9.Gara-gara Cegukan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aktivitas PMB dimulai lagi. Dua angkatan pun sudah terlewati. Saat ini tengah memasuki angkatan ketiga setelah libur UTS. Nina dan tim kembali berkutat dengan pekerjaan yang menumpuk. Gedung yang sempat sunyi selama sepekan sudah kembali dimeriahkan oleh suara-suara dan tuingkah laku dari para agent of change and agent of control tersebut.

Nina menopang dagu dengan kedua tangan yang menempel di atas meja yang ada di depan kantor. Matanya mengamati tiga kelas yang ada di sisi utara gedung. Ia bersyukur tidak jadi keluar dari kepanitiaan. Ada banyak pengalaman baru yang didapatnya di sini. Bukan hanya dengan sesama panitia, melainkan juga bersama para pendamping dan mahasiswa baru.

Banyak kejadian kocak yang ditemuinya. Dari mahasiswa yang curhat rindu orang tua karena tidak bisa menelepon, padahal yang sebenarnya adalah kangen sama pacar. Hingga, mahasiswi yang tanpa perasaan canggung jujur pada Nina jika mengagumi pendamping kelasnya. Namun, ada juga kejadian menyedihkan saat peserta jatuh sakit. Belum lagi pernah ada serangan Tomcat yang melukai para peserta. Iritasi kulit melepuh pun tidak terelakan. Serangga berwarna kuning dan hitam itu muncul dari sawah-sawah yang berada di sekitar rusunawa.

"Assalammualaikum."

Sapaan salam datang dari arah pintu masuk gedung. Nina yang sednag sendirian, segera berdiri saat mengetahui jika yang datang adalah salah satu staf kampus yang bertugas sebagai SC.

"Yang lain mana, Mbak Nina?" tanya Pak Tegar yang datang ditemani istri dan anaknya yang masih bayi.

"Ada di dalam, Pak."

Pak Tegar melangkah ke dalam. Di sana ada tim sekretariat dan penanggung jawab. Beliau pun berbincang membahas permasalahan yang dihadapi panitia. Pak Tegar memang menjadi andalan tim OC. Dengan panitia SC yang lain, mereka tidak terlalu dekat. Seringnya para mahasiswa itu segan jika berhadapan dengan para staf kampus tersebut.

"Sendirian ke sini, Pak?" tanya Arkan setelah selesai membicarakan masalah PMB.

"Enggak, sama istri dan anak."

"Loh, mana, Pak?" Rusdi melongok ke pintu.

"Sama Mbak Nina di meja depan."

Arkan segera beranjak dari duduknya. Ia mencari Salma, putri Pak Tegar yang menggemaskan tersebut. Pemuda itu pernah beberapa kali bertemu dengan gadis kecil tersebut.

Sesampainya di meja depan, Arkan mendapati Salma tengah bergurau dengan Nina. Senyuman manis menghiasi wajah saat mengetahui mahasiswi yang mulai mengenakan kerudung yang sedikit dijulurkan ke depan dada itu akrab dengan anak kecil.

"Assalammualaikum, Salma," sapa Arkan yang memang menyukai anak kecil. Ia berjalan mendekat ke arah Nina. "Emang mau sama Nina?"

Nina menoleh dengan tatapan sinis. Ia tidak terima jika dianggap tidak bisa merebut perhatian anak kecil.

"Mau, dong. Kami aja baru jalan-jalan keliling gedung. Seru, ya, Salma."

"Masa, sih?" tanya Arkan meledek Nina. Ia mulai rajin membuat gadis itu jengkel. "Paling Salma dipaksa."

Nina berdecak kesal. Ia tidak menggubris ucapan Arkan. Nina kembali melanjutkan aktivitas bercanda dengan bayi lucu berusia sembilan bulan tersebut.

"Sini, ikut sama Kakak." Arkan mengulurkan kedua tangan. Salma pun langsung menyambutnya dengan wajah ceria.

"Dih, Kakak? Om kali lebih cocok," ejek Nina.

Istri Pak Tegar tertawa melihat dua mahasiswa di hadapannya saling beradu ejekan. Beliau terus memperhatikan putrinya yang tengah menjadi rebutan Arkan dan Nina. Sementara itu, Pak Tegar, Ridho, Rusdi, Luki, dan Sandi keluar dari ruangan.

"Loh, Pak. Anaknya jadi rebutan," celetuk Rusdi seraya geleng-geleng kepala melihat tingkah Arkan dan Nina. Dua temannya itu tengah berebut perhatian Salma.

Pak Tegar terkikik. "Dari pada rebutan gitu, mending bikin sendiri."

Semua yang ada di sana berseru mengiyakan saran Pak Tegar. Terutama Rusdi yang heboh memanas-manasi Arkan untuk segera menikah. Namun, calon sarjana itu tidak menggubris ucapannya.

"Lawannya belum ada, Rus," cetus Ridho berniat menggoda Arkan. Sebagai mahasiswa tertua, Arkan memang sering menjadi bulan-bulanan adik tingkatnya di kepanitiaan tentang masalah jodoh.

"Ngapain bingung cari lawan, disebelahnya itu ada," ujar Pak Tegar dengan dagu mengarah ke Nina.

Kalimat Pak tegar sontak membuat insan berbeda gender itu disergap suasana canggung. Terutama Nina yang pipinya langsung terasa memanas.

"Salma, ayo kita lihat ke lantai dua," ajak Arkan memecah kecanggungan. Ia memutar tubuh ke kanan, menuju panggung kecil di hall rusunawa bersama bayi cantik yang tengah menatap wajahnya.

***

Hari-hari Nina mulai dipenuhi praduga tentang sosok Arkan. Laki-laki itu kini malah menjelma menjadi seorang yang membuatnya terbawa perasaan. Namun, Nina tidak merasakan debar jantung yang berkejaran saat tengah bersama Arkan. Ia malah merasakan kenyamanan. Ia pun mulai kerap gelisah jika tidak melihat Arkan muncul di kantor.

Megan

Jangan gegabah

Nina tengah berbalas pesan dengan Megan seraya berjaga di meja depan kantor. Ia menceritakan semua yang dirasakannya akhir-akhir ini.

Anda

Karena belum empat bulan?

Megan

Bukan itu

Aku masih sangsi sama cowok yang katamu aktivis dakwah itu

Nina mendesah kesal membaca balasan terakhir dari sahabatnya. Megan seolah tidak mendukungnya berharap pada Arkan.

Anda

Dia bawa pengaruh baik ke penampilanku, loh

Megan

Nah, ini

Berubah karena manusia

Aku nggak suka, Nin

Nina memajukan bibir bawah. Ia menyesal menulis kalimat seperti tadi. Gadis dengan bergo instan sebatas pinggang itu menempelkan kepala di atas meja seraya menghadap sebelah kiri. Kedua tangannya pun terulur kedepan.

Nina yang sedang memejamkan mata tersentak mendapati punggung tangannya disentuh. Ia bergegas bangkit dari posisi mager itu.

"Mau ke mana?" tanya Nina pada Arkan yang tadi menyentuh tangannya dengan kunci motor. Pemuda itu memakai jaket tebal dan sudah menenteng helm di tangan kiri.

"Ke Pujon. Mau ikut?"

Nina membeliak kaget. "Serius? Bohong kayaknya."

"Beneran. Ayo," ajak Arkan dengan raut serius.

Nina berdecak tidak percaya. "Impossible. Nggak berani bonceng cewek gitu."

Arkan terbahak. "Maksudnya aku naik motor, Nina naik bis."

Nina tidak ikut tertawa. Ia malah kesal. Ternyata Arkan hanya menggodanya saja. Seandainya benar diajak, ia sudah seratus persen yakin jika pemuda itu memang memiliki motif khusus kepadanya.

"Ada yang mau dibawakan dari rumah?"

"Aku?" Nina menunjuk ke arahnya sendiri.

Arkan manggut-manggut. Ia lalu berujar kalau berkenan jika disuruh mampir ke rumah Nina. Tentu saja hal itu membuat Nina diselimuti kebingunan dan rasa senang. Gadis itu akhirnya mengiyakan tawaran Arkan. Padahal, ia sedang tidak menginginkan apapun dari rumahnya.

"Rumah orang tuaku sama rumah Paklik jauh, loh, Mas."

"Nggak pa-pa, santai aja. Aku berangkat dulu, Nin. Assalammualaikum."

"Waalaikumsalam."

Begitu Arkan meninggalkan rusunawa, Nina segera menelepon ibunya. Ia lalu menjelaskan tentang kunjungan Arkan.

"Ibu lagi cegukan, ya?" tanya Nina.

"Iya, dari semalem. Udah minum air segalon nggak ilang juga," kelakar Bu Nurmi, ibu Nina.

Nina pun tertawa. "Kembung, Bu. Oh iya, tolong siapin baju gamisku, Bu."

"Emang dia ini siapamu, Nduk?"

Nina bingung menjawab. "Teman di PMB. Dia yang bikin aku nggak jadi resign, Bu."

"Oh, seperti itu. Jadi penasaran kayak apa orangnya."

"Dilihat aja nanti." Nina terkekeh pelan. Ia lalu menyudahi panggilan.

Tiga jam kemudian. Ponsel Nina berdering. Tertera nama sang ibu di layar. Gadis itu segera menggeser tombol hijau ke atas, kemudian mengucap salam.

"Nduk, pinter banget temenmu itu. Jurusan kedokteran, ya?"

Nina menautkan kedua alis mata. "Kedokteran? Siapa?"

"Ya, yang kerumah barusan. Namanya siapa tadi, Arkan, ya?"

"iya. Emang hubungannya sama kedokteran apa, Bu?" tanya Nina bingung dengan pertanyaan Bu Nurmi tentang Arkan yang disangka mahasiswa kedokteran. "Dia itu jurusan Ekonomi Syariah."

"Oh, kirain calon dokter. Lah, kamu nggak nyadar cegukan Ibu udah ilang?"

Nina terkesiap. Benar saja, suara cegukan saat telepon sebelumnya sudah tidak muncul lagi. "Dikasih apa ilangnya? Ibu minum berapa gallon lagi?"

"Ngawur aja," ujar Bu Nurmi seraya tertawa. Beliau pun menjelaskan jika tadi Arkan memberi tips atasi cegukan. "Ampuh banget, Nduk."

"Emang tipsnya apa?"

"Disuruh minum satu gelas air sambil noleh ke kanan. Beneran langsung berhenti. Pinter banget dia, Nduk. Pacarmu, ya?"

"Hah?!"

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro