Chapter 7

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Ini bedanya kota besar sama kota kecilku?

Astaga. Demi trailer yang memuat batubara berton-ton, di kota tambangku tercinta itu malah rumah sakit yang antusias untuk bekerjasama dengan kantorku. Tentu saja karena kesepakatan bahwa pihak kami akan membayar di akhir bulan dengan tambahan pembayaran dua puluh lima persen di atas ketentuan harga. Gimana mereka nggak berbondong-bondong presentasi tentang kelebihan rumah sakit mereka agar kami melirik? Agar kami segera menandatangani MOU?

Sedang di sini? Justru malah aku sendiri yang harus presentasi. Seakan pihak kami yang memohon-mohon untuk disetujui sebagai rekanan. Seolah kami nggak punya pilihan dengan rumah sakit lain juga. Dan kemudian tanggapan yang aku terima? Daebak!

Hari yang berat. Fiuh!

Aku merutuk sendiri dalam hati, gimana bisa aku ngambek dan keluar dari ruangan itu sendiri bahkan sebelum meeting terselesaikan. Ah ... aku menyesali sikapku yang sedikit—bukan, mungkin sangat—kekanak-kanakkan. Tapi, mengingat kembali cara dia menyudutkanku itu lah yang membuat aku memilih untuk angkat kaki dari ruangannya. Aku ini lagi ngapain sih? Presentasi buat kerjasama, kan? Bukannya mahasiswi semester akhir yang harus mempertahankan skripsi di depan dosen sangar, kan?

Itu sisi mental kamu yang masih lemah, La.

Ah ... aku juga bukan pengidap mental kerupuk, kok. Bukan tipe orang yang gampang dijajah. Ah ... masih aja aku membela diri. Tapi ... tapi dia itu memang mengerikan! Seandainya aku punya badan cukup besar dan punya kemampuan menghajar orang, entah gimana caranya aku pasti menyarangkan pukulan di badannya. Bodo amat deh ke depannya!

Tapi, di sisi lain? Kenapa aku segitu mudahnya tersinggung? Halaaah ... gimana bisa aku memperjuangkan hak-hak karyawanku, kalo aku dengan mudahnya menyerah?

Tapi tatapan dan pertanyaannya yang mengintimidasiku membuat kepalaku serasa meledak.

Ah ... sepertinya aku harus ngomong sama A' Revan, biar A' Revan aja yang meralat dan menyelesaikan kelakuanku. Toh ... aku udah usaha, semaksimal mungkin dalam kemampuanku. Tapi A' Revan lagi nggak boleh diganggu. Harus fokus sama hari pentingnya dia. Keterlaluan rasanya mengganggunya hanya karena hal beginian.

Sang supir taksi yang mengangkutku menuju kantor mencuri lihat lewat kaca spion depan. Mungkin mengetahui kelakuanku yang dari tadi memijit sisi kening bergantian kiri dan kanan, kemudian menumpangkan tangan di dagu, sesaat memonyongkan bibir mengoceh pelan. Semoga aja, dia nggak menganggap sedang nganterin orang gila.

Bukan ... ini nggak gila, Pak. Tapi lagi frustrasi sama kerjaan!

Gilang Aryaprananta Calling...

Serangan semangat kembali melingkupi diriku saat melihat caller id di ponsel.

"Halo...,"sahutku tanpa membuang banyak waktu.

"Hei, Barbie. I miss you," katanya.

Senyumku langsung terkembang mendengar kata-kata romantisnya. "I miss you too. Lagi ngapain?"

"Nelpon nih ... sama bernafas."

Pecah ketawaku mendengar jawaban uniknya. "Sudah makan?"

"Yep. Kapan pulang?" todongnya. "Aku butiran debu tanpamu," sambungnya dengan nada memelas.

"Hahaha ... sebentar lagi aku bakal kembali ke sana," sahutku." Oh iya, gimana ujian masuknya? Sulit?"

"Aku melakukan yang terbaik yang aku bisa. Tenang saja."

Hatiku langsung kebat-kebit lagi mengingat Gilang yang satu tahun ini terpaksa menunda masuk kuliah karena biaya yang kami kumpulkan belum tercukupi untuk membayar uang pangkal. Tahun ini, baru lah dia mengikuti ujian untuk masuk perguruan tinggi di provinsi dengan jurusan yang dia minati.

"Kapan pengumumannya?"

"Dua minggu lagi, Barbie. Ngarep kamu di sini segera."

"Aku akan pulang begitu memungkinkan," ucapku. "Nggak sanggup sampe dua bulan di sini kayaknya. Lagipula, kayaknya aku gagal," curhatku lagi. Aku nggak bisa menyembunyikan kesedihan dalam suaraku. Pun aku bisa, aku nggak akan pernah bisa mengelabuinya.

"Gagal? Kenapa bisa? Siapa yang bikin kamu sedih? Coba cerita, Barbie! Bakal kutonjok itu orang!" serunya meraung. Terdengar amarah membalut kata-katanya. Masih tidak berubah kelakuannya terhadap orang-orang yang membuatku sedih. Bawaannya pengen mencederai. Ah ... Gilang!

"Hmm ... Nggak papa, hanya kupikir, aku gagal dalam negosiasi kali ini," lirihku.

"Haaa ... negosiator ulung kayak kamu? Kok bisa? Ceritain selengkapnya," tuntutnya.

Lalu cerita tentang kejadian di ruang meeting rumah sakit pun mengalir, aku bahkan sampai terisak sedih. "Bukan salahku, kan? Aku sudah berusaha yang terbaik," lemas aku menutup cerita.

"Sialan, kenapa dia memperlakukanmu kayak gitu? Dasar orang kota besar! Sombong! Tunggu aja, suatu saat dia pasti berhadapan denganku!"

"Hush ... sudahlah, jangan diingat lagi. Nanti aku akan coba bicara dengan bosku. Sekaligus menanyakan kepulanganku."

"Tapi aku masih kesel dengernya, Barbie."

"Sama. Tapi, kadang ada hal yang nggak bisa kita kendaliin semau kita, kan?"

"Iya, sih. Udah nggak usah dipikirin lagi. Everything is gonna be alright. Don't be sad. Oke?"

"I'll try," jawabku.

"Argh ... Aku kangen masakanmu! Kamu bikin aku makan mie instan tiap hari," keluhnya lagi. "Buruan pulang!"

Aku tertawa, pemuda ini benar-benar moodbooster untukku. "Aku pasti segera pulang begitu udah memungkinkan. Belajar masak dong, atau setidaknya beli di warung Budhe depan itu. Jangan makan mie terus."

"Iya ... iya."

"Iya itu dilakuin lho, Lang. Jangan cuma ngemeng aja."

"Astaga? Udah lupa sedihnya? Udah cerewet aja," sindirnya.

Aku tertawa karena ucapannya. Kali ini benar-benar tertawa lepas seolah tanpa beban. "Ya udah, aku udah nyampe kantor nih."

"Yep. Hati-hati. Dan ... cepat pulang."

-oo0oo-

Head Office, 14.00 WIB

"La, nanti kamu ikutan ke Bandung?" tanya Mbak Vera.

"Ke Bandung, ngapain?"

"Ya ... ampun, kalau galau jangan berkepanjangan, La. Itu biasa dalam bekerja. Tidak harus selalu mulus kan?"

Aku mengernyitkan dahi. Aku sudah curhat mengenai hasil kerjasama tadi pagi. Tanganku masih membuka-buka berkas yang tadi kupegang.

Aduuuh ... MOU-nya ketinggalan lagi. Gimana nih? Apa aku harus bohong, ya? Aku cetak ulang lalu minta tanda tangan Pak Roery lagi apa ya? Aduuuh ... kalo beliau nanya MOU yang sebelumnya di mana, aku harus jawab apa?

"Kamu mau digorok sama Dokter Revan? Acara bosmu, kan?"

Mataku membulat, aku sampai melupakan hal penting itu. Ah...

"Tapi, gimana berangkatnya? Ada rombongan dari kantor nggak? Lila takut nyasar kalo pergi sendiri."

"Ada kok, La. Tenang aja. Nanti kamu bar..."

Belum selesai Mbak Vera menjawab pertanyaanku. Mbak Anggi menongolkan kepala di kubikel kami,"La, kamu dicariin Pak Direktur! Ditunggu di ruangannya. Sekarang."

Deg.

"Mati aku!" keluhku dengan suara mengenaskan. Mau tak mau berjalan juga menuju ruangan Pak Roery, yang mungkin saja tata letak meja di dalamnya udah jadi kayak meja persidangan. Karena mataku yang siwer atau hatiku yang kebat-kebit.

Aku berjalan mengekor dibelakang Mbak Anggi sampai di depan pintu ruangan Big Boss, "Fighting, La ... cemunguuuud," katanya mempersilakan aku masuk.

"Doakan Lila, ya, biar selamat keluar dari sini," pintaku lagi. Mbak Anggi mengacungkan kedua jempolnya. Kemudian menepuk bahuku sekali.

Kuketuk pintunya tiga kali sambil menghembuskan nafas.

"Masuk!" Terdengar suara menyilakan dari dalam.

Aku pun mendorong pintu itu dan rasanya jantungku langsung jatuh ke kaki begitu menyadari siapa yang sedang duduk manis di kursi di depan meja Pak Roery.

Siapa lagi kalo bukan dia?

Ini namanya mati kuadrat. Setelah mati lalu digali lagi, lalu aku disiksa lagi, lalu dikubur lagi.

Dia tersenyum miring kepadaku. Sebelah bibirnya terangkat ke atas. Meski terlihat tulus, entah kenapa di mataku seperti terlihat mengejek!

Senyummu palsu! Hah!

Ngapain kamu di sini, monster?

"Duduk, La!" kata bosku.

"Eh ... anu, Pak. Saya minta maaf tadi itu ... anu ... saya tidak bisa menyelesaikan meeting-nya karena ... anu ... er ... sakit perut, ja ... jadi ... belum kelar, Pak," sahutku gemetaran sambil menarik kursi di depan bosku dan memberi jarak dari kursi yang diduduki monster ini.

Dia mengangkat alisnya, "Sakit perut?" tanyanya mengangkat alis dan kemudian bersiul pelan. Duuuh ... minta di toyor banget sih, ni orang.

"Kamu ngomong apa, La? MOU-nya sudah selesai. Sudah ditandatangani kedua pihak," kata Pak Roery menyorongkan map ke arahku. Aku mengambil dan membukanya pelan. Mengamati isinya, dan ternyata isinya adalah MOU yang pagi tadi nggak sengaja aku tinggalin.

Aku mengangkat mukaku dan bersitatap dengannya. Dia menyunggingkan senyum usil penuh kemenangan. Aku mengabaikan ledekannya dan membuka halaman terakhir yang sudah ditandatangani kedua pihak. Tanda tangan yang dibubuhi materai dan tertulis nama dr. Aldebaran Bachtiar.

Aldebaran Bachtiar itu mas Al ini?

"Lagian, kata Al kamu hebat, La. Kamu negosiator yang lihai." Daguku langsung merosot dari tempatnya. Apa aja yang dikatakannya setelah menelanjangiku dengan argumennya tadi? "Dia sampai tidak berpikir dua kali untuk menyetujui permohonan kerjasama yang kamu ajukan."

Entah mengapa aku melihat mereka berdua saling mengedipkan mata dan menahan tawa. Shit!

Jelas, Al atau entah siapa pun monster ini namanya, sudah bercerita kejadian yang sebenarnya pada Pak Roery. Dan, kemudian berniat untuk pura-pura menyanjungku dengan pujian sebagai sindiran. Heh!

"Ah, kalau begitu berarti tugas saya sudah selesai kan, Pak? Saya bisa pulang ke site ya?" tanyaku buru-buru. Rasanya gatal-gatal berada pada jarak tiga puluh senti di sampingnya.

"Lo kok betah di hutan?" tanyanya. Kalimat kedua yang diucapkannya di ruangan ini dan tetap saja menyebalkan. Kenapa monster itu harus benar-benar ada zaman sekarang, Ya Tuhan?

"Bukan urusanmu," ketusku. Lupa bahwa Pak Roery masih dihadapanku. Beliau hanya mengangkat alisnya. "Lagipula, berteman dengan orang-orang di hutan kami itu menyenangkan kok, Anda nggak akan bisa mengerti!" desisku lagi memelankan suara.

Dia mengernyitkan alisnya, kemudian bibirnya terbuka ingin menyela.

"Jadi kapan saya bisa kembali, Pak?" potongku sebelum dia bersuara lagi. Dia mengatupkan bibirnya yang sempat terbuka dan memandangi Pak Roery, seolah ikut menunggu jawaban.

"Nanti, La. Setelah acaranya Revan dan Alina. Kamu boleh kembali ke site," sahut Pak Roery sambil tersenyum.

Aku menepuk jidatku,"Ah iya. Tentu, Pak. Saya pasti kesana dulu," seruku. "Katanya, ada rombongan dari kantor ya, Pak?"

"Iya, tapi mereka berangkat mungkin agak siang untuk resepsinya saja. Kamu nggak mau ikut menyaksikan akad nikahnya?" tanya Pak Roery.

"Mau sih, tapi ... saya kan nggak tau jalan menuju Bandung, Pak. Saya takut nyasar," sahutku. "Tapi, nanti saya cari solusinya, Pak. Kalau begitu, saya permisi dulu ya, Pak!"

Ah ... Kupikirkan nanti saja. Bisa kali ya, minta petunjuk dari A' Revan buat pergi ke Bandung dengan angkutan yang aman?

"Numpang gue aja!" serunya tiba-tiba, tepat sebelum aku melangkah pergi. "Besok jam tujuh pagi, gue jemput di hotel," lanjutnya. Kemudian berdiri, dan mencondongkan badannya ke arahku, berbisik pelan, "Dandan yang cantik, jangan malu-maluin! Dan gue nggak mentolerir keterlambatan."

Deg. Deg. Deg. Deg.

Aku memegang dadaku yang entah kenapa organ di dalamnya mendadak jumpalitan.

"Nah ... bisa tuh, La. Kamu berangkat sama Al saja!" timpal Pak Roery langsung. "Jangan berangkat sendiri. Kalau nyasar, susah nyariin kamu."

"Oke, Cantik?" godanya pelan, lagi-lagi berbisik di telingaku. "Jam tujuh tepat."

Ampuuuuun Tuhan, segitu banyakkah dosaku sehingga tak henti-hentinya orang ini menganiayaku? Jelas, dia pasti sudah merencanakan apa pun untuk menyiksaku yang terpaksa harus menumpang padanya?

Kalila bego! Makanya, kalau jalan pakai mata. Biar tau tempat! Harus berani dan nggak doyan nyasar. Nyasar kok doyan!

Argh ... habis ini gugling cara berangkat ke Bandung dengan selamat! Pasti nggak tahu dari mana harus ke mana dan naik apa. Hih!

Nelpon A' Revan? Mungkin larangan dia sepanjang gerbong kereta api kalau tau aku mau berangkat sendiri. Argh ... tanganku mengepal tanpa bisa kucegah. Sial!

Aku berjalan ke luar ruangan tanpa menyahut lagi. Masih kudengar suara Pak Roery, "Kayaknya, nggak bakal mudah Al!"

"Nggak mudah, tapi bukan berarti nggak mungkin kan, Om?"



Note:

Yep! Roller coaster udah naik nih ya, wkwkwkwk...

Semoga masih ada yang sudi baca cerita ini :)

Di mulmed itu Gilang yak :p :p

Oia, kota saya, Tabalong, adalah salah satu kota yang bakal mendapat gerhana matahari total selama 2 menit lebih. Pokoknya paling luama katanya.

Jadi saya mantengin dulu, yak!

Hehehe...:)

Enjoy, smooch you all...Kiss...Kiss...

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro