Maharani di Ujung Sangkala

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Maharani di Ujung Sangkala
Oleh: NozdormuHonist


Di bawah pohon ceri yang gersang terduduk seekor singa betina bernama Amilatura. Hanya Amilatura, bukan Ratu Amilatura, atau Ibunda Alaritar. Julukan dan titel itu telah lama ia singkirkan dari sudut terkelam mindanya. Ia bahkan tak mampu mengetahui dengan pasti sejak kapan kapan pohon ini berhenti memekarkan bunga merah muda di sekujur ranting keringnya.

Walaupun demikian, memori selama berlaksa warsa terakhir tetap bersemayam dan tinggal bersamanya. Terukir di wajahnya yang tidak pernah dihuni segaris kerutan dan tercamkan di hatinya yang bergejolak. Umurnya sudah sangat tua sekarang--baik dari standar Alaritar dan makhluk yang lain. Ia bisa merasakannya--sangat dekat. Surai azura cerahnya kini memudar menjadi seputih salju yang turun pertama kali pada musim dingin di Pegunungan Astranur.

Setiap beberapa jam sekali mata azura Amilatura akan terbuka, dan keduanya akan menyisir pesisir pantai yang masif di hadapannya. Kerlingnya akan tertambat pada baskara di angkasa yang membara dengan api merah tua. Sepertiga dari dirgantara sudah diselubungi oleh bara baskara, selagi ombak menghantam tebing tempat ia terduduk berkali-kali. Keempat kakinya akan tetap terbenam ke dalam pasir pantai, enggan untuk bergerak sedikit pun. Seakan-akan dirinya membeku di tempat. Kadangkala netranya akan menatap pada korona baskara dan bintik-bintik hitam yang merekah di permukaan bintangnya.

Bintik-bintik hitam itu selalu menjadi pengingat kesalahan terbesar Amilatura, juga pengingat bahwa keabadian hanyalah omong kosong manis yang membodohkan. Tidak ada yang berlangsung untuk selamanya. Bahkan bagi sebuah bintang dan para Alaritar. Bahkan bagi dirinya sendiri. Selama berjam-jam ia akan berkontemplasi, menyaksikan deburan ombak menggerus habis tebing tempatnya terduduk. Ia berharap dirinya bisa mati dengan tenang--baik dalam keadaan tidur atau terduduk--sampai keabadian berakhir.

Amilatura nyaris tertawa miris mengingat dulu tempat ini berada ratusan meter di bawah permukaan laut. Aeternum Malum. Suaka Para Eldrikh. Gerbang ke Zulmat. Begitulah kira-kira nama yang diberikan pada pulau raksasa ini dahulu. Kini nama-nama tersebut hanyalah pengingat yang menyedihkan. Gambaran kerajaan bawah laut itu masih tersekat di dalam mindanya: tentang puncak bukit kecil di tengah pulau yang menyangga satu menara hitam dengan sebuah bola kaca di atasnya. Bola tersebut berisikan substansi yang para Alaritar sekalipun tidak mengetahui asal-usulnya. Ketika malam tiba, bola itu akan mengeluarkan emisi cahaya kehijauan yang menerangi seluruh penjuru pulau, tak terkecuali daerah pesisir pantai. Pendarannya menyingkap makhluk-makhluk asing bersayap empat atau bermata majemuk yang berkeliaran di sepanjang jalan menuju menara tersebut. Mereka bernaung dalam sarang-sarang berdindingkan lendir hijau yang mengeras seiring berjalannya masa. Sarang-sarang tersebut terhubung langsung ke menara di atas bukit kecil dan sarang raksasa di bawahnya.

Kini kerajaan itu tak lebih dari relik usang yang tak ada harganya. Amilatura sendiri enggan membalikkan badannya ke belakang kecuali jika ia benar-benar gelisah atau bosan. Tiap kali pandangannya menghantam sisi lain dari pulau itu, maka berlaksa tulang-belulang para Eldrikh akan menyambutnya. Pun aroma anyir yang menguar dari tiap-tiap mayat di pelataran jalan. Pertempuran akbar pernah terjadi di sini. Pertempuran yang merenggut banyak korban. Pertempuran yang dimulai oleh dirinya sendiri.

Kedua telinga Amilatura tiba-tiba berdiri tegak. Kerlingnya menusuk baskara lebih dalam. Ia takkan berbohong jika ditanya kenapa jantungnya berdebar hebat saat ini. Bulu kuduknya langsung berdiri begitu tremor menghantam tubuhnya. Matanya tetap awas, berjaga-jaga jika makhluk itu lepas dari terungkunya.

Ya, makhluk itu. Ayah Para Abominasi. Dewa di Balik Matahari. Sesembahan Kaum Eldrikh. Dewa yang ia penjara berlaksa abad yang lalu--kesalahan terbesar yang pernah ia buat. Berkat kesalahan yang ia buat, untuk selamanya ia terperangkap di dalam lingkaran waktu ini. Selamanya ia menjadi sipir penjara di sel tahanan makhluk ini. Kecuali salah satu dari mereka mati, siksaannya takkan pernah berhenti. Dan kalau boleh jujur, Amilatura masih menyimpan sebersit ketakutan pada Mair yang datang tanpa peringatan.

Amilatura menghela napasnya sepelan mungkin begitu mendengar gema langkah kaki di belakangnya. Ia bahkan enggan membalikkan wajahnya ketika dua sayap reptilian keemasan muncul di ujung matanya. Tidak, itu bukan adiknya, ia tahu. Di lingkaran waktu ini, mayat adiknya sudah lama hancur.

"Salvē, Regina Amilatura, lama tak berjumpa."

Bulu kuduk Amilatura tiba-tiba langsung berdiri tanpa aba-aba.

Apapun yang berada di sampingnya sekarang benar-benar terdengar dan terlihat seperti adiknya. Makhluk … bukan, gema. Gema dari dirinya yang sebenarnya. Itu mestinya mirip sekali dengan Mundoroz--dengan sisik perunggu keemasan, sepasang sayap besar, dan empat tanduk melintang, hanya dua kali lebih besar--ia yakin sekali. Namun itu bukan adik kesayangannya, dan Amilatura mencamkannya baik-baik dalam minda.

"Salvē, Mundoroz," sambut Amilatura yang tersenyum pahit, "sudah lama sekali ternyata. Apa yang membuatmu datang kemari?"

Gema Mundoroz mencuat dari ujung penglihatannya dan berujar, "Mestikah aku punya alasan untuk mengunjungimu, kakak? Aku hanya ingin berada di sisimu lebih lama lagi."

Amilatura tertawa pahit, "Ah, maafkan formalitasku, Mundoroz. Masa tidak sebegitu lembut pada memoriku."

Gema itu mendengus sesaat, "Permintaan maaf diterima."

Sunyi bertakhta di antara mereka berdua sebelum Mundoroz kembali angkat bicara.

"Aku sangat bahagia bisa bersamamu lagi, kakak," lanjutnya melayangkan senyum.

Kakaknya tidak menjawab. Mungkin karena ia tidak punya tenaga untuk menjawab, atau mungkin ia sudah tahu apa reaksinya, atau ia sudah bosan. Sejujurnya, ia tidak tahu. Ia tidak punya apa-apa lagi untuk dijawab.

"Apa kau merindukanku, kakak?" tanyanya dengan pupil mata yang berdilatasi.

Amilatura melirik baskara dan mendesah, "Berlaksa milenia telah berlalu di antara kita, Muhn. Aku sudah merelakan kepergianmu sejak lama. Kautahu aku tak bisa meratapi kepergianmu selamanya."

Gema itu menyengir, "Jadi, kau hendak melupakanku begitu saja?"

Singa betina itu mengangkat sayapnya sedikit dan membalas, "Semuanya berubah, Muhn. Tidak ada yang bertahan untuk selamanya. Untuk hidup dalam penjara ini dan mengulangnya berkali-kali … semuanya tak lagi sama bagiku."

"Aku mengerti," tanggap gema itu dengan nada kecewa.

"Jangan salah paham. Di dalam kalbuku, aku tahu masih ada kasih sayang yang kusimpan untuk dirimu," kata Amilatura yang berusaha tetap tegar.

"Tidak, maksudku aku benar-benar paham." ujar Mundoroz menginterupsi.

Amilatura meninggikan nada suaranya, "Apa yang kaupahami?"

"Kau akhirnya mengakui jika kematian adalah jalan menuju keabadian."

Singa betina bersayap seputih satin itu terdiam untuk beberapa saat. "Itu … tidak sepenuhnya benar," balasnya dengan lidah yang gemetaran.

"Kau membohongi dirimu sendiri, Kak."

Amilatura naik pitam dan mendamprat gema itu, "Inikah tujuanmu datang kemari? Untuk mengejekku di ujung umurku? Saat kulit busukku diumpankan jadi sesajen?"

Gema Mundoroz menatap kakaknya serius. "Kita berdua tahu aku tidak akan pernah melakukan itu."
Amilatura menggeram, "Kau datang kemari untuk satu tujuan. Katakanlah, lalu tinggalkan aku sendiri."

Gema itu menegakkan kedua sayapnya dan melangkah pelan ke arah sang singa betina. Begitu lembut hingga ia bisa mendengar langkah kakinya. Amilatura punya dorongan untuk bangkit dari tempat duduknya, tetapi ia hanya diam saja. Bahkan saat gema itu melebarkan sayapnya dan memeluk tubuhnya. Di momen itu, ia bisa merasakan beberapa tetes air yang pecah di bahu kanannya. Pun dengan kesuaman yang asing.

"Aku hanya ingin kautahu, aku mencintaimu dengan raga dan atmaku, meskipun dirimu yang sekarang tidak bisa merasakan hal yang sama. Aku juga berterima kasih atas semua perhatian dan kasih sayang yang kaucurahkan padaku--yang sampai sekarang masih belum bisa kubalas. Maafkan aku jika selama ini aku tidak pernah menjadi bagian dari keluarga yang kauharapkan," tutur Mundoroz yang nyaris tersedu-sedan.

Tenggorokan Amilatura tersekat. Bendungan imajiner di matanya sedikit lagi pecah. Namun ia memilih untuk membanting pandangannya ke pasir kemerahan di bawah tebing, berpura-pura kata-kata adiknya bukan apa-apa.

"Kau tak sendirian, kakak. Kau sudah melakukan begitu banyak untukku, dan aku takkan meminta lebih banyak lagi darimu," desisnya menggosokkan dahi hangatnya ke tengkuk Amilatura.

Amilatura menghela napas dan mendebat, "Lalu kenapa kau datang kembali padaku? Yang kuminta dari saudara dekatku hanyalah ketenangan batin."

"Sudah kubilang, untuk mengingatkanmu," bisik Mundoroz di bawah cuping telinga kakaknya, "bahwa kau tak sendirian."

"Aku sudah sendirian sejak lama, Muhn," tandas Amilatura dengan suara yang sedikit serak.

"Dan kau masih berbicara padaku," timpal Mundoroz, "apakah itu tidak berarti apa-apa bagimu? Apakah makhluk-makhlukmu yang telah kauselamatkan ke luar dirgantara tak lagi bernilai di sisimu?"

"Aku tidak tahu," kilah Amilatura di pangkal sedu sedannya, "Yang kutahu tidak ada yang berarti lagi saat ini."

Di ujung matanya yang lesu, Mundoroz tersenyum sekali lagi. Bukan senyuman yang pahit, tetapi senyuman penuh iba. Sudah lama sekali Amilatura tidak melihatnya. Senyuman itu mengingatkannya akan masa-masa ketika semesta masih muda; di mana mereka bermain-main di atas Samudra Sangkala tanpa harus menghitung warsa. Ketidaknyamanan mulai mengguncang ulu hatinya.

"Akan kuhargai keputusan finalmu," kata Mundoroz melipat kedua sayapnya kembali, "jika itu membuat hatimu lebih bahagia."

Amilatura berusaha keras menenangkan perasaanya yang terombang-ambing. Secara tidak sadar sepasang gigi depan bagian atasnya mencengkram ujung lidahnya dan ekornya berhenti bergerak. Gema itu masih berada di samping Amilatura, tetapi presensinya semakin memudar. Dari ujung mata Amilatura, dia tampak menatapnya seakan untuk terakhir kalinya.

"Kautahu, kau bisa saja salah, kakak. Jika semuanya tak lagi berarti bagimu, pohon di sampingmu itu tidak akan mungkin berdiri."

Bendungan imajiner di kedua pelupuk mata Amilatura tak kuat menahan arus yang akan datang begitu kesuaman asing dan gema itu menguap menuju udara dan meninggalkannya sendirian. Isaknya menjadi-jadi dan kedua kelopak matanya akhirnya tertutup rapat. Di dalam kesunyian, ia mendengar suara tunggal yang meredup.

"Valēto, soror amāta."

Kedua mata azura Amilatura terbuka lebar. Kepalanya berdenyut-denyut, dan hidungnya mencium aroma tanah bercampur pasir basah. Ketika ia mencoba bergerak, sekujur tubuhnya telanjur menyentuh tanah berpasir di tepi tebing yang curam. Sedikit demi sedikit, ia berusaha bangkit dan menggeleng-gelengkan kepalanya. Serta-merta butiran pasir berjatuhan dari surai putihnya, dan rasa pusingnya agak berkurang. Tatapannya naik menuju baskara, kemudian ia mengutuk dirinya sendiri.

Pandangannya menyisir permukaan baskara yang bersinar krimson tua ketika ia melihat sesuatu yang janggal muncul dari sela-sela bintik hitamnya. Dengan saksama ia memperhatikan ketika timbunan bola-bola candramawa di belakang bintang kesayangannya menyembur laiknya cacing-cacing pita yang menggeliat karena kepanasan. Amilatura lantas mendelik kala melihat rahang-rahang raksasa bertaring tajam dan berlendir hitam yang menyeruak dari beberapa sisi bola tersebut. Dari dalam mulut berlendir itu pula tersingkap netra obsidian gigantik, dikawani puluhan hingga ratusan sulur-sulur kehijauan yang siap mencincang seluruh isi perut Amilatura.

Saat ini ia tahu, tiada lagi penjara yang mampu menahan abominasi itu. Ia sudah mencoba dan bertahan sebaik mungkin. Ia telah melakukan segala yang ia bisa, dan inilah akhirnya. Namun semenyerah apapun dirinya, suara adiknya selalu terngiang-ngiang di pikirannya. Waktunya hampir habis.

Kedua mata singa betina itu mengatup untuk sesaat dan dari ujung netranya, menguar halimun subtil kebiruan, bersamaan dengan mengalirnya tirta netra dari kedua pipi kusamnya. Jantungnya berdebar kencang--kencang sekali. Begitu kedua sayap putihnya terbuka lebar, kerling tajamnya menjalang tepat ke tengah-tengah parasit itu.

Berbekal beberapa puluh detik sebelum bintang kesayangannya akhirnya meledak, Amilatura menelengkan kepalanya ke arah pohon ceri yang gersang itu untuk yang terakhir kalinya. Di bawah ranting tanpa daun yang layu, ia mengambil ancang-ancang secepat mungkin tanpa memperdulikan permukaan baskara yang tengah bergejolak hebat. Sang singa betina berdiri di depan pohon ceri yang dilindunginya--tempat di mana tulang-belulang adiknya terkubur--lalu memfokuskan seluruh energi dan kekuatannya di satu titik.

"Aku akan pulang, Mundoroz." Ia menutup matanya dan tersenyum di depan Mair.

===

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro