Sisik Merah

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

SISIK MERAH
Oleh: alizarinlake

Rasjiwa menatap sengit pada Heja yang kedua tangan pria tua itu sejak tadi sibuk bergelut dengan pembeli. Hasil tangkapan ikan lautnya kali itu lebih banyak ketimbang milik Rasjiwa. Tawa yang tersungging di bibir keriputnya kentara menggambarkan bahwa konsumennya mau memberikan penawaran menguntungkan kedua belah pihak. Terbukti pula lembaran daun karet yang berada di sebelahnya duduk semakin mengembang. Setiap kertas nominal yang berpindah dari tangan pembeli selalu berakhir ke kantung hijau itu dengan kembalian berupa recehan koin.

"Dasar, tentu saja dia punya banyak kapal. Gak heran. Banyak anak buah, lagi."

"Aduh, aduh, Ras. Pagi-pagi udah ngedumel."

Rasjiwa hanya melengos mendapati nenek-nenek penjual sayur memergokinya.

Memang Pasar Ikan Nusa tak pernah sepi pengunjung. Menjadikan destinasi kebutuhan konsumsi pesisir laut dalam memonopoli wilayah kepulauan terpencil itu. Meski sebagian warga desa Maritim Nusa hanya melihat-lihat, tanpa melakukan transaksi. Apalagi, Heja adalah salah satu nelayan yang termasuk disenangi pembeli. Selain memiliki penawaran hasil tangkapan yang ramah dompet, kualitas dagingnya selalu segar. Tak heran bila warga rela mengantre untuk mendapatkan harga yang sesuai harapan pembeli berstatus sosial rendah.

Sudah bulan kesepuluh, Heja tetap jaya. Menguasai sebagian besar kebutuhan warga. Bahkan menjadikan penjual yang paling lihai. Kendati musim pasang air laut mulai menyapa wilayah itu. Bulan menjadi tampak lebih menampakkan parasnya lebih dekat. Gelombang laut di malam hari tak memungkiri membuat beberapa nelayan beralih profesi dadakan menjadi petani atau pekebun kaum borjuis, desa sebelah yang hanya dibatasi selat yang memerlukan kapal layar besar.

***

Malam itu, lagi-lagi Rasjiwa hanya memperoleh puluhan kilo tangkapan ikan tuna. Sedangkan, saat mendengar gemuruh mesin perahu Heja merapat ke tepi pantai, ekor matanya menjumpai bergunung-gunung jaring yang menyeret ikan. Bersama pada pemuda, mereka bahu-membahu memasukkan ikan-ikan ke dalam gentong air es.

"Ya, anak-anak, cukup sampai di sini. Kalian boleh pulang. Ini bayaran kalian untuk dua hari ke depan."

"Makasih, Pak!"

"Wah, Pak, enggak kebanyakan, nih?"

"Anggap saja itu bonus. Kalian udah mau kurepotin akhir-akhir ini."

"Walah, Pak. Makasih banget, loh!"

Mereka pun berpisah ketika perahu-perahu itu melabuh jenak di samping gubuk bengkel Heja.

Panas hatilah si Rasjiwa, melihat Heja yang lebih dahulu kembali. Sementara, dirinya masih bergelut dengan ombak. Saking kesalnya, Rasjiwa memicingkan mata seraya menyapu pandang sepenjuru laut. Dirasa hanya ada dua nelayan yang berjarak cukup jauh, ia pun mengambil sesuatu yang ia sediakan dama ember kayu di balik tumpukan kain belacu.

Ia terkereseng tipis saat meracik serbuk mesiu dari tong-tong yang selama ini ia sembunyikan.

"Lihat, saja. Pagi Besok aku akan mengalahkanmu, Heja Tengik ...."

Namun, baru saja ia hendak memantikkan bahan peledak itu, tiba-tiba seonggok batu karang yang berada di bawah perahunya menyundul ke permukaan. Sontak ia terperanjat hampir kecebur.

"Berengsek! Apa-apaan ini!"

Belum mencerna apa yang tengah terjadi, sepercik sinar kemerahan muncul dan menimbulkan kecipak air. Rasjiwa mendelik saat melihat sesosok layaknya manusia menggelepar di lantai kayu perahunya.

"Si-siapa, kau!?"

Kentara wujud seorang lelaki muda ketika purnama yang bertengger menyentuh sosok itu. Semakin membuat Rasjiwa terkesiap, tetapi pemuda itu hanya meringkuk di sudut lambung perahu.

***

Pintu gedek rumahnya tahu-tahu tersingkap, putra semata wayangnya yang sedang menggarap tugas sekolah tersentak. Hampir saja lampu teploknya tersambar.

"Bapak, bikin kaget saja. Kenapa pu—" Bocah laki-laki itu tercekat saat melihat Rasjiwa menggotong buntelan kain belaju.

"Jangan diam saja, bawakan ember dan isi air bersih."

"Buat apa?"

"Nanti tanyanya, cepat keburu mati, ini orang!"

"E-Eh, iya!?"

Ketika putranya mengisi ember dengan air sungai, Rasjiwa lagi-lagi terbungkam. Tangannya bergetar saat mengelap tubuh pemuda itu.

"Ma-mana luka-luka itu?"

Ia sangat yakin dan belum mabuk, atau pun mengantuk. Matanya pasti tidak salah lihat, ditambah purnama sedang girang-girangnya menyinari permukaan laut. Sampai nelayan-nelayan pesaingnya mudah memburu ikan laut. Namun, kenapa borok yang menjamuri tubuh orang asing itu menghilang.

"Pak, ini airnya."

Rasjiwa langsung menangkup tubuh pemuda dengan belacunya.

"Dia siapa, Pak?"

Rasjiwa hanya termangu, tak menjawab pertanyaan anaknya hingga bocah itu menguap dan membaringkan tubuh di kasur serabut kelapa.

Sementara itu, Rasjiwa kembali mempersiapkan dagangannya. Sayangnya, malam itu ia hanya menangkap ikan-ikan kecil dengan pukatnya. Setitik rentak ia merasa antara bersalah dan kesal. Lekas-lekas ia gulung pukat itu dan menyisipkannya ke sepeda rongsok di pojok lemari. Ia pikir tak akan ada yang mengetahuinya. Selain dirinya.

Namun, sepasang mata merah tengah mengintainya.

***

"Bisa saya bantu?"

Dua hari sejak penemuannya pemuda aneh itu, Rasjiwa sering melayar bersamanya. Biasanya, pemuda kurus itu hanya akan membantu penangkapan ikan laut di waktu tertentu. Di saat ia harus memakai cara itu sendirian.

'Kagak usah, kamu di sini saja. Jaga rumah. Lange bentar lagi pulang sekolah. Temani dia ajalah."

Pemuda itu tampak bergeming. Rasjiwa menjadi risih dipandangi terus.

"Hush, sana pergi.

"Kenapa, Pak? Saya hanya mau membantu Bapak sebagai ucapan rasa terima kasih telah menyelamatkan saya dari tenggelamnya ke dasar laut."

Rasjiwa berdecak.

"Kamu yang aneh, ngapain ke laut kalau gak mau tenggelam?"

Baru saja Rasjiwa melangkah keluar rumah, pemuda itu bersuara, "Saya bisa bantu Bapak, agar ikannya banyak yang ketangkap."

Rasjiwa menyipitkan mata.

"Ilih, kamu tuh masih bau kencur. Pegang kail aja nggak becus. Mau sok-sokan ngepahlawan."

Baru saja, satu tapak kaki Rasjiwa menejejak, telinganya mendnegar suara gemericik air. Ia menoleh dan mendelik.

"Ka-kamu!?"

Pemuda itu tersenyum tipis. "Saya sudah bilang ingin membantu, 'kan?"

"G-Gak! Mustahil, kamu siapa sebenarnya!?"

Rasjiwa tersandung dan terjengkang saat mata kepalanya sendiri menyaksikan genangan air bening di sekitar kaki pemuda—yang entah dari mana muncul.

"Kamu setan? Penyihir? Dedemit?"

Pemuda itu menangkap ikan-ikan yang berenang dan melompat. Lalu seraya menunjukkan pada Rasjiwa, ia memasukkan semuanya ke dalam keranjang dagangan.

"Ikan asli ini?"

Rasjiwa tergegap-tegap. Tidak bisa membohongi diri sendiri bila ia tersirat perasaan meluap senang, kentara pada binar kedua sorot matanya.

"Kalau Bapak tidak percaya, coba buktikan dan jual ke pasar. Pembeli pasti tahu mana yang ikan asli dan palsu, 'kan?"

Rasjiwa mengangguk-angguk meski seluruh tubuhnya bergetar hebat.

"Haha ... Hahaha .... Ke-kenapa gak dari kemarin-kemarin, sih."

Tak lama mereka membawanya ke pasar ikan. Awalnya, masih sepi peminat, hingga satu hari kemudian salah satu warga mengoceh tentang rasa manis yang dihasilkan dari ikan tangkapan Rasjiwa.

Sejak kejadian itu setiap menjelang subuh, Rasjiwa selalu menyiapkan ember besar untuk dagangan ikan-ikannya. Akhirnya, dari mulut ke mulut tersiar warta, keunggulan ikan tangkapan dari Rasjiwa semakin menyebar. Hampir sebulan kemudian, stan ikan Rasjiwa dibanjiri antrean pembeli ikan segar. Bahkan satu per satu pesanan untuk acara besar mulai bermunculan dan membuat Rasjiwa makin gila meminta si pemuda untuk mengeluarkan ikan-ikan ajaib itu.

Ia pun memiliki anak buah selaku membantunya mengantar ke lintas desa.

Suatu ketika saat Rasjiwa pergi ke luar desa untuk mengantarkan berton-ton ikan segar, Lange mengendap-endap ke bengkel di mana ayahnya. Meski Rasjiwa melarangnya untuk memasuki dengan alasan kotor dan penuh benda tajam yang akan melukai anaknya, bola karet yang ia mainkan bersama pemuda itu menggelinding masuk rumah.

"Biar aku aja yang ambil!"

'Hei, aku tidak lagi melihat teman-temanmu main ke sini. Mereka ke mana, ya?"

Kedua kaki pendek Lange terhenti.

"Nggak tau. Mereka habis main dari pantai, kok satu satu pada gak main sama aku lagi."

Pemuda itu hanya tersenyum manis hingga kedua matanya melengkung bak bulan sabit.

Tak lama kemudian, Lange kembali keluar.

"Bagaimana?" tanya si pemuda yang bibirnya masih merekah lebar.

"Anu, kok ...."

"Kok, apa, Nak?"

Pemuda beranjak dari jongkok di serambi rumah. Ia melangkah masuk rumah dan menghampiri Lange yang secara insting, bocah itu mundur ke belakang.

"K-kok, ada tulang sama te-tengkorak di lemari pancingan Bapak?"

Pemuda tak menjawab.

"Bapak ngapain aja di dalam bengkel sana?"

Pemuda masih terdiam. Senyum di wajahnya memudar amat perlahan. Ia merangkul tubuh si bocah.

"Nanti, kalau pulang tanyain ke Bapak, ya."

Kepalanya terangguk, meski kedua mata Lange menatap kosong pada kedua mata pemuda yang berubah semerah buah delima.

"Kita, nanti makan malam pakai apa?" Lange mendongak pada pemuda yang bergeser memasuki bengkel Rasjiwa.

Si Pemuda lagi-lagi tersenyum dan menoleh. "Kamu saja, bagaimana?'

***

Dua hari berlalu, Rasjiwa kembali pulang bersama deru angkutan mesinnya. Begitu menepi di depan rumah, ia langsung turun dan berlari masuk.

"Nge, Lange! Bapak pulang bawa banyak uang! Ayo, ke pasar malam! Kita beli baju bagus yang mahal buatmu sama kakakmu!"

Namun, begitu memasuki ruang tengah, Rasjiwa dikejutkan oleh kerumunan warga yang duduk bersila memanjatkan doa dengan suara parau nan memilukan.

"A-ada apa ini ...?"

Kepala desa lekas beranjak dengan tubuh bergetarnya. Ia menepuk bahu Rasjiwa.

"Sabar ya, Pak."

"Sabar kenapa? Ada apa ini?"

Semua warga sontak terdiam mendengar nada tinggi Rasjiwa.

"Salah satu putramu kecelakaan."

'Kecelakaan!?"

"Semalam lusa rumahmu kebakaran."

Bahu Rasjiwa merosot. Kakinya jatuh terduduk. Tiba-tiba terdengar suara cempreng yang memeluknya erat.

"Bapak!!!!"

Menjumpai perawakan kecil yang familier, Rasjiwa berkedip.

"La-Lange!? Kamu masih hidup?"

Rasjiwa langsung menciumi pucuk kepala Lange dan mendekap erat.

Isak demi isak mulai luruh dari mulut kedua bapak dan anak itu. Tentu tidak ada yang menyadari rona kemerahan pada iris Lange. Kecuali salah satu teman sepermainnya dahulu yang meringkuk di pilar bubutan pohon kelapa itu.

Seulas senyum tipis terlukis di salah satu sudut bibir Lange.

Seminggu kepergian pemuda pembawa berkah, Rasjiwa kembali mengalami keterpurukan. Pembeli mulai meragukan kualitas daging ikan tangkapan Rasjiwa. Tak jarang mereka memperoleh ikan yang sudah berlendir. Begitu bibir sudah bercuap-cuap buruk, angin mempercepat berita itu ke semua pasang telinga warga.

Kemudian Rasjiwa kembali menangkap ikan di tengah malam, sendirian. Karena sudah terbiasa mudah mendapatkannya sejak bersama pemuda itu, ia mau tidak mau harus menangkap ikan menggunakan bahan peledak dan pukat. Tangkapannya pun menjadi berlipat-lipat. Sayangnya, setiap ikan kecil yang belum waktunya panen ditangkap, Rasjiwa mengalami penurunan kesehatan.

Saat ia berdiri di depan jendela yang memantulkan dirinya, matanya terbeliak. Ruam-ruam kemerahan pada lengannya semakin melebar.

"Bapak kenapa?"

"Gak tahu, nih. Seminggu belakangan, Bapak ngerasa panas, linu-linu."

Satu garukan, pada lengannya justru semakin menambah sensasi perih disertai gatal tidak reda-redanya.

Malam selanjutnya, Rasjiwa terpaksa tidak melaut. Ia terkapar di kasur kerasnya.

"Akh, kok gatal terus, sih. Kasih minyak tawon makin gatal. Gak guna.'

Kontan ia banting botol minyak itu hingga pecah.

Membawa derap langkah Lange tiba-tiba masuk ke kamarnya.

"Kenapa, Pak?"

"AKHHHH, malah main gatal aja, sih!"

Semakin intenslah Rasjiwa menggaruk tidak hanya lengan dan perut. Kini rasa gatal itu menjalar ke leher, wajah, dan punggung. Rasjiwa pun menggeliat, ia gosok-gosokkan tubuhnya ke dinding. Tak peduli bahwa luka yang terbentuk menorehkan borok nanah makin jadi-menjadi.

"GATAL!!! KOK GATAAAL KAYAK GINI!!! AKHHAKAHKK, GATAAAAAL!!!!'

Begitu mata Rasjiwa mendapati punggung tangannya tiba-tiba mengeluarkan sisik bening kemerahan, ia menjerit ngeri.

Ia gosok-gosokkan terus hingga perlahan, satu per satu anggota badannya luruh seperti pecahan kaca. Seiring teriakan yang memekakkan telinga, tubuh Rasjiwa hancur seketika, menjadi butiran intan kemerahan.

Lange yang sedari tadi hanya memandangi dalam diam akhirnya tersenyum manis. Ia pungut satu per satu intan kemerahan itu dan membawanya pergi.

Sosoknya yang pendek beralih menjadi seonggok makhluk besar seperti batang pohon berjalan dengan julai-julai kehitaman. Makhluk itu terus menyeret langkah memasuki bibir pantai. Lalu ia tebar butiran intan semerah darah itu ke laut. Satu per satu dari kilaunya bertumbuh menjadi telur-telur ikan yang siap menetas. Begitu pun, makhluk itu menenggelamkan diri ke dasar laut dengan berubah menjadi ikan sebesar paha manusia dewasa bersisik merah.

Keesokan harinya, rumah Rasjiwa menjadi riuh saat ditemukan bangkai anak-anak desa yang dikabarkan menghilang.

Tentu saja, warga setempat yang mengira anaknya terseret ganasnya ombak kini mengutuk kepergian Rasjiwa bersama anaknya yang lenyap entah ke mana. Lalu mereka membakar habis gubuk yang mulai Rasjiwa renovasi hingga menjadi kuburan massal.

END

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro