraku masih cukup tajam dan terkesan songong. Sumpah, aku benar-benar ingin memastikan dia nggak sedang membaca tulisanku. Apa yang akan dipikirkannya jika tahu aku adalah seorang penulis cerita erotis???

"Kamu yakin nggak tahu apa yang saya bicarakan?" Layar ponselnya disentuh hingga tulisan-tulisan yang tertampang di sana bergeser menuju cover. Dan, benar saja! Warna magenta dan strawberry berlumur cokelat itu adalah cover bukuku yang bertajuk "I Love You Regardless".

Entah mendapat keberanian dari mana, tanganku bergerak sendiri meraih ponselnya. Menutupnya dengan kedua tangan seolah itu bisa menutupi fakta bahwa dia telah mengetahui profesi lainku selain seorang akuntan.

Reaksiku pastilah sebuah hiburan yang sangat menarik baginya. Tawanya menggema renyah.

Tapi bukan itu masalah terpentingnya. Melainkan Mama! Mama nggak boleh mendengar percakapan ini sama sekali. Untuk memastikan, aku melirik ke arah dapur. Mama ternyata sudah selesai dengan urusannya di wastafel, sekarang dia tampak berjalan santai ke area ruang tamu.

"Apa Tante Rani nggak tahu soal pekerjaan ganda putri sulungnya?"

Pertanyaan jebakan dari Bang Domu sukses menjeratku. Selain ringisan, aku hanya berharap bulir-bulir keringat dingin nggak terdekeksi matanya yang melirikku jenaka.

Untuk menyelamatkan diri dari jebakan ini, aku hanya bisa memikirkan satu jalan pintas: kabur!

Kabur dari Mama, pastinya.

"Ma! Aku sama Bang Domu keluar sebentar, ya!" Tanpa persetujuan Bang Domu, kuraih tangannya, lalu kugiring menuju pintu.

"Malam-malam begini, mau ke mana, Kak?" tanya Mama.

"Mmm ... Makan sate!" seruku asal. "Nggak lama, kok. Janji."

"Kenapa nggak digojekin aja?" tanya Mama.

Ini sama sekali bukan saat yang tepat untuk bersikap protektif, Ma! Inginku memekik.

"Sekalian cari angin malam, Tante." Bang Domu menyela. "Saya janji bakal antar Pinkan lagi kurang dari satu jam, kalau Tante mengizinkan."

Cara bicara Bang Domu yang sopan dan meyakinkan segera membuat Mama tertawa kecil. "Ya udah, hati-hati di jalan ya!"

Persetujuan Mama sekali lagi memberi kekuatan super untukku menarik tangan Bang Domu. Kukira aku udah hebat banget bisa menggeret badan besar Bang Domu. Tapi pas aku berhenti tiba-tiba di balik mobilnya, tubuhnya yang nggak siap malah membentur tubuhku dari belakang. Sukses membuatku terhuyung ke depan hingga menabrak mobil. Kepalaku sukses berbentur talang air pintu mobil bagian depan.

Aku memekik tertahan.

Bukannya membantu, Bang Domu malah cengengesan. Dia bahkan kayaknya nggak sadar baru saja membuatku membal di perutnya yang empuk itu karena tatapan matanya nggak lepas dari pertautan tangan kami yang masih terhubung.

Dengan mata jernih yang memancarkan kebahagiaan, dia bertanya dengan aura penuh kemenangan. "Selain genggaman tangan, apa lagi yang bisa kamu berikan agar saya menjaga rahasia kecilmu, Pinky?"

Hei hooo!!!

Makaciii atas feedback berupa vote dan komennya yaa kesayangan ❤❤

Kuy, ramaikan lagiii 😆😆

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro