12.Perpisahan Mendadak

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Hari yang telah dinanti Nina sejak kemarin, akhirnya tiba juga. Biasanya, ia tidak peduli jika ada tim medis yang datang. Masa bodoh dengan pendapat banyak mahasiswi yang mengatakan bahwa mahasiswa kedokteran memiliki visual yang tidak main-main. Seolah memiliki gebetan dari fakultas dengan biaya termahal itu adalah sebuah impian. Ia sungguh tidak tertarik lagi dengan visual yang memesona. Matanya sudah terkunci oleh pesona Arkan saat ini.

"Jam berapa tim medis datang?" tanya Nina pada Ridho yang sedang menata isi lemari di depan kantor.

"Kayak biasanya mungkin. Kenapa?"

"Ah, enggak. Nanya aja."

Nina menghela napas pendek. Tim medis memang melakukan pergantian shift saat malam. Tepatnya setelah maghrib. Berarti masih kurang dua jam lagi dari sekarang.

Ridho menghentikan aktivitasnya. Ia mendekat ke arah Nina yang sedang duduk sembari bermain ponsel.

"Kamu sakit, Nin?"

"Aku?" Nina balik bertanya. Ia merasa sehat-sehat saja.

"Iya. Itu kenapa kok, nanya tim medis. Apa lagi nggak enak badan?"

"I am okay," jawab Nina dengan singkat.

Celetukan teman-temannya tentang tim dari Fakultas Ilmu Kesehatan kemarin membuatnya overthinking. Ia terus saja menerka sosok-sosok yang akan datang. Ia khawatir tentang kisah yang belum diakhiri tersebut.

Ridho menatap Nina dengan curiga. Raut Nina terlihat tidak bersemangat. Jarang dirinya menemukan teman satu jurusannya itu manyun saat di sini, kecuali awal-awal minggu yang kukuh ingin resign itu.

"Assalammualaikum, Bang Ridho!"

Nina dan Ridho sontak menoleh ke sumber suara. Terlihat sosok pemuda bertubuh kurus dengan kulit yang bersih, sedang menuruni anak tangga yang ada di gerbang gedung A. Ia melambaikan tangan ke arah para mahasiswa tingkat akhir tersebut dengan senyum merekah.

"Waalaikumsalam, Aris. Akhirnya ketemu lagi kita."

Aris yang merupakan tim medis dari jurusan keperawatan menjabat tangan Ridho dengan erat. Mereka pun berbincang seru. Nina hanya memperhatikan dua orang laki-laki tersebut.

"Eh, kenalin, nih. Namnaya Nina. The one and only, cewek sekretariat kami," ucap Ridho memperkenalkan Nina kepada Aris.

"Salam kenal, Mbak Nina. Saya Aris." Pemuda berkacamata itu menangkupkan kedua tangan.

Nina tersenyum dan melakukan hal yang sama. "Saya Nina."

"Kok, sendirian. Yang lain mana?" tanya Ridho seraya mengedarkan pandangan.

"Nanti nyusul habis Maghrib." Aris berjalan menuju ruang kantor. Namun, tidak ada orang di sana. "Berdua aja kalian?"

"Iya, gantian jaga. Oh iya, dia masuk tim medis, 'kan?" Ridho berbicara dengan senyum menghiasi wajahnya.

"Dia siapa, Bang?" Aris mengerutkan keningnya. Namun, sekejap kemudian bibirnya terbuka. "Oh, si dia. Baru bisa join bulan depan. Lagi sibuk di ngerjain laporan praktik di kampus."

Ridho mendesah kecewa. Ia menanti mahasiswi bernama Nastiti itu datang. Sejak tahun lalu, dirinya sudah mengagumi gadis dengan kerudung lebar tersebut. Namun, ia hanya bisa memendamnya. Dirinya merasa tidak enak hati karena teman-temannya pun seolah menunjukkan bahwa tengah mengagumi perempuan yang sama.

"Nungguin siapa kamu, Dho?" Nina yang sedari tadi fokus ke ponsel, mendadak penasaran dengan sosok yang dimaksud Ridho.

"Enggak ada, Nin," jawab Ridho seraya mengedipkan mata sebelah kiri.

"Idih, genit," ujar Nina seraya bergidik ngeri.

***

Nina mengayunkan langkah menuju gedung A dengan senyum semringah. Pengerjaan skripsi yang sudah sampai bab tiga telah mendapat persetujuan dua dosen pembimbing. Ia tinggal menyiapkan hasil penelitian yang telah dilakukan saat praktik mengajar semester enam yang lalu. Langkah menuju ujian skripsi tinggal sedikit lagi jika dirinya tidak tersendat. PMB juga tinggal satu bulan lagi. Setelah itu, Nina berniat menyelesaikan skripsinya segera. Apalagi Arkan kerap memberi dukungan untuk segera lulus. Nina menganggap support tersbeut adalah sebuah ajakan untuk segera menikah. Orang baper bebas sih, mau merasa seperti apa.

Begitu sampai di kantor, Nina hanya mendapati Luki yang sedang berjaga di meja depan. Pintu ruangan ditutup. Namun, beberapa alas kaki yang tidak asing lagi berjajar di depan pintu.

"Lagi ngapain di dalam?" tanya Nina seraya melangkah. Ia hendak memegang pegangan pintu. Namun, Luki menahannya dengan ucapan.

"Lagi rapat penting," ungkap Luki dengan jari telunjuk menepel di depan bibir.

"Rapat apa?" tanya Nina heran. Apalagi ada sepatu hitam. Ia yakin itu adalah milik panitia SC.

Luki mengangkat bahu. "Ada pelanggaranan mungkin di panitia OC?"

Nina membeliak kaget. Ia mulai ketar-ketir. Khawatir jika dirinya telah melakukan kesalahan.

"Jangan nakut-nakutin."

"May be yes, may be no. Bang Arkan tadi wajahnya aja serius. Nggak ada senyum-senyumnya sama sekali waktu Pak Tegar datang."

Nina menghela napas panjang. Jarang sekali dirinya melihat Arkan berwajah serius. Pernah terjadi hal demikian saat menghadapi peserta yang kedapatan membawa rokok. Selebihnya, wajah ramah dan penuh senyuman yang kerap dilihatnya.

Setengah jam kemudian.

Pintu ruang kantor terbuka. Nina menoleh dengan cepat. Tampak Pak Tegar sedang berbincang dengan Arkan seraya merangkulnya.

"Kalau ada kesempatan, nggak usah ditunda lagi, Mas. Langsung ambil, dan mulai action," ujar Pak Tegar memberi semangat.

Nina mencuri dengar pembicaraan mereka. Ia menyipitkan mata. Bukan masalah PMB yang diperbincangkan. Pembahasan dua laki-laki berbeda generasi itu tentang karir.

Pak Tegar pun kembali ke kampus. Tinggal panitia yang masih berada di kantor. Nina yang tadi duduk di luar diminta masuk oleh Ridho. Semua tim berkumpul dengan formasi lengkap.

Arkan membuka rapat dadakan. Ia lalu menjelaskan perihal obrolan yang tadi dilakukan bersama Pak Tegar. Ridho, Sandi, dan Rusdi sudah paham karena mereka ikut bergabung. Tinggal menjelaskan kepada Nina dan Luki.

"Sebenarnya saya berat mau meninggalkan PMB," ujar Arkan. Ia lalu mearik napas panjang. "Tinggal satu bulan lagi. Namun, sebagai sarjana muda yang mendapat tawaran kerja di bidang yang memang saya inginkan, membuat saya harus menyudahi amanah ini."

Nina tersentak. Ia tidak menyangka jika Arkan akan meninggalkan PMB dalam waktu dekat. Dua hari lagi!

"Jadi, penanggung jawab diserahkan kepada Ridho. Pak Tegar sudah menyetujui. Untuk kesekretariatan empat orang dirasa cukup karena hanya tinggal empat gelombang lagi," lanjut Arkan dengan nada tenang.

Nina masih terdiam. Ia terkejut dan sedih mendengar keputusan ini. Perpisahan yang mendadak. Arkan akan memulai karir di pulau seberang. Nina seperti kehilangan harapan. Sepanjang rapat hingga ditutup, tidak ada kata-kata yang keluar dari bibir gadis yang mulai gemar mengoleksi gamis ini.

"Nin, besok habis subuh diajak Bang Arkan jalan-jalan di kampus," ungkap Rusdi seraya berbisik di samping Nina. Gadis itu menoleh dengan ekspresi terkejut. "Sama aku juga."

Nina mengangguk pelan. Ia menjadi tidak bersemangat. Ingin rasanya bertanya segera kepada Arkan tentang dirinya yang dianggap sebagai apa oleh pemuda tersebut? Namun, ia masih memiliki harga diri.

Malam pun datang. Perserta sudah kembali ke ruang kelas setelah makan malam. Mereka sedang melaksanakan salat Isya berjamaah.

Arkan berjalan menuju meja depan kantor setelah selesai menunaikan salat di musala rusunawa. Di sana ada Nina yang tengah mengecek data peserta gelombang berikutnya.

"Besok habis subuh ya, Nin. Sama Rusdi juga," ucap Arkan.

Nina mendongakkan kepala. Ia masih syok mendengar keputusan Arkan tadi siang. Gadis itu menghela napas panjang, lalu mengangguk dengan pelan. Dalam hati, keinginan untuk bertanya langsung pada Arkan masih menggebu.

Arkan melirik gadis di sampingnya. Nina terlihat tidak ingin berbincang dengan dirinya. Gadis itu kembali fokus dengan kertas-kertas di tangan.

"Assalammualaikum."

Sapaan salam dari perempuan muda dengan kerudung lebar terdengar di depan meja . Nina dan Arkan serempak mengangkat wajah dan menjawab salam.

Arkan terkesiap melihat sosok yang datang. Ingatannya kembali berputar ke masa setahun yang lalu. Masih di tempat yang sama, rusunawa.

"Nastiti, 'kan?" tanya Arkan memastikan.

Nastiti mengangguk seraya tersenyum. "Iya, Kak. Em, maaf, mau tanya tempat tim medis. Di sebelah mana, ya?"

"Aku antar," ucap Arkan seraya tersenyum dengan manis.

Arkan pun beranjak dari posisinya. Ia lalu melangkah menuju ruangan di ujung timur gedung, diikuti Nastiti.

Mata Nina tidak lepas dari dua insan berbeda gender itu. Ia merasa terusik dengan respon Arkan yang sangat manis terhadap anggota tim medis tersebut. Dirinya mulai menerka tentang siapa sosok perempuan langsing dengan wajah teduh tersebut.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro