Bab 15

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

“Juna, tidak baik jika Ayu terus di sini. Bagaimanapun juga statusnya adalah tunangan orang lain, bukan gadis bebas. Ibu nggak mau kamu dianggap sebagai perebut kekasih orang.”

Samar, Ayu mendengar ucapan Ibu Juna. Niat awal ingin masuk ke dalam kamar, Ayu urungkan. Gadis yang kini dalam masa pelarian dari kedua orang tuanya memilih kembali duduk di teras belakang, mengamati air yang mengalir di atas kolam ikan buatan. Gemericik air yang ditimbulkan membuat pikirannya kembali berkelana. Benarkah pilihannya saat ini?

Meskipun hatinya berteriak menginginkan kebebasan, ia tak boleh gegabah menentukan pilihan. Meninggalkan rumah tanpa persetujuan adalah tindakannya tanpa pikir panjang. Ibu Juna benar, hadirnya Ayu di sini akan menimbulkan masalah untuk Juna. Cepat atau lambat dirinya pasti kembali. Pulang ke rumah dan menghadapi keinginan orang tuanya.

Prinsip Juna yang tidak ingin menentang kedua orang tua, membuat Ayu memantapkan pilihannya. Menghadapi sang Ayah dan Ibu untuk mengungkapkan isi hatinya, yaitu memperjuangkan untuk terus bersama pria yang sudah mencuri hatinya. Sebab Ayu yakin, jika ia dan Arjuna berjuang dengan sungguh-sungguh, kedua orangtunya pasti akan merestui. Kendatipun akan memakan waktu yang lama. Ayu akan tetap bertahan.

“Hei.” Tepukkan lembut di punggung Ayu, membuat gadis itu tersentak. “Bengong saja,” ucap Juna, lalu ikut duduk di samping Ayu yang kini menoleh memperhatikan Juna.

“Juna,” panggil Ayu lirih. “Menurutmu ... aku harus pulang?”

“Harus. Orang tuamu pasti menunggu.” Ucapan Juna terdengar begitu mantap dan tegas di telinga Ayu.

“Maafkan aku Juna, kehadiranku di sini hanya membuat posisimu semakin sulit. Baiklah. Aku akan pulang, tapi ...,” jeda Ayu lalu menatap mata Juna dalam-dalam. Banyak kecemasan dalam diri Ayu, kebersamaanya dengan Juna lagi-lagi harus berakhir. Mampukah ia melalui semua pilihan orang tuanya lagi?

"Semuanya akan baik-baik saja. Percaya, kedua orangtuamu hanya menginginkan yang terbaik untuk masa depanmu. Jangan ragu, jika memang tidak sesuai dengan keinginan hatimu, mungkin kamu bisa mulai bicara dengan ayah atau ibumu."

"Tapi Juna ... aku takut. Aku takut harus berpisah lagi darimu," lirih Ayu yang tidak mendapatkan respon apapun dari Juna. Hingga pria yang kini tak lagi menggunakan topengnya bangkit.

"Bagaimana kalau besok aku antar?" alih Juna.

***

Lintang meremas rambutnya, wajahnya yang tampak keruh menandakan hatinya sedang tidak baik. Lampu lalu lintas yang masih berwarna merah, memberikan kesempatan untuk pria yang kini sedang menuju rumah tunangannya itu memainkan telepon genggam. Mencoba peruntungan sekali lagi, mugkin saja nomor gadis yang ditunggunya kini sudah aktif.

“Ahhh ... Ayu. Sebenarnya kamu di mana?” Teriakan furstasi terdengar, ketika panggilannya tidak membuahkan jawaban, lalu dengan perasaan yang semakin keruh ia memacu mobilnya.

“Selamat malam, Bu,” sapa Lintang, ketika Sekar sudah berdiri di hadapannya.

Sepulang kerja, Lintang kembali mendatangi rumah Ayu dengan sebuah harapan besar di hatinya. Kembalinya Ayu ke rumah dan pelukannya. Entah sudah berapa hari Ayu menghilang dari hadapannya, membuat hati pria itu gusar. Pembicaraan mengenai pertunangan mereka beberapa waktu lalu membuat Lintang takut, jika Ayu akan mengakhiri hubungan mereka.

“Malam, Nak,” jawab Sekar dengan senyum yang terlihat dipaksakan.

 “Ayu?” tanyanya dengan hati-hati, yang hanya dijawab sebuah gelengan pelan oleh Sekar. “Masuk, Nak,” ucap Sekar.

Belum sempat keduanya masuk, suara deru mobil yang berhenti di depan gerbang rumah Ayu mengambil perhatian keduanya. Seorang wanita yang sangat ditunggunya turun dari dalam mobil tersebut, membuat sudut bibir Lintang terangkat. Ayu, tunangannya kini telah kembali.

Namun fokusnya teralihkan, ketika Lintang melihat sosok yang dikenalnya ikut turun dari balik kemudi mobil. Kecurigaan yang sudah hilang dari sosok tersebut, kini kembali bersarang di hatinya. Mengapa Ayu bisa pulang dengan Arjuna?

Dilihatnya kembali Ayu yang kini berjalan mendekat dengan kepala tertunduk. “Mama,” lirih Ayu tanpa menatap Ibunya.

“Selamat malam, Bu, Lintang.” Lintang merasakan panas di hatinya mendengar suara Arjuna yang begitu tenang. Bagaimana bisa pria itu terlihat begitu tenang, padahal tadi siang Lintang sempat menghubungi Arjuna, menanyakan info tentang Ayu yang mungkin saja pria itu dapatkan.

“Ayu. Dari mana saja kamu? Mengapa kamu bisa pulang dengan pria ini?” tanya Sekar dengan suara yang meninggi. Ayu hanya diam menundukkan kepalanya, terlihat sedikit takut atau merasa bersalah?

“Maafkan saya, Bu,” ucap Arjuna mengambil fokus Sekar yang marah terhadap Ayu. “Selama beberapa hari ini Ayu tinggal di rumah saya dan orang tua saya,” lanjutnya.

Bugh!

Tanpa kata, Lintang langsung saja memukul Arjuna. Ia marah, merasa terkhianati dengan kenyataan Arjuna yang membohonginya. Selama ini Lintang mencoba percaya kepada pria itu, bahkan menghabiskan waktu mengelilingi sudut kota Surabaya yang ternya hanya untuk sebuah tipuan.

“Pria munafik!” Kembali Lintang mendaratan kepalan tangannya di pipi Arjuna.

“Cukup, Lintang!” teriak Ayu, mencoba menarik tangan Lintang yang sedang menrik kerah kemeja Arjuna. Isakan gadis itu terdengar, sedangkan Sekar hanya diam melihat semua itu terjadi. “Ini salahku, bukan Arjuna! Aku yang memaksanya untuk bisa tinggal di rumahnya!”

“Masuklah. Jangan ribut di depan rumah,” tegas Sekar lalu membalikkan badannya masuk ke rumah.

Dengan sentakkan yang cukup keras, Lintang melepas cengkeramannya. Arjuna yang sejak tadi menerima pukulan, jatuh terduduk, tidak membalas tindakan Lintang.

***

Suasana di ruang tamu cukup tegang. Ayu dan Arjuna duduk berdampingan, dengan Sekar, Wayan dan Lintang yang duduk di hadapannya. Siap mengadili Arjuna.

Sudut bibirnya yang berdarah, tidak menghentikan tekad Juna untuk menjelaskan semuanya. “Sekali lagi saya mohon maaf, Pak, Bu. Jika saya dengan lancang mengizinkan Ayu tinggal di rumah saya.”

Dengusan kasar yang terdengar di telinga Arjuna, membuatnya tersenyum simpul. Menyadari dirinya juga bersalah telah menembunyikan Ayu dari keluarga dan tunangannya.

“Kamu tahu Ayu sudah bertunangan?” tanya Wayan dengan suara tegas, raut mukanya terlihat sangat marah.

“Iya, Pak. Ayu sudah menceritakannya.”

“Jika tahu, kenapa kamu masih menyembunyikan Ayu dariku!” sela  Lintang, marah.

“Cukup, Lintang! Aku bilang, aku yang memaksa Juna!” Ayu dengan suaranya yang meninggi, kembali membalas perkataan Lintang.

Ditatapnya Ayu yang masih berurai air mata, mencoba menenangkan gadis itu melalui tatapannya. Keadaan yang cukup panas tidak akan terselesaikan jika semua orang yang ada di ruangan ini saling berteriak.

Ayu maupun Arjuna memang bersalah, mengelak hanya membuat keadaan semakin rumit. Arjuna tidak menginginkan hal itu terjadi.

"Kamu seharusnya menyuruh Ayu pulang lebih awal, bukan mengizinkannya tinggal di rumahmu," sinis Sekar.

“Maafkan saya, Bu. Saya hanya mencoba memberikan Ayu waktu. Saat itu Ayu terlihat sangat kalut."

Tawa mencemooh terlihat lagi di wajah Lintang. “Munafik! Kamu pasti ingin membuatnya kabur dariku. Lelaki tidak tahu diri!”

"Bukan begitu, Lintang!" tegas Arjuna.

"Jika bukan lalu apa? Kamu memang sengaja menyembunyikan Ayu, karena di saat aku frustrasi mencarinya di Surabaya kamu hanya diam. Tidak sekalipun mengatakan keberadaan tunanganku!"

Arjuna tidak mempu membalas perkataan Lintang. Ia memang menyembunyikan Ayu, meskipun alasan yang ia miliki berbeda.

"Sudah cukup!" tegas Wayan, "saya harap kamu tidak lagi mengganggu Ayu. Sekarang silakan kamu keluar dari rumah saya."

Arjuna menghela napas dalam. Mencoba menerima semua perlakuan kedua orangtua Ayu dan Lintang. Dengan tetap menjaga sopan santunnya, ia pamit mengundurkan diri. Sebelum meninggalkan ruangan dipandanginya Ayu dengan tatapan sendu, cerita mereka memang tidak akan berlanjut. Arjuna hanya dapat mendoakan yang terbaik.

Sesampainya di depan mobil, sebuah suara menghentikan gerak tangan Arjuna. "Saya harap kamu mengerti ucapan Om Wayan. Jangan lagi mencoba untuk bertemu dengan Ayu, pria munafik!"

Lagi-lagi ucapan Lintang menusuk hatinya. Tangan Juna terkepal di sisi tubuh.  Walaupun berusaha untuk tidak terpancing, pada akhirnya Arjuna kalah oleh amarah yang mulai memuncak di dada.

“Jika aku munafik, lalu kamu apa? Mencuri puisiku dan dengan tenangnya membacakan di hadapan orang banyak?” ucap Arjuna dengan tenang dan tegas. Menatap Lintang yang sejak tadi meremehkannya di hadapan orang tua Ayu.

“Di depan ratusan orang yang hadir dalam acara book fair beberapa waktu lalu kamu membacakan sebuah puisi dengan lantang.” Dengan sorot mata tajam Arjuna menatap Lintang yang kini hanya terdiam dengan mata yang terlihat melebar. “Apa kamu bangga? Membacakan puisiku dengan tegasnya saat itu?” Ucapan Arjuna yang tak pernah disangka, mengheningkan keadaan yang semula terasa panas.

“Lintang, jika aku ingin. Jika aku semunafik yang kamu ucapkan tadi, bisa saja ... dengan tenang dan bangga aku membawa kabur Ayu tanpa memberi tahu siapa pun. Seperti kamu saat itu yang dengan berani membacakan puisi milikku tanpa pernah mendapatkan izin dariku, dan aku bisa saja mengungkapkan plagiat yang kamu lakukan di hadapan banyak orang, terutama kedua orangtua Ayu,” ucap Arjuna telak, yakin ucapannya akan tepat sasaran.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro