7. Senjata Makan Tuan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Kok malah dipercepat? Bukannya seharusnya dibatalkan?"

Persis seperti pertanyaanku semalam, Sukma juga menanyakan hal yang sama setelah kuceritakan tentang perkembangan hubunganku yang amburadul dengan Bang Domu. Lalu kujawab dia persis seperti yang dijelaskan Mama semalam.

"Kakaknya Bang Domu mau nikah lagi sama mantan suaminya dalam waktu dekat, jadi Bou Anggun ngusulin supaya pernikahan kami juga disatuin di hari yang sama, gitu!"

"Dan, berhubung kamu masih se-cinta-monyet itu sama Bang Domu, kamu pasti setuju-setuju aja kan?" tuduh Sukma.

Aku segera menggeleng keras. Potongan percakapan dengan Mama semalam kembali mengingang dalam benakku. "Jangan buru-buru ambil keputusan ya, Kak. Pikirin dulu baik-baik. Menjalani pernikahan nggak semudah itu. Butuh komitmen kuat dari kedua belah pihak." Aku bahkan ingat dengan jelas bagaimana Mama memberi penegasan pada akhir kalimatnya. Seolah-olah Mama tahu ada pihak yang belum siap dengan komitmen.

Yah, sejak awal pun, Mama dan Isna memang nggak pernah menunjukkan tanda-tanda menyetujui ide gila ini. Aku-nya aja yang terlalu impulsif.

"Jadi apa rencana kamu selanjutnya?" tanya Sukma setelah gelengan kepalaku reda. Iya, aku emang semangat banget geleng kepalanya, sampai lama banget baru berhenti.

"Aku toh udah tegasin ke Bang Domu kalau aku mundur dari rencana gila itu. Iya sih, aku suka drama dan suka menuliskannya jadi novel. Tapi nggak mungkin juga kisah nyata hidupku harus se-drama itu kan?" Kulihat Sukma mengangguk sepakat. "Jadi aku sekarang hanya perlu Bang Domu mengadu pada keluarganya tentang penolakanku, dan ... the end!"

"Hati kamu apa kabar, Pinky? Aman?" Sukma mulai meremas telapak tanganku, prihatin.

Aku tersenyum kecut. "Sakit, sih. Kayaknya perasaanku ke Bang Domu bukan sekadar cinta monyet. Tapi yah, lebih baik berhenti sekarang sebelum lebih sakit lagi, kan?"

"Ji! Kamu nggak mau nyumbang pendapat atau apa gitu?" tuntut Sukma pada Jihan yang sedari tadi hanya menjadi pendengar. Tepatnya mendengar sambil nyemil kuaci, segala kulit kuaci udah berserakan di lantai kamarku. Sepertinya bagi Jihan makanan yang terbuat dari biji bunga matahari itu jauh lebih menarik daripada kisahku.

Setelah menghabiskan empat biji terakhir yang tersisa dalam telapak tangannya, Jihan menepuk-nepuk pakaiannya yang ternodai kulit kuaci. Lalu berkata dengan santai. "Entah kenapa aku ngerasa ini nggak bakal 'the end' dengan semudah itu."

Kernyitan penuh di dahiku hanya ditanggapi Jihan dengan celutukan singkat. "Kabari aku kalau tanda-tanda 'the end' antara kamu dan Bang Domu sama sekali nggak kelihatan, di situ nanti aku bakal kasih tahu apa yang sebenarnya harus kamu lakukan!"

**

Kalau Jihan masih di sini, aku pasti akan menertawakan kepercayaan dirinya yang sangat tinggi saat menasihatiku beberapa hari silam. Tepatnya saat dia mengumbar keyakinan tentang kata 'the end' antara aku dan Bang Domu nggak bakal ada. Sayangnya, Jihan dan Sukma sedang nggak ada di sini. Jadi sekarang, aku hanya bisa tertawa sendiri.

"Kak, nggak gila kan?" Isna menatapku horor.

Tawaku kembali menggelegar. "Ini lucu banget nggak, sih?"

"Lucu dari mana sih, Kak? Bukannya ini justru horor?" Isna kembali melirik ke ruang tamu. Tempat Bang Domu sedang duduk setelah tiba-tiba muncul paska satu minggu menghilang. Dia tengah mengobrol dengan Mama dengan santainya persis di sofa yang didudukinya saat terakhir kali berkunjung ke sini. "Itu tuh Bang Domu lagi ngobrol sama Mama sambil pegang-pegang buku kamu yang nyeritain tentang kisah hidupnya Kak Alitha lho, Kak!"

Isna kembali menatapku dengan mata melotot, lalu kubalas dia dengan perlototan yang lebih menyeramkan. "Dia nggak bakal pernah tahu buku itu ada kalau bukan karena seseorang membocorkannya!" seruku kesal.

"Lah? Kemaren kan, Kakak sendiri yang bilang bakal menerima segala konsekuensi, asalkan Bang Domu ilfeel?"

"Trus kenapa aku justru melihat Bang Domu bukannya ilfeel, tapi malah jadi punya senjata buat bikin aku ketakutan? Hah?"

Alih-alih merasa terpojok, Isna justru meringis semakin menyeramkan. "Aku nggak bisa ngebayangin gimana ceritanya kalau buku itu sampai di tangan Mama. Atau lebih parahnya ... jatuh ke tangan Kak Alitha...?"

Dan, ringisan Isna sukses membuat kakiku refleks melangkah menuju ruang tamu. Bagaimanapun caranya, aku harus mencegah Bang Domu membocorkan rahasia tentang profesi gandaku. Layaknya cewek agresif, aku mengambil tempat persis di samping Bang Domu. Dalam kepala, aku sibuk memperhitungkan kecepatan gerakan tangan untuk merenggut buku yang dimainkannya di tangan. Namun sepertinya dia bisa membaca maksudku. Tepat saat tanganku terjulur, dia segera memindahkan posisi buku ke sisi tubuh yang berlawanan dengan tempatku duduk. Membuat tubuhku terpaksa menekan tubuhnya dari samping. Bahkan terkesan ingin memeluknya dari samping.

Alhasil, aku hanya bisa berdecak kesal.

Lalu dibalasnya dengan ledekan. "Ada yang kangen banget, kayaknya."

"Kangen apanya?"

"Kamu tuh, sampai mau peluk-peluk aku segala."

Sikap kami justru membuat Mama salah tingkah. Setelah berdeham singkat, Mama undur diri dengan dalih membuatkan minum. Kesempatan itu segera kugunakan untuk menghardiknya dengan gigi rapat—agar nggak kedengaran Mama. "Kamu bilang bakal merahasiakan tentang profesi gandaku!"

"Emangnya aku kelihatan kayak lagi membocorkannya?"

"Kalau emang nggak niat membocorkannya, harusnya kamu nggak perlu pegang-pegang buku itu di depan Mama!"

"Oh!" Bang Domu melirik buku yang digenggamnya. "Aku cuma merasa butuh ini untuk bikin kamu bersedia nemuin aku aja kok." Dia lalu tersenyum dengan gigi yang tampak jauh lebih putih daripada terakhir kali kulihat. "Dan, aku berhasil."

"Nggak perlu pakai ngancem gitu bisa kali!" decakku kesal.

Bang Domu menatapku teduh. "Setelah semua yang terjadi di pertemuan terakhir kita ... aku cuma takut kamu nggak bersedia nemuin aku lagi." Dari jarak sedekat ini, aku jadi semakin yakin ada yang berbeda dari giginya.

"Gigi kamu abis diapain?" Oh, terkutuklah jiwa kepoku yang terlampau primitif ini! Kenapa sih, aku nggak bisa nyimpan pertanyaan ini di kepala aja?

"Oh!" Bang Domu memainkan lidahnya di sekitar gigi. Sumpah, aku benci dengan pikiranku saat melihatnya memainkan lidah begitu. Kenapa sih tubuh gempalnya ini nggak cukup untuk bikin aku ilfeel? "Abis di-scalling, vaneer, dan entahlah apa lagi nama perawatannya, aku lupa. Kemaren ditawarin sama Kak Litha supaya ditangani sama poli gigi di Rumah Sakit-nya, mumpung di Jakarta. Lagipula gigiku kemaren lumayan memprihatinkan, udah terlalu rusak karena kebanyakan nikotin."

Kalau diperhatikan, cara Bang Domu berbicara ternyata unik. Ada kerutan di sekitar bibirnya yang cukup menarik perhatian. Aku bahkan nggak sadar terus memperhatikan gerak bibirnya yang sampai dia menyeletuk lagi, "Makasih karena udah perhatian."

Aku segera memutar bola mata dan mendengkus. Dan, sebenarnya sekaligus menenangkan diri. Entah kenapa aku merasa reaksi tubuhku sedikit aneh saat berada di dekat Bang Domu. Kayak ... ada desir-desirnya gitu. Sekadar mempertahankan ego, aku kembali menghardik, "Apa penegasanku waktu itu nggak cukup untuk buat kamu ngerti kalau aku nggak mau ada pernikahan di antara kita?"

Bang Domu menjawab dengan sangat tenang. "Apa kehadiranku hari ini nggak cukup untuk buat kamu paham kalau aku nggak bakal menyerah?"

Aku membuang napas lelah. "Bang—"

"Pinky! Kasih aku kesempatan untuk menjelaskan duduk perkaranya dulu."

Untuk keseriusan yang terpancar nyata melalui kedua netranya, aku hanya bisa terdiam.

"Kamu harus dengar aku dulu, baru setelah itu kamu boleh membuat keputusan. Please ...."


Mata teduh, gigi putih bersih, kerut samar sekitar bibirnya si Babang Domu bikin Akak Pinky galfok lagii 😅😅

Sori, ga sempat edit versi gendut. Aplikasinya uda kehapus, dan aku lupa namanya apaa 😩😩

Anw, happy reading ❤

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro