Chapter 10

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Esok paginya, aku datang ke sekolah. Lebam-lebam di tubuhku mulai pulih, meskipun ada beberapa yang masih terasa nyeri.

Teman-teman sekelasku hanya menatapku penasaran saat aku masuk kelas dengan wajah dan tangan yang diperban. Aku hanya bilang bahwa ini luka kecelakaan. Mereka pun hanya manggut-mangut mendengar alasanku.

Aku pun duduk dibangkuku. Dan ngomong-ngomong, meja dan bangku ku sudah diganti beberapa hari lalu. Syukurlah, dengan begitu aku tidak akan melihat 'kamus kata kasar' itu lagi. Aku duduk sambil menatap keluar jendela. Kubuka sedikit agar angin bisa masuk. Begitu dibuka, angin dingin dan segar khas pagi hari langsung menerpa wajahku.

Inilah salah satu keuntungan dari posisi tempat dudukku.

"Ohayou, Yuuki" tiba-tiba Kenichi menyapaku sambil menepuk bahuku.

Aku sedikit kaget, lalu segera menoleh ke arahnya. Dia sudah duduk disebelahku.

"A-ahh, Ohayou Kenichi" balasku.

"Bagaimana dengan lukamu?" tanyanya, wajahnya memang datar, namun bisa kudengar ada nada khawatir terselip disana.

"Sudah lebih baik. Terima kasih sudah menjengukku kemarin" jawabku sambil tersenyum kecil.

Mendengar itu, dia tersenyum lembut padaku. Lalu mengelus kepalaku pelan.

"Syukurlah kalau begitu"

Aku hanya terdiam, diam-diam menikmati elusan di kepalaku.

"Jadi, kau mau melaporkan ini ke sekolah?" tanyanya.

"Ahh, tentu saja. Saat istirahat nanti, aku akan pergi ke ruang Kepala Sekolah dan menunjukkan bukti yang kupunya" jawabku dengan mantap.

"Kalau begitu, aku akan menemanimu. Hitung-hitung, aku bisa membelamu nanti saat Mikami akan menyanggah bukti yang kau punya."

Mendengar itu, aku kaget. Dia akan membelaku?

"Be-benarkah?"

"Tentu saja. Aku yakin sekali dia itu punya sejuta kalimat untuk menyerangmu balik."

Yaa~ aku memang sempat berpikir seperti itu.

"Saa, arigatou ne" kataku malu-malu.

Dia hanya terkekeh, lalu mencubit pipiku sesaat.

"Doumo"

.

.

.

Saat istirahat, aku langsung berdiri dan beranjak keluar kelas ditemani Kenichi. Namun di depan pintu, Chiriko-san mencegatku.

"Ishika-san, kau mau ke ruang kepala sekolah kan?" tanyanya.

Hah? Kenapa dia tahu itu?

"Tadi aku mendengar pembicaraan kalian. Ngomong-ngomong aku juga punya bukti untuk melawan Mikami-san." katanya sambil mengacungkan sebuah amplop coklat ditangannya.

Mendengar itu, kami pun kaget.

"Hah? Kau punya bukti?" tanya Kenichi.

"Yap. Jadi bolehkah aku ikut dengan kalian?" tanyanya.

"Te-tentu saja, Chiriko-san! Aku senang kau mau membantuku. Terima kasih" ujarku sambil membungkukkan badan kearahnya.

"Tidak usah formal begitu, Ishika-san. Saa~ ayo" katanya.

Aku dan Kenichi pun mengikutinya. Namun ditengah jalan, dia berbelok ke ruang guru.

"Ehh? Chiriko-san, ruang Kepala Sekolah ada di sebelah sana" kataku sambil menunjuk arah yang berbeda.

"Aku tahu. Aku hanya ingin memanggil Reikichi-sensei." katanya sambil berjalan ke arah mejanya.

Dia pun mengutarakan maksud kedatangannya. Dan langsung disambut dengan semangat oleh Reikichi-sensei.

"Nah, apalagi yang kita tunggu? Ayo kita laporkan si brengsek itu. Aku sudah gemas melihat dia berulah terus disini" katanya. Lalu dia melirik padaku.

"Lalu, bagaimana dengan keadaanmu Ishika-san? Kau baik-baik saja? Tanyanya.

"Aku baik-baik saja, sensei. Lukaku sudah membaik" jawabku.

"Baguslah kalau begitu. Si Mikami ini memang harus diberi pelajaran. Ayo, kita ke ruang Kepala Sekolah"

Jadi ini sebabnya Chiriko-san memanggil Reikichi-sensei. Selain dia juga saksi kasus ini, dia juga sudah menghadapi ulah yang dilakukan Mikami sebelumnya.

Kami pun mengikuti sensei. Sensei pun bicara pada Kepala Sekolah, dan langsung saja, Mikami dan gengnya dipanggil kemari.

Aku melaporkan apa yang terjadi pada waktu itu. Kenichi, Chiriko-san dan Reikichi-sensei memperkuat laporanku.

Sesuai dugaan, Mikami langsung membantah. Dia mengoceh begitu panjang untuk sebuah alibi palsu. Dan bahkan dia sempat 'mengkode' Kenichi, meminta belas kasihan darinya. Sayangnya, Kenichi langsung menatap dingin kearahnya.

Kami pun mengeluarkan kartu As kami. Yaitu foto-foto yang dipotret oleh Chiriko-san.

Dan... Begitu melihat foto itu, Mikami langsung diam seribu bahasa.

Aku pun melirik foto tersebut. Begitu melihatnya, sukses membuatku terkejut dan membelalakkan mata.

Foto itu kan.... Waktu aku disiksa oleh mereka! Dan terlihat jelas sekali saat Mikami menjambak rambutku dan menyeretku ke tengah ruangan.

"Darimana kau mendapatkan foto ini?" tanya Kepala Sekolah.

Chiriko-san bercerita bahwa dia sedang berjalan di koridor dan sedang membawa kamera untuk dokumentasi kegiatan klub. Tiba-tiba dia mendengar gelak tawa gadis dari gudang sekolah. Dia pun mengintip dan melihat Mikami sedang menghajarku habis-habisan. Langsung saja, dia memotret kami dengan jelas. Pada saat dia melihat Mikami sedang memegang cutter, dia pun kaget dan cepat-cepat mencari guru. Dan Reikichi-sensei lah yang ditemuinya pertama kali.

Dan kalian bisa tahu sendiri bagaimana kelanjutannya.

Namun, mungkin pada dasarnya dia itu licik. Dia masih bisa membantah kalau di foto itu bukanlah dirinya. Melainkan editan semata.

Jelas-jelas itu adalah kau, Mikami. Kenapa kau tidak berhenti bicara dan menyerah saja?

"Aku masih punya bukti." tiba-tiba Reikichi-sensei mengeluarkan sebuah kantong plastik zipper yang berisikan sesuatu disana.

"Ini adalah barang yang tertinggal di ruangan gudang pada waktu itu. Dan inilah senjata yang dipakai Mikami saat menyiksa Ishika. Jika kita mencocokkan noda darah di ujung cutter ini dengan darah Ishika, aku sangat yakin kita akan menemukan kecocokan 100%." jelasnya sambil meletakkan itu di meja Kepala Sekolah.

"Dan jika yang diceritakan Ishika itu memang benar, kita akan menemukan sidik jari Ishika...." kata sensei, lalu dia melirik Mikami dengan tajam.

".... Dan sidik jarimu"

Demi apapun! Wajahnya yang selalu berhiaskan make up yang terlalu tebal itu langsung pucat pasi.

Kau kalah, Mikami Sayako.....

.

.

.

Kami yang sudah keluar dari ruangan Kepala Sekolah itu langsung menghembuskan napas lega.

"Wahhh.... Sensei hebat sekali tadi, seperti detektif sungguhan!" puji Chiriko-san.

Reikichi-sensei langsung salah tingkah.

"Benarkah? Mungkin ini memang bakatku yang terpendam ya hahahaha"

Kami hanya tertawa mendengarnya.

Namun tidak bagi Mikami dan gengnya. Karena bukti-bukti yang dibawa sangat kuat, mereka terbukti bersalah. Mereka langsung dikeluarkan dari sekolah ini dengan tidak hormat.

Akhirnya.... Keadilan telah ditegakkan!

Dia keluar dari ruangan Kepala Sekolah setelah beberapa menit kami keluar. Dia terlihat kesal. Lihat saja, bibirnya yang merah karena lipstik itu maju beberapa senti.

Dia melirikku yang sedang berdiri di dekat pintu. Diam-diam aku menyeringai kearahnya, seolah aku mengatakan...

'Kan sudah kubilang, jangan pernah mencari masalah di duniaku. Sekarang lihatlah akibatnya...'

Dengan wajah memerah karena kesal, dia berniat menghampiriku. Namun baru satu langkah dia maju, dia menatap horor ke arahku. Dia langsung mundur dan berjalan meninggalkanku.

Aku yang bingung, hanya memiringkan kepalaku.

"Jika aku tidak ada disini, bisa kupastikan lebam ditubuhmu akan bertambah"

"HUAAA!!" aku terlonjak kaget dan segera menengok kebelakang.

"Kenichi, sejak kapan kau ada disini?! Bukankah kau tadi sedang mengobrol dengan Reikichi-sensei?" seruku.

"Baru saja. Dia terlihat ingin sekali menghajarmu tadi." katanya datar.

"Benarkah?" tanyaku tidak yakin.

"Tentu saja. Kau baru saja menghancurkan kehidupan sekolahnya."

"Jadi maksudmu aku yang jahat disini begitu?" tanyaku sarkastik.

"Aku tidak bilang begitu" kayanya sambil mengangkat bahunya, dan kulihat ujung bibirnya itu sedikit terangkat.

Sialan, dia menyeringai!

"Haah... Sudahlah, ayo kembali ke kelas" kataku sambil berjalan.

Namun aku merasa Kenichi tidak mengikutiku. Dan benar saja, dia masih berdiri di tempat.

"Hei, apa yang kau lakukan disitu?" tanyaku.

"Kau duluan saja. Aku masih ada urusan" katanya.

"Baiklah, tapi cepat, waktu istirahat akan berakhir" ujarku.

"Aku tahu" dia pun berjalan ke arah yang berbeda dariku.

Urusan apa yang dia belum selesaikan?

Meh, aku hanya mengangkat bahuku. Biarkan sajalah...

.

.

.

(Mizuo Kenichi POV)

Aku segera mengejar dia. Semoga saja dia belum keluar dari sekolah ini.

Ya, inilah urusanku. Urusanku dengan Mikami.

Dan... Aku melihatnya. Dia sedang berdiri di loker sepatu. Aku pun segera menghampirinya.

"Sialan! Sialan! Sialan! Kalau saja si Ishika brengsek itu tidak melaporkan kasus ini, aku akan-"

"Akan apa?"

Mendengar ada yang membalas monolognya itu, dia langsung menoleh ke belakang. Dia tampak kaget saat melihatku.

"Mi-Mizuo-kun! Sedang apa kau disini?" tanyanya panik.

"Ohh... Tidak ada. Hanya ingin melihat keadaanmu setelah dikalahkan telak oleh kami" kataku sambil menyeringai kecil.

Dia hanya terdiam melihatku. Kulihat ada rasa kesal dalam matanya.

"Kenapa Mizuo-kun selalu membela gadis itu?" tanyanya.

"Kenapa kau peduli dengan itu? Itu bukan urusanmu" jawabku sarkastik.

"Tentu saja ini urusanku! Aku ini penggemar beratmu. Aku... Aku selalu iri melihat Ishika selalu di sampingmu. Aku ini selalu menyukaimu, Mizuo-kun! Apa bagusnya gadis suram seperti dia?!"

Wow, sepertinya ada yang baru saja mengeluarkan isi hatinya.

Aku pun berjalan mendekatinya.

Dia kaget dan panik, ingin kabur. Dengan segera aku menahan tubuhnya dengan tanganku. Punggungnya menempel di loker, sedangkan wajahnya sudah panik bukan main karena aku memerangkapnya.

"Mi-Mizuo-kun! A-apa yang ka-kau lakukan?!" serunya sambil mendorong tubuhku.

"Kau mau tahu perbedaan Yuuki denganmu?" tanyaku pelan.

"Meskipun dia tidak cantik, tapi dia punya kelebihan tersendiri. Lalu, coba katakan padaku. Apa kelebihanmu? Selain sifat busukmu itu, tidak ada lagi." kataku dengan dingin.

"Kau sudah menyakiti Yuuki. Kau sudah menyakiti orang yang kusukai. Aku tidak akan pernah memaafkanmu. Jika kau berani menyentuh- ahh tidak, bahkan mendekatinya...." tanganku bergerak ke atas, menunjuk lehernya dengan jariku. Dia sudah ketakutan, makin ketakutan dengan tanganku di lehernya. Dia bahkan tidak bernapas saat itu.

"..... Bisa kupastikan tempat yang kutunjuk ini tidak akan utuh lagi. Jadi jangan berpikir untuk melakukan itu, mengerti?"

Dia dengan gemetar mengangguk pelan. Aku pun melepaskannya. Karena gemetar ketakutan, tubuhnya merosot kebawah. Wajahnya sudah pucat karena takut.

".....ma-ma-maafkan..... aku" gumamnya dengan sangat pelan.

Aku pun meninggalkannya begitu saja. Bel masuk berbunyi tepat saat aku masuk ke kelas.

"Lama sekali. Kau sedang mengerjakan urusan apa?" tanya Yuuki sewot.

"Hanya memberi peringatan pada seseorang" jawabku cuek.

"Hah? Memberi peringatan? Apa maksudmu?" kulihat keningnya berkerut, tanda dia penasaran.

"Kenapa kau sangat ingin tahu hah?" tanyaku gemas sambil mencubit pipinya, dan tentu saja bukan pipi yang sedang terluka.

"Ahh! Sakit! Lepaskan! Lepaskan!" serunya sambil menepuk-nepuk tanganku keras.

Aku hanya terkekeh melihat reaksinya. Lucu sekali.

.

.

.

(Ishika Yuuki POV)

Akhirnya, bel pulang berdering keras, membangunkan nyawa disaat-saat suntuk seperti ini. Maklum, saat pelajaran terakhir, pikiran sudah tidak mau diajak kompromi lagi.

Hari ini pun latihan rutin ditiadakan. Karena kondisi tanganku yang belum pulih. Begitulah yang dikatakan Shizuka-senpai di e-mailnya.

"Yuuki..." panggil Kenichi.

"Hmm?" jawabku sambil membereskan buku, lalu memasukkannya ke dalam tas.

"Kau ada acara hari ini?" tanyanya.

"Hmm.... Kurasa tidak. Memangnya ada apa?"

"Setelah ini, apa kau mau menemaniku ke toko buku?"

Mendengar kata 'toko buku', aku langsung menoleh ke arahnya. Dengan mata berbinar-binar pastinya.

"Baiklah, lagipula sudah lama aku tidak kesana" jawabku.

Dia pun tersenyum, lalu menggandeng tanganku.

"Ayo" katanya sambil menarikku pelan.

Aku yang tiba-tiba digandeng olehnya, pipiku langsung memerah.

"H-hai"

Kami pun berjalan keluar sekolah menuju toko buku. Selama berjalan, dia pun mengajakku mengobrol. Yaa~ tidak biasanya dia mengobrol saat berjalan. Biasanya dia lebih memilih untuk menutup mulutnya jika tidak ada ide untuk menjahiliku.

Tak lama, kami sampai di toko buku. Dia melepaskan gandengan tangannya begitu masuk ke dalam. Tunggu, jadi selama berjalan, kami bergandengan tangan?

"Kenapa kau melamun?" tanyanya sambil mensejajarkan wajahnya.

"A-ahh... Tidak ada kok. Lebih baik kau mencari buku yang kau cari, Kenichi." kataku sambil memalingkan wajahku.

Wajahnya itu terlalu dekat!

"Hee... Baiklah, tapi jangan jauh-jauh dariku ya" ujarnya, dan kulihat ujung bibirnya terangkat sebelah.

Dia menyeringai lagi.

"Hei, memangnya aku anak kecil?! Aku tidak akan tersesat di tempat seperti ini!" kataku kesal.

Dia hanya terkekeh dan berjalan meninggalkanku. Cih, dasar Kenichi!

Sepeninggal Kenichi, aku langsung pergi ke rak khusus novel. Dan aku tidak percaya apa yang kulihat saat ini.

Penulis favoritku merilis lanjutan terakhir dari novel misteri yang sudah dia buat sebelumnya!

Demi apapun! Aku selalu menunggu lanjutan ceritanya. Dan akhirnya, lanjutan itu akhirnya diterbitkan. Dengan ini, aku akan tahu siapa dalang dibalik semua pembunuhan berantai yang menurutku sangat rapi dan hampir tidak ada jejak sama sekali dalam cerita ini.

Aku mengambil novel itu dengan tangan gemetar. Novelnya lebih tebal dari seri sebelumnya. Saat aku membalikkan bukunya untuk melihat harganya, mataku terbelalak kaget melihat deretan angka tersebut.

Kenapa..... Kenapa harganya mahal sekali??!! Aku tidak punya uang sebesar itu saat ini!

Tapi aku ingin sekali membelinya!

"Buku apa yang kau pegang, Yuuki?" tiba-tiba Kenichi bertanya padaku dari belakang.

Hampir saja aku teriak karena kaget. Namun aku masih bisa mengendalikan diriku.

"Kenichi, bisakah kau untuk tidak muncul tiba-tiba di belakangku?!" tanyaku kesal.

Dia pun hanya cengar-cengir. Cih, jika tanganku tidak terluka, akan kuhajar wajah bodohnya itu.

"Jadi.... Kau sudah menemukannya?" tanyaku sambil menaruh kembali buku yang kupegang.

"Tidak ada" jawabnya sambil mengangkat bahunya.

Ini aneh, padahal ini adalah toko buku terlengkap disini.

"Memangnya buku apa yang kau cari? Biar kubantu carikan" aku berniat berjalan untuk membantunya mencari, namun tanganku ditahan olehnya.

"Sudahlah, aku sudah memeriksanya, buku yang kucari memang tidak ada disini." katanya.

"Baiklah, kalau kau bilang begitu. Jadi.... Kita pulang saja?"

"Oke. Kau tunggulah diluar, aku akan membeli buku yang lain"

Aku hanya mengangkat bahuku, "baiklah"

Aku pun berjalan keluar toko. Namun sebelum keluar, aku melirik ke arah Kenichi. Dan kulihat dia sedang memegang buku yang tadi ku incar.

Apa dia mau membeli itu?

Dengan perasaan bingung, aku pun menunggunya di luar. Tak lama, dia pun keluar dari toko.

"Maaf membuatmu menunggu" katanya. Dia menggandeng tanganku (lagi) dan menarikku pelan untuk mengikutinya.

"He-hei, jangan menggandeng tanganku." kataku, karena ada banyak orang yang melihat ke arah kami.

"Kalau begitu..." dia pun menarikku lebih dekat kepadanya. Bahu kami pun saling menempel.

"....dengan begini, tidak ada yang melihat kita bergandengan tangan kan?" tanyanya sambil menyeringai jahil.

Aku hanya terdiam. Wajahku memerah karena dia terlalu dekat, dan dia juga menggenggam tanganku dengan erat, seolah berpikir aku akan kabur meninggalkannya.

Dia?

Ohh, dia malah tersenyum girang sambil menggandengku (lebih tepatnya menyeret) menuju rumah. Kenichi yang jarang tersenyum seperti itu, membuatku bergidik sesaat. Bukannya apa, tapi... Pernahkah kalian melihat patung manusia? Bagaimana jika tiba-tiba mimik patung itu berubah dari biasanya? Menyeramkan bukan?

.

.

.

Akhirnya, kami sampai di depan rumahku. Langit sudah mulai gelap, hanya tinggal sebagian kecil langit yang masih nampak cahaya kemerahan.

Dia mengantarku sampai depan pintu. Lalu baru dia melepaskan tanganku.

"Terima kasih sudah mau menemaniku, Yuuki" ujarnya sambil tersenyum lembut, melihatnya tersenyum, wajahku mulai memanas.

"I-iya, sama-sama" kataku.

"Ba-baiklah, sampai jumpa besok." baru saja aku mau membuka pintu, namun tanganku di tahan olehnya. Aku pun sontak menoleh ke arahnya.

"Tunggu dulu..."

"Ada apa?"

"Aku mau memberimu sesuatu" dia pun merogoh sesuatu di dalam tasnya.

Aku hanya mengernyit penasaran. Apa yang mau dia berikan? Apa jangan-jangan ini trik jahil yang biasa dia lakukan?

Namun, begitu benda itu ada di tangan Kenichi, mataku langsung terbuka lebar.

"Ini, untukmu" katanya sambil menyodorkan sebuah buku. Itu adalah buku novel yang tadi kuincar!

"Ke-Kenichi, kau membeli ini?! Tapi ini kan mahal sekali harganya!" tanyaku tidak percaya.

"Iya. Tadi kulihat kau memegang buku ini cukup lama. Aku bisa langsung tahu kalau kau ingin membelinya. Jujur saja, aku juga kaget dengan harganya" katanya datar.

"Lantas kenapa kau membelinya?!" tanyaku sewot.

"Sudahlah, terima saja." dia pun menyodorkan buku itu lebih dekat. Ragu-ragu, aku pun menerimanya.

"Ini adalah hadiah permintaan maaf dariku. Gara-gara aku, kau jadi terluka begini. Andai saja waktu itu aku bersamamu...." dia memegang tangan kiriku yang terbalut perban.

".... Kau tidak akan mengalami hal seperti ini"

Aaarrggghhh!! Kalau begini terus, kepalaku bisa meledak!

"Ka-kau tidak perlu merasa bersalah begitu. Ini juga salahku, harusnya aku berhati-hati dari mereka."

"Baiklah, ini kesalahan kita berdua" katanya, tidak ingin berdebat denganku.

"Oh ya, Kenichi..."

"Apa?"

"Terima kasih untuk bukunya. Aku benar-benar menyukai buku ini" kataku sambil tersenyum.

Dia terdiam, lalu tangannya terangkat, mengelus kepalaku.

"Aku senang kau menyukainya" katanya sambil tersenyum lembut.

"Baiklah, aku pulang dulu. Mata ashita, Yuuki"

"Mata ashita, Kenichi"

Dia pun berjalan meninggalkan rumahku. Namun sebelum itu, dia sempat mencubit pipiku sesaat.

"Hei!"

"Hehehe... Habisnya rasanya gemas sekali saat melihat wajahmu itu." katanya sambil terkekeh.

Mendengar itu, pipiku langsung memanas.

"Bye-bye~" dia pun melambaikan tangannya padaku.

Dan kubalas dengan melambaikan tanganku juga.

.

.

.

.

.

TBC

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro