Bab 1

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Selamat siang, Mbak," sapa seorang pria berbadan tinggi dan tegap lengkap dengan PDLnya.

Saat ini aku memang sedang berada di rumah pribadi, sebuah rumah berbentuk minimalis yang di sekelilingnya ditumbuhi beberapa pohon buah-buahan dan tanaman hias. Sejenak menyipitkan mata karena kedatangannya yang begitu mendadak. Biasanya, akhir pekan aku memang menghabiskan waktu di sini dan tak pernah ada orang batalyon datang. Tapi sekarang, tiba-tiba seorang tentara menghadap. Jika dia akan pengajuan, semua orang batalyon tahu kalau sabtu dan minggu adalah hariku bersama keluarga dan tidak untuk menerima pengajuan, belum lagi dia datang seorang diri.

"Iya, Om, ada apa?" tanyaku tanpa mengalihkan pandangan dari dua bocah kecil yang tengah asyik bermain di atas rumput.

"Maaf, Danyon meminta Mbak untuk kembali ke batalyon sekarang!" ucapnya yang tiba-tiba mampu membuat jantungku berdegup dengan begitu hebatnya .

Danyon memintaku kembali ke sana sekarang, ada apa? Sebelumnya tidak pernah aku mendapatkan perintah seperti ini langsung dari orang nomor satu di kesatuan. Tapi sekarang, Tuhan apa yang sesungguhnya terjadi hingga harus membuatku segera kembali ke sana?

"Arfan ... Arfin, kita kembali ke batalyon sekarang, yuk!" ajakku kepada dua bocah kembar yang kini usianya sudah empat tahun itu. Buah hati yang kuperjuangkan empat tahun lalu dalam keadaan yang jauh dari kata baik-baik saja kini telah tumbuh dengan riangnya. Waktu di mana seseorang berusaha menerorku hanya karena bermasalah dengan keluarga besar Mas Arya, tapi sudahlah semua itu telah berlalu dan aku telah bahagia dengan keluarga kecilku.

"Bun, kan kita baru sebentar di sini, biasanya pulang minggu sore atau senin pagi,"protes Arfin.

"Bunda dipanggil Danyon, Sayang, kita pulang sekarang ya!" kataku yang masih berusaha membujuk dua permata hatiku dan akhirnya mereka mengalah pada bujuk rayu. Bagaimana pun, mereka anak kolong yang sedikit banyak mulai paham bahwa bunda dan ayahnya bukan hanya milik mereka, tapi juga milik negara yang terikat beberapa kewajiban.

Jantung masih saja berdegup dengan begitu kencangnya saat menjalankan mobil yang biasa menemaniku beraktivitas. Sebenarnya orang dari Batalyon sudah menawarkan diri untuk menyetirkan, tapi aku yang tidak terbiasa disupiri orang lain mengatakan bahwa hal itu tidak perlu. Berulang kali aku mengucap istigfar, tapi degup jantung ini masih tak bisa juga tenang. Ada hal yang entah bagaimana terasa begitu menyesakkan dada tapi tak tahu apa.

Sampai di Batalyon aku langsung melangkah menuju kantor sang pimpinan Batalyon tak lupa kedua buah hatiku kubawa. Beberapa orang menatap dengan tatapan yang sulit untuk di ungkapkan dan hal itu membuatku merasa tidak nyaman. Mereka memang biasa bertemu, tapi tatapannya tak pernah seperti itu. Ada apakah dengan sikap mereka hari ini? Apakah aku melakukan kesalahan hingga harus dipanggil dan mendapatkan tatapan yang tidak menyenangkan itu?

***

Bau obat-obatan menyeruak menusuk hidung. Mata yang tadi terpejam perlahan mulai terbuka hingga melihat sebuah gorden putih dan selang infus. Melihat benda yang sudah sangat lama tidak terpasang ditanganku membuat mata terbuka lebar dan menyadari keberadaanku saat ini.

"Eehh ...," lirihku saat berusaha untuk bangun dan melihat keadaan sekitar.

"Mil, kamu sudah sadar?" tanya seorang perempuan yang tanpa melihatnya pun sudah tahu siapa pemiliknya, dia adalah ibu mertuaku.

"Aku di mana, Bun?" tanyaku yang sebenarnya hanya untuk memastikan apa yang kuduga.

"Kamu di rumah sakit, tadi kamu pingsan, Mil," jawabnya yang kini sudah berada di sampingku dan menggeanggam satu tanganku yang tidak terpenjara selang infus.

Seketika ingatanku kembali pada kejadian beberapa waktu lalu saat telah sampai di ruang komandan. Wajah pria yang biasanya begitu ditakuti semua warga terlihat begitu sendu. Ada sesuatu yang mengusik ketenangan hatinya hingga membuat dia seperti itu.

Danyon berbasi-basi menanyakan beberapa hal, termasuk keadaan dan perkembangan anak-anak. Perasaanku semakin berkecamuk dan berhati-hati dengan apa pun yang dikatakan oleh Danyon. Semakin dia berbelit, membuat hati semakin kalut dengan apa yang sesungguhnya ingin dia katakan.

"Bu Arya," katanya yang terdengar mulai serius hingga membuatku menatapnya, "dengan sangat menyesal saya memberitahukan bahwa suami Anda meninggal saat berdinas."

Dunia dan seisinya seakan runtuh menimpaku. Tak pernah terbayangkan kejadian yang dari dulu aku takutkan terjadi juga. Hal yang selalu aku wejangkan kepada calon istri anggota Mas Arya kini kualami. Dia yang telah membawaku memasuki dunia hijau pupus harus pergi untuk selamanya, bahkan tanpa kata pamit dan firasat.

"Mil," panggilan Bunda membuyarkan semua bayanganku dan air mata pun menetes tak tertahankan.

Semuanya terasa begitu sakit seolah beribu belati menghujam jantung, mengoyak rasa tanpa ampun. Bunda yang berada di sampingku langsung merengkuh tubuh ini dan membelainya dengan begitu lembut. Aku yakin jika dia adalah perempuan yang sama sakitnya saat mendapat kabar menyakitkan ini.

"Kuat, Mil, kamu harus kuat dalam menghadapi semuanya! Ingat ada anak-anak yang masih membutuhkan kasih sayang dan perhatianmu!" kata Bunda setelah beberapa saat aku tenggelam dalam kesedihan yang tidak dapat terlukiskan.

"Katakan semua ini bohong, Bun," kataku masih dalam isak tangis tak tertahankan, "Mas Arya akan kembali kan, Bun, seperti biasanya?"

"Sstt ... kamu harus ikhlas, Mil, Allah lebih sayang kepada suamimu!"

"Tapi dia janji akan kembali, Bun! Mas Arya bilang akan menemaniku lahiran, sama seperti saat dia menemaniku melahirkan si kembar."

Pelukan bunda semakin erat dan belaiannya terasa semakin lembut. Tangis itu kini luruh semakin deras hingga membuat suaraku menghilang. Beberapa kali aku bergumam jika semua ini adalah sebuah kebohongan semata. Siapa yang akan percaya jika suaminya meninggal dalam tugas, bahkan tidak ada jasad yang bisa dikebumikan atau kutatap sesaat untuk yang terakhir kalinya.

"Tubuhnya jatuh ke sungai setelah menerima beberapa tembakan. Kami sudah melakukan pencarian, tapi sungguh harus meminta maaf karena tidak dapat menemukannya, dan dengan aliran sungai yang begitu deras, kecil kemungkinan untuk selamat."

Kata-kata Danyon terus berputar di dalam otakku. Dia yang kucinta harus pergi dalam pengabdiannya untuk negeri meninggalkanku dalam kesendirian untuk membesarkan buah cinta yang selalu kami dambakan sejak menjalin kasih.

"Bun ...." Terdengar sebuah suara memasuki kamar inapku hingga membuat melepas pelukan bunda meski tangis ini masih saja melekat. Kulihat seorang pria bertubuh tegap dengan keriput yang mulai tampak di wajahnya dan beberapa rambut putih. "Gimana keadaanmu, Nak?"

Tidak ada jawaban yang terlontar dari bibir ini, yang ada hanya tangis. Lidah ini seolah kelu untuk mengatakan bagaimana keadaanku, yang jelas, aku hancur sehancur-hancurnya bahkan mungkin telah menjadi butiran debu.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro