VI. Nyanyian Malam

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Punya rumah mewah mungkin bisa jadi impian banyak orang. Tapi, kalau isinya hanyalah keheningan, mampukah tinggal dengan nyaman? Keenan merasakannya setiap hari. Rumahnya sangat luas dan mewah dengan desain interior menarik. Segala kebutuhannya akan terpenuhi dengan bantuan para asisten rumah tangga.

Bagi sebagian orang, hidup demikian sudahlah sempurna. Namun, lihat Keenan sekarang. Setelah bekerja ia melempar diri di sofa dan yang dirasakan hanyalah kesepian. Ia tidak merasakan sambutan hangat keluarga. Tidak adanya seorang ibu yang sedang memasak di dapur hingga membuat perut merasa lapar. Tidak adanya ayah yang duduk di ruang tv sambil minum kopi. Tidak adanya jeritan anak kecil lari-larian dan menangis karena dijahili. Kosong. Begitulah kondisi rumahnya.

Diliriknya jam di dinding. Jarum pendek sudah bertengger di angka delapan. Belum terlalu larut, tapi rumah seperti tidak berpenghuni.

Seorang pelayan yang masih mengenakan seragam hitam-putih menghampirinya sambil tertunduk, "Mas Keenan, makan malam udah siap."

"Mama mana?" Itulah pertanyaan yang selalu diajukan setiap pulang ke rumah.

"Ibu sejak pukul tujuh tadi ada di ruang musik," jawab Bi Imar, kepala pelayan yang sudah tiga puluh tahun mengabdi untuk keluarga Keenan.

"Aku akan makan dua puluh menit lagi. Nggak perlu ditunggu. Kalian langsung istirahat aja."

"Baik, Mas. Bibi akan kembali nanti untuk membereskan meja makan."

Bi Imar tidak mendengar decakan Keenan dan langsung memutarbalikkan tubuh untuk kembali ke dapur. Itu sudah menjadi kebiasaan Bi Imar. Walau dilarang untuk menunggu, ia akan tetap menunggu demi menyelesaikan pekerjaannya dengan tuntas. Kalau tuan rumah harus membersihkan sendiri piring bekas makanan, untuk apalah ia ada di rumah ini. Begitulah pemikirannya, dan diterapkan pada pelayan lain di rumah ini.

Sementara itu, Keenan segera menuju ruang di bawah tangga. Ruangan tersebut hanya kamar kecil berukuran 3x3 meter persegi dengan dinding abu yang ditempel poster-poster penyanyi lawas. Di bagian tengah ada sebuah piano yang setiap hari dibersihkan, karena setiap malamnya mama Keenan akan berkunjung untuk menghabiskan waktu di sana.

"Mama merindukannya?" sapa Keenan sembari memeluk Arawinda dari belakang.

Perempuan berusia lima puluhan itu tersenyum tanpa ekspresi. Tatapannya kosong. Jemarinya terpaku di atas tuts piano. "Menurutmu dia udah makan malam?"

Keenan berguman. "Semestinya udah. Mama tahu sendiri, kan, putri kesayangan Mama itu nggak bisa tahan lapar. Mama ingat dulu dia menjerit kesal saat jam makan siang karena makanannya aku habiskan usai main bola? Hahahaha, dia mencakarku sampai berdarah," kenang Keenan dengan nada menghibur yang dipaksakan.

"Penculik itu merawatnya dengan baik, kan?" Arawinda mengabaikan hiburan Keenan dan tetap datar memikirkan kondisi putri semata wayangnya sekarang.

Tubuh Keenan gemetar mendengar pertanyaan Arawinda. Ia segera melepaskan pelukan dan berdiri tegap untuk mengontrol emosi yang hendak meluap. "Mereka harus merawatnya kalau nggak mau kuterkam hidup-hidup."

Diam sejenak. Rumah menjadi tidak baik-baik saja saat putri satu-satunya keluarga ini menghilang tiga tahun lalu. Arawinda yang biasanya selalu semangat setiap pagi menyiapkan sarapan untuk keluarga, mencium putra-putrinya bergantian, sejak itu hanya menghabiskan waktu untuk menangis hari demi hari.

Lais, sang kepala keluarga yang setiap akhir pekan menyiapkan waktu untuk bersama keluarga, mulai detik itu menambah beban pekerjaan untuk mengalihkan isi pikirannya. Ia akan berangkat sangat pagi dan pulang larut malam. Bahkan seisi rumah pun sangat jarang melihatnya.

Begitu pula dengan Keenan yang mencoba membunuh waktu dengan menangkap para pengedar narkoba, serta menyisihkan waktu untuk menyelidiki kasus menghilang adiknya itu secara diam-diam.

Tidak mudah untuk menyelidiki seorang diri. Kasus itu ditutup begitu saja tiga tahun silam karena tidak ditemukannya bukti apa pun yang berkaitan dengan penculikan ataupun teror. Menangkap adanya kejanggalan, Keenan tidak bisa diam saja. Terlebih saat melihat nasib keluarganya menjadi dingin beku.

"Aku akan memainkan lagu kesukaannya. Mungkin dia bisa merasakannya di sana," ucap Keenan kemudian.

Ia duduk di samping Arawinda, dan mulai menarikan jari panjangnya di tuts piano. Bintang di Surga milik penyanyi ternama Indonesia merupakan lagu kesukaan Laureen, adik Keenan. Setiap malam sebelum tidur, Laureen selalu memutar lagu tersebut. Malam ini pun, Keenan mempersembahkan lagu itu untuk Laureen yang saat ini entah berada di mana.

Arawinda mulai meneteskan air mata begitu musik terdengar. Segala tentang Laureen bermain dalam bayangnya. Betapa manisnya putrinya itu saat tertawa. Betapa lucunya ia saat menangis kesal karena kejahilan Keenan. Betapa tidak teganya melihat Laureen menangis karena kesakitan. Arawinda merindukan putrinya itu. Andai waktu bisa diputar, ia rela kehilangan diri sendiri dibanding harus kehilangan anak malang tersebut.

👀👀👀
Untuk chingu yang mau baca lebih cepat, bisa langsung ke akun Karyakarsa ya 🔎

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro