Jimin : It's You

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Gemuruh angin menerpa, aku menggigil kedinginan. Hujan tak kunjung reda sejak satu jam dua puluh menit yang lalu.

Seorang anak laki-laki berlarian menuju halte, bajunya basah kuyup karena hujan. Surai hitamnya ikut basah, tangannya menepuk nepuk bajunya yang basah. Bibirnya mengerucut kesal, dan aku merasakan getar paling aneh seumur eksistensi hidupku.

Anak laki-laki itu menoleh ke arahku, mungkin sadar jika sedari tadi ada yang memperhatikannya. Dia membungkuk sopan, tak sengaja aku lihat name tag di dadanya.

Namanya Kim Hanbin.

Kakak kelasku, seseorang yang menjadi pentolan sekolah. Bad boy yang begitu di puja, biang onar yang paling di sayang satu sekolah, dan aku adalah salah satu pemujanya.

"Rambutmu basah .... Pakai ini untuk mengeringkannya," aku dengar sebuah bisikan yang mirip suaraku, Hanbin menoleh, dahinya berkerut halus menatap sapu tangan yang ku ulurkan.

Dia tersenyum kecil, tangannya terulur mengambil sapu tangan yang ku berikan, "Terimakasih," ujarnya, aku menunduk menyembunyikan senyumanku.

Rasanya dadaku mau meledak karena eufhoria dalam diriku, mataku sesekali meliriknya yang berada di sampingku. Aku tak dapat menyembunyikan detak jantungku yang sudah menggila, beruntung hujan turun begitu deras.

Sebuah mobil berhenti tepat di hadapan kami, seseorang dengan jaket biru beserta sebuah payung  di tangannya turun terburu-buru. Rambut coklatnya di tebak angin, dia mendengus pelan. Dia mengedarkan pandangannya, hingga akhirnya manik hitamnya menemukanku.

Aku bangkit dari dudukku, menghampirinya yang jalan terburu.

"Maaf aku telat, tadi macet. Pakai ini, kau pasti kedinginan," dia melepas jaketnya, memberikannya padaku. Aku tersenyum kecil melihatnya begitu khawatir.

"Jimin, aku baik-baik saja," aku melirik ke arah Hanbin, dia masih asik mengeringkan rambutnya.

"Ayo pulang," suara Jimin menarik perhatianku kembali, aku tersenyum lalu mengangguk pelan.

Aku lihat Hanbin masih di tempatnya ketika aku masuk kedalam mobil, seperti kutub magnet, tak bisa ku lepaskan atensiku darinya.

"Jadi, dia orangnya?"

Aku menoleh, lalu tersenyum lebar.

"Menurutmu bagaimana, Jim?" lelaki di sampingku menggigit bibir bawahnya pelan, menimbang-nimbang apa yang akan di ucapkannya. "Aku tidak yakin soal ini. Maksudku, kau tahu sendiri dia siapa. Pentolan sekolah, ku rasa bukan hal mudah untukmu merealisasikan keinginan mu itu."

Aku mengangguk pelan, menyetujui perkataannya barusan, "Kau benar, Jim. Aku rasa ini sesuatu yang mustahil, terlebih aku dengar dia sedang dekat dengan Jeannie, salah satu gadis populer di sekolah."

Ucapku lesu, Jimin tersenyum kecil. Tangannya mengelus rambutku pelan. Aku mendekat, memilih untuk menyandarkan kepalaku di bahu Jimin, tak sedikitpun Jimin protes dengan apa yang ku lakukan, padahal dia sedang menyetir.

"Bagaimana sekolahmu? Kau tidak membuat onar lagi kan?" Jimin mengedikan bahunya acuh, aku mendengus pelan. Sudah hapal betul akan kelakuannya, mungkin bagi Jimin jika tidak membuat onar sehari saja maka hidupnya terasa hampa.

"Jim, kau sudah pindah sekolah 3 kali dalam kurun waktu lima bulan," protesku.

"Lalu?" aku menatapnya tak percaya, tanganku terulur untuk menarik hidung mancungnya, ku tarik sekuat tenaga hidungnya dan dia mengerang kesakitan.

"Yak! Aku sedang menyetir. Kau ingin tabrakan, ya?" aku mendelik kesal, pasalnya ini bukan kali pertama Jimin membuat onar di sekolah, bisa di bilang dia setara dengan Hanbin. Atau mungkin lebih parah?

"Kali ini apalagi?" tanyaku.

Dahinya berkerut, mungkin sedang berpikir, "Sebenarnya aku hanya membuat satu keributan saja hari ini," aku menatapnya tak percaya, dan dia hanya mendengus pelan.

"Aku serius, aku hanya tidak sengaja meretas situs sekolah dengan menampilkan adegan di film fifty shades of grey," mulutuku terbuka dengan sendirinya, tak percaya dengan apa yang barusan ku dengar. Bagaimana dia bisa berkata sesantai itu?

"Kau gila?!"

"Aku bilangkan tidak sengaja," Jimin mencoba membela dirinya, aku menghela nafas kasar. Lagi pula untuk apa dia meretas situs sekolah? Maksudku, apa untungnya dari itu semua?

Mobil berhenti melaju begitu lampu merah menyala. Jimin menoleh kearahku, matanya yang setajam bulan sabit melengkung begitu bibirnya membentuk senyuman.

"Lagi pula renungan di pagi buta begitu membosankan, oh iya! Aku di keluarkan lagi," ucapnya sambil memberikan wink kearah ku. Aku benar-benar tidak mengerti lagi pada bocah lelaki di sampingku. Haruskah aku ucapkan selamat?

"Jim, kau tidak bosan pindah-pindah sekolah terus? Kali ini kau mau masuk sekolah mana lagi?"

Senyum masih setia bertengger di bibir Jimin, "Tentu saja tidak, setiap tempat punya cerita tersendiri. Ada satu sekolah yang menarik perhatianku," dahiku berkerut halus, dan Jimin hanya memberi senyum misterius.













Aku terbiasa datang pagi ke sekolah, karena sifatku yang introvert cukup sulit untukku mendapatkan teman. Selama hampir dua tahun sekolah di Shinwa High School hanya teman sekelas saja yang aku kenal.

Seperti biasa dari pertama datang ke sekolah, aku hanya akan duduk diam di bangkuku. Atau aku akan membaca buku yang sengaja aku bawa dari rumah.

Tapi, rasanya hari ini ada yang berbeda. Setiap murid yang masuk ke kelas -kecuali aku- terus saja membicarakan seorang anak baru. Terlebih para siswi yang nampak kegirangan, ku tebak murid baru itu adalah seorang anak laki-laki.

Dentang bel masuk begitu memekakan telinga, hanya dalam hitungan detik semua murid sudah duduk di mejanya masing-masing. Suasana tampak tegang, mungkin tengah menanti-nanti murid baru yang tidak di ketahui akan masuk kelas mana. Diam-diam aku ikut penasaran pada murid baru itu.

Pintu berderit, aku semakin tegang. Mr. Jang selaku wali kelas masuk dengan santai, di belakangnya seorang anak laki-laki mengikuti. Jeritan tertahan dari para siswi dan helaan nafas panjang dari para siswa begitu mendominasi. Mataku tak lepas menatapnya dari pertama masuk, sayang dia masih menunduk tak memperlihatkan wajahnya. Namun, aku merasa tak asing dengan siluet tubuhnya, mataku menyipit ingin memastikan bahwa itu bukan dia.

"Chaaaa, hari ini kita kedatangan murid baru. Silahkan perkenalkan dirimu."

Aku terhenyak begitu melihat wajahnya, pantas saja aku tak merasa asing dengan siluet tubuhnya. Dia tersenyum, "Annyeonghaseyo, Park Jimin imnida. Mohon bantuannya."

Matanya menemukan aku, bibirnya membentuk senyum separo membuatku bergidik ngeri, "Kau bisa duduk dengan ......" Mr. Jang menelisik penjuru kelas mencari kursi yang kosong, "Ah, sepertinya hanya kursi di sebelah (yn) yang kosong, kau bisa duduk di sana."

Ku lihat dia menggumamkan kata terimakasih, Jimin berjalan ke arahku dengan senyum separo yang masih bergantung di bibirnya, "Anyeong, Jimin imnida. Siapa namamu?" tanyanya sok tidak mengenalku.

"(Yn) imnida," dia terkekeh pelan, tangannya menggenggam tanganku yang berada di bawah meja. Ku layangkan tatapan tajam, namun tak ia gubris.

Bel istirahat berdering, helaan nafas lega terdengar dari seantero kelas. Termasuk manusia di sebelahku.

"Antar aku keliling sekolah, ya? Aku belum hapal sekolah ini, " ujarnya dengan senyuman, bagaimana aku bisa menolak?

"Jim, kenapa kau masuk sekolah ini?" tanyaku, sejujurnya aku sudah gatal ingin menanyakan hal ini sedari tadi, "Karena ada kau di sini, jadi ku pikir akan menyenangkan jika satu sekolah lagi denganmu," matanya membentuk sebuah bulan sabit paling indah, aku hanya tersenyum menanggapi perkataannya.

Kami jalan beriringan mengelilingi sekolah, berkali-kali Jimin memotret apa saja yang di lewatinya. Jimin dengan kamera di tangannya adalah hal paling indah kedua setelah senyumannya, dia punya bakat dalam memotret, sayang hal itu tidak di kembangkannya. Kami memutuskan untuk duduk di pinggir lapangan setelah lelah memutari sekolah, "Jim, kau tidak mempertimbangkan perkataanku waktu itu?" dia masih sibuk dengan kamera di tangannya, beberapa kali memotret objek yang menurutnya menarik.

"Aku tidak tertarik, kau 'kan tahu aku memotret hanya untuk hobby, bukan untuk profesi. (Yn)?"

Ckrek

Tawa Jimin menggema begitu berhasil mendapatkan fotoku -yang di pastikan sangat jelek- aku menatapnya kesal, "Yak berani sekali kau memotretku," tanganku mencoba menggapai kamera yang di angkatnya tinggi-tinggi. "Yak, wajahmu ya tuhan, sangat jelek hahaha," sialan, sudah di pastikan fotoku akan di jadikan aib olehnya, aku menggerutu kesal karena tak berhasil mendapatkan kamera di tangannya.

Gerakan tanganku terhenti ketika aku lihat Hanbin bersama teman-temannya sedang berjalan ke arah lapangan, Jimin yang melihatku tak lagi berusaha merebut kamera di tangannya mengikuti arah pandangku, samar aku mendengar Jimin mendengus tidak suka.

Hanya dalam beberapa detik, seluruh perhatianku terpusat pada Hanbin yang sedang asik bermain basket, tak ku hiraukan lagi eksistensi manusia di sampingku. Hanya Hanbin, hanya dia.

"Yak!! Yak Song (YN) kau tidak mau kembali ke kelas?" aku terperanjat kaget begitu suara nyaring Jimin terdengar, aku tergagap dan dia hanya memutar mata bosan. Jimin berjalan lebih dulu meninggalkan aku di pinggir lapang, ku teriakan namanya berkali-kali namun dia hanya berlalu pergi tanpa menoleh kembali.








Tubuhku mematung, kerja jantungku mendadak terlalu cepat, semuanya terasa berputar. Seluruh gravitasiku terpusat pada satu orang, ini terasa seperti ilusi, tapi ini juga terlalu nyata.

Kim Hanbin berdiri di hadapanku. Catat itu, Kim Hanbin beridiri di hadapanku, menemui aku. Dia tersenyum, berdiri kikuk di hadapanku, aku merasa nyawaku sudah melayang entah kemana.

Hanbin mengulurkan sapu tangan yang tempo hari ku pinjamkan padanya, "Aku sudah mencucinya, terimakasih," tanganku gemetar, seluruh sendi di tubuhku serasa mati. Hanbin tersenyum melihat reaksiku yang mungkin kelewat aneh. "Kau baik-baik saja?" bagaimana bisa aku baik-baik saja? Jika bisa mungkin sekarang aku sudah melayang, saking bahagianya aku.

"Aku .... Baik-baik saja," kenapa suaraku jadi mengkeret begitu? Dia terkekeh pelan. Aku menunduk menyembunyikan wajahku yang sudah kelewat merah, ku lihat Hanbin mengulurkan tangannya kearahku. Susah payah ku telan salivaku, tenggorokan ku mendadak kering.

"Namaku Kim Hanbin, siapa namamu?" tolong siapa saja tampar aku, ini terlalu mendadak. Bahkan dalam mimpi saja aku tak pernah berani mengharapkan ini, karena aku terlalu takut bahkan untuk sekedar membayangkannya.

Dengan tangan yang gemetar aku menjabat tangannya, "(yn), Song (yn). Itu namanku," lagi, aku melihat seyuman yang hanya bisa ku lihat dari kejauhan, begitu tampak nyata di hadapanku, "Nama yang cantik, seperti pemiliknya," dan saat itulah ku rasakan kepakan sayap kupu-kupu yang begitu menggelitik di perutku, merangsek ke dada dan meninggalkan detak jantung yang kuat.









"JIMIIIIIIN!!! APA KAU TAHU APA YANG TERJADI HARI INI?!" Jimin mendengus kesal begitu aku menerobos masuk ke dalam rumahnya."Bisakah kau tidak usah teriak-teriak?" aku hanya menunjukan senyuman lebar, ku peluk lehernya dari belakang, ku letakan kepalaku tepat di pundaknya membuatnya mengerang tak suka.

"Jim, hari ini aku bahagiaaaaaa sekali, kau tahu kenapa?" dia menggeleng, lalu matanya kembali fokus pada tv di hadapannya, tanpa di suruh aku mulai bercerita, "Hanbin hari ini menemuiku, dia mengembalikan sapu tangan yang ku pinjamkan padanya kemarin. Dan kau tahu apa yang paling mengejutkan?" lagi, Jimin hanya membalas dengan gelengan, "Dia mengajak ku berkenalan!! Ya tuhan, kau tahu aku saaaaangat bahagia, kau tahu kan aku sud-"

"(Yn), bisakah kau pulang? Aku ingin istirahat, kau belum pulang ke rumah 'kan?" aku terkejut mendengar nada biacara Jimin yang dingin, dia melepaskan pelukanku pada lehernya, lalu tanpa menunggu aku membalas ucapannya, dia melenggang pergi begitu saja meninggalkan aku dengan berbagai macam pertanyaan.

Aku bingung dengan perubahaan sikapnya yang terlalu tiba-tiba,  tidak biasanya dia seperti ini. Apa aku membuat kesalahan? Ku rasa tidak, apa dia marah karena aku tidak pulang bersamanya? Jika benar, maka itu sungguh kekanak-kanakan. Aku melangkah keluar rumah Jimin, tak berniat untuk mengganggunya, mungkin dia memang sedang lelah.







Aku mendengus kesal, ini kelima kalinya ponselku berdering, dan nomor yang menghubungiku masih sama. Dengan kesal aku mengangkat telepon itu, "Yeoboseyo?" (hallo?)

"Akhirnya kau mengangkatnya juga,"

"Nuguseyo?" terdengar kekehan pelan disana. (Siapa?)

"Kau lupa suaraku? Ah, aku kecewa," keningku berkerut halus, tidak mungkin 'kan jika ini Kim Hanbin.

"Aku Kim Hanbin, maaf malam-malam begini menelepon mu,"

Aku tersedak air liur ku sendiri, baru saja aku memikirkannya, "Apa kau baik-baik saja?" tidak, aku tidak baik-baik saja.

"An-anyeong Kim Hanbin-ssi," ah, sial ketara sekali jika aku gugup.

"Kau pasti terkejut karena aku menelepon mu tiba-tiba," aku lebih merasa ini seperti mimpi, ya tuhan Kim Hanbin menelponku.

"A-aku sedikit terkejut, ada apa kau meneleponku?"

"Hanya ingin memastikan kau sampai rumah dengan selamat," ku tebak dia pasti sedang tersenyum.

"Baiklah, ku tutup telponnya. Pastikan kau simpan nomor ku, karena kau akan sering mendapat pesan dan telepon dari nomor ini, night."

"N-night," hanya ada suara tut tut tut  yang panjang usai telepon di tutup, sebagian dari nyawaku belum sepenuhnya kembali. Ini seperti sebuah mimpi. Semuanya terjadi terlalu cepat, terlalu tiba-tiba. Oh, aku bahkan tak pernah berharap Hanbin tahu keberadaanku. Dan apa katanya tadi? Simpan nomornya, karena aku akan sering mendapat pesan dan telepon. Bukankah itu tandanya ia akan kembali menghubungiku? Oke, tenangkan dirimu (yn), tarik nafas keluarkan.

Ah, Jimin. Dia harus tahu hal ini. Secepatnya aku loncat dari tempat tidurku, mengambil  jaket secara asal dan berlari keluar rumah.

****************

Aku berlarian menuju rumah Jimin, namun langkah ku terhenti beberapa meter dari rumah Jimin, aku melihat dia tengah mencumbu seorang gadis di bawah lampu yang temaram. Senyumku luntur seketika, mataku memanas. Aku ingin lari, tapi kaki ku seolah menancap dalam tanah. Dadaku terasa panas, cairan bening berjatuhan dari mataku. Kerongkonganku terasa sangat kering. Entah, ini terasa menyakitkan.

Aku tahu jika Jimin nakal, aku tahu dia biang onar, tapi seumur hidupku yang nyaris selalu bersamanya, aku tidak pernah melihatnya melakukan hal seperti ini dengan wanita, dan terlebih dia melakukannya di depan rumahnya.

"Ji- Jimin, ap-apa yang sedang k-kau lakukan?" mereka terperanjat kaget medengar suaraku, cepat-cepat Jimin melepaskan pelukannya pada wanita itu. Mereka terlibat obrolan singkat, sebelum akhirnya wanita itu masuk ke dalam mobil dan melaju pergi, sempat ku lihat wanita itu menyeringai penuh kemenangan kearahku. Aku berjalan mendekati Jimin, meski tak dapat ku pungkiri tubuhku sangat lemas. Ini pertama kalinya aku melihat seseorang berciuman langsung di hadapanku,  "Kita bicara di dalam."

Jimin menghempaskan tubuhnya pada sofa, dia tidak bicara apapun soal wanita tadi. Tak sedikitpun dia bertanya apa tujuanku menemuinya.

"Siapa wanita tadi?" Jimin melirikku melalui ekor matanya.

"Kau tak perlu tahu, ada apa?"

Aku menggeleng, "Tidak, tidak ada apa-apa,"

"Kau menangis?" aku tersentak mendengar ucapan Jimin, "Aku hanya kaget," dia mengangguk pelan menanggapi ucapanku.
Hening, baik aku maupun Jimin tak satupun dari kami yang berniat membuka suara, "Jimin, sepertinya aku harus pulang. Permisi."

"(yn), selamat." Ucapan tiba-tibanya menahan langkahku.

"Untuk?"

"Karena Hanbin menemui dan mengajakmu berkenalan," aku mengulum senyum lalu mengangguk pelan. Dan seolah tidak ada yang terjadi Jimin membalas senyumanku seperti biasanya.

Jimin tak sedikitpun mencegahku untuk pulang, seolah dia memang tak ingin ada aku di dekatnya.
Tubuhku terasa sangat lemas, tangisku kembali pecah, ada perasaan tak rela melihat Jimin bersama wanita tadi. Namun, sepenuhnya aku sadar baik aku maupun Jimin suatu hari nanti pasti akan menemukan seseorang yang kita cintai.

*********************

Semenjak kejadian Jimin yang berciuman dengan seorang gadis, dan Hanbin yang secara ajaib menemui dan meneleponku. Hubunganku dan Jimin terasa berbeda, dia mulai sibuk sendiri. Jimin jadi jarang masuk sekolah, bahkan dia mendapat surat panggilan karena ketahuan merokok di belakang sekolah.

Hubunganku dengan Hanbin memang semakin dekat, tapi aku merasa ada yang salah. Aku merasa bukan ini yang seharusnya terjadi, secara terang-terangan Jimin menjauhiku.

Pernah saat itu aku bertanya mengapa ia menjauhiku dan jawabannya begitu ambigu, "Lambat laun kau akan terbiasa dengan atau tanpa kehadiranku."

Bagaimana aku bisa terbiasa? Jika setiap langkahku selalu ada dia, bagaimana aku akan baik-baik saja? Jika selama ini dialah yang melindungiku.

Satu kejadian yang semakin merentangkan hubungan kami adalah karena.........

Flashback....

"Aku ingin kau menjauhi Hanbin," aku menatap Jimin dengan dahi berkerut, bingung dengan ucapannya yang tiba-tiba.

"Kenapa aku harus menjauhinya? Aku rasa dia tidak melakukan hal yang salah."

"Dia bukan orang yang baik untukmu," ujar Jimin.

"Dari mana kau tahu dia tidak baik untukku? Jim, aku tidak suka jika kau bicara yang aneh-aneh soal Hanbin," Jimin mendengus kesal mendengar ku membela Hanbin, aku tahu dia sedang menahan kesal.

"Aku tahu dia lebih baik dari pada kau, dia tidak baik untukmu."

Braaakkk

"Jim, sudah aku bilang jangan bicara yang macam-macam soal Hanbin, tahu apa kau soal dia?! Kau bahkan tak lebih baik dari dia," suaraku naik satu oktaf, Jimin menatapku tak percaya. "Terserah. Setidaknya aku sudah memberitahumu." Dengan kesal Jimin meninggalkan aku begitu saja, semenjak itu dia tak pernah lagi bicara padaku.

Aku berjalan terburu-buru menuju kamar mandi, tak sengaja ku lihat Hanbin bersama teman-temannya. Aku berjalan mendekatinya berniat untuk menyapanya.

"Kau sungguh berkencan dengan (yn)?"

"Ah, gadis itu. Kau pikir aku sungguh berkencan dengannya? Aku hanya memanfaatkannya, gadis bodoh macam dia sungguh mudah di tipu," niatan untuk menyapa itu hilang lah sudah. Aku bisa mendengar kata-kata Hanbin yang lebih kotor dari sekedar memanfaatkanku. Aku hanya di jadikan permaianan olehnya.

Setelah mendengar perkataan Hanbin waktu itu, aku mulai menjauhinya. Aku mulai mencari Jimin, terdengar jahat memang tapi aku sungguh membutuhkannya.

Flashback off.....





"Kau tahu ku dengar Hanbin dan Jennie resmi berpacaran?"

"Benarkah? Bukannya dia sedang dekat dengan (yn)"

"Tidak, dia benar-benar berpacaran dengan Jennie."

"Wajar saja, Jennie jauh lebih cantik darinya. Huh habis Jimin sekarang Hanbin."

"Gara-gara dia Jimin jadi jarang sekolah, padahal satu bulan pertama Jimin sangat dekat dengannya, dapat yang baru yang lama di buang. Menjijikkan."

Aku mencoba tak mempedulikan bisik-bisik para penggosip di kelas,  sekuat tenaga aku menjaga diriku agar tidak terpancing emosi. Tak ada gunanya menanggapi ucapan mereka. Yang ada hanya menghabiskan tenaga.

Braaaaak

"Yakk!!! Hanbin berkelahi dengan Jimin!!! Cepaaat ini sangat seru!!!" tubuhku menegang mendengar teriakan Hoshi di depan pintu, seluruh murid berlarian ingin melihat perkelahian dua biang onar sekolah.

Aku berjalan ke luar kelas, berlari menuju kerumunan orang-orang. Tak ada satupun yang berniat menghentikan mereka. Mataku terbelalak melihat keadaan Jimin dan Hanbin, darah mengucur dari bibir dan hidung mereka. Pakaian mereka tampak kacau, tak ada yang berniat menghentikan mereka, bahkan teman-teman Hanbin hanya diam menyaksikan.

"Apa yang kalian lakukan?!! Hentikan mereka, mereka bisa mati!!"

"Panggil guru!! Cepat!!" tak ada satupun yang menghiraukan ucapanku, tubuhku gemetar hebat, terlintas sebuah pikiran gila. Tapi, aku sangat takut. Jimin tipe orang yang tak mudah di tenangkan saat marah, tapi jika tidak di berhentikan Hanbin bisa mati. Tak ada lagi waktu untuk berfikir.

Dengan modal nekad aku meloncat masuk begitu Jimin hendak melayangkan pukulannya, tangannya terhenti di udara begitu aku berdiri tepat di hadapannya. Matanya berkilat penuh amarah, aku tak pernah melihatnya semarah ini. Apa yang membuatnya semarah ini?

"Ja-jangan pukul lagi," gigi Jimin bergemelatuk menahan amarah, dadanya naik turun.

"Bahkan kau melindunginya sampai akhir," ucapannya begitu menusuk, lalu tanpa berkata lagi Jimin melenggang pergi.

"Aku ta-tahu kau a-kan mem-milihku," aku menatap Hanbin tajam, penuh kebencian.

Plakkkkk

Plaaaakkk

Dua buah tamparan ku hadiahkan pada Hanbin, semua orang menatap tak percaya ke arahku, aku tidak peduli pada tatapan terkejut dan mencemooh mereka.

"Berhentilah berpura-pura. Apa kau kira aku tak tahu kau hanya memanfaatkan aku?"

Mata Hanbin terbebelak, lalu ia terkekeh pelan, "Apa maksudmu? Siapa yang bilang itu padamu? Ah, apa si brengsek Jimin yang bilang begitu?"

"Satu-satunya orang brengsek  di sini adalah dirimu. Dan orang yang mengatakan bahwa kau adalah pria brengsek yang senang memanfaatkan orang lain adalah dirimu sendiri."

Hanbin diam, tak mampu menjawab perkataanku. Aku berlalu dari hadapan semua orang. Melangakah mencari Jimin, ku datangi semua tempat yang mungkin di datanginya. Namun tak ku temui dia.

Tubuhku terasa sangat lelah karena seharian berlarian mencari Jimin, hari sudah malam. Aku diam terduduk di depan rumah Jimin menunggu sang empunya rumah pulang.

Sebuah mobil yang sangat ku hapal berhenti tepat di depanku. Dua orang anak laki-laki keluar dari mobil Jimin, salah seorang dari mereka memboyong tubuh seseorang yang sedari tadi ku cari. Aku berjalan mendekati mereka.

"Siapa kau?"

"Aku? Aku temannya, Jimin kenapa?" tanyaku khawatir.

Dua orang di hadapanku saling berpandangan, "Namaku Taehyung," ucap anak lelaki yang memakai sweater abu-abu."Dan dia Jungkook, jangan khawatir dia hanya mabuk," Jungkook mengangguk pelan, "Bisa kau bantu kami membawa dia? Dia berat. "

"Ah, tentu saja. Mari ku antar."

"Kalian bisa menidurkan Jimin di kamarnya, terimakasih sudah mengantarkannya."

"Santai saja, oh iya tolong obati lukanya agar tidak infeksi," ujar Taehyung.

"Baiklah kami pulang dulu, tolong jaga dia." Jungkook dan Taehyung pamitan pulang, setelah mengantar mereka ke depan aku kembali masuk ke rumah Jimin.

Sebelum kembali ke kamar Jimin aku mengambil kotak P3K terlebih dulu. Mengingat baku hantam antara Jimin dan Hanbin tadi membuatku meringis. Aku lihat Jimin masih tertidur pulas, aroma alkohol menguar dari tubuhnya. Berapa banyak ia minum?

Dengan sangat hati-hati aku membersihkan luka di pipi, bibir dan pelipisnya. Sesekali ia mengerang kesakitan, membuatku tidak tega. Ku perhatikan wajahnya yang polos, seperti bayi.

"Jim, maaf membuatmu berkelahi dengan Hanbin. Maafkan aku tidak mendengarkan ucapanmu tentang Hanbin, mungkin jika aku mendengarkan ucapanmu aku tidak akan pernah terluka," air mataku berjatuhan satu persatu membentuk sungai kecil.

"Jim, kau benar dia memang brengsek. Bagaimana bisa aku lebih percaya dia dari pada kau, Jim aku-"

"Minta maaf?" aku terperanjat kaget begitu mendengar suara Jimin, perlahan Jimin membuka matanya. Di tatapnya aku intens.

"Kau ....... Mendengar semuanya?"

Jimin mengangguk pelan, "Aku sudah memafkanmu," aku menatapnya tak percaya, dengan gerakan pelan dia membawaku ke dalam pelukannya, terasa hangat dan nyaman. Ini yang ku cari selama ini.

Aku mendongkak menatap Jimin, maniknya yang hitam begitu menenggelamkan, "Bagaimana aku bisa berjauhan darimu? Jika kau adalah kutub magnet yang menarik dan menahanku untuk tetap diam di sampingmu."

Jimin tersenyum mendengar ucapanku, dia mendekatkan wajahnya pada wajahku, dapat ku rasakan hembusan nafasnya di bibirku, "Apa kau sudah paham bagaimana perasaanmu padaku?" aku mengangguk menanggapi ucapannya.

Aku mendekat, menempelkan kening kami berdua. Jimin memejamkan matanya menikmati moment yang terasa luar biasa, "Aku paham, jauh darimu menyiksaku. Diammu membunuhku, tak melihatmu begitu menyesakan. Aku ingin kau bersamaku. Aku mencintaimu."

Cup

Aku terkejut kala bibir Jimin menyentuh permukaan bibirku, Jimin melepaskan ciumannya lalu menatapku. Dengan gerakan cepat aku kembali menempelkan bibir kami, dengan pelan Jimin mengulum bibirku lembut penuh kehati-hatian. Aku membalasnya mengikuti ritme ciuman Jimin, pelan namun penuh rasa sayang dan cinta. Aku mengalungkan lenganku pada leher Jimin, senyum bahagia tercipta.

"Aku mencintaimu," bisiknya di sela ciuman kami.














Nyerahh!!! Aku nyerah!!! 3500 words puyeng puyeng dah lu pada bacanya 😂😂😂 oke fix jangan lupa vote dan comment.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro