Jungkook : How Can I Say?

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Ps: di rekomendasikan bacanya sambil dengerin lagu Day6 How Can I Say.




" I don't love you no more. How can I say? "





Dia tersenyum begitu lebar menampilkan kedua lesung pipit di kedua pipinya. Padahal aku hanya memberikan sebotol air mineral, bukankah itu hal wajar? Karena dia juga sering melakukannya saat aku sedang berolahraga.

"Terima kasih," ujarnya pelan. Aku hanya mengangguk pelan lalu pergi setelah pamit padanya. Dia tidak menahanku untuk tetap di sana. Dia hanya diam. Mungkin heran, karena tidak seperti biasanya aku tidak melihatnya di pelajaran olahraga. Maaf, kali ini aku sedang tidak tertarik.

Gadis itu hanya diam di ujung lapang, wajahnya memerah setelah berolahraga selama satu jam. Aku diam-diam memperhatikannya, dia tampak lelah.

Rasanya tak semenarik saat pertama. Dulu jantungku akan memompa dua kali lebih cepat dari biasanya saat melihat dia berolahraga. Seharian penuh aku akan tersenyum hanya karena ada dia sampingku. Semalaman aku akan merindu, hanya karena dia tak ada di jarak pandangku.

Tapi, kini rasanya berbeda. Getar itu hilang entah kemana. Senyum itu luntur entah sejak kapan. Dan rindu itu enggan kembali tercipta. Semuanya, terasa biasa saja.

Namanya, Jang Nara. Gadis yang sudah hampir dua tahun belakangan ini mengisi hari. Gadis yang dulu aku cintai setengah mati, gadis yang aku rindukan dari petang sampai pagi menjelang. Gadis yang membuatku jatuh teramat dalam.

Nara. Nama itu entah sejak kapan mulai terhapus secara perlahan. Aku juga tidak tahu sejak kapan rindu-rindu itu tak lagi menjadi menghantar tidurku.

"Jungkook, Nara mencarimu." Aku menghela napas, tapi tak urung bangkit dari dudukku untuk menghampiri Nara.

Gadis itu berdiri tak jauh dari pintu kelasku. Bibirnya membentuk garis lengkung yang dulu mampu membuatku menahan napas. Matanya membentuk bulan sabit yang cantik yang dulu sanggup membuat dadaku sesak. Tapi sekarang terasa biasa saja. Tidak ada yang istimewa dari senyuman itu atau pun garis lengkung di matanya.

"Ada apa?" tanyaku langsung.

Nara tampak ragu, tetapi beberapa detik kemudian suaranya terdengar."Jungkook-ah, bisa temani aku ke toko sepatu tidak? Itu juga jika kau tidak sibuk."

Matanya menatapku penuh harap. Ah, aku benci situasi ini. Dulu aku tidak akan pernah bisa menolak apapun yang dia inginkan atau pinta. Tapi sekarang, rasanya mudah saja bagiku untuk menolak semua ajakannya. Kini aku bisa menolak tanpa berpikir dia akan terluka atau tidak, berbeda dengan dulu aku akan mati-matian menjaga hati dan perasaannya. Dulu mungkin aku adalah budak cintanya.

"Tidak bisa, ya?" suara Nara membawaku kembali ke alam sadar.

"Lain kali saja. Hari ini aku harus mengantar ibuku ke dokter." Aku berlalu dari hadapan Nara, bahkan sebelum gadis itu sempat bersuara. Aku benar-benar benci diriku yang sekarang.

Aku selalu bertanya-tanya, mengapa aku masih mempertahankan hubungan dengan Nara? Padahal rasa yang dulu menggebu itu sekarang sudah hilang bersama dengan semilir angin malam.

Aku tidak tahu bagaimana caranya memberi tahu Nara soal ini. Soal rasa yang sudah hilang, soal rindu yang tak kembali datang, soal hati yang tak lagi berdegup kencang.

Nara terlalu baik untuk sekedar disakiti. Cara dia menyayangiku, adalah sebuah penghargaan terbesar yang tidak pernah aku terima dari siapapun. Dia satu-satunya. Dulu memang begitu, saat ini tidak lagi begitu.

Dulu, rasanya sangat menyenangkan berkirim pesan dengan Nara, tapi sejak berbulan-bulan lalu itu terasa sangat membosankan. Aku juga tidak akan keberatan menghabiskan kuota bulananku hanya untuk sekedar bertelepon ria dengan Nara, tapi kali ini hal seperti itu sudah tak menarik lagi bagiku.

Apa yang salah dengan diriku?

Baru saja memikirkannya, ponselku berdering kencang menapilkan nama Nara di layar ponsel. Dengan sedikit malas aku mengangkat telepon darinya.


"Hallo, ada apa, Nara?"

"Jungkook-ah, bisa temui aku sebentar? Aku di taman samping rumahmu."

Gadis ini. Tidak bisakah dia tidak membuatku khawatir sekali saja. Dia itu ceroboh dan sangat polos, bagaimana jika ada yang berniat jahat padanya?

"Aku akan sampai dalam 5 menit."

Aku menutup telepon, lalu bergegas mengambil jaket, cuaca hari ini cukup dingin. Aku berlarian untuk menemuinya. Aku hanya tidak ingin hal buruk terjadi.

Nara tampak santai duduk di ayunan. Dia tersenyum begitu melihatku, tangannya melambai memintaku bergegas. "Kenapa malam-malam kesini?! Jika ada orang jahat bagaimana?!" semburku kesal. Ini bukan pertama kalinya Nara seperti ini, dan bukan sekali dua kali aku memarahinya karena ini.

Dia mengukir senyum manis, "Maaf, tadi aku tidak sengaja lewat daerah sini, jadi sekalian mampir." Aku membuang napas kesal sementara Nara masih mempertahankan senyumannya. Nara mengulurkan sebuah paper bag berukuran sedang, dahiku berkerut halus. "Apa ini?"

"Sepatu. Hadiah karena kau sudah mau bersamaku selama dua tahun ini. Happy Anniversary."

Jantungku mencelos mendengar ucapan gadis di hadapanku. Bibir Nara tidak berhenti membentuk senyuman, membuatku merasa bersalah. Dadaku terasa sesak sekali. Sial, kenapa aku bisa lupa?

Alih-alih mengambil paper bag yang diulurkannya. Kepalaku malah memutar kembali semua perlakuanku padanya. Semuanya, termasuk perasaan dan hatinya yang sudah berubah arah.

Haruskah aku mengatakan yang sebenarnya? Jika tidak hari ini maka kesempatan itu tidak akan datang kembali. Aku tidak mau menyiksa diriku sendiri dan aku juga tidak mau membuat Nara lebih sakit hati karena perlakuanku beberapa bulan terakhir ini.

"Nara aku ...."

"Aku tahu." Nara memotong ucapanku, kendati bibirnya masih membentuk senyuman tapi matanya tak bisa menyembunyikan luka.

"Maaf, kau pasti sudah banyak terluka karena aku."

Nara meraih tanganku, perasaan hangat itu menjalar namun tak menimbulkan reaksi yang aku harapkan, semuanya terasa seperti tak pernah ada apapun di sana.

"Apa benar-benar sudah tidak tersisa sama sekali?" tanyanya parau. Aku mengangguk pelan. Aku tak ingin membohonginya perihal perasaanku yang memang sudah hilang. Entah sejak kapan.

"Sejak kapan aku sudah hilang di sini?" gadis itu membelai pelan dadaku, tanganya ditangkupkan di sana. ungkin berharap detak jantungku masih sama seperti dulu. Namun, matanya menyiratkan kekecewaan yang nyata. Sungguh, aku benci berada dalam situasi seperti ini.

"Sejak kapan kau tahu jika aku sudah tidak sama seperti dulu?" tanyaku pelan. Aku enggan menjawab pertanyaannya, karena aku juga tidak tahu jawabannya.

Nara mendongak menatap tepat di manikku. Ia tersenyum kecil sebelum berkata kelewat pelan. "Sejak kau menyuruhku mandiri tanpa ada kau di sampingku. Apa aku selama ini merepotkanmu?"

Aku tergelak mendengar ucapanya, selama itu Nara sudah tahu. Aku hanya menggumamkan maaf berkali-kali. Memohon agar ia mengerti jika hati tak bisa dipaksakan. Ia hanya mengangguk dan mengatakan jika semuanya mungkib memang harus berakhir.

"Jangan membenciku," pintaku. Nara menggeleng pelan, "Tidak akan, kau tenang saja."

"Jadi kita berakhir seperti ini?" aku membawa tubuh Nara dalam pelukanku. Setidaknya untuk menenangkan hatinya yang mungkin terluka hebat karena ulahku. Tangisnya pecah dan terasa memilukan. Hatiku juga ikut terluka, ini tidak semudah yang aku kira. Melepaskan orang terkasih tidaklah semudah itu.

"Aku masih mencintaimu," Bisiknya disela tangis.

"But, I dont love you no more,"
balasku.






Apa yang Jungkook lakukan itu jahat 😭😭 jangan tiru adegan di atas 😄 vote-commentnya jangan lupa yah biar author tambah semangat nulisnya.

Salam Istrinya Bangtan 😄

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro