10.Perasaan yang Tepat?

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Alhamdulillah

Akhirnya bisa update Nina lagi.

Semoga ada yang nungguin, ya.

Biar bisa update tiap hari.


Nina masih tidak habis pikir dengan tuduhan sang ibu yang mengatakan bahwa Arkan adalah pacarnya. Bisa-bisanya laki-laki dengan penampilan religius itu dianggap menjalin asmara yang tidak halal bersamanya. Bahkan, setelah Nina mengelak pun, Bu Nurmi malah memunculkan sebuah impian. Ingin Arkan menjadi menantunya! Duh, ini asli bikin Nina semakin mencipta harapan pada pemuda kharismatik tersebut.

Bibir Nina memang mengeluarkan elakan. Namun, jauh di dasar hati, kini ia mulai menginginkan pemuda yang dari awal bertemu memberi kesan menjengkelkan itu sebagai jodohnya.

"Ibu mimpinya kejauhan. Anaknya model rock and roll gini masa dapat ustaz?" gerutu Nina malu-malu lewat sambungan telepon dengan Bu Nurmi. Ia sedang berbincang di depan kantor selepas makan malam. Suasana di sana cukup lengang. Tidak ada panitia selain dirinya yang memang sedang mendapat giliran jaga.

"Loh, jodoh itu di tangan Allah, Nduk. Nggak ada yang nggak mungkin dari-Nya. Kamu bilang enggak kalau Allah bilang iya, gimana?" Nada bicara Bu Nurmi terdengar penuh optimisme. "Kamu nggak mau sama Arkan?"

Nina membuka matanya dengan lebar. Ia memang jarang berbincang masalah laki-laki dengan ibunya. Gara-gara kedatangan Arkan, yang tidak biasa pun terjadi juga.

"Ibu, ih, jangan bikin aku malu gini."

"Kalau kamu mau sama dia, Ibu bantuin pakai do'a."

Ucapan Bu Nurmi sontak membuat Nina semakin tercengang. Ibunya benar-benar berniat mengharapkan Arkan menjadi calon menantu pertamanya. Gadis itu terus memukulkan tangan di dahi.

Rusdi baru turun dari kamarnya. Ia heran mendapati Nina sedang menepuk kening berulang kali. Ia pun bertanya lewat isyarat bibir tanpa suara.

Nina menjawab dengan menggoyangkan tangannya. Dirinya lalu kembali fokus dengan ponsel di telinga.

"Kalau Ibu yakin, ya udah doain aja," jawab Nina dengan nada lirih.

"Yakin, dong," jawab Bu Nurmi dengan nada optimis.

"Dia yang nggak yakin sama anakmu, Bu," tutur Nina seraya berbisik.

"Allah maha membolak-balikkan hati. Ya udah, Ibu mau nyuci piring dulu di dapur. Assalammualaikum." Bu Nurmi mengakhiri obrolan.

"Waalaikumsalam."

Nina menarik napas panjang seraya menempelkan punggung di sandaran kursi. Kepalanya mulai berdenyut memikirkan permintaan sang ibu. Sepertinya yang banyak dibilang orang-orang tengah dialaminya. Sebagai putri sulung, orang tua terutama ibu akan bersemangat sekali meminta putrinya segera menikah jika sudah berusia lebih dari dua puluh tahun. Bahkan, terkadang tidak peduli apakah sudah selesai kuliah atau belum. Bagi mereka, punya menantu itu sebuah prestise tersendiri. Lebih parahnya, ingin mengabarkan pada dunia bahwa anak gadisnya sudah laku. Ck ck ck!

"Arkan ngapain ke rumah kamu, Nin?" tanya Rusdi membuka obrolan.

Nina langsung mengubah posisi duduknya. Punggungnya kini ditegakkan. "Kok, tau?"

"Parah bener. Bener-bener parah ikhwan satu ini," ungkap Rusdi seraya berdecak.

Nina malah tertawa melihat respon Rusdi. Sekalipun datang ke sini karena berteman dengan Ridho, tetapi semakin hari dirinya malah lebih dekat dengan Rusdi. Pemuda itu bisa memahami kegelisahannya. Mungkin berimbas dari perilakunya yang tidak segarang laki-laki paa umumnya, Rusdi memiliki hati yang peka juga.

"Emangnya lagi sakit apa kok, parah?" tanya Nina masih dengan derai tawa.

Rusdi kembali berdecak dengan kesal. "Aku tuh, geregetan sama senior satu itu. Aku sebagai laki-laki bisalah melihat dari perilaku. Kalau mau langsung aja lamar. Nggak usah disuruh nerka-nerka gitu."

Nina menautkan kedua alis. Ia sebenarnya paham tentang siapa yang dibahas. Hanya saja dirinya tidak menyangka jika Rusdi sebegitu yakin terhadap sikap Arkan kepada dirinya.

"Aku bantuin ngomong, Nin."

"Hah? Bantu ngomong apa?" Nina mengubah posisi duduknya. Ia kini menghadap ke arah Rusdi yang berada di sampingnya.

"Ya, ngomong ke Bang Arkan. Maksud sikapnya gitu ke kamu itu apa?"

Nina langsung menggerakkan kedua tangan begitu Rusdi mengakhiri ucapannya. Tentu saja dirinya tidak mau hal tersebut terjadi. Mau ditaruh di mana mukanya?

"Udah, aku nggak pa-pa. Jangan bilang aneh-aneh ke Mas Arkan."

Rusdi menghela napas penuh kekecewaan. Niat baiknya tidak direspon oleh Nina.

"Ya udahlah, pokoknya jangan sampai tersakiti dengan sikap dia. Sayangi hatimu, Nin."

Nina mengacungkan kedua ibu jari. Hatinya tersentuh mendapati perlakuan hangat Rusdi kepadanya. Sekalipun baru bertemu, tetapi rasanya seeprti sahabat baik yang sudah menjalin pertemanan sejak lama. Terkadang saja, yang sudah mengenal lama kurang bisa berempati terhadap temannya, bahkan seseorang yang dianggap sahabat.

***

Hari berganti hari. Esok adalah acara istimewa bagi Arkan. Prosesi wisuda sarjana akan berlangsung. Tadi sore, dirinya sudah melakukan gladi bersih di hall milik kampus.

"Yes! Habis ini kita dapat traktiran wisuda," seru Ridho saat semua panitia sedang berkumpul di dalam kantor.

"Siapa yang wisuda?" tanya Arkan sambil menyeringai jail.

"Jangan pelit-pelit, Bang. Biar ilmunya berkah," cetus Rusdi. Ia kadang jengkel juga melihat sifat perhitungan Arkan.

Arkan hanya terkikik. Begitu juga dengan Nina yang menyimak obrolan para laki-laki.

"Habis wisuda nggak langsung balik ke kampung, kan, Bang?" tanya Sandi. "Kontrak di PMB belum kelar, loh. Tinggal dua bulan lagi."

Nina mendongakkan wajah. Ia menatap Arkan untuk mendengarkan jawaban. Dirinya bersyukur ada yang bertanya perihal tersebut. Rasanya, semangatnya dalam bekerja berkurang jika saja Arkan resign. Laki-laki itu seolah menjelma menjadi mood booster-nya di rusunawa.

"Insya Allah, sampai amanah selesai baru pulang kampung." Arkan menjawab seraya sekejap melirik ke arah Nina.

Nina mulai tersipu. Rasanya ada gelenyar aneh saat mendapati tatapan yang bahkan hanya terhitung kurang dari dua detik tersebut. Gadis itu pun menunduk sambil senyum-senyum.

"Pulang kampung paling langsung nikah." Ridho kembali mengeluarkan celetukan.

Tentu saja ucapan Ridho membuat dada Nina sontak memanas. Antara kaget dan takut kecewa.

Arkan hanya tertawa menanggapi pernyataan Ridho. Ruang berkukuran enam meter persegi itu pun semakin terdengar riuh saja. Beruntung, rusunawa sudah sepi. Para peserta PMB sudah pulang tadi sore.

Obrolan tentang pernikahan memang selalu menjadi tema menarik bagi para mahasiswa tingkat akhir. Apalagi Arkan, ia terlihat sekali jika memang sudah memimpikan pernikahan di usia muda.

"Jangan belagu deh, Bang. Belum ada calonnya aja pingin nikah," ujar Rusdi dengan wajah sinis.

"Bang Arkan tuh, tinggal milih aja, Rus. Banyak akhwat udah ngantre buat dipinang," ungkap Ridho.

Arkan tertawa lebih keras lagi. Matanya kembali menangkap raut tidak menyenangkan dari Nina. Ia pun mengambil selembar kertas kemudian diremas menjadi bundar, lalu melemparkannya ke pipi sebelah kanan Ridho.

"Sok tau!" seru Arkan yang kembali tergelak.

Rusdi mengamati perubahan ekspresi wajah Nina. Ia menghela napas pendek. Dirinya seolah bisa menempatkan diri pada posisi teman barunya itu. Mendapati perlakuan manis laki-laki tetapi tanpa mengetahui maksud dari alasan tersebut, sungguh mengesalkan.

"Udah, nggak perlu nyari jauh-jauh, Bang," ujar Rusdi tiba-tiba. Ia melirik Nina sekilas.

Nina tersentak. Ia paham maksud dari kalimat tersebut. Gadis itu segera menempelkan ponsel di telinga sebelah kanan. "Halo, iya, Meg. Bentar aku keluar dulu."

Rusdi terkikik mendapati tingkah Nina. Ia tahu jika telepon itu tidak nyata.

Arkan menatap Rusdi dengan penuh tanya. Apalagi melihat Nina yang beranjak meninggalkan ruangan.

"Emang siapa nggak perlu jauh-jauh, Rus?" tanya Arkan yang akhirnya penasaran.

Ridho, Sandi, dan Luki pun ikut bertanya-tanya. Namun, Rusdi malah mengelak. Ia hanya berujar jika hanya bercanda.

Tidak lama kemudian terdengar seseorang mengucap salam. Nina yang berada di luar tengah menerima kedatangan tamu tersebut.

"Mas, ada tamu dari tim medis mahasiswa." Nina kembali lagi ke kantor untuk memberitahu Arkan. Kerjasama untuk PMB tentu harus berhubungan dengan penanggung jawab OC.

"Oke. Di depan, ya?"

Nina manggut-manggut. Ia lalu kembali duduk di tempatnya semula sebelum merasa kikuk dengan celetukan Rusdi.

"Tim medis dari anak-anak Fakultas Ilmu Kesehatan?" tanya Luki pada teman-temannya. Semua mengangguk sebagai jawaban.

PMB memang sudah separuh jalan. Tim medis sebelumnya datang dari bantuan para mahasiswa Fakultas Kedokteran. Untuk paruh kedua, mahasiswa keperawatan dan farmasi akan bergantian bertugas. Memang tugas tim medis tidak setiap saat datang. Mereka lebih sering duduk santai di ruang kesehatan. Namun, saat ada peserta sakit, bisa membuat para tim tersebut harus begadang.

"Waduh, bahaya itu Bang Arkan." Ridho langsung menepuk kedua tangannya.

"Kenapa?" tanya Nina tiba-tiba.

"Ada cerita yang belum diakhiri dengan tim medis Ilmu Kesehatan," jawab Luki seraya tergelak.

Nina mengerutkan kening. Rasa penasaran mulai membayangi pikirannya. Perihal cerita yang belum diakhiri membuatnya ingin tahu lebih jauh. Namun, ia tidak serta merta mengungkapkannya sekarang. Gadis itu menoleh ke arah Rusdi yang juga tengah menatapnya. Sayang sekali, pemuda itu malah mengangkat bahu.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro