6.Tentang Jodoh

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng



Selesai menyarap yang terlambat tadi, Nina segera menuju kantor. Hari ini bertepatan dengan hari Sabtu, jadwal kepulangan mahasiswa baru setiap angkatan. Sekretariat akan sibuk sepanjang hari hingga para peserta meninggalkan rusunawa. Selain tiap Sabtu, Senin merupakan hari tersibuk juga karena menyambut angkatan baru.

Ridho dan tiga panitia yang lain sudah menyiapkan enam kardus berisi ponsel peserta. Mereka menunggu para pendamping mengambilnya untuk diserahkan kembali kepada pemiliknya. Sejak pertama masuk kelas, benda pintar tersebut harus diserahkan kepada panitia. Jadi, para peserta PMB puasa memegang ponsel selama enam hari. Banyak yang mengeluh tidak kuat tanpa sosial media.

"Amazing anak kuliah zaman now. Ponselnya udah pada pakai I-phone rata-rata. Orang tuanya pada tajir semua kayaknya, ya," ucap Ridho seraya menatap tumpukan ponsel dengan berbagai merk dan series itu.

"Enam kardus ini kita jual bisa buat beli rumah kali." Rusdi menambahi.

"Husst, niat jahat itu," cetus Nina yang duduk di depan meja kerjanya. "Bagi untukku satu kardus buat beli mobil."

Semua yang ada di ruangan pun tergelak. Tidak lama kemudian, terdengar ketukan pintu dan salam.

Nina menoleh ke arah pintu, lalu menghela napas pendek. Danial yang datang.

"Waalaikumsalam, Akhi!" seru Arkan yang sedari tadi sibuk bersama ponselnya. Ia beranjak dari tempatnya lalu mendekati Danial. "Beneran cuma dua angkatan?"

"Iya, Bang. Mau ngejar wisuda Februari."

Nina mulai tertarik dengan pembicaraan Arkan dan Danial yang terdengar jelas di telinganya. Senyuman pun tersungging di bibir gadis tanpa polesan lipstick itu. Mulai angkatan depan, ia tidak akan bertemu lagi dengan teman KKN-nya tersebut.

"Mantap sekali, lulus tiga setengah tahun, Dan," ujar Ridho menaggapi obrolan Arkan dan Danial. "Bang Arkan kalah, tuh."

Arkan tertawa. Ia memang terlambat satu semester untuk wisuda tapat waktu.  "Pantaslah kalau Danial menjadi idaman para akhwat buat dijadikan calon imam."

Nina yang sedang menenggak es teh yang dibawanya dari ruang makan mendadak tersedak mendengar ucapan Arkan tentang Danial. Hal tersebut membuat perhatian semua orang di ruangan itu tertuju kepadanya.

"Tepuk punggung, Nin." Nada bicara Arkan terdengar khawatir.

Nina yang terus terbatuk-batuk mencoba menepuk punggungnya. Namun, tentu saja kesusahan.

"Tolong, dong, tepukin punggungku," pinta Nina penuh harap. Wajahnya sudah memerah karena terbatuk-batuk.

Semua laki-laki yang ada di kantor sekretariat terdiam. Tidak ada yang mendekat ke posisi Nina. Gadis itu terus terbatuk.

Luki beranjak dari posisinya. Ia pun segera menepuk punggung Nina. Perlahan, penderitaan Nina berakhir.

"Makasih, Luk," ucap Nina pada salah satu teman satu tim-nya.

Luki tersenyum dengan santai. "Sama-sama, Nin."

Tatapan Nina mulai memindai wajah-wajah yang terdiam di tempat itu. Arkan, Ridho, Danial, Sandi, dan Rusdi. Mereka mulai mengalihkan pandangan karena merasa tidak enak. Nina pun manggut-manggut. Bibirnya mulai berucap dengan lirih.

"Oh, aku lupa. Bukan mahram."

Danial berinisisatif mencairkan suasana yang canggung tersebut. Ia berjalan mendekat ke posisi Nina.

"Jangan lupa besok, Nin. Reuni KKN sama pembagian vandel."

Nina menoleh sekilas. Tatapannya lalu kembali ke depan layar monitor.

"Nggak janji," ucap Nina dengan nada ketus.

Danial tersenyum pasrah. "Oh, begitu, ya."

"Loh, kalian saling kenal?" tanya Arkan.

Danial pun menjelaskan perihal perkenalannya dengan Nina. Tentu saja gadis itu tidak mengindahkan pertanyaan Arkan. Danial paham jika Nina memang kerap bersikap dingin padanya.

Danial pun segera undur diri. Ia sampai lupa jika tujuannya ke kantor untuk mengambil ponsel. Peserta di kelasnya tentu sudah tidak sabar bertemu dengan benda pintar itu.

"Aarrggh! Mood-ku berantakan lagi." Nina memekik seraya mengempaskan punggung di sandaran kursi.

"Ya udah, Nin. Istirahat aja dulu," saran Ridho yang merasa tidak enak hati karena permasalahan tersedak tadi. Ia memang bukan aktivis dakwah. Namun, dirinya paham batasan antara perempuan dan laki-laki. Ridho tahu jika tadi keadaan terdesak. Ia sudah akan beranjak, tetapi Luki lebih dulu membantu Nina.

"Kerjaan banyak gini," keluah Nina masih uring-uringan.

Arkan terus mengamati gadis yang bibirnya terlihat manyun itu. Ia tersenyum seraya manggut-manggut. Arkan lalu duduk di kursi samping Nina.

"Nina mau ngerti nggak, kenapa mood-nya bisa berantakan gini?" tanya Arkan tiba-tiba.

Nina menoleh ke arah Arkan. "Ya, karena kalian nggak ada yang bantuin aku dengan cepat pas kesedak."

Arkan menggelengkan kepalanya. Ia kembali tersenyum hangat. "Bukan."

Semua yang ada di ruangan tersebut menatap Arkan. Ingin mengetahui juga alasan penyebab mood Nina berantakan jika bukan karena kejadian tersedak tadi.

"Karena Nina bangun kesiangan."

"Kok, bisa?" tanya Nina mulai tertarik dengan pendapat Arkan.

"Bangun kesiangan, entah habis salat Subuh tidur lagi, atau bablas nggak salat, bisa menyebabkan mood sepanjang hari menjadi berantakan," jelas Arkan seraya mengedarkan pandangan ke teman-temannya. "Coba, deh. Bedakan mood pas bangun pagi dan bangun siang. Pasti beda."

Nina masih yakin penyebab suasana hatinya buruk karena masalah tadi. Namun, ia mulai mengiyakan penjelasan Arkan setelah mengingat kebiasaannya yang gemar bangun siang jika tidak ada kuliah pagi.

"Suka tidur habis Subuh kan, kalau di kos?"

Tebakan Arkan membuat Nina membeliak terkejut. Pemuda itu sudah seperti cenayang saja. Mampu menerka kebiasaan buruknya.

"Enggak, kok."

Takut ketahuan tentang kebiasaan buruknya, Nina pun langsung menundukkan kepala seraya menggeleng dengan cepat.

Arkan terkekeh pelan karena gemas melihat tingkah Nina. Ia lalu beranjak dari duduknya. Namun, saat baru akan melangkah melewati pintu, pemuda yang bercita-cita menjadi pengusaha kuliner itu kembali menghentikan langkah.

"Nanti aku bantu biar nggak tidur lagi setelah Subuh," ucap Arkan yang langsung berlalu dari hadapan Nina.

"Hah? Dibantu?" Kening Nina berkerut. Ia tidak paham dengan ucapan Arkan. Gadis itu lalu mengangkat bahunya. "Emang gue pikirin? Enggak!"

***

Keadaan di Rusunawa kembali sepi sejak Sabtu sore. Para peserta dan pendamping sudah kembali ke rumah masing-masing. Hanya ada tim sekretariat, penanggung jawab, dan juga tim catering yang sibuk mempersiapkan konsumsi untuk angkatan selanjutnya.

Di kantor, masih ada panitia minus Sandi dan luki yang tengah menikmati sabtu malam dengan pacar masing-masing. Dua orang itu memang bukan aktivis dakwah. Mereka seperti Nina yang diajak Ridho untuk bergabung. Kebetulan Ridho sudah pernah menjadi panitia di tahun sebelumnya. Ia dipercaya untuk membentuk tim sendiri oleh panitia SC.

"Assalammualaikum."

Sapaan salam terdengar dari arah pintu. Arkan muncul dengan penampilan yang segar. Ia baru saja mandi. Pemuda itu mengacak rambut yang masih basah.

Semua yang ada di ruangan menjawab salam dengan serempak. Tiga orang panitia tersebut sedang menata ruangan karena stok barang-barang untuk keperluang angkatan selanjutnya baru datang dari bagian perlengkapan kampus.

"Kok, cuma bertiga?" tanya Arkan yang sudah duduk di karpet. Pemuda itu merapikan sarung yang dikenakan saat melipat kaki untuk bersila.

"Biasa, yang dua lagi dinas malam minggu," ungkap Rusdi.

Nina terkikik mendengar istilah kencan berganti nama menjadi dinas malam minggu. "Kayak pejabat aja dinas."

"Sandi sama Luki kalau nggak dinas bisa diputisin ibu negara masing-masing," cetus Ridho yang paham dengan kisah dua temannya itu.

"Lah, pacarnya kan, lagi cari nafkah." Nina heran saja jika mendapati cerita tentang pacar yang posesif. Maklumlah, dirinya sudah lama menjomlo. Sudah tidak paham hubungan yang melibatkan perasaan itu. "Nggak asik pacaran kayak gitu."

"Makanya, nggak usah pacaran. Kejar cita-cita dulu. Jodoh udah disiapin sama Allah. Kalau udah waktunya pasti ketemu." Ridho mulai memberi petuah. "Betul, kan, Bang?"

Arkan yang sedari tadi mendengarkan pembicaraan di ruang yang tidak terlalu luas ini langsung manggut-manggut. Ia sangat antusias jika membahas tentang pacaran.

"Betul, banget. Nggak ada faedahnya itu. Adanya malah nambah dosa."

Nina tersenyum sinis mendengar pendapat Arkan. Ia masih menjadi pendukung tim pacaran sebelum menikah. Dirinya tidak yakin menikah dengan hanya berkenalan dalam waktu yang singkat. Apalagi jika lewat perantara.

"Nina punya pacar?" tanya Arkan tiba-tiba.

"Aku?" Nina menunjuk dirinya sendiri.

"Nina itu jomlo sejati, Bang. Mana ada yang naksir sama dia." Ridho mulai mengejek gadis di sampingnya.

Tanpa berkata apa pun, Nina langsung memukul lengan Ridho dengan satu rim kertas yang belum terbuka kemasannya. Pemuda itu memang kerap sekali mengejek Nina dengan kalimat tersebut.

"Awas aja kamu nanti naksir aku," kata Nina seraya mencebik kesal.

Ridho pun tergelak, begitu juga dengan Rusdi. Sementara itu, Arkan tersenyum melihat kehebohan di hadapannya.

"Jadi jomlo itu anugerah, Nin. Tandanya Allah sayang sama Nina. Nggak diberi kesempatan menabung dosa," ucap Arkan seraya menatap Nina. "Betul, nggak?"

Nina mendesah pasrah mendapati dirinya mendapatkan ceramah agama mendadak. Ia pun menatap balik Arkan sembari menautkan kedua alis. Namun, pemuda itu langsung mengalihkan pandangan.

"Tuh, dengerin, Ustaz Arkan." Ridho kembali menggoda Nina.

"Kamu juga, dengerin, tuh!" balas Nina dengan kesal.

"Kalau aku sih, santai masalah jodoh. Cewek biasanya yang galau brutal nungguin jodoh. Ngaku kamu, Nin."

Nina mengepalkan tangan dengan gemas ke arah Ridho. Temannya itu dengan santai membuka kegelisahannya. Ridho memang tidak salah. Sejak usianya menginjak angka 20, Nina mulai memikirkan tentang jodoh. Ia sering menyebutnya dengan pendamping wisuda. Baginya, siapa yang akan berfoto dengannya saat wisuda nanti, itulah jodohnya. Sunggug absurd memang pemikiran seorang Karenina tentang jodoh.

"Jodoh itu enggak perlu dirisaukan. Kalau udah waktunya bakal datang juga," jelas Arkan.

"Nah, waktunya itu kapan, Mas?" Nina paling tidak sabar mengetahui kapan jodohnya akan datang.

"Hanya Allah yang tahu. Jodoh memang misterius seperti rezeki dan kematian. Tapi, semua itu pasti ada. Bahkan, nih, ya. Bisa saja salah satu dari laki-laki di ruangan ini yang jadi jodoh Nina."

Setelah Arkan menyudahi kalimatnya, suasana mendadak menjadi hening ... dan canggung.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro