Harga Kepandaian

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Harga Kepandaian
Oleh: Hai_ha1


(Karya ini fiksi, jika ada kesamaan nama tokoh, tempat, peristiwa, hanya kebetulan belaka ^^)

Lampu penghalang kendaraan melintas rel bergerak horizontal bersamaan mesin-mesin lokomotif kereta mendecing terdengar nyaring. Sopir yang membawakan kendaraan, menginjak rem menghentikan pergerakan mobil dari kejauhan. Denting-denting mesin kendaraan bergerbong panjang lenyap menyisai ekor lorong yang kemudian menghilang dari penglihatan.

Sosok wanita berbalut gaun panjang di dalam kendaraan roda empat, tidak berhenti mengamati lalu lalang kendaraan yang menyemut. Menerka-nerka arah tujuan mereka. Kegiatan itu membangkitkan sebuah kenangan yang terbalut rapi dalam memorinya.

***

“Rara, dipanggil tuh.”

Kif terus menggoyang lengan teman sebangku yang terus mematung dengan pandangan kosong.

“Aira Zahara.” Tegas suara itu kembali mengeja nama lengkapnya.

Rara gelagapan mendapati dirinya yang sedang memikirkan sesuatu.

Rara bergegas menghampiri sang Guru Bahasa di depan kelas. Gadis itu berusaha mati-matian menghilangkan gugup yang melanda sejak diumumkan harus membacakan hasil rangkuman pidato panjang yang ditonton di Laboratorium Bahasa tempo hari.

Tidak pernah mudah mengatasi rasa gugup setiap kali ini terjadi. Namun, kali ini terasa atmosfer yang berbeda. Puluhan pasang mata seakan menghakimi dengan tatapan penuh selidik membuatnya ingin segera menyelesaikan tugasnya dan kembali ke tempat duduk untuk menenangkan diri.

“Kenapa sih? Kok dari tadi bengong?” pertanyaan Kif yang sama dari sebelumnya ketika Rara kembali seusai membacakan tulisannya di depan kelas.

Hanya gelengan sebagai jawaban yang di dapat Kif. “Nggak apa.” tambah Rara.

“Apa kamu masih kepikiran tentang waktu itu?” Kif mencomot permen karet warna ungu ke dalam mulut dengan lahap.

Sontak pertanyaan itu membuat bulu kuduk Rara meremang. Kif dengan mudah menebak isi kepalanya. “Bukan, kok. Aku sudah melupakannya--” perkataannya tercekat tak sanggup melanjutkan karena takut dadanya kembali sesak.

“Kamu nggak pa-pa?” tanya Kif terlihat cemas. “Sudahlah … jangan pikirkan omongan mereka.”

“Entahlah, rasanya … selain memikirkan pendapat orang, ada hal lain yang lebih kuinginkan.” Rara-kembali mati-matian menahan isak. Gadis itu menyadari sudah tabiatnya manusia menilai sesuatu hanya dari luar.

Kedua kawan itu menghentikan pembicaraan sejenak ketika bunyi tanda istirahat menggema. Pelajaran Bahasa Indonesia terasa berakhir dengan cepat.

Fathmah Zahrah dikenal banyak orang sejak kelas sepuluh. Selain diberkahi kulit pucat bersih dan bentuk wajah proporsional, dengan nilai menonjol, hampir semua guru mengetahuinya dengan baik. Berbanding terbalik dengan Rara yang wajib belajar mati-matian mengejar ketertinggalan.

Teman-teman terdekat lebih sering memanggilnya Zah. Sosok mungil itu lebih supel dari yang pernah Rara kira. Bahkan gadis seperti Rara bisa merasa dekat dengannya.

Suatu hari, ketika Rara memutuskan mengikuti lomba menulis yang tanpa sengaja dilihatnya dari poster besar di dekat kantor guru, Zah meminjaminya laptop dengan gembira. Awalnya Rara menolak, karena paksaan gadis itu dan dirinya sendiri belum memiliki fasilitas laptop, akhirnya diterimanya dengan senang hati.

Bagi Rara, itu sebagai penghibur. Apalagi sejak memutuskan memilih jurusan yang berkebalikan dengan isi hati.

Sampai akhir semester kelas sepuluh, gadis itu tak berhasil membujuk orangtuanya untuk mengizinkannya memilih kelas Ilmu Pengetahuan Sosial di kelas sebelas. Celakanya, dengan niat tidak lolos dalam tes jurusan, dia memilih IPA sebagai pilihan. Namun hasil berkata lain.

Suatu hari di awal tahun ajaran baru, satu kelas gaduh. Sebelumnya sudah sudah ada beberapa pelajaran lokal, dengan ditambahnya muatan lokal baru, tentu tidak mebuat siswa-siswa antusias. Selain itu, tambahan pelajaran asing itu dinilai murid-murid tidak mempengaruhi nilai kelulusan mereka.

“Ada apa?” tanya Rara pada sosok berambut sebahu yang lagi-lagi mengunyah permen karet favorit.

Kif mengendikkan bahu tak kentara. “Paling masalah ujian Bahasa Jepang. Keluhan mereka masih sama.” Jawab gadis itu cuek sambil meneruskan kegiatannya berhitung nama-nama bulan dalam Bahasa Jepang.

“Oh.”

Dengan pandangan dan dahi berkerut gadis itu mengamati satu-satu teman sekelasnya. Seingatnya, meskipun pelajaran diajarkan ditingkat SMA, tetapi justru karena pelajaran permulaan, semua di mulai dari awal. Dari mempelajari perkenalan diri orang-orang Jepang, mempelajari aksara-aksara Jepang, maupun kosakata-kosakatanya. Rara yakin teman-temannya tidak akan mengalami kesulitan untuk hal sepele itu. Dia tidak tahu persis bagaimana menggambarkan perasaannya tentang hal ini. Bisa jadi mereka terlihat mengeluh, tetapi, bisa dipastikan mereka akan mendapat nilai tinggi nantinya.

Ketika hasil ulangan dibagikan, Rara sangat terkejut dirinya dipanggil ke depan. Senseinya bertanya dengan lugas. “Nilaimu seratus. Apakah kamu menyontek pada Fathmah Zahrah?”

Bagai dikejutkan sengatan listrik seribu voltase dadanya bergetar karena menahan sesak. Bayangan betapa menyenangkannya mengukir aksara jepang berjam-jam menghabiskan lembar-lembar kertas demi menghafal huruf-huruf asing, musnah.

Rara mengangkat kepala perlahan.

Pertanyaan-pertanyaan dibenak terus mencabik-cabik. Tak ada kalimat pembelaan yang tersusun dalam otaknya. Rara yang terbiasa menuliskan rangkai kata-kata imajinasi dalam sebuah cerita, tak bersisa kemampuannya itu.

Lalu, jika pun harus membela diri, apakah perempuan berkacamata di hadapannya ini akan percaya begitu saja? Jadi, gadis tak berdaya itu jelas memilih tetap bungkam.

“Saya tanya, apakah kamu menyontek?” tanya ulang Sensei Maya.

Pandangan Rara tak lepas dari kertas-kertas yang dipegang sosok di depannya yang balas menatap dari kursi guru.

Apa yang Senseinya pikirkan sehingga berkesimpulan kotor seperti itu?

“Kamu menulis nama ‘Rara’ di jawaban, begitu juga dengan Fathmah Zahrah.”

Ucapan Sensei membuat Rara sadar dirinya telah menyuarakan apa yang ada dipikirannya. Jadi … hanya gara-gara itu?

Dari sekian soal, Rara ingat pertanyaan yang menanyakan nama yang harus di jawab menggunakan aksara khusus yang dipergunakan untuk kata-kata asing. Sebelumnya, Rara sempat ragu menuliskan nama lengkapnya dikarenakan katakana ‘za’ dalam namanya, sedikit samar diingatnya. Ia memilih jalan pintas menggunakan nama panggilan untuk memenuhi jawaban dari soal tersebut. Hanya sebuah coretan horizontal, kemudian menarik garis lengkung ke arah bawah dari sisi kanan lalu dibubuhi garis horizontal sejajar di atasnya, kemudia aksara itu dapat dibaca ‘ra’.

Gadis berambut hitam legam itu tak lagi sanggup menahan himpitan dalam dada. Seberapa bodohnyakah dirinya, sehingga harus mendapat penghakiman demikian?

Pikirannya kacau. Dengan pandangan mengabur, dia memilih berlari keluar kelas. Mengabaikan tatapan-tatapan aneh yang penuh tanya. Rara memilih pergi dan mengubur jawaban itu bersama dirinya.

Setelah peristiwa lampau itu, tak ada perubahan yang terlihat di kelas sebelas. Semua nampak baik-baik saja. Namun tak ada yang menyadari antara kedua sebaya itu tak lagi bertegur sapa. Lebih-lebih, Rara memang tidak berniat untuk memulai percakapan dengan Zah.

“Tapi aku menyesal. Waktu itu harusnya aku membantah dengan lantang.”

“Apa kamu mau aku temani ke kantor guru buat klarifikasi?” Tawar Kif yang beranjak dari tempat duduknya.

“Apa gunanya baru sekarang? Hasilnya akan sama.” Rara menutup wajah dengan kedua lengan di atas meja.

“Kalau belum dicoba, siapa yang tau?” sergah Kif. “Ya sudah. Kalau gitu, aku ke kantin.”

Kemudian Rara hanya menggeleng ketika Kif bertanya apakah dirinya ingin titip minuman.

Sampai di rumah, suasana hatinya tetap memburuk. Sepertinya masalah itu akan selalu muncul jika tidak diselesaikan. Setelah semalaman tidak bisa memejamkan mata dengan tenang, Rara memutuskan menemui Zah esok hari untuk berbicara empat mata.

***

“Terus? Apa mereka pada akhirnya berbaikan?” Lulu terus mengguncang lengan wanita muda berbalut dress cerah.

Perempuan muda yang di desak menyungging senyum senang menggoda putri kakak satu-satunya.

Perempuan muda itu menggumam. Kerutan di dahi membuatnya terlihat sedang berpikir keras. “Mungkin mereka sudah berbaikan.” Ucapnya ambigu.

“Kita sudah dekat gedungnya, kamu siap-siap ya, Lu.” Pinta wanita berambut hitam legam sembari memastikan penampilannya sempurna. Jam digital yang menempel di panel dalam mobil menunjukkan hampir pukul sepuluh, bulan delapan tahun 2018. Menurut undangan bewarna coklat gelap berhiaskan garis-garis keemasan, acara dibuka sejak tiga puluh menit lalu.

“Sia-ap, tante.” Balas Lulu memasang muka masam. Akan lebih baik jika dia bisa bertanya pada teman tantenya soal cerita itu. Sejak dulu adik ibunya itu memang suka membuatnya penasaran.

Saat mobil telah terprkir di pelataran sebuah gedung bertingkat, lagi-lagi tantenya berseru. “Ayo.” Ajaknya bersemangat.

Aira tidak ingat, sejak kapan tepatnya menggungakan nama depannya sendiri setiap berkenalan dengan orang-orang baru. Kini, penyesalan itu sudah lama terhapus dengan panggilan kecil yang pernah tersemat padanya. Dengan keputusannya dahulu, semoga memang itulah yang benar.

Waktu itu memang terasa berat. Walau begitu, itulah masa remajanya yang tidak terlupa. Sebuah cambuk yang dapat membuatnya seperti sekarang. Maka dari itu, wanita yang kini disebut Aira itu selalu berhati-hati menghadapi murid-muridnya saat mengajar Bahasa Inggris.

Dulu ia menyesal karena rasa bencinya, sampai-sampai ia justru menghapus pelajaran yang disukai dari daftar tujuan tempatnya kuliah. Selain mengajar di SMA pusat kota, Aira masih belajar di salah satu lembaga kursus Bahasa asing di salah satu universitas di kota tempatnya tinggal.

Perempuan terlihat lebih muda dari usianya yang lebih seperempat abad itu sangat ingin mengenalkan Lulu pada Kif. Bagaimana reaksi sahabatnya itu? walau Kif telah mengenal Lulu dari cerita-cerita via surat elektroniknya. Sedangkan Kif sejak jauh-jauh hari mewanti agar dirinya datang bersama pasangan, dan Aira mengabaikan titah itu.

***

“Zah, aku mau bicara, bisa?”

Suasana masih pagi dan belum banyak murid-murid berdatangan, hingga detik-detik jam bulat besar yang menggantung di dinding depan kelas bewarna putih gading terdengar jelas. Perasaan Rara diliputi was-was berharap gadis di depannya segera buka suara.

Dari tempat duduknya di balik meja kayu, Zah bergeming. Bola mata hitamnya mengerling ke sekeliling. “Oke. Sepulang sekolah, kita ketemu di dekat gerbang.”

Rara melepaskan napas perlahan mendengar jawaban Zah. Gadis itu mengangguk dan kemabli ke tempat duduknya yang tepat di belakang Zah.

Rara telah memegang dua botol minuman dingin yang di dapat dari kantin sekolah sesaat sebelum menuju gerbang setelah pelajaran terakhir usai. Mereka berdua memang menunggu saat-saat lengang agar leluasa berbicara.

Zah bimbang menerima air mineral yang disodorkan padanya.

“Ambil aja. aku memang niat beli buat minum. Jadi, biar nggak canggung.” Paksa Rara yang melihat Zah ragu-ragu.

Makasih.”

Agak lama, Zah kembali berujar, “apa kamu mau bicara soal--.”

“Sebentar, Zah. Boleh aku bicara dulu?” Rara memastikan gejolak dalam dirinya telah dikendalikan sepenuhnya. Bola matanya awas melirik sekitar mengurangi gugup yang ternyata tak sepenuhnya pudar.

“Iya aku hanya ingin menanyakan sesuatu mengenai hal itu … tentang, bagaimana bisa dengan mudahnya kamu menggunakan namaku saat ujian? Apakah sulit mengingat huruf-huruf itu untuk menulis namamu sendiri? Tidakkah kamu malu? Kamu tahu, pertanyaan nomor dua soal ulangan waktu itu kan menyuruh kita menyebut nama sendiri ….” Napas remaja umur enam belas itu memburu.

“Itu--, sebenarnya aku--”

“Tunggu, Zah. Aku belum selesai bicara.” Sergah Rara setelah berhasil meluapkan isi benaknya yang berkecamuk sejak lama. Rasanya lebih ringan. Ia seperti mampu melihat terang sinar matahari yang selama ini seakan tidak terasa olehnya.  Sesaat dirinya merasa terlalu berlebihan. Tetapi anehnya, dia tidak membutuhkan jawaban dari sosok di depannya. “Itu saja yang ingin kuutarakan.”

“Kamu tahu, aku tidak punya niat apapun untuk--.” Suara Zah terdengar semaik jauh. Rara ingin saja menutup telinga, disbanding mencerna penjelasannya.

Semula Rara hanya ingin meminta maaf atas sikapnya yang seolah menyalahkan orang lain karena ketidakmampuannya. Akal sehatnya sadar bahwa Zah tidak bersalah dari segi apapun. Bahkan gadis itu tentu saja tidak melakukan hal seperti yang dituduhkan kepada dirinya.

“Tadinya aku ingin mengatakan sesuatu yang penting. Tapi kurasa kata-kata itulah yang sebenarnya ingin kudengar …,” Rara mengambil alih peran mengutarakan pikirannya cepat, “Zah, aku sangat berterimakasih karena kita pernah berteman.” Gadis itu menghirup udara sejenak dan mengembuskan perlahan, “maaf, aku lupa ada sesuatu yang harus kukerjakan, aku pulang dulu.”

Genggaman tangan Zah yang semula mengerat pada botol bening yang sudah tidak dingin, terjatuh menggantung di sisi tubuhnya. Gadis itu membiarkan sosok Rara pergi.

Terpaan angin sore terasa lebih kencang dari biasanya menerbangkan dedaun kering. Daun-daun kecoklatan berjatuhan dari beringin lebat yang bersemayam di tengah lapang luas bak musim gugur di negeri empat musim. Hawa dingin bercampur hangat mungkin bukti musim memasuki pancaroba.
Biasanya saat-saat begini, tubuhnya tersengat meriang sepanjang malam. Rara berharap ujung hidungnya terasa panas dan memerah bukan karena pertemuannya dengan Zah.

Libur akhir pekan memasuki akhir bulan dua tahun 2007, Rara memutuskan, selama senggang dua puluh empat jam, akan dipergunakannya menyiapkan batin untuk menemui Sensei diruangannya Senin nanti. Gadis itu telah bertaruh, tidak penting ucapannya dipercaya, ataupun tidak.

Tamat

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro