8. Kembali ke Rencana Awal

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Bang Domu itu pintar.

Dulu, namanya cepat melejit sebagai anak baru di sekolah karena kepintarannya. Kehadirannya berhasil melengserkan Kaisar dari tahta Juara Umum sehingga sukses menjadi buah bibir. Dan, itu belum seberapa. Dia juga berhasil masuk kampus favorite di Sydney, bahkan lulus dengan predikat summa cumlaude.

Iya, aku memang se-kepo itu tentang kehidupannya. Aku cukup tahu banyak hal tentangnya. Tapi aku nggak pernah menyangka kalau suatu saat nanti akan terjerat ilmu tingkat tinggi yang dimilikinya. Seperti saat ini, misalnya.

Dia dengan begitu lancarnya bercerita tentang hal-hal yang sulit kucerna hingga aku hanya bisa terdiam dan nggak punya pilihan lain selain bersimpati padanya.

"Ya, aku mengaku kalau aku kacau. Tapi, percayalah, aku berusaha keras untuk mengubah situasi ini. Tapi aku nggak bisa sendiri, Pinky. Aku butuh kamu." Bang Domu menatap mataku lurus, meyakinkan. "Aku ada di sini, secara sadar meminta kesempatan untuk dipertimbangkan sebagai pendamping hidup kamu, sepenuhnya dalam keadaan sadar. Dan, nggak gila sama sekali."

Memutus kontak mata yang sukses menghipnotis, aku meraih gelas lemon tea dan menyesapnya hingga tandas. Walau belum berucap sepatah katapun sejak Bang Domu bercerita, tenggorokanku rasanya kering luar biasa. Efek dari terkejut dengan isi ceritanya, bercampur bingung cara merespons.

"What do you say ... Pinky?" Bang Domu bertanya.

"Kenapa Bang Domu ceritain ini semua ke aku?" Aku balas bertanya.

"Aku sedang berusaha memenuhi syarat untuk menjadi calon suamimu, of course. Untuk selalu jujur dan nggak menutup-nutupi apapun," jawabnya.

"Tapi kalau ceritanya dramatis gini kan, aku jadi nggak tahu harus gimana!" keluhku.

Bang Domu hanya tersenyum ringan. "Kamu hanya perlu memberi kesempatan."

Mendadak aku menyesali keputusanku untuk mendengar penjelasan darinya. Setelah membuatku terpaksa menemuinya karena takut identitas tentang profesi gandaku terkuak di hadapan Mama, aku sekali lagi harus terpaksa mendengarkan penjelasan dari Bang Domu. Untuk itulah kami duduk di sebuah coffee shop yang nggak jauh dari area kompleks. Sudah satu jam kami lewatkan waktu dengan duduk di sini. Bang Domu memanfaatkan waktu sebaik-baiknya untuk memersuasi, sementara aku mulai hanyut dalam ceritanya.

Betapa bodohnya aku saat berpikir kesempatan ini bisa kugunakan untuk mengakhiri semuanya, yang ada malah aku terjebak rasa iba dan kasihan. Aku bahkan nggak kuasa untuk merinci ulang ceritanya, karena semuanya masih terasa nggak nyata untukku.

**

Sepanjang sisa hari itu, aku melewatkan waktu dengan memikirkan semua cerita Bang Domu. Awalnya, kupikir ceritanya mungkin bisa kutuliskan sebagai materi naskah novelku yang terbaru nantinya. Mungkin akan kuberi judul "Balik Udahan" karena secara garis besar Bang Domu udahan dengan mantannya, dan akhirnya bertemu dengan aku—yang mana nantinya akan kujadikan lead female—yang juga gagal diajaknya menikah. Artinya, udahan mulu hubungan beliau itu. Jadilah, judulnya "Balik Udahan".

Baru menuliskan draf yang berisi outline kasar, tanpa sadar aku menitikkan air mata. Well, ini sering terjadi ketika aku terlalu mendalami perasaan karakter yang ingin kutuliskan. Biasanya, fase ini akan disusul dengan jari yang semakin lincah mengetik dan outline cerita selesai sepenuhnya. Tinggal eksekusi.

Tapi kali ini nggak gitu. Aku malah nggak bisa ngetik apa-apa.

Keesokan harinya, kukumpulkan kedua sahabatku di sebuah cafetaria sepulang kerja. Kuputuskan untuk meminta bantuan mereka untuk mengurai benang kusut yang bercokol di kepalaku.

"Jadi, 60 menit yang kamu lewati dengan Bang Domu semalam cuma bisa disimpulkan dengan 3 kata aja?" Sukma tak kuasa menahan mata dan mulutnya membentuk bola. Ekspresi yang menunjukkan kalau dia tidak bisa menerima penjelasan atas perubahan sikapku yang mulai melunak pada Bang Domu.

"Terjebak toxic relationship?" Jihan mengulang tiga kata yang kumaksud sebagai alasan pembenaran segala tingkah absurd Bang Domu. Dan, ya, kurasa satu jam percakapan semalam memang cukup dijelaskan dengan tiga kata itu karena aku nggak cukup mampu merinci ulang cerita Bang Domu yang terlalu sistematis sekaligus dilematis itu.

Aku mengangguk. "Iya. Bang Domu terjebak toxic relationship sama mantannya itu," ulangku, menegaskan.

"Apa itu cukup untuk menjelaskan gagal move-on yang bikin badan dia membengkak kayak gitu? Cukup relevant? Bukannya kalau toxic seharusnya dia justru lebih sehat setelah ditinggal mantan pacarnya itu? Dan, apa menurut kamu itu juga cukup untuk menjadi alasan kamu pantas menjadi pelabuhan terakhirnya? Siapa yang bisa menjamin hubungan kalian nantinya juga nggak bakalan toxic?" bombardir Sukma.

"Yah ... nggak ada jaminan apa-apa, sih. Tapi entah kenapa rasanya aku cuma mau nolongin dia aja," akuku. Sesuatu yang terlintas di pikiranku setelah menangisi draf cerita yang terputus semalam. "Lagipula, siapa sih yang bisa menjamin suatu hubungan bakal mulus dan berhasil sampai akhir? Bahkan yang udah pacaran belasan tahun aja bisa gagal kan?"

"Tapi ini artinya kamu mempertaruhkan perasaanmu sendiri, Pinky. Ini juga berarti kamu mempertaruhkan masa depanmu?" Sukma tidak menunjukkan tanda-tanda akan menyerah.

Aku cuma bisa terdiam. Itu dia pertimbangan terbesarku.

"Kamu masih ingat kan, sifatmu yang paling bikin aku benci?" Sukma kembali bertanya, meski aku belum menjawab pertanyaannya sebelumnya.

Kali ini aku tahu jawabannya, jadi kujawab, "Terlalu berempati."

"Iya. Dan, kadang-kadang mengarah ke emotional sponge. Kamu menyerap emosi yang dirasakan Bang Domu hingga ikut-ikutan merasa terbebani dengan konflik batinnya." Sukma bisa menjelaskan dengan mudah karena dia bekerja sebagai perawat di klinik mental health. "Anehnya, di saat yang sama kamu juga orang yang punya pendirian kuat. Terutama untuk orang-orang yang kamu sayangi. Aku nggak akan bisa lupa gimana kamu belain aku ataupun keluargamu saat diusik. Seharusnya aku juga nggak heran kenapa kamu kepikiran buat nolongin Bang Domu. Gimanapun juga, dia itu cinta monyetmu. Meski pakai kata monyet, tetap ada kata cinta di situ."

"Jangan lupa dia juga impulsif," Jihan ikut-ikutan memprovokasi.

Sukma tertawa sinis. "Impulsif banget! Tiba-tiba setuju perjodohan. Nggak pake mikir kondisi calon suaminya kayak gimana."

"Di saat yang sama dia juga plin-plan. Sebentar-sebentar bilang nyesal dengan perjodohan, sebentar-sebentar malah kasian dan pengin coba lanjut," Jihan ikut tertawa sinis.

"Guys, I'm listening," ujarku lemah, sekadar untuk membuat mereka sadar aku lagi dengerin mereka jelek-jelein aku.

"Sialnya, kita malah terjebak persahabatan sama dia." Sukma seolah nggak peduli ujaranku.

"Sahabat kental lagi," tambah Jihan.

"Udah kepalang sayang, gimana dong?" Sukma akhirnya melirikku, kubalas dengan senyum.

"See? Aku udah bilang kan, nggak ada tanda-tanda the-end antara kamu sama Bang Domu," celetuk Jihan.

"Trus ... kalau udah kayak gini, aku harus gimana Ji?" ringisku. Sengaja, bertanya khusus pada Jihan mengingat dia pernah memberi nasihat untuk menanyakan pendapatnya ketika hubunganku dengan Bang Domu tidak menemukan kata selesai.

"Kembali ke rencana awal, Pinky," Jihan memberi jeda untuk memberi sorot mata yang dramatis. Sukses membuat bulu romaku meremang. "Buat Bang Domu jatuh cinta beneran sama kamu."

💃💃

Iyaa,, ini emang lama banget jeda-nya, tp semoga Bang Domu dan Akak Pinkan masih punya tempat di imajinasi kalian yaa...

Makaciii yang masi ngikutin cerita ini

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro