Bab 12

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Saat diajak Lintang ke Surabaya, Ayu memang sudah berharap bisa bertemu Arjuna karena ia tahu lelaki itu tinggal di kota pahlawan ini. Jika diperlukan, Ayu bahkan siap mendatangi kantor penerbitan milik Arjuna demi bisa bertemu. Akan tetapi,  kemunculan sosok Beasty dalam rangkaian acara pengisi event Surabaya Book Fair ini mempermudah langkah Ayu.

Setelah kemarin hadir dalam acara bedah buku, hari ini Juna diminta untuk mengisi sesi mentoring kepenulisan. Semua hadirin terlihat antusias menyimak materi dari Arjuna, termasuk Lintang. Siapa yang tak ingin mengukir prestasi seperti Beasty? Mendapatkan nominasi Karya Paling Menyentuh, memenangkan Anugrah Prosa Terpuji.

Tepuk tangan bergemuruh terdengar  di dalam ruangan yang kini menjadi tempat berlangsungnya acara yang tengah Ayu hadiri. Sosok sang penulis Persona yang selama ini tak pernah menampakkan diri akhirnya muncul. Sosok yang tak pernah Ayu sangka akan mendapat tempat istimewa di hatinya. Sosok yang terasa begitu dekat meski faktanya justru Lintang yang kini duduk di samping Ayu.

Sepanjang acara, Ayu benar-benar tak banyak bicara. Tak seperti para pengunjung lain yang antusias melontarkan beragam pertanyaan, ia justru larut dalam dunianya sendiri. Dunia yang hanya berisi kekaguman pada sosok Juna.

Juna tak lagi memakai topengnya. Sebuah langkah awal untuk membangun kepercayaan diri lelaki itu lebih jauh. Ayu bersyukur orang-orang tak lagi sepenuhnya menilai Juna dari penampilan. Lelaki itu kini dikenal dan dihargai berkat karyanya. Sesuatu yang seharusnya terjadi sejak awal karena Juna berhak mendapatkannya.

Perasaan suka cita bersemi di hati Ayu kala memandang Juna yang terlihat cerdas dengan caranya menjawab setiap pertanyaan. Ia tak sadar jika Lintang menangkap jelas semua itu. Binar bahagia di mata Ayu saat menatap Juna terlalu kentara untuk diabaikan.

"Ayo, Yu, kita minta tanda tangan Arjuna. Kamu bawa buku Persona, kan?" ajak Lintang tiba-tiba. Ayu tersentak kecil, terkejut. Terlalu larut dalam kekagumannya, Ayu baru menyadari acara telah berakhir sewaktu kembali terdengar tepuk tangan meriah. Begitu Juna telah selesai dan berniat pergi, Lintang menggandeng tangan Ayu dan bergerak cepat dengan segera menghampiri lelaki itu.

"Juna, apa kabar?" sapa Lintang basa basi. Ia mendekat dan mengulurkan tangan yang dibalas Juna dengan ramah. "Materinya menarik, Bung. Senang bisa hadir di sini."

"Terima kasih," balas Juna seraya tersenyum tipis. Ayu yang menyusul di belakang Lintang tahu pasti jika lelaki itu menyadari keberadaannya. Namun, Juna tampak berusaha bersikap wajar meski sadar Ayu tengah menatapnya intens.

"Omong-omong, gadis cantik ini begitu ingin mendapatkan tanda tangan penulis favoritnya." Lintang menarik Ayu mendekat padanya. Mereka berdua kini menghadap Juna dalam posisi yang cukup dekat. "Bisakah dia mendapat sedikit keistimewaan? Tanda tangan sekaligus foto bersama, mungkin?"

Lintang mengatakannya sembari tertawa kecil. Bermaksud menjadikannya sebuah candaan semata. Akan tetapi, Juna tersenyum kecil kemudian dengan sopan menerima buku Persona dari tangan Ayu. Sampulnya sudah sedikit lusuh, tanda bahwa buku itu telah dibaca berulang kali oleh pemiliknya.

"Saya rasa tanda tangan saja, cukup," ujar Juna lalu membubuhkan tanda tangannya di sana dengan sedikit terburu-buru. Setelah menyerahkan buku itu pada Lintang, ia pun berpamitan. "Maaf, saya harus pergi. Semoga hari kalian menyenangkan."

Juna tak memberi kesempatan Lintang dan Ayu untuk membalas ucapannya. Bergegas ia meninggalkan tempat tersebut.

Ayu yang tak rela berusaha mengejar Juna. Masih terngiang di kepalanya penolakan lelaki itu tempo hari. Sudah pasti itulah alasan dari sikap tak acuh Arjuna padanya hari ini. Namun, ia tak akan menyerah semudah itu. Terlepas dari fisiknya, seorang Juna lebih dari pantas untuk diperjuangkan. Dan, Ayu ingin menjadi orang yang tak henti berjuang tersebut.

"Juna, bisakah kita bicara sebentar saja?" Ayu menghadang langkah Juna. Satu-satunya cara agar dia mendapatkan perhatian lelaki itu. Tak peduli meski beberapa orang di sekitar mereka jadi memperhatikannya.

Seolah tak ingin lebih menjadi pusat perhatian, Juna memberi reaksi bak orang asing pada Ayu. Senyum ramah yang sejatinya hanya bertujuan untuk bisa segera menghindar.

"Ayu, maaf. Aku rasa tidak ada lagi yang perlu kita bicarakan," jawab Juna. Sesekali ia melirik ke sekitar.

"Ada. Kita sama-sama tahu itu." Ayu bersikukuh. Ia sudah siap untuk melancarkan kalimat-kalimat bujukan supaya Juna mau bicara dengannya. Namun, niatnya terhenti sewaktu melihat lelaki itu mengeluarkan secarik kertas dan menulis sesuatu di sana.

"Baiklah. Tapi, tidak di sini," ujar Juna seraya mengembuskan napas panjang. "Ini alamat e-mail-ku. Kita bisa membicarakannya di sini."

Ayu menerima kertas tersebut dengan enggan, tetapi tetap membiarkan Juna berlalu. Setidaknya sekarang ia memiliki akses untuk menghubungi lelaki itu. Ia tak perlu repot-repot datang lagi ke acara ini esok hari demi menemui Juna. Setelah sosok tegap lelaki itu menghilang dari pandangannya, Ayu berganti mencari Lintang. Sahabatnya itu tampak berdiri terpaku di tempatnya berada sembari membaca selembar kertas.

"Apa itu?" tanya Ayu penasaran. Namun, Lintang buru-buru melipat dan menyimpan kertas tersebut dalam saku jasnya.

"Bukan apa-apa. Mau lihat acara selanjutnya? Atau kita pulang sekarang?" tanyanya balik.

Ayu mengangguk untuk pilihan kedua. Ia sudah tak lagi peduli dengan acara berikutnya karena tujuannya hanya satu dan ia sudah mendapatkannya. Setidaknya begitu.

***

Dari tempatnya berada, Lintang bisa melihat Ayu menghela napas panjang. Sesekali perempuan cantik itu melemparkan pandangan ke para pengunjung restoran yang sebagian besar datang bersama pasangan. Tadinya Ayu ingin menemuinya di restoran hotel tempat mereka menginap, tetapi Lintang beralasan ingin berjalan-jalan dan mengusulkan restoran Italia ini untuk sekalian makan malam. Ia bersyukur tak ada penolakan dari Ayu, sehingga rencananya untuk makan malam romantis bisa terlaksana.

Waktu sudah menunjukkan pukul delapan malam sewaktu pelayan baru saja mengantarkan makanan pembuka. Namun, Lintang sengaja tak segera muncul. Lelaki itu masih mengamati Ayu yang meraih ponsel dan berniat menghubungi seseorang. Seseorang yang pastilah dirinya. Barulah ketika Ayu tampak gusar karena panggilan teleponnya tak mendapatkan jawaban, Lintang memutuskan untuk menampakkan diri.

"Apa aku terlambat?" Suara Lintang membuat Ayu menoleh, tetapi kemurungan di wajahnya tak juga berganti. "Sorry, soalnya aku mencari ini dulu."

Bersamaan dengan Lintang mengakhiri ucapannya, tangan kanan lelaki itu yang sebelumnya tersembunyi di balik punggung, kini muncul dengan seikat bunga mawar merah yang cantik. Sembari tersenyum, Lintang menyerahkan bunga tersebut pada Ayu.

"Terima kasih," ujar Ayu pelan. Ia meletakkan bunga tersebut di atas meja bersamaan dengan Lintang menempati kursi di hadapannya. Ekspresi kedua insan manusia itu jauh berbeda. Sang lelaki tampak begitu bahagia, tetapi wajah sang perempuan justru diselimuti kegundahan. Namun, Lintang tak menyadari hal tersebut. Lebih tepatnya belum menyadari.

Melihat bruschetta yang terhidang di meja, senyum Lintang semakin lebar. Itu adalah salah satu makanan favoritnya. Bayangan indah tentang hal yang akan dia bicarakan dengan Ayu menyeruak tanpa bisa dicegah.

"Jadi, hal penting apa yang ingin kamu omongin, Yu?" tanya Lintang. Ia meraih garpu, memotong bruschetta dan menikmatinya sesuap.

"Tentang pertunangan kita, Lin." Ayu sama sekali tak menyentuh makanannya. Mengesankan jika sesuatu yang hendak ia utarakan begitu mengusik pikirannya. "Aku rasa itu tidak bisa dilanjutkan."

Tak hanya senyum Lintang yang hilang dalam sekejap, tetapi juga semua gerakannya yang seketika terhenti begitu mendengar kalimat terakhir Ayu. Sedetik kemudian, ia tertawa kecil. Menganggap ucapan perempuan di hadapannya sekarang hanyalah candaan.

"Ini nggak lucu, Yu."

"Aku serius. Nggak ada yang lucu jika itu menyangkut kehidupan kita ke depan, Lin. Ini memang masih tahap pertunangan, bukan pernikahan. Tapi, tetap saja kita nggak bisa mengganggapnya sebelah mata."

Lintang memandang Ayu dengan tawa yang telah berubah menjadi senyum tipis.  "Jangan khawatir. Aku dan kamu sudah bersahabat cukup lama, Yu. Semuanya akan jauh lebih mudah karena---"

"Justru itu," tanpa diduga, Ayu memotong ucapan Lintang, "justru karena kita sudah lama bersahabat, Lin. Aku nggak bisa menganggap kamu lebih dari itu."

Sama sekali tak terlintas hal tersebut di benak Lintang. Mereka memang bersahabat, tetapi selama ini perasaannya pada Ayu memang tumbuh lebih dari seorang sahabat. Lintang mencintai Ayu. Itulah kenapa rencana pertunangan yang diajukan orangtua Ayu padanya membuat Lintang tak perlu berpikir ulang untuk mengiakan. Namun, kalimat Ayu barusan cukup mengejutkan untuknya.

Lintang meletakkan garpunya. Ia menatap lekat wajah Ayu guna mencari ketidakseriusan di sana. Berharap kata-kata gadis itu hanya gurauan sambil lalu. Sayangnya, Ayu serius. Membuat Lintang akhirnya mengembuskan napas panjang.

Kedatangan pelayan yang mengantarkan menu utama berupa pasta memberi Lintang jeda untuk berpikir. Merangkai kalimat yang tepat untuk Ayu.

"Tidak ada yang salah dengan sahabat yang akhirnya menjadi kekasih, Yu. Akan jauh lebih bijak hidup bersama orang yang memahamimu dengan baik. Dalam hal ini, aku yakin kita sudah saling memahami." Lintang berusaha membawa percakapan mereka dengan santai.

"Tetap saja, Lin. Bagiku kamu adalah sahabat terbaik." Ayu terdiam sejenak. Pandangannya menekuri pasta yang tersaji di hadapannya, tetapi tak ada tanda-tanda gadis itu ingin menyantap makanan tersebut. "Dan, selamanya akan jadi sahabat terbaik."

Hati Lintang mendadak dipenuhi perasaan tak rela mendengar pernyataan Ayu. Gadis itu seakan tak mau memberinya kesempatan.

"Lalu?" Lintang bertanya sembari berusaha mengenyahkan dugaan buruk yang menghampiri benaknya. "Kita harus berhenti. Begitu maumu?"

Ayu mengangkat wajah. Memberanikan diri menatap Lintang untuk memberikan jawaban yang lebih jelas. Sebuah anggukan.

"Demi kebaikan kita berdua, Lin. Aku nggak yakin pertunangan ini akan berhasil. Dan, karena itu aku nggak mau bikin kamu berada di situasi yang aku sendiri nggak yakini ke depannya."

Kesabaran Lintang telah menipis. Ia berusaha keras untuk tak membiarkan emosinya menang. Lintang tak pernah bersikap buruk pada Ayu, baik dalam kata maupun tindakan. Namun, malam ini membuatnya harus berusaha lebih keras karena nada tidak suka tetap terdengar di setiap ucapannya.

"Yang penting di sini aku bisa bikin kamu bahagia, Yu. Itu adalah jaminan yang cukup kalau pertunangan kita akan berhasil."

Ayu menggeleng. Dia sudah memikirkan hal tersebut berhari-hari. Lintang mungkin bisa membuatnya bahagia, tetapi bukan lelaki itu yang Ayu bayangkan dalam hari-hari bahagianya di masa depan. Sama sekali bukan dia. Ayu hanya belum bisa mengatakan alasan itu dan memilih alasan lain.

"Sorry, Lin. Aku tetap nggak yakin. Dan, aku mohon kamu bisa menghargai keputusanku." Ayu memilih untuk mengakhirinya. Merasa pembicaraan mereka tak bisa diteruskan. Entah perempuan itu sadar atau tidak, tetapi ia sudah melukai perasaan Lintang dengan menolak pertunangan mereka. Bahkan, tanpa mau memberinya kesempatan.

"Kali ini, aku juga ingin kamu menghargai keputusanku untuk nggak menyerah dengan pertunangan kita, Yu."

Ayu terdiam. Raut wajah perempuan itu seolah menyadari jika Lintang serius. Namun, ekspresi setelahnya justru sama sekali tak terbaca.

"Aku ingin pulang ke hotel." Ayu bangkit dan hendak pergi ketika secara reflek Lintang mengikuti tindakannya. "Sendirian," lanjutnya kemudian.

Lintang mengetahui suasana hati Ayu yang memburuk dan memilih untuk menurutinya. Membiarkan gadis itu meninggalkannya dalam pikiran yang tak kalah kacau. 

***

Setelah lampu-lampu dipadamkan
Aku berbaring di heningnya malam
Ketika suara-suara kian menghilang
Aku pun tenggelam dalam rasa sakit yang kugenggam

Terluka ...

Tidak ada seorang pun ingin merasa
Perasaan menggigit, mengiris, merobek
Tidak sekalipun aku terbiasa
Sejak kata cinta tak lagi bermakna
Penampilan menjadi poin utama

Aku kecewa
Dirimu lah pembuat luka

Kini ... 
Senarai mimpi tentangmu tak lagi bermaka
Ketika genggaman terempas
Dekapan yang terlepas
Tak ada lagi yang tersisa

Hanya aku ...
Tersungkur luka, berselimut duka

Tertinggal aku ...
Dengan bingkai hati yang kau patahkan

"Wah, puisi yang sangat bagus, Mas Lintang."

"Kami tidak tahu Anda juga pandai berpuisi. Sungguh hebat."

"Tidak terduga sama sekali. Puisi Anda adalah sebuah kejutan yang luar biasa."

Juna bergeming mendengarkan setiap komentar mengenai puisi yang baru saja Lintang bacakan di acara cipta puisi yang kini ia hadiri. Tak ada ekspresi kagum, tetapi juga tak muncul raut benci pada wajahnya. Juna hanya tidak tahu bagaimana ia harus menyikapi hal yang kini terjadi di hadapannya itu, karena satu hal yang ia tahu. Lintang berbohong pada semua orang.

Juna tidak iri sekalipun orang-orang memuji Lintang yang tak hanya rupawan, tetapi juga berbakat di bidang yang sama dengan dirinya. Juna sudah lama lelah untuk mengenal rasa bernama iri tersebut. Satu-satunya hal yang ingin ia ketahui sekarang adalah alasan Lintang melakukan hal yang tak pernah ia duga. Mengakui puisi yang bukan miliknya. 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro