Bab 2

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Ayah, katakan semua ini bohong!" pintaku sambil menatap ayah mertua yang kuharapkan dapat memberi satu ketenangan di tengah kesakitan.

Tidak ada jawaban dari lelaki yang baru saja masuk itu, dia hanya menatap dan membelai hijabku dengan begitu perlahan. "Kamu kuat, Nak, kamu bisa melalui semuanya!"

Tidak ada yang bisa menghilangkan rasa sakit ini. Bukan soal keikhlasan atas semua ketetapan Sang Illahi, tapi mengenai rasa yang tidak bisa diungkapkan. Jangan berkata 'agama melarang bersedih terlalu lama' karena aku tahu mengenai hal itu. Tidak, bukan khatam mengenai masalah agama, tapi hal itu cukup kuketahui dan aku tak ingin mendengar ceramah saat ini.

"Anak-anak ada di rumah, mereka ditemani saudara-saudaranya," kata Ayah yang seolah berusaha menenangkanku dengan memberitahukan keadaan kedua buah hati.

Bukan kutak mengkhawatirkan keduanya, tapi saat ini aku terlalu kacau dengan kesedihanku. Katakan aku bukan Persit yang baik karena masih merasa hancur saat dia yang kucinta gugur dalam tugas. Katakan aku bukan ibu yang baik karena lebih memedulikan kesakitan diri sendiri daripada anak-anak yang masih memerlukan perhatianku. Tapi kalian apa bisa membayangkan perasaanku yang harus kehilangan dia yang kucinta untuk selamanya?

Kalian tahu, aku sering memberi wejangan bahwa suami adalah milik negaranya, bukan milik kita. Memberi semangat kepada mereka yang suaminya gugur di medan tugas. Namun, aku tak pernah tahu jika rasanya sesakit ini, seberat ini hingga mungkin membuatku hampir gila, limbung dengan semua kesakitan. Benar, aku tak cukup kuat untuk menghadapi semuanya. Tak seperti keyakinan Mas Arya yang berulang kali mengatakan bahwa aku kuat melalui semua cobaan di dunia hijau pupus, karena kenyataannya saat ini hidupku hancur ketika kehilangan dia.

"Permisi ...." Terdengar suara seorang perempuan memasuki ruangan yang kini hanya ada aku dan mertua saja--siapa lagi selain mereka yang akan menemaniku? Kedua orang tuaku belum tiba, dan si kecil jelas tidak mungkin ikut ke rumah sakit. "Bagaimana keadaannya, Bu? Masih pusing kah?"

"Tidak, Dok," jawabku setelah beberapa saat terdiam dan menarik napas dalam hanya untu menghilangkan sesak di dada meski hanya sejenak.

Dia memeriksa keadaanku dengan seksama. "Setelah infusnya habis, Ibu boleh pulang," katanya lembut kemudian permisi dan keluar dari ruanganku.

***

Aku baru saja menginjakkan kaki di rumah dan disambut dengan senyuman kedua permata hati. Mereka berlari memelukku dengan begitu erat. Tanpa terasa, cairan bening ini kembali luruh memikirkan apa yang harus aku katakan kepada mereka. Haruskah mereka tahu jika saat ini telah menjadi yatim? Tidak terlalu dinikah untuk menfatakan semua itu?

"Bunda, kenapa Bunda menangis? Aku sama Arfin tidak nakal Bunda, kami di sini bersikap baik," tanya Arfan sambil mengusap air mata yang luruh--sama seperti yang aku lakukan saat mereka menangis karena sesuatu hal.

"Tidak, Bunda tidak apa-apa, Sayang," jawabku sambil menarik napas hanya agar air mata ini tidak kembali turun dan membasahi pipi.

Mereka tersenyum saat mendengar jawabanku. "Bunda, ayah hari ini belum telepon ya? Kata ayah hari ini akan telepon kan?" tanya Arfin.

Pertanyaan polosnya membuatku semakin erat memeluk kedua buah hatiku dan air mata ini luruh dengan begitu derasnya. Bagaimana aku akan mengatakan semuanya? Mampukah aku memberitahu kenyataan pahit ini mengingat Arfan dan Arfin sangat dekat dengan Mas Arya meski jarang bertemu?

Kurasakan pelukan dan elusan di punggung pelakunya tiada lain adalah ibu mertuaku yang kini sama-sama menangis. Kutahu dia pun kehilangan putranya, dan hatinya pasti sama sakitnya seperti yang kurasakan kini. Bunda hanya berusaha kuat dan tegar, mungkin untukku dan anak-anak.

"Kamu kuat, Mil, kamu kuat!" ucapnya tepat di samping telingaku.

"Eyang sama Bunda kenapa nangis? Aku dan Arfan kan gak kenapa-napa, gak nakal, gak terluka juga. Kami di sini bersikap baik dengan semuanya," tanya Arfin yanh membuatku semakin terisak, tidak mampu menahan setiap kedukaan di dalam hati, "iya kan Pakdhe Aryo, kami tidak nakal di sini?"

Mendengar nama kembaran suamiku disebut, aku hanya mengangkat kepala dan menatapnya. Kulihat wajah yang sama persis dengan Mas Arya tengah berdiri tidak jauh dari kami, entah kapan dia datang dari Yogyakarta--tempatnya berdinas. Samar kulihat dia menghapus matanya dengan gerakan yang begitu cepat. Dia pasti sangat kehilangan kembarannya, separuh jiwanya, sama sepertiku dan bunda, kataku dalam hati.

Luka ini terasa begitu dalam dan darahnya mengalir dengan deras. Perlahan kulepas pelukan pada dua tubuh mungil itu dan memintanya kembali bermain bersama yang lain. Aku masih terlalu rapuh untuk memberitahukan kenyatan sesungguhnya, belum siap jika mereka meraung dan terluka. Katakan aku lemah, tapi membiarkan sejenak mereka tidak menyadari semuanya menjadi pilihan terbaikku.

"Mil," sapa Mas Aryo saat bunda memapahku dan mendudukkan di ruang keluarga. Semuanya menatap dengan penuh iba dan meski tidak suka, aku tak bisa protes karena keadaan memang seperti ini adanya.

"Mas Aryo kapan datang dari Yogya?" tanyaku dengan suara parau dan bergetar.

"Tadi pagi, kebetulan aku ada pekerjaan di sini," jawabnya yang kemudian berlutut di hadapanku dan menggenggam kedua tanganku, "aku tahu rasanya pasti sakit, tapi kamu harus kuat Mil, buat Arfan dan Arfin!"

"Entah, Mas, rasanya terlalu sakit dan aku belum siap dengan semuanya. Aku tidak pernah siap kehilangan Mas Arya, ini terlalu cepat." Isakku kembali menjadi air mata turun dengan begitu derasnya hingga kembali kurasakan bunda merengkuhku dalam pelukannya.

Tuhan rasanya berlaku tidak adil terhadapku. Baru beberapa tahun kurasakan kebahagian setelah kesulitan yang teramat, kini merenggutnya tiada ampun, bahkan Dia membuat duniaku hancur, salah satu sumber kebahagianku diambil-Nya dengan paksa. Inginku meraung, meluapkab semua kesakitan ini seandainya tidak kuingat ada dua malaikat kecil yang masih memberikan senyuman ditengah dukaku. Senyum yang begitu indah dan menenangkan hingga mampu membuatku sedikit berpikir waras di tengah kedukaan yang begitu tiba-tiba.

Perlahan aku melepaskan pelukan bunda dan melangkah menuju kamar di mana ada begitu banyak kenangan bersama Mas Arya. Tempat itu memang sangat jarang kami tempati, tapi tetap saja menyisakan begitu banyak kenangan, terutama setelah beberapa tahun kami pindah ke jakarta. Ya, kali ini aku berada di rumah ayah dan bunda, bukan di rumah dinas atau pun rumah pribadi kami. Jangan bertanya kenapa akhirnya memilih ke tempat ini, karena semua sudah diatur oleh ayah dan bunda.

Tubuhku akhirnya luruh saat sampai di kamar bercat biru. Lagi-lagi tangisku menjadi meski tanpa mampu bersuara. "Mas, kenapa harus pergi secepatnya ini?"

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro