5. Seharusnya Aku Ilfeel!

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng



Mutlak! Pasti! Nggak salah lagi!

Ini pasti ulah Isna!

Apa ini yang dimaksudnya dengan rencana-untuk-membuat-bang-domu-ilfeel? Kenapa aku justru melihat Bang Domu malah semakin bersemangat? Apa pria gendut ini sedang berpikir aku ahli urusan ranjang seperti yang kutuliskan di novelku?

"Dari mana kamu mempelajari semua itu?" tanyanya setelah mobil terparkir di depan gerobak sate di pinggiran jalan protokol, nggak jauh dari kompleks tempat tinggal kami.

Aku benar-benar serius memesan sate, dan membiarkan Bang Domu memperhatikan cara makanku yang rakus. Mungkin cara makanku membuatnya ikutan ngiler, sementara dia nggak bisa memesan apa-apa karena sedang menjalani program diet.

"Belajar apa?" tanyaku galak. Nggak mau dialihkan dari sate. Meski rasa sate saus kacang ini biasa saja, rasanya aku perlu mengunyah sesuatu dengan kuat demi menyalurkan emosiku yang meletup-letup.

"Belajar ... melumuri tubuh dengan selai lalu membiarkan pria menjilatinya?" Bang Domu bertanya dengan tatapan yang nggak kurang seriusnya sejak pertama kali melihatku melahap makanan. Suaranya pun terdengar lebih berat dan dalam. Oh, sekarang aku jadi curiga dia bukannya ngiler melihat makananku, tapi sedang membayangkan saus kacang dari sate ini dilumuri pada tubuhku. Dan, apakah dia juga sedang membayangkan dirinya menjilatinya? Persis seperti salah satu adegan erotis yang kutuliskan pada novelku?

Pemikiran itu sukses membuat kunyahanku mendadak berhenti. Bersamaan dengan kuatnya jantungku berdentam.

"Kalau bukan saus kacang, mungkin aku sudah mempertimbangkan untuk mencoba juga," lanjutnya serius, dengan suara dalam. "Mungkin lain kali kita coba dengan Guacamole dip*, saus yang cocok untuk menu diet-ku."

*Guacamole dip = saus yang terbuat dari alpukat.

Mulutku menganga lebar. Potongan daging sate tumpah dari mulutku, jatuh ke piring. Dengan gerakan super lambat—karena otakku gagal bekerja dengan lancar—kubuka jendela mobil, menyerahkan piring kembali pada pemiliknya. Kututup kembali kaca jendela dengan hati-hati sembari berpikir keras.

Nih anak! Enaknya diapain ya?

Kembali menoleh pada Bang Domu yang sedari tadi duduk di bangku supir, aku mendapati tawanya pecah. "Aku harus berterima kasih pada Isna. Dia benar-benar memberikan aku Kartu AS."

Apa katanya 'aku'? Sejak kapan dia menanggalkan semua formalitas di antara kami?

"Bang Domu—"

"Aku akan merahasiakannya," potongnya. Tawanya lenyap, tangannya terulur mengelus rambut panjangku. Dia ternyata hanya mengujiku. "Kamu tenang aja. Rahasiamu aman bersamaku."

That's it. Itu dia intinya. Tujuan dari kabur-makan-sate ini adalah untuk membungkam mulut Bang Domu. Jadi kupikir aku nggak perlu mengatakan apa-apa lagi kan? Jadi kubiarkan tangannya terus membelai.

"Kamu tuh nggak peka atau gimana?" tanyaku lagi setelah mengamankan debar jantungku. Ini sebenarnya aku deg-deg-an karena berpikir dia ternyata mesum, atau justru karena belaian halusnya di kepalaku, sih?

Tangannya kemudian ditarik untuk meraih botol air mineral yang kuletakkan di cup holder, membukakan tutupnya, lalu mengangsurkannya padaku. "Bukannya justru karena aku peka, aku tahu betul apa yang ingin kamu sampaikan bahkan sebelum mengucapkannya? Tenang aja, aku nggak akan bocor."

"Aku bukan bicara soal profesi lainku. Tapi, soal lain." Aku menerima botol pemberiannya, lantas meneguk setengah dari isinya untuk melancarkan tenggorokanku. Bagaimanapun juga, kami harus membicarakan masa depan hubungan ini.

"Soal yang mana?"

"Emangnya kamu nggak ngerasa aku berusaha keras banget untuk membuat kamu ilfeel? Dan, kamu tahu itu artinya apa? Aku nggak mau rencana pernikahan kita dilanjutkan, Bang!" seruku menggebu-gebu, sampai tanpa sadar menanggalkan formalitas juga. Ah, masa bodohlah.

Kalau sejak tadi Bang Domu tersenyum tulus, kali ini senyumnya tampak kecut. "Aku tahu."

"Trus?" desakku.

"Trus apa?"

"Trus kenapa nggak kapok? Aku tuh nggak mau kita beneran nikah, Bang! Aku minta maaf, tapi aku beneran nyesal nerima ide perjodohan itu dari Bou Anggun."

Bang Domu menjawab dengan tenang namun tegas. "Apapun alasan yang membuat kamu menyesal dan tiba-tiba nggak mau nikah, aku sedang berusaha untuk membuat kamu berubah pikiran, Pinky. Bukankah sudah cukup jelas?"

"Tapi ...," aku mengembus napas karena bingung untuk melanjutkan pembicaraan saat aku berkali-kali harus mengalami reaksi kimia yang kerap kutuliskan pada cerita-ceritaku. Di antara semuanya, debar jantung ini paling mengganggu. "kenapa...?"

"Kenapa enggak?" Bang Domu mengangkat bahunya enteng. "Sebut saja kamu cukup wife material."

"Darimana kamu bisa menyimpulkannya? Dari Bou Anggun?" Sebelum dia menjawab, aku kembali mencecar. "Dengar ya, Bang. Penilaian Bou Anggun nggak boleh menjadi satu-satunya landasan kamu untuk membina rumah tangga. Gimana pun juga ini tentang kamu dan pasanganmu kelak. Itu yang penting!"

"Well, penilaian Mama memang yang berpengaruh. Tapi lebih daripada itu, aku juga bisa menilai, Pinky. Kamu pikir aku menerima perjodohan begitu saja? As for you know, kamu bukan wanita pertama yang disodorkan Mama. Tapi aku baru bisa menerima saat dijodohkan dengan kamu. Jadi, bisakah kamu mulai mempertimbangkan keseriusanku?"

Sumpah, mata teduh Bang Domu hampir bikin aku lumer. Untuk menghindari tatapan matanya, aku menggeleng-gelengkan kepala. Lalu kembali mengerang, "Kenapa aku?"

"Meski samar, aku punya ingatan tentang kamu di masa lalu, Pinky." Kerutan di dahiku membuatnya berinsiatif untuk memberi penjelasan lebih lanjut. "Aku masih ingat Mama menyebut-nyebut nama kamu saat terlibat masalah dengan sekolah lain. Masalah yang terjadi karena kamu membela salah satu sahabatmu."

Oh, sepertinya dia sedang membicarakan tentang keributan yang terjadi di SMA Budi Negara beberapa tahun silam. Waktu itu aku bela-belain turun ke lapangan sembari membawa spanduk sekolah demi memprotes tindakan juri pertandingan voley antar sekolah yang berlaku nggak adil. Juri-Sialan itu selalu punya dalih untuk nggak menghitung poin yang dibuat tim sekolah kami, seolah sengaja agar tim lawan memenangkan pertandingan. Dan, perlu kugaris bawahi, aku memang harus melakukan konfrontasi saat itu karena tahu betapa pentingnya pertandingan itu untuk Sukma sebagai salah satu anggota tim voley sekolah.

"Kamu punya jiwa yang kompetitif." Bang Domu menyimpulkan seenaknya.

"Kalau punya jiwa kompetitif, aku nggak akan bekerja sebagai akuntan, Bang!" sangkalku. "Aku pasti lebih memilih sesuatu yang lebih menantang. Lagipula, jangan terlalu cepat menyimpulkan begitu, aku nggak se-kompetitif itu!"

"Well, paling enggak ... aku tahu kamu selalu siap berkompetisi dan berjuang mati-matian untuk untuk orang-orang yang kamu anggap penting. Iya kan?" Aku nyaris mendengkus, namun urung karena Bang Domu menambahkan dengan suara yang dalam--khas nggak enak hati. "Aku bisa memastikan hal itu, karena ... aku juga tahu bagaimana kamu mempertahankan rumah yang kalian tinggali sekarang."

Bolehkah aku mengutuk sesi ghibah ibu-ibu kompleks yang menjadi ajang terbongkarnya semua rahasia? Aku bisa menebak, Bang Domu pasti mengetahui cerita itu dari Bou Anggun yang tercatat sebagai salah seorang anggota Ibu-Ibu Kompleks penggosip.

Meski bukan gosip--karena aku benar-benar berjuang atas rumah tempat tinggal kami sekarang--sebenarnya aku nggak terlalu suka aib itu disinggung lagi. Kenapa kusebut sebagai aib? Karena aku nyaris nggak mengenali diriku sendiri saat menghadapi istri baru Papa saat mempertahankan hak milik atas rumah yang kami tinggali. Kami toh siap untuk menyerah atas Papa. Kami bahkan nggak minta untuk dinafkahi lagi. Jadi wajar kan, kalau kami memperjuangkan sisa-sisa kepunyaan kami? Lagipula Mama punya andil yang cukup banyak dalam proses pembayaran cicilan rumah hingga lunas. Wanita iblis itu mana boleh merebut begitu saja!

"Aku tahu ini nggak akan terdengar adil ...," Bang Domu bergumam lirih, namun berhasil mengeluarkanku dari ingatan pahit itu. "Tapi aku butuh orang yang seperti kamu untuk menjadi isteri. Seseorang yang siap berkompetsisi dan berjuang habis-habisan jika Zaana datang mengacau lagi."

Apa tadi aku berulang kali menyebut kata deg-deg-an? Ya, jantungku memang berdebar jauh lebih kuat daripada biasa, namun memberi efek yang menyenangkan. Berbeda dengan debar yang kurasakan sekarang. Denyutannya terasa pedih dan menyiksa. Tepatnya saat meluncur nama Zaana dari bibir Bang Domu.

Zaana? Maksudnya, Zaana Cantika? Itu nama yang disebut Isna sebagai mantan pacar Bang Domu kan?

"Pulang," kataku datar.

"Pinky, maaf. Aku nggak bermaksud memanfaatkan kamu. Zaana yang kumaksud adalah—"

"Sekarang," lanjutku.

"Pinky, ayo kita bicarakan baik-baik dulu." Jakun Bang Domu yang tersamarkan lemak di leher bergerak samar saat menelan ludah, panik. "Bukan maksudku—"

"Kamu bisa antar aku pulang sekarang, atau kamu lebih suka aku turun di sini dan pulang naik ojol?" ancamku, berusaha keras menahan riak emosi.

Syukurlah Bang Domu akhirnya mengubah posisi transmisi mobilnya ke D, lalu dengan napas terembus kasar dia melajukan kendaraan kembali ke kompleks tempat tinggal kami. Aku berusaha keras menenangkan diri sepanjang perjalanan. Syukurnya Bang Domu cukup membantu dengan tidak bersuara. Hingga akhirnya ketika mobil terparkir di depan rumah, aku bisa mengeluarkan suara dengan tegas.

"Sebelum berpikir aku siap berkompetisi dan berjuang habis-habisan demi kamu, lebih baik kamu pikirkan cara untuk menenangkan hati Bou Anggun. Karena detik ini juga kutegaskan kalau aku mundur dari rencana pernikahan itu!"

Tanpa menunggu Bang Domu memberi reaksi, aku turun dari mobil. Tak lupa membanting pintunya kuat.

Isna yang sepertinya sudah menanti kepulanganku segera membukakan pintu. Wajahnya terlihat masih sama kusutnya seperti saat terakhir kali kulihat.

"Kak, maaf ya ... Isna sama sekali nggak nyangka kalau Bang Domu sama sekali nggak ilfeel meski tahu—"

"Na, jangan sekarang!" kupotong racauan Isna sembari memanjangkan langkah menuju kamar. Kenapa kamarku terasa menjadi lebih jauh daripada biasanya? Oh ayolah, aku harus segera berlindung di tempat aman sebelum benar-benar luruh di tengah jalan. Demi Tuhan, seluruh tubuhku rasanya begitu ngilu dan sakit.

Isna mencekal lenganku. "Kak, sumpah! Isna sama sekali—"

"Na...!" Aku mempersiapkan diri untuk mengeluarkan suara tinggi, tapi kenapa yang terdengar justru sebuah suara lirih nan menyedihkan, juga pandangan yang memudar? Oh tidak! Jangan bilang airmata sudah menggenang di depan pelupuk mataku?

Di seberang sana, kuliat Isna mulai panik. Namun tangannya segera melepas cekalan. Membebaskanku. Kesempatan itu kugunakan untuk berlari kencang menuju kamar. Membanting pintu begitu tubuhku berhasil menyelinap masuk. Lalu, benar-benar luruh di balik pintu.

Ya Tuhan, kalau ini benar-benar hanya cinta monyet ... kenapa rasanya sesakit ini?

💔💔

*hayooo... yang kemaren sempat ngerasa Bang Domu sweet mana suaranya? Nyesal nggak? Bahahaha...

Sejak awal emak udah bilang kalau dia bermasalah kan?

Ya, meski ceritanya ringan-ringan aja, tetap harus ada plotnya dong ya...

Tenang aja, nggak berat-berat amat kok (Harusnya) nggak tahu deh perjalanan ke depannya bakal gmna... tungguin aja ya, aku usahain secepatnya pokoknya...

Bang Domu kalo uda sukses diet👇

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro