11.Puncak Baper

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

https://www.youtube.com/watch?v=j6nevGNYTkA

Itu tuh, lagu yang bikin Nina makin baper!

Arkan, oh, Arkan.

"Udah, nggak usah baper! Entar sakit sendiri, nangis-nangis."

Megan memalingkan wajah ke arah Nina yang sedang berbaring di atas kasur. Gadis itu tengah membersihkan komedo dan jerawat batu di wajahnya dengan menggunakan pinset. Kebiasaan Megan itu sering mendapat omelan dari Nina karena seperti menyakiti wajah sendiri.

Nina mencebik kesal mendengar respon Megan. Padahal apa yang diceritakannya sudah bisa memastikan jika sikap Arkan kepadanya seratus persen menaruh rasa terhadapnya.

"Rusdi yang cowok aja bilang kalau dia emang ada-ada apa-apa sama aku. Kurang apalagi?" Nina masih membela diri. Ia ingin Megan juga berpendapat sama. Ada sedikit kekhawatiran, pendapat orang lain mengatakan tidak. Nina menolak rasa kecewa.

"Yakin penilaian Rusdi tentang Arkan ke kamu itu objektif?" tanya Megan yang kembali menoleh dengan satu alis terangkat. "Jangan-jangan cowok gemulai itu juga hobi baper kayak kamu."

"Astagfirullah, Megan!" Nina terkejut mendengar kalimat terakhir. "Kok, kamu jadi nggak asyik gini, sih, Meg. Rusdi itu cowok tulen, kok. Cuma nggak segarang kayak yang lain."

"Sorry, sorry. Aku nggak maksud body shamming, Nin."

Megan menghela napas pendek. Ia menyadari bahwa ucapannya sedikit keterlaluan.

"Aku kalau nggak ada penyebabnya juga nggak bakalan baper." Nina masih kukuh dengan pendapatnya. Ia mengakui bahwa dirinya memang terbawa perasaan atas semua sikap manis Arkan. "Aku ngaku, deh. Kemarin itu titik puncak baperku, Meg. Parah asli! Hanya karena lagu."

Nina pun menjelaskan jika Arkan memintanya menerjemahkan arti lagu yang pernah viral di tahun 2000-an. Sebuah lagu dari Daniel Bedingfield berjudul If You Are Not The One.

"Nggak pernah denger judul itu kayaknya aku," tutur Megan seraya menautkan kedua alis. "Penyanyinya juga. Coba Justin Bieber, langsung ngerti."

"Jelas, kita kan, masih balita pas lagu itu viral," ucap Nina seraya berdecak. "Ngapain coba dia minta aku nerjemahin? Di Google banyak banget artinya."

"Ya, karena kamu mahasiswi Bahasa Inggris," sahut Megan dengan santai.

Nina mendesah pelan. Ia mengeluarkan ponselnya, kemudian memilih aplikasi YouTube. Lagu yang muncul di video, segera ditunjukkan ke Megan.

"Eh, kok, keren lagunya." Megan menghentikan aktivitasnya. Ia tetap berdiri seraya mendengarkan alunan nada yang berasal dari benda pipih tersebut.

Lagu tersebut memang sangat romantis dan memiliki makna yang sangat dalam. Jika para cewek dinyanyikan lagu itu sama laki-laki, yakin banget bakalan meleleh saking manisnya semua lirik yang ada.

"Coba resapin arti lagu ini, Meg. Yang aku tangkap sih, gini. Itu cowok lagi jatuh cinta. Mungkin yang pertama kali. Jadinya dia bertanya-tanya tentang perasaannya. Terus, bisa jadi si cowok itu nanya langsung ke cewek yang dimaksud. What happen with me, Girl? Gampangnya, dia ngungkapin perasaannya ke cewek. Coba, Meg. Coba kamu ada di posisiku. Terus diminta nerjemahin lagu ini."

Nina berucap dengan penuh antusias. Tidak salah lagi jika lagu ini membuatnya berada di puncak baper.

Megan menarik napas panjang. Ia menyudahi aktivitasnya, lalu bergerak menuju kasur. Gadis itu kemudian duduk di samping Nina. Megan rasanya sudah gemas karena teman satu kamarnya itu susah diberi nasihat perihal Arkan. Ia sejujurnya tidak terlalu suka jika Nina dekat dengan sarjana muda tersebut.

"Gini aja deh, Nin. Aku nggak mau kamu terjebak dalam angan-angan semu. Jadi, pas dia wisuda kemarin itu, apa ngajak kamu sebagai pendamping wisuda?" tanya Megan dengan tatapan tajam.

Nina paham jika ekspresi sahabatnya itu bukan obrolan main-main lagi. Ia paham benar siapa Megan saat serius atau santai. Gadis dengan kaus lengan panjang motif garis berwarna biru muda dan tua itu menggeleng pelan.

"Ya udah. Itu jawbannya." Megan berucap dengan tegas. Jari telunjuk menekan kasur.

Nina yang sedari tadi berbaring, kini mengubah posisi. Ia duduk seraya bersandar di dinding.

"Apa jawabannya?" tanya Nina bingung.

Megan mendesah pelan. "Nina, sahabatku sayang. Kalau laki-laki itu beneran serius suka sama kamu. Saat ada momentum bertemu keluarganya, tentu kamu bakal dikenalin. See, enggak, 'kan?"

Nina hanya terdiam. Pikirannya mulai berkecamuk. Keyakinan diri dan pendapat Megan seolah berbenturan di kepala.

"Udahlah, jangan ngarepin dia lagi, Nin," saran Megan.

Nina belum juga membuka mulut. Ia terus termenung. Di satu sisi, sebagai seorang yang menerima langsung sikap Arkan, tentu hatinya mengiyakan semuanya. Namun, apa yang dikatakan Megan juga ada benarnya, meskipun selalu muncul pembenaran-pembenaran dari dirinya sendiri.

"Kalau aku dipertemukan saat dia wisuda, bakal jadi berita heboh. Dia kan, banyak penggemarnya. Bisa aja nunggu waktu yang pas," ucap Nina mencoba tetap menyelamatkan hatinya dari kekecewaan.

Megan sontak mencengkeram rambutnya. Ia lupa bahwa telah melakukan pekerjaan sia-sia, yaitu menasihati orang jatuh cinta.

"Terserahlah, aku nggak mau tahu lagi. Pokoknya aku nggak pingin lihat kamu kecewa nanti. Semoga aja emang bener dugaaan-dugaanmu itu," tukas Megan pasrah. Ia tidak akan turut campur dengan masalah hati Nina lagi.

"Kok, gitu, Meg?" Mata Nina terlihat memelas. Ia kecewa melihat sahabat terbaiknya mulai tidak peduli dengannya.

Megan mengangkat bahu. Ia lalu berbaring seraya memunggungi Nina. Itu adalah jurus untuk mengatakan bahwa dirinya sedang kecewa.

Nina mencebik kesal. Dengan cepat segera dikenakannya bergo instan sepanjang pinggang. Tangannya meraih tas selempang di atas meja. Tanpa berkata apa pun, Nina keluar dari kamar dengan langkah tergesa. Ia tidak jadi menginap di indekos dan memilih balik ke rusunawa.

***

Sebagian dihapus untuk kepentingan penerbitan 😊

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro