Chapter 6

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Bibir Doddy langsung membentuk senyuman miring. Jelas saja dia mendengar kata-kata yang baru saja kulontarkan. Matanya jelas meneriakkan kata 'dasar penggoda' akibat kelakuanku. Sudah bakat, harus gimana?

Tapi hei, tadi aku sama sekali tak berniat menggodanya. Sebut aja aku gombal, tapi kata-kata yang tadi meluncur tulus dan mulus dari dalam hati. Dan ... dia emang cantik dengan pipi merona begitu. Salah jika aku memuji? Perempuan ... dipuji bagus bilangnya menggoda, diledek jelek tapi jujur sebutannya menghina. Maunya apa?

Ah ... mari kita abaikan saja perempuan dengan segala keribetan cara berpikirnya. Pura-pura nggak tahu saja lah. Dan tahukah apa yang membuat senyumku sedikit lebar saat ini?

Aku berhasil membuatnya 'melihat'—bukan—tapi 'merasakan' sedikit pancaran pesonaku. Huahaha...Kutarik kata-kataku kemarin itu bahwa dia imun terhadap seorang Al. Cukup sudah Alief dan Alina saja yang masuk dalam jajaran tak menyadari betapa memesonanya aku. Kalau yang dua ini terpesona, malah bikin repot. Incest dan pernikahan antar sepupu tidak ada dalam kamus keluarga Bachtiar. Bukan hanya bisa mengakibatkan nama kami dikeluarkan dari kartu keluarga, tapi sampai ke ujung dunia mungkin kami bakal diburu untuk kemudian dipisahkan sejauh kutub utara dan selatan.

Sekali lagi aku mengusap telapak tanganku yang tadi tiba-tiba menghadirkan sensasi berbeda, saat aku menahan tonjokannya. Tadi itu ... apa?

Toh, mungkin sudah puluhan atau ratusan tangan gadis-gadis semlohai yang berada di genggamanku. Dari yang mulus sampai yang kapalan. Mulus karena nggak pernah kerja keras dan kapalan karena aku pernah mengencani gadis pesenam ketangkasan. Bukan gadis yang tangannya kapalan karena kerja keras cuci piring di restoran. Ngelantur jadinya. Kembali ke yang tak biasa tadi. Ah ... Tapi ... tapi ... ah entahlah. Sudahlah. Mungkin tangannya terasa berbeda karena ukuran saja. Mungil, seperti menggandeng tangan anak kecil soalnya.

"Eum ... bisa kita mulai sekarang?" tanyanya.

Jelas ada perubahan nada di suaranya. Betapa beberapa menit sebelumnya dia nyerocos seperti sales menerima anggukan dari pembeli dan sekarang ... nada suaranya sangat rendah, nyaris seperti siput kena pepes kalo ngerti maksudku. Lirih, agak gemetar dan terlihat jelas kerja keras untuk mempertahankan fokus.

Shock therapy yang oke kan, Kurcaci?

"Silakan." Doddy menjawab setelah beberapa detik mengamati kelakuanku.

Aku membisu, tapi ... mataku jelas terpaku pada dirinya. Bahkan untuk mengedip pun aku membiarkan sampai mataku pegal. Sedikit pun aku nggak berniat mengalihkan pandangan ke tayangan slide yang terpampang di sebelah kanannya. Mengangkat daguku sedikit sebagai isyarat dia boleh memulai presentasinya. Rasakan kekikukan yang mendera, Nona. Hahaha....

Ah ... jelas aku telah mengukuhkan niat untuk mengerjainya. Entah kenapa melihat variasi reaksinya yang seperti roller coaster itu menjadi moodbooster buatku. Ngantuk pun hilang entah kemana.

Sudut bibirnya tertarik tajam karena menyadari bahwa pandanganku tidak bergeser sesenti pun dari wajahnya. Bisa kubayangkan deretan giginya gemerutuk menahan sebal. Jelas, aku akan menunggu sampai nada frustrasi lolos dari mulutnya. Selama dia bertahan dengan sikap tak terintimidasi, selama itu pula mataku akan melekat padanya. Haha ... ayo, keluarkan erangan frustrasi! Aku penasaran dengan caramu mengerang hai makhluk satu setengah meter.

Aku mendengarkan sambil lalu saat dia mulai bicara membawakan presentasinya. Suaranya enak seperti pembawa acara kawakan tapi tanpa memonyong-monyongkan mulutnya dan penataan kata staccato seperti di infotainment biasanya.

Aku tahu, sebenarnya kerjasama ini sudah pasti terjalin. Gimana nggak, kalo ayahku dan yang punya perusahaan tempatnya dia bekerja adalah adik kakak alias saudara kandung. Hanya saja, aku tak bisa melepaskan kesempatan untuk mengerjainya. Aku membayangkan reaksinya dengan mulut terkatup menahan tawa, memasang muka serius.

Baru seperempat dari keseluruhan jumlah slide yang dia paparkan, aku menginterupsi tiba-tiba, "Hmm ... dari apa yang barusan anda paparkan tadi, saya bosan mendengarnya," sergahku dengan blak-blakan, persis saat dia menjeda untuk bernapas. Aku memasang muka bosan dan kelopak mata yang setengah tertutup, menunjukkan bahwa aku sangat mengantuk mendengar penuturannya. Padahal telingaku setajam kelelawar untuk mengukur reaksinya.

Bisa kulihat gestur tubuhnya menegang, pointer di tangan tergenggam lebih erat. Kulanjutkan untuk menyerang dengan beberapa pertanyaan yang memojokkan.

"Bisa anda jelaskan keuntungan untuk rumah sakit kami jika bekerja sama dengan perusahaan anda?" gempurku lagi. "Jujur saja, pihak yang meminta untuk bekerjasama dengan rumah sakit kami tidak sedikit."

Doddy mengangkat alisnya sebelah tanda tidak setuju. Aku menjawab keberatannya dengan deheman dua kali.

Kemudian, tanpa sadar mulut Kalila terbuka dan tergagap ketika berusaha menjawab, "Eh ... itu, anu ... kami akan menjanjikan membayar tepat waktu untuk semua tagihan dan pelayanan rumah sakit anda serta menambahkan denda jika perusahaan kami terlambat membayar...-"

Belum selesai dia menjawab, aku sudah mengacungkan telapak tanganku,"Jika hanya soal finansial saja, maka kami lebih memilih perusahaan yang lebih bonafide. Industri tambang emas misalnya. Sektor migas juga bisa dipertimbangkan. Kan anda tau sendiri kalau harga batubara dunia sedang anjlok. Anda memasang badan anda sendiri sebagai jaminan bahwa perusahaan anda akan membayar tepat waktu?" sahutku sambil menatap matanya yang mulai melotot. Pertanyaan yang ambigu.

Doddy sudah mengetuk-ngetukkan tangan, tanda ingin menyela. Kurasakan kakiku diinjak Doddy dan aku meliriknya sekedar untuk mengedipkan mataku ke arah Doddy. Dia memberiku kesempatan untuk kelakuanku yang tak seperti biasa dan memilih diam.

"Saya curiga, jangan-jangan hanya perusahaan anda yang mendapatkan keuntungan jika bekerjasama dengan rumah sakit kami?" tuntutku lagi melihat reaksinya. Sedari tadi semua argumennya selalu kujawab dan kupatahkan.

Gadis mungil di depanku menundukkan kepalanya. Genggaman tangannya tambah mengencang, ditandai dengan buku jarinya yang memucat.

Aku hampir kehilangan kendali untuk tertawa. Bibirku sudah berkedut sedemikian rupa. Aku menyamarkannya dengan menumpangkan telapak tangan di depan mulut.

Bagaimana gadis, yang satu jam lalu mendorong-dorongku untuk keluar dari ruangan ini dan mengatai aku tidak sopan dan asal terobos. Rasakan kamu, sorakku dalam hati. Rasanya terbalas semua kekesalan yang melingkupi pikiran akibat tindakannya mengacuhkanku waktu itu.

Ruangan senyap, hanya ketukan jari Doddy di meja yang menghiasi indra pendengaran. Ketukan yang efeknya tentu saja membuat Kalila makin terintimidasi.

Lima menit kemudian mukanya terangkat, dia menatapku tajam. "Kalau yang anda mau keuntungan yang lebih besar lewat bekerjasama dengan perusahaan yang lebih bonafide. Anda benar. Tapi kalau anda berharap saya menyerah, big no. Saya berusaha demi karyawan saya. Saya ingin mereka mendapatkan pelayanan kesehatan yang terbaik untuk mereka."

Aku terdiam mendengar alasannya. Apa tadi? Dia melakukannya demi orang lain? Demi karyawan? Bukan karena tuntutan disposisi pekerjaan dari atasannya?

"Banyak diantara karyawan saya yang mengidap penyakit degeneratif, seperti hipertensi, diabetes, jantung dan lainnya. Saya sadar, rumah sakit di daerah saya tidak mampu memberikan pelayanan maksimal dan penegakan diagnosa seperti yang seharusnya karena terbatasnya sarana dan prasarana yang dimiliki rumah sakit di daerah kami.

"Saya ingin mereka merasa dihargai, diperhatikan oleh perusahaan dengan memberikan mereka fasilitas kesehatan terbaik yang mampu saya perjuangkan. Dan senyum kesembuhan mereka, itu sudah cukup bagi saya untuk terus berusaha agar rumah sakit anda mau bekerjasama."

Dia terdiam, dan setelah menarik nafas dalam dia melanjutkan, "Mungkin bagi anda hal yang biasa, tapi senyuman dan semangat mereka untuk sembuh sangat berharga bagi saya. Dan itu alasan saya tetap berdiri disini. Dan jika memang anda keberatan tentang kerjasama ini, saya akan sampaikan kepada atasan saya. Mungkin penjelasan dari atasan saya yang bisa lebih anda terima. Saya akan menginformasikan kepada atasan saya. Terima kasih atas waktunya."

Aku terdiam mendengar kalimat terakhirnya. Ada yang nyeri tiba-tiba di relung hati melihat sebuah ketulusan yang tanpa sadar dia tunjukkan. Sementara aku sendiri baru menyadari, bahwa yang kulakukan sedari tadi bukanlah mengenai kerjasama ini, tapi lebih kepada egoku yang nggak terima saat dia mengacuhkanku.

Dia mulai membereskan peralatannya dan menganggukkan kepala kepada Doddy yang ikut menggangguk. "Saya pamit dulu, permisi," katanya tanpa melihat ke arahku. Aku terdiam melihatnya keluar dari ruangan dan menutup pintu dengan pelan. Taka da bantingan pintu seperti yang kubayangkan.

"Lo kenapa sih, Bro? Kalo bokap lo tau, bisa di sate lo," seru Doddy begitu pintu tertutup.

Aku masih terdiam, membayangkan langkah-langkah pelan kakinya yang hanya etrbalut flat shoes menjauhi ruangan ini. Seperti ... ada yang salah, tapi aku nggak tau persis itu apa. "Gue cuman pengen ngerjain dia, Dod," jawabku lesu.

"Tapi lo keterlaluan, lo tau kan dia cuman perwakilan. Harusnya bosnya yang ngadepin lo. Kenapa lu jadi bikin dia hampir nangis kayak gitu," semprot Doddy lagi.

"Gue kesel, dia nyuekkin gue waktu gue bela-belain jemput. Kan lo tau, gue baru selesai ngurusin kuliah gue, dan disuruh Om Roery jemput karena supirnya dia bannya pecah. Eh ... dia ditolongin bukannya baik-baikin gue. Malah baca komik. Dan hari ini, gue di anggap supir pula. Apes kan gue?"

Doddy ngakak, "Itulah ... kelewat pede sih lo. Lo anggep semua cewek itu bakal klepek-klepek kalo ketemu lo. Dan ketika dia ngacuhin lo, lo jadi berang. Makanya jangan terlalu narsis jadi orang," nasihat Doddy panjang lebar. Kayak dia nggak kayak gitu. Padahal sama aja kelakuan.

"Ngehancurin rekor gue sebagai penakluk wanita mungkin," lirihku. Kemudian memilih untuk menyibukkan diri mematikan proyektor.

"Lo suka sama dia," celetuk Doddy. Itu pernyataan bukan pertanyaan.

"Jangan ngarang. She's not my type. Dia masih anak-anak, Dod! Gila aja lo!"

"Tapi udah bisa bikin anak, Bro," sahut Doddy, makin keras ketawanya. "Kalo lo gak mau, buat gue aja. Manis, mungil pasti oke deh. Ahh...," Doddy mendesah, pasti membayangkan yang tidak-tidak. Entah kenapa untuk yang satu ini, aku sedikit terganggu dengan mata Doddy yang tiba-tiba memejam dan tersenyum sendiri.

"Jangan macam-macam. Anak buah lakinya sepupu gue tuh," lanjutku setelah memasukkan proyektor ke dalam tasnya.

"Begitu protektifnya dan masih bilang kalo dia bukan tipe lo?" sindir Doddy.

Aku mengabaikan sindiran Doddy begitu ingat sesuatu yang krusial. Kalila dan nyasar adalah sesuatu yang berkaitan erat. Mampus!

Aku berlari menuju lift dan menekan tombol arah ke bawah berulangkali. Astaga ... jangan! Jangan sampai dia sudah pergi dan naik kendaraan umum. Bisa kebawa ke jalur mana dia. Astaga! Al bodoh!

Aku membayangkan omelan Alina dan delikan mata Revan sepanjang perjalanan lift membawaku ke lantai dasar. Begitu pintunya terbuka, aku langsung celingukan ke seantero rumah sakit.

"Mbak Gita, liat cewek yang tadi bikin janji temu sama Dokter Doddy lewat sini?" tanyaku menghampiri bagian pendaftaran.

"Nggak liat, Dok. Maaf. Mungkin sudah keluar," jawab Gita.

"Oh. Oke. Terima kasih."

Tergesa, aku menuju pintu keluar rumah sakit. Hanya deretan mobil yang terparkir rapi terpampang di hadapan. Ada beberapa orang yang sedang berjalan santai menuju pintu gerbang, tapi bukan dia.

"Woy! Lo ngabur nggak pake peringatan. Gue pikir kenapa." Doddy tiba-tiba sudah berdiri di sebelahku. Meletakkan tangannya di pinggang, kemudian menormalkan napasnya yang terengah.

"Dia itu nggak ngerti Jakarta, Dod. Gue lupa," jawabku, masih mengarahkan mata ke lingkungan rumah sakit.

"Tapi dia tahu alamat kantor atau hotel, kan? Tinggal sebut aja pasti dianter ke sana."

"Itu yang gue nggak tau. Kalo dia nggak ngerti letak kantornya gimana?" tanyaku sedikit panik. Menyingkirkan pikiran buruk yang melintas tiba-tiba.

"Telpon ke kantornya," saran Doddy. "Siapa tahu ada orang kantor yang bisa ngejamin kalo dia tahu pasti letak kantornya di mana."

Aku mengeluarkan ponsel dari saku dan baru saja menemukan kontak Anggi saat mataku bersirobok dengan siluetnya. Siluet gadis berblazer biru dan rok putih selutut yang baru saja keluar dari mushola yang terlelak di samping kiri rumah sakit. Dia membelakangi posisi kami berdua sehingga tak menyadari bahwa kami berdiri delapan meter di belakangnya.

Dia mengenakan sepatunya dengan cepat dan memasukkan mukena ke dalam tas besar yang kemudian disampirkannya di bahu. Aku ... hilang kata. Di saat seperti ini, dia masih ingat untuk menghamba?

Lalu dia mengeluarkan ... apa itu? Sejenis karet pengikat rambut dan kemudian menata rambutnya yang awalnya tergerai rapi menjadi kuncir satu di samping kanan. Anak-anak rembut yang tak cukup panjang, mencuat di bagian paling bawah rambutnya. Demi apa tengkuk itu kelihatan menggoda? Dia berbalik, dan masih bisa kulihat dia menyeka sisi poni rambutnya yang masih bekas air wudhu.

Bahunya terangkat signifikan, tanda sedang menghela napas yang cukup berat. Tapi ... kemudian dia justru tersenyum tenang. Seperti baru saja disiram oleh sesuatu yang menenangkan dan memuaskan. Badan mungilnya menuju pintu belakang taksi yang tiba-tiba berhenti tepat di depan mushala. Taksi yang kemungkinan besar sudah dipesannya. Dia masuk ke dalam dan kemudian taksi itu meluncur mulus melewati kami berdua.

"Dod! Dod! Pinjem mobil," seruku cepat seraya menadahkan tangan. Doddy yang masih bingung menyerahkan begitu saja kunci mobilnya. Mobil di sisi kiri kami berdiri langsung berbunyi begitu aku mengaktifkan kuncinya. Untung saja, Doddy memarkir mobilnya tepat di area ini.

Bergegas, kunyalakan mesin mobil dan melaju mengekori taksi yang sudah kuhapal nomor polisinya. Aku masih menemukannya terjebak kemacetan sementara akibat galian kabel, terhalang dua mobil di depanku.

"Kenapa harus kamu jalin rambutmu seperti itu, Kalila," desahku. "Nanti supir taksi itu menyadari tengkukmu yang menggairahkan itu gimana? Sial!"

Kubayangkan sekali lagi senyumnya setelah keluar mushala. Teduh ... dan menenangkan. Kemudian kubayangkan lagi tangannya yang berada dalam genggamanku, entah kenapa rasanya pas seperti puzzle yang menemukan kepingan. Kali ini aku tahu, keadaan berbalik seratus delapan puluh derajat. Aku ... aku yang terbius dalam pesonanya.



Note :

Oke, ini ngetiknya super duper buru-buru karena ada peringatan mati listrik di daerahku. Mati listrik rutin yang biasanya memakna waktu 8-10 jam :(

Enjoy aja lah. Kalo ada typo kasi tau ya, biar aku benerin :)

Smooch you all...Kiss...Kiss


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro