Bab 11

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Om Juna, Ais boleh beli buku My Little Pony, kan?" tanya seorang gadis kecil berkucir dua pada Arjuna.

Arjuna berjongkok agar tingginya sejajar dengan bocah berusia lima tahun itu. Dibelainya lembut puncak kepala Aisyah. "Boleh," jawabnya. "Masing-masing cuma boleh beli maksimal dua buku, ya? Nggak boleh beli jajan atau benda lain." Juna berkata pada empat belas anak lainnya yang berdiri dalam satu kelompok bersama Aisyah.

"Robby, kamu yang tertua. Pastikan adik-adikmu nggak beli buku yang nggak pantas untuk usia mereka," titah Juna pada seorang remaja laki-laki yang mengenakan seragam putih biru.

Robby mengangguk antusias sambil mengacungkan ibu jari.

"Uangnya sudah kamu pegang, kan?"

"Sudah, Om." Robby menepuk tas selempangnya. Isyarat bahwa uang yang Arjuna maksud disimpan di sana.

"Oke," suara Aditya terdengar dari belakang tubuh Arjuna, "siapa yang udah nggak sabar masuk ke dalam?"

Pertanyaan Aditya dijawab dengan keriuhan lima belas anak yang kompak menyebut "aku, aku" sambil melompat-lompat. Tingkah mereka sontak membuat orang-orang yang berada di pelataran parkir Jatim Expo menoleh ke arah mereka.

Masih berjongkok, Arjuna tertawa lepas. Kegembiraan anak-anak asuhnya menular padanya. Ucapan sahabatnya memang benar bahwa tidak semua orang memandang jijik atau penuh rasa iba padanya. Moderator dan audience acara bedah buku tadi pun bersikap biasa. Seharusnya Juna menyadari semua itu lebih awal. Bukankah anak asuhnya di panti selalu menyambut kedatangannya dengan antusias? Mereka sama sekali tidak ragu untuk bergelayut di lengannya ketika merengek meminta hadiah. Tak ada yang menangis ketakutan melihat wajahnya atau mengatainya monster.

Arjuna lalu berdiri dan merapikan kembali jasnya. Aisyah menggandeng tangannya.  Gadis kecil itu melompat-lompat riang. Anak-anak asuhnya yang lain berjalan di depan, mengikuti Aditya masuk ke dalam gedung.  Namun, sesosok wanita bermata hitam yang berdiri di depan pintu masuk membuat langkah Juna terhenti. Hanya sebentar, karena Aisyah menarik tangannya untuk kembali berjalan.

Arjuna mengangguk sopan saat melintas di depan Ayu.

"Juna, tunggu!"

Seruan perempuan itu kembali membuat Arjuna berhenti. Ia menunduk dan berkata pada Aisyah, "Ais ikut Om Adit, ya. Om Juna ada perlu sama teman Om."

Aisyah mengangguk, tanpa bertanya. Anak itu lalu berlari kecil menyusul Aditya. Setelah Aisyah terlihat digandeng oleh Aditya, Juna baru melihat ke arah Ayu.

"Siapa mereka?" tanya Ayu.

"Anak-anak asuh saya. Almarhum Bapak mendirikan panti asuhan, saya hanya meneruskan."

Ayu tersenyum hingga gigi gingsulnya mengintip. "Mereka manis sekali," katanya.

Juna mengangguk, sepakat dengan ucapan Ayu. "Di mana Lintang?" tanya Juna, mencoba terdengar biasa saja. Meski sebenarnya, mengetahui Lintang adalah pria yang meminang Ayu, telah membuat Arjuna terkejut.

Darah Juna berdesir karena teringat kembali momen di kala mereka berpisah di kapal pesiar, saat Ayu tanpa rasa jijik membelai bekas luka di wajahnya. Tadinya ia sempat berpikir bahwa Ayu-lah the one. Seorang wanita yang bisa menerimanya tanpa memandang rupa maupun harta. Akan tetapi, segera Juna sadar bahwa hubungan romantis tidak ditakdirkan untuknya. Orang-orang tidak takut padanya pun sudah merupakan anugerah.

"Lintang sedang ke kamar kecil."

"Oh," lirih Juna. "Omong-omong, selamat untuk pertunangan kalian. Semoga bahagia." Arjuna mengulurkan tangan, tetapi Ayu tidak menanggapi. Wanita itu hanya melihat sekilas ke arah tangan dengan guratan bekas luka bakar yang terulur, dan justru menatap ke dalam mata Juna.

Beberapa orang yang hendak masuk ke dalam gedung mulai memperhatikan mereka. Membuat Juna tak nyaman. "Saya ke dalam dulu. Sampai jumpa lagi."

Akan tetapi, Juna dibuat terkejut saat tiba-tiba Ayu menarik tangannya. Memaksa Arjuna mengikuti gadis itu sampai di sisi samping gedung yang agak sepi.

"Kamu menghindariku," tuduh Ayu begitu saja. Dia bahkan tidak menunggu hingga napasnya sedikit lebih tenang. Beberapa untai rambut Ayu yang lepas dari kucir ekor kudanya membingkai manis wajah jelita itu. Juna mengepalkan tangan, menahan keinginan untuk menyelipkan untaian itu ke balik telinga Ayu.

"Saya harus menemani anak-anak," kilah Arjuna.

Kerutan di dahi Ayu menunjukkan bahwa dia tidak puas dengan jawaban Juna. Dan benar saja, perempuan itu kembali mendesak. "Kamu sengaja membuat jarak denganku, bukan? Sikapmu berbeda dengan saat kita ada di atas kapal. Apa karena Lintang?"

Juna memalingkan wajah, membuat Ayu hanya bisa memandang sisi kanan wajahnya yang tidak sempurna. Lelaki itu membiarkan keheningan yang menjawab. Tak mengiakan ataupun membantah pernyataan Ayu.

"Aku nggak pernah mencintai Lintang," seru Ayu yang sukses membuat Juna menoleh kembali padanya.

"Aku dan Lintang bersahabat sejak SMP. Dia pemuda yang penuh pesona. Sejak SMP banyak teman yang mengira kami berpacaran. Tapi aku sama sekali nggak pernah naksir dia. Aku terlalu terbiasa melihat Lintang tidak dari sisi asmara. Bahkan sekedar cinta monyet pun nggak pernah. Saat aku berpacaran dengan seorang pria bule, Lintang sama sekali nggak menunjukkan sikap cemburu atau sejenisnya. Di situ aku yakin bahwa hubunganku dengan Lintang memang murni persahabatan. Kami sama-sama anak tunggal jadi Lintang dan aku seolah diciptakan untuk saling menemani sebagai saudara. Jujur saja, sampai sekarang aku masih nggak tahu alasan orangtuaku yang tiba-tiba menjodohkan kami."

Juna menghela napas panjang setelah mendengar penuturan Ayu. "Apa pentingnya menjelaskan semua itu pada saya?"

"Karena aku nggak mau kamu salah paham atau meragukan perasaanku."

Juna tertegun. Sebuah dugaan liar terbentuk di benaknya. Perasaan apa yang Ayu maksudkan? Apakah sama seperti rasa yang kini bersemi di hatinya?

"Aku mencintaimu," ucap Ayu tanpa ragu. "Dan aku tahu kamu juga punya perasaan yang sama. Jangan coba-coba menyangkalnya!"

Ah, rasanya Juna ingin tertawa. Menertawakan lelucon yang takdir ciptakan untuknya. Saat hatinya menemukan tambatan, justru pada wanita yang sudah terikat dengan pria lain.

"Cinta tidak selamanya benar, Ayu. Kita hidup dalam tatanan masyarakat yang kompleks. Ada banyak nilai yang sama agungnya dengan cinta. Janganlah kita mendewakan cinta hingga kita melanggar norma dan menyakiti orang lain."

"Apa maksudmu?"

"Jika cinta adalah nama perasaan kita maka ini adalah cinta yang salah. Kita harus memupusnya."

"Kamu menyerah begitu saja?" tanya Ayu.

Juna menangkap nada tak percaya dalam suara Ayu. Perempuan itu pasti kecewa padanya. Tidakkah Ayu tahu bahwa melepaskan cinta juga sama sulitnya bagi seorang pria? "Kamu sudah bertunangan, Ayu. Lintang pria yang sempurna untukmu."

"Tapi kamu yang aku cintai."

"Lihat saya baik-baik! Saya hanya lelaki buruk rupa yang selamanya tidak akan pantas bersanding denganmu."

"Aku yang berhak memutuskan apa dan siapa yang pantas untukku, bukan orang lain," tukas Ayu cepat.

"Mungkin kamu bisa bersikap cuek terhadap penilaian orang lain, tapi bagaimana dengan keluargamu? Apa mereka rela jika anak gadisnya yang cantik memiliki kekasih pria buruk rupa? Pikirkan reaksi mereka. Ada Lintang yang sempurna dan kamu justru memilih saya?"

Juna tersenyum sedih. Bekas luka bakar di sudut mulutnya membuat lengkungan senyumnya tak simetris dan membentuk seringai miring. Namun, Ayu tak terlihat gentar sedikit pun.

"Kita bisa berjuang meyakinkan mereka. Bukankah cinta memang harus diperjuangkan?" desak Ayu lagi.

Juna menggeleng lemah. "Dengar, Ayu. Saya berhutang banyak padamu. Kamu dan lukisanmu telah berhasil membuat saya kembali hidup, tapi tolong... jangan membuat saya melanggar batasan."

Ya, Juna sudah memutuskan untuk mengabaikan saran Aditya. Berjuang merebut tunangan orang lain bukanlah hal yang membanggakan. Gajah mati meninggalkan gading, manusia mati meninggalkan budi. Selamanya Juna tidak ingin dicap sebagai pria buruk rupa tak tahu diri yang merebut calon istri orang.

***

Restoran hotel tempat Ayu dan Lintang menginap malam ini cukup ramai. Liburan sekolah seperti ini tentu menjadi salah satu peak season bagi pihak hotel. Tingkat hunian melonjak dua kali lipat.

Ayu dan Lintang menempati meja yang terletak di sudut restoran. Mereka beruntung bisa mendapatkan tempat yang bagus di tengah ramainya pengunjung restoran. Jendela di samping meja mereka berupa kaca yang permukaannya dialiri air. Menjadikan kerlip lampu-lampu taman di samping restoran terbias indah.

Ayu terus memandangi aliran air di jendela. Pikirannya sibuk mencari cara agar bisa meyakinkan Arjuna bahwa sikap menyerah pria itu salah besar.

"Makanannya nggak enak? Itu menu kesukaanmu, kan?" tanya Lintang pada Ayu yang sedari tadi hanya mengaduk-aduk salad sayuran yang tersaji tanpa menyantapnya.  "Atau mau ganti menu? Nasi goreng?"

Ayu menoleh ke arah Lintang lalu menunduk melihat makanannya yang sudah acak-acakan. Semakin membuatnya tak berselera. "Nggak, ah. Aku sedang nggak ingin olah raga sebelum tidur sebagai kompensasi atas kalori berlebihan dalam nasi goreng."

Lintang terkekeh pelan. "Ya ampun, di sini nggak ada Tante Sekar yang bakal ngukur lingkar pinggangmu di pagi hari. Aku nggak keberatan kamu sedikit menimbun lemak di perut selama kita ada di Surabaya."

"Mama nggak seketat itu juga, kali." Ibunya memang perfeksionis tetapi Ayu tahu sedikit lemak tidak akan membuatnya murka. Ayu membatasi asupan kalori semata-mata demi kesehatannya, bukan karena takut pada aturan ibunya.

Lintang mengeluarkan selembar kertas dan sebuah bolpoin dari saku kemejanya. Pria itu tampak berpikir lalu menuliskan sesuatu di kertas lalu mencoretnya, berpikir lagi, lalu menulis lagi.

"Apa itu?"

"Puisi. Untuk lusa. Ada lomba cipta puisi. Temanya patah hati."

Ayu mencibir. "Memangnya kamu bisa bikin puisi? Di sekolah dulu, kamu bikin pantun saja rimanya salah melulu."

Lintang tertawa. "Karena itu aku sedang berpikir keras sekarang. Supaya bisa menang. Hadiahnya juga lumayan menarik:  kesempatan dimuat dalam antologi puisi penerbit mayor."

"Penerbitnya Arjuna?"

"Bukan." Lintang kembali menulis, tapi berhenti lagi dan menatap Ayu.  "Omong-omong, kamu sudah kenal Arjuna sebelumnya?"

"Kenapa kamu tanya begitu?" Ayu balik bertanya.

Lintang mengangkat bahu. "Wild guess."

"Dia satu kapal dengan kita saat pelayaran, kan? Kami pernah berbincang sedikit. Waktu itu Arjuna mengembalikan gelangku yang terjatuh."

"Kapan?"

"Setelah Pak Samudra yang mesum itu menghinaku," jawab Ayu sembari bersungut.

"Kamu masih saja baper dengan komentar Pak Sam. Udah lama, juga."

Ayu tentu bertambah kesal. "Kamu nggak pernah berada di posisiku. Nggak ada orang yang merendahkanmu, Lin. Semua orang memuji pencapaianmu, bukan dengan pujian palsu, tanpa mengaitkan dengan penampilan fisikmu. Nggak ada, kan, orang yang nuduh kamu jadi gigolo Papa karena berhasil jadi tangan kanannya?" sembur Ayu.

Gadis itu benar-benar geram atas penilaian masyarakat yang seksis. Jika perempuan memiliki prestasi gemilang, selalu ada gunjingan negatif yang beredar, semacam,  "Dia cantik, jadi mudah saja naik jabatan." Seolah-olah seorang wanita tidak bisa mengukir prestasi tanpa bantuan pihak lain. Dalam hal ini, kaum lelaki.

Tawa Lintang berderai lantang. Pria itu bahkan harus menghentikannya dengan terbatuk secara sengaja. Beberapa pengunjung restoran sampai menoleh ke arah meja mereka. "Ya ampun, kata-katamu itu..." Lintang tak melanjutkan kalimatnya. Dia tampak sangat geli oleh ucapan Ayu. "Jadi kembali ke Arjuna. Apa cuma satu kali itu pertemuan kalian?"

Ayu menundukkan wajah, kembali mengaduk-aduk saladnya. Sepertinya ia tidak perlu menceritakan tentang lukisan-lukisan yang ia kirimkan pada sosok Beasty.

Ini adalah cinta yang salah. Kita harus memupusnya.

Ucapan Juna terngiang kembali. Apa yang salah, Jun? Bukankah cinta takkan pernah salah? Tuhan yang menganugerahkan perasaan itu. Dan bagi Ayu, rasa cinta itu tertuju pada Arjuna. Ayu tak peduli meski mereka akan menjadi pasangan Si Cantik dan Si Buruk Rupa, Beauty and the Beast, karena Ayu percaya keindahan yang sesungguhnya terletak di hati. Arjuna indah dengan segala kekurangannya.

Ayu tenggelam dalam pikirannya sendiri. Sama sekali tak menangkap sorot curiga dari mata sang tunangan.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro