7.Analisis Perhatian

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Tidak terasa sudah dua bulan Nina bergabung dengan PMB. Ia mulai merasa betah di lingkungan yang religius itu. Ada dampak positif yang bisa dirasakan gadis yang tinggal menyelesaikan skripsi tersebut. Kebiasaan salat wajib menjadi tepat waktu. Biasanya, jika di indekos, Nina sering kali mendirikan salat di akhir waktu. Seperti salat Zuhur menjelang salat Ashar. Atau, salat Subuh di saat langit sudah tidak gelap lagi. Istilah dalam bahasa Jawa, sak penak udele dewe.

Sekarang, salat Subuh Nina tentu saja tepat waktu karena berjamaah dengan semua penghuni rusunawa. Tidak hanya itu, ia juga mulai terbiasa salat malam. Jangan ditanya aktivitas tersebut saat sebelum masuk PMB. Satu hal yang tidak pernah dilakukan Nina. Aktivitas positif itu tidak lain karena bantuan dari Arkan. Gadis itu menjadi mulai terbiasa bangun menjelang pukul tiga dini hari.

Nina pikir, ucapan Arkan tentang membantu bangun pagi saat itu hanya lip service semata. Ternyata, pemuda dengan luka kecil pada ujung alis sebelah kanan tersebut benar-benar melakukannya sejak satu bulan terakhir. Nina sempat dibuat syok saat mendapati telepon di jam tiga dini hari. Seumur hidupnya, baru Arkan saja, laki-laki yang membangunkannya untuk salat malam.

"Itu aneh kan, Meg?" tanya Nina seraya menyerahkan ponsel kepada Megan. Matanya pun terbuka lebar saat bertanya. Ekspresi dari rasa keheranan yang memuncak. Ia sedang berada di indekos saat ini. PMB sedang libur satu minggu untuk ujian tengah semester.

"Chat ini dari orang yang kamu bilang paling ngeselin di rusunawa itu?"

"Hu um. Penanggung jawab OC itu."

Nina manggut-manggut. Ia memang belum menceritakan tentang sikap mengejutkan Arkan tersebut kepada Megan. Tentu saja karena tidak ingin ditertawakan. Namun, selama satu bulan mengamati perilaku penanggung jawab OC PMB terhadapnya, Nina tidak sanggup lagi menahannya sendiri.

Megan membaca semua chat Arkan dari awal sampai akhir. Nina dan pemuda itu memang jarang berkomunikasi via ponsel. Setiap hari bertemu, tidak perlu juga hal seperti itu. Isi chat pun tentang ajakan untuk salat malam saja.

"Bahasa di chat pun biasa aja. Nggak ada obrolan yang diperpanjang. To the point kayaknya karakter orang ini." Megan memegang dagu dan mengusapnya dengan jari telunjuk. Lagaknya sudah seperti psikolog profesional saja.

"Terus, terus?" Nina sudah tidak sabar mendengar analisis keseluruhan dari Megan. Ia mengandalkan sahabatnya yang kuliah di jurusan Psikologi untuk menyelamatkan hatinya sebelum terperangkap lebih jauh atas ulah manis Arkan.

Megan menyipitkan mata saat menoleh ke arah Nina. "Jangan bilang penyakitmu kambuh lagi, Nin."

"Penyakit apa?" tanya Nina seraya mengerutkan kening. Ia merasa sedang sehat jasmani dan rohani.

"Baper!" ungkap Megan seraya tergelak.

Nina sontak mengangkat satu sudut bibir. Dirinya tidak terima dianggap mudah terbawa perasaan.

"Masalahnya, dia ini aktivis dakwah, Meg. Masa iya kayak gini ke cewek? Aneh, 'kan?"

"Nah, nah. Itu apa kalau bukan baper?" Megan masih juga tertawa. Apalagi saat melihat wajah manyun sahabatnya tersebut.

"Nggak seru, ih. Aku pulang aja ke rusunawa." Nina beranjak dari duduknya. Namun, tangan Megan langsung menarik pergelangan tangannya.

"Cie, yang udah punya rumah kedua. Udah makin betah pula."

Megan tidak henti-hentinya menggoda Nina. Ia memang merindukan suasana bercengkerama dengan teman satu kamarnya itu. Tidak hanya berbincang tetapi juga beradu pendapat hingga bertengkar ringan.

"Aku nggak yakin kalau dia nih, aktivis dakwah beneran." Megan menyilangkan kedua tangan di depan dada.

Antara setuju dan tidak, Nina mulai merenungkan ucapan Megan barusan. Arkan dari penampilan sudah terlihat religius meskipun rambutnya tidak terpangkas rapi. Tidak hanya penampilan, aktifitas sehar-hari juga mencerminkan status yang disandangnya. Arkan sering menghapal ayat-ayat Al Quran saat berada di kantor. Pemuda itu juga tidak berinteraksi berlebihan apalagi bersentuhan dengan perempuan.

"Dia soleh sih, menurutku, Meg. Teman-teman di sekitar yang kuperhatikan juga ngeliat dia itu senior di pergerakan dakwah kampus gitu."

Megan memiringkan kepalanya, mencoba melihat sisi lain Arkan dari penjelasan Nina. Apa yang dibilang sahabatnya itu benar, pemuda itu menunjukkan perlakuan yang bisa dibilang tidak etis untuk seorang mahasiswa bergelar aktivis dakwah.

"Tapi, kenapa nggak bisa membatasi interaksi dengan kamu yang lawan jenis? Benar lewat chat WA, tapi nggak harus rutin gini bangunin salat malamnya."

Nina manggut-manggut. Ia setuju dengan pernyataan Megan. Masalahnya, hanya dengan dirinya, Arkan terlihat tidak bisa menjaga interaksi.

"Eh, bentar. Kamu nggak ngegoain dia, 'kan?" tanya Megan seraya mendekat ke arah Nina.

Nina tersentak. Ia langsung melempar bantal ke arah Megan. "Enak aja! Mana ada aku godain aktivis dakwah."

Megan pun tergelak. Ia menjadi ikut heran dengan maksud perilaku Arkan pada sahabatnya itu.

"Ini sih, kalau kata anak-anak zaman now, pendekatan syar'i," imbuh Megan.

Pipi Nina mendadak memanas. Dibilang pendekatan, membuatnya tersipu. Ia segera menunduk sebelum Megan mengetahui perubahan pada wajahnya yang merona.

"Selain bangunin salat malam, apa ada yang berbeda juga ke kamu, Nin?"

Masih dengan posisi yang sama, Nina menggelengkan kepala dengan pelan. Selama di kantor, sikap Arkan biasa saja. Saat berbincang pun selalu rame-rame dengan teman yang lain. Tiba-tiba, Nina teringat sesuatu.

"Ada, Meg. Ini nggak cuma sekali. Kalau jam makan, kita selalu bareng. Padahal aku kadang telat ke ruang makan, loh. Tapi, dia itu selalu ada pas aku makan. Di ruang makan kadang berdua, tapi kita nggak ngobrol kayak di kantor. Fokus makan aja."

Mengan menggerakkan kepalanya naik dan turun. Seringai jail terbit dibibirnya.

"Hati-hati kemakan omongan sendiri, Nin."

"Emangnya apa?"

"Nggak akan naksir sama aktivis dakwah."

"Emang nggak bakalan!" tegas Nina dengan nada sedikit meninggi. Ia sontak kelabakan mendengar ucapan Megan yang mengingatkan tentang sumpahnya.

Megan malah terbahak. "Aku nggak yakin, tuh. Kalau sikap Arkan kayak gitu terus, jaminan seribu persen buat tukang baper kayak kamu pasti cepat luluh."

Nina membuka matanya dengan lebar. Kemudian, ia segera menggelengkan kepala dengan kuat. Kelemahan diri yang tidak mau diakui Nina, sepertinya akan segera terjadi jika perlaku Arkan terhadapnya tidak berubah. Pemuda yang awalnya membuat kesal, bisa dengan mudah membuatnya baper!

***

Libur kerja tinggal dua hari lagi. Nina berencana kembali ke rusunawa esok sore. PMB angkatan baru akan dimulai lusa. Tidak semua panitia meninggalkan gedung yang dibangun sekitar dua tahun lalu oleh kampus. Hanya Nina, Sandi, dan Luki yang memaksimalkan jatah libur sepekan tersebut. Arkan, Rusdi, dan Ridho tetap di rusunawa. Mereka bertiga ingin menikmati wifi tanpa batas dengan sepuasnya.

"Nanti jadi ke Matos, 'kan, Nin?" tanya Megan yang baru datang dari sarapan bersama pacaranya.

"Jadi, dong. Habis salat Zuhur aja, ya, Meg."

"Ecie ... sekarang harus nunggu salat dulu. Biasanya aja, denger azan nggak digubris," goda Megan. Ia senang juga melihat perubahan baik pada sahabatnya itu. Seenggaknya, dalam persahabatan mereka ada yang berproses menjadi lebih baik meskipun dirinya tidak bisa memberi contoh yang selalu baik.

"Masa udah setengah jalan di PMB nggak ada tobat-tobatnya," ungkap Nina seraya tergelak. Ia lalu kembali menikmati nasi pecel yang baru dibelinya di depan indekos.

Di saat tengah fokus menikmati makanan dan juga perbincangan ringan bersama Megan, ponsel Nina berdering.

"Tolong ambilkan, Meg," pinta Nina seraya menunjuk ponsel yang ada di atas kasur. Ia sedang dalam mode mager di karpet yang ada di kamar.

Megan yang sedang duduk di atas kasur, segera meraih ponsel Nina. Ia lalu membaca nama si penelepon. Seringai jail terbit di bibir gadis dengan rambut lurus sebahu tersebut.

"Ehem, ehem, di telepon Akhi, Akhi, nih." Megan menyerahkan ponsel.

"Aki, Aki?" Kedua alis Nina saling bertaut. Ia menerima benda pipih tersebut.

"Hadeh," ucap Megan seraya menepuk kening.

Nina mengerutkan kening melihat nama dilayar. Selama liburan di indekos, baru sekarang Arkan meneleponnya.

"Assalammualaikum," jawab Nina dengan salam.

"Waalaikumsalam, Nin. Masih di kos, ya?"

"Iya. Kenapa, Mas?"

"Balik ke rusunawa kapan?" tanya Arkan dengan suara yang terdengar lemah dari seberang telepon.

Nina menyadari nada suara Arkan yang tidak seperti biasanya. "Mas lagi sakit, ya?"

"Iya. Kepala sakit banget, Nin."

Nina mendadak khawatir mendengar kondisi Arkan. "Sakit apa?"

"Kepala sakit banget, buka mata aja langsung rasanya kayak dipukulin apa gitu."

"Parah banget itu kayaknya," sahut Nina dengan wajah cemas. "Udah diobatin?"

"Belum. Ini mau minta tolong Nina buat belikan obat di apotik. Ngerepotin enggak?"

"Enggak, kok. Habis ini aku belikan." Tanpa berpikir lama, Nina langsung mengiyakan permintaan Arkan. Padahal ia sudah ada janji dengan Megan. "Eh, Ridho sama Rusdi nggak di Rusunawa?"

Sejenak, tidak ada suara yang terdengar di seberang. Nina menunggu jawaban dari Arkan. Jika dua temannya berada di sana, akan lebih cepat teratasi karena ada motor. Sedangkan Nina harus berjalan kaki menuju rusunawa setelah membeli obat.

"Udah dulu, ya, Nin. Makasih sebelumnya. Ditunggu di rusunawa. Assalammualaikum."

Kening Nina sontak berkerut. Pertanyaannya malah tidak dijawab oleh Arkan. Pemuda itu malah buru-buru mematikan ponsel. Nina pun mengangkat kedua bahu. Ia sekarang harus bersiap kembali ke rusunawa. Rencana kuliner di matos pun gagal.

"Emang temen dia cuma kamu?" tanya Megan setelah Nina memberitahu tentang kondisi Arkan. "Mencurigakan."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro