Bab 16

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

From: [email protected]
To: [email protected]

Bagaimana, Mas Lintang? Sudah satu minggu kami menunggu puisi baru Anda, kenapa belum juga dikirimkan? Dua bulan lagi seharusnya antologi ini sudah terbit.

Lintang membaca surel di ponselnya sambil duduk di sofa ruang tengah. Ia memijat-mijat pangkal hidungnya. Pikirannya kusut lantaran memikirkan Ayu yang ternyata pergi ke rumah Juna. Belum lagi kebohongan Juna yang menutupi jejak Ayu. Dan sekarang pihak penerbit sialan ini malah membuatnya bertambah pusing dengan memintanya menulis puisi.

Lintang mengingat kepuasan yang ia rasakan saat orang-orang memujinya. Namun, kalimat Juna tempo hari bagaikan  cambuk api yang membakar habis semua kepuasan itu. Benar-benar sial. Jika ada hal bodoh yang pernah dilakukan oleh Lintang Abrizan, maka hal itu adalah mencuri puisi karya Arjuna. Sekarang, menyesal pun tak berguna. Mengakui puisi itu adalah hasil curian tentu akan mencoreng arang di wajahnya sendiri. Lebih baik ia membatalkan kontrak penerbitan antologi puisi ini. Alasan bisa dicari-cari.  

From: [email protected]
To: [email protected]

Maaf, saya berubah pikiran. Sepertinya sekarang bukan waktu yang tepat bagi saya untuk menerbitkan buku. Kebetulan saya masih sibuk mengurus persiapan jelang pernikahan.

Tepat setelah Lintang menekan tombol kirim di surelnya, sebuah pesan whatsapp masuk. Sebuah pesan singkat dari calon ibu mertuanya. Sekar memintanya datang ke rumah untuk membicarakan sesuatu. Lintang menghela napas. Semoga perihal yang ingin dibicarakan oleh Wayan dan Sekar dengannya adalah sesuatu yang baik. Sesuatu yang bisa menggembirakannya.  

***

Ayu diminta datang ke ruang tengah oleh orang tuanya, ia pun menurut. Melihat kehadiran Lintang di sana, Ayu sudah bisa menduga topik pembicaraan apa yang akan mereka bahas nantinya. Meskipun demikian,  Ayu masih menyimpan  harapan bahwa pernikahannya dengan Lintang tidak akan pernah terjadi.

"Papa sudah memberimu waktu untuk menenangkan diri. Sekarang jelaskan apa maksud tindakanmu?" kata Wayan, memulai sidang. Hening sejenak.

"Ayu mau keinginan Ayu didengar. Papa melarang Ayu tinggal di asrama--"

"Hanya karena itu dan kamu langsung kabur dari rumah?" potong Sekar.

"Ayu... Ayu nggak ingin pertunangan dengan Lintang dilanjutkan--"

"Kenapa?" Kali ini Lintang yang memotong. "Kenapa kamu selalu meminta agar pertunangan kita dihentikan?" Lintang terlihat menahan gelegak amarah.

"Alasan yang sama seperti yang sudah kubilang. Kita sahabat. Tidak lebih." Ayu menatap Lintang lekat. Wanita itu mencoba meminta pengertian dari pria yang sudah menjadi sahabatnya selama lebih dari dua puluh tahun itu.

"Kenapa kamu nggak mau belajar mencintaiku?"

Ayu diam sesaat, menghela napas perlahan. "Kita sahabat, dulu, sekarang, dan selamanya."

"Apa kamu mencintai pria lain? Arjuna?" desak Lintang. Mendengar desakan Lintang, tak ayal Ayu memberi pria itu tatapan yang sulit diartikan.

Sekar sudah kehilangan kesabaran. Melihat sang calon menantu idaman sampai berbicara dengan nada yang berbeda pada Ayu, Sekar pun tak tahan untuk berdiam diri. Perempuan itu pun ikut menimpali dengan sinis. Ikut memojokkan sang putri. "Sebenarnya apa yang kamu harapkan dari laki-laki buruk rupa itu?"

"Ayu tidak sedang mengharapkan apa-apa karena Ayu sudah mendapatkan apa yang Ayu inginkan darinya. Yaitu cinta tulus yang tidak memandang rupa." Ketika mengatakan itu sama sekali tidak ada keraguan dalam diri Ayu. Suaranya terdengar sangat lantang dan tegas.

Mendengar kalimat Ayu, sontak Lintang tertawa sumbang. "Jadi menurutmu dia pantas memilih wanita secantik apa yang pantas dengannya, begitu? Sepertinya dia lupa berkaca."

"Lintang!" teriak Ayu marah.

"Jangan tersinggung, itu fakta, Yu, akuilah!"

"Ayu, sebelum kamu mengenal lelaki itu hubunganmu dengan Lintang baik-baik saja. Kenapa semua jadi seperti ini? Dia sudah menjauhkan kamu dari Mama sama Papa. Laki-laki seperti itu masih kamu anggap baik?"

"Namanya Arjuna, Ma. Dia bukan lelaki yang seperti Mama kira." Ayu masih berusaha menjelaskan tentang Arjuna yang dikenalnya.

"Jadi ini hasil dari hubunganmu dengan lelaki itu?" Kali ini Wayan yang angkat bicara. Pria yang mengenakan udeng di kepalanya itu ikut tersulut mendengar semua pembelaan Ayu untuk Arjuna.

"Arjuna, namanya Arjuna!" tegas Ayu.

"Kamu sekarang jadi pemberontak, jadi berani dengan orang tua, apa lagi?"

Tampaknya memang Wayan sudah berada di puncak kemarahan. Terlihat dari kulit wajahnya yang mulai memerah. Ayu merasa percuma jika ia bersikeras melanjutkan debat. "Ayu bingung, Ayu harus bagaimana lagi agar Mama sama Papa bisa mengerti perasaan Ayu," lirihnya.

"Ayu... cobalah lihat diri kamu. Papa hanya ingin yang terbaik buat kamu." Nada bicara Wayan yang tadi sempat naik, kini mulai terdengar turun.

Ayu melihat ke arah Lintang. Lelaki itu terlihat ingin mengatakan sesuatu, tetapi dering ponsel mengalihkan perhatiannya. Lintang mengambil ponsel dari saku kemejanya dan me-reject panggilan itu.

Setelah Lintang kembali menatapnya, Ayu berkata, "Kamu tahu 'kan kalau aku tidak mencintaimu? Maksudku bisakah kamu bayangkan kalau kita menikah tapi tanpa dasar cinta?" Pandangan Ayu dan Lintang beradu sebelum gadis itu mengalihkan penglihatannya ke arah Wayan.

"Banyak cara agar dua insan bisa saling mencintai," ujar Wayan. Pandangan pria itu tertuju kepada Lintang dan Ayu secara bergantian. Sedangkan Sekar masih memandang putri semata wayangnya itu dengan tatapan sinis. Kekecewaan atas sikap Ayu jelas terlihat di wajah tuanya yang masih tampak segar. Namun, hal itu sama sekali tidak membuat Ayu berubah pendirian. Hatinya sudah memilih Arjuna.

"Aku selalu ada di sisimu selama ini. Mendukung dan menjagamu. Apa itu nggak cukup untuk membuatmu mencintaiku?"

"Kamu mungkin memenuhi semua kriteria calon suami idaman, Lin. Kamu tampan, kaya, baik, tapi hatiku sudah menjatuhkan pilihan pada Arjuna."

"Kalian belum kenal lama."

"Kamu salah. Kami sudah saling mengenal bahkan sebelum kita berlayar di kapal pesiar. Aku sering mengiriminya lukisan yang terinspirasi dari karya sastranya."

"Tapi apa jaminannya dia akan mendukungmu, menjagamu, dan membahagiakanmu? Juna bahkan berbohong padaku dengan menyembunyikanmu," cecar Lintang.  Ayu merasakan aura tidak menerima kekalahan yang menguar dari seluruh tubuh Lintang.

"Aku yang meminta Juna agar tidak memberitahumu. Dengar, jika Juna mau, dia bisa saja membawaku kawin lari. Aku bahkan sudah memohon padanya agar kami pergi berdua, agar bisa bersama di suatu tempat. Tapi Juna nggak melakukannya, kan? Dia malah membawaku pulang ke sini."

"Dengar, Yu! Aku sudah lama kenal kamu. Aku takut kamu hanya sedang tidak bisa membedakan antara cinta dan kekag--"

Ucapan Lintang terpotong dering ponselnya sendiri. Dengan gusar lelaki itu kembali me-reject panggilan. Hal itu menarik perhatian kedua orang tua Ayu. Mereka sempat beradu pandangan dalam diam.

"Aku mencintainya," tegas Ayu. "Juna pria yang baik. Aku kagum dan jatuh cinta."

"Aku tidak ingin mendengar kamu disaki--"

Lagi-lagi perkataan Lintang terpotong dering ponselnya. Ayu yang merasa terganggu memberikan tatapan tidak suka kepada Lintang. "Jawab saja!"

Dengan sedikit tergesa Lintang menekan tombol hijau di layar ponselnya. Ia bangkit dan mengangguk kepada Wayan dan Sekar sebagai bentuk permintaan izin menerima telepon. Dengan sedikit terburu-buru, pria bertubuh tinggi semampai itu menyingkir ke teras samping yang letaknya bersebelahan dengan ruang tengah tempat mereka berada sekarang.

Ayu merasakan kejanggalan dalam tindakan Lintang yang berkali-kali menolak panggilan. Selama yang Ayu tahu, itu bukan hal yang akan dilakukan Lintang. Digerakkan oleh rasa penasaran, Ayu ikut bangkit dari duduknya dan berjalan ke teras samping. Begitu mencapai ambang pintu, suara Lintang terdengar. Lelaki itu berdiri membelakangi Ayu.

"Kenapa menelepon terus? Sudah saya bilang saya tidak ingin menerbitkan puisi itu." Lintang menjeda sebentar. "Kenapa? Karena bukan saya penulisnya."

Kekesalan Lintang sepertinya telah mencapai puncak. Ia lalu memutuskan sambungan telepon seraya mendengkus kasar. Bibirnya memberengut.

"Siapa itu?" tanya Ayu tajam.

"Bukan siapa-siapa," jawab Lintang pendek, tetapi matanya menghindari sorot mata Ayu yang mengintimidasi.

"Puisi apa yang kamu bicarakan? Apa puisi yang kamu bacakan di acara book fair itu?" desak Ayu. Sejak awal, Ayu sudah sangsi sahabatnya itu bisa membuat puisi. Lintang diam, dan bagi Ayu itu hanya berarti satu: Lintang bersalah.

"Kamu menjiplak puisi? Apa puisi itu milik Arjuna? Katakan, Lintang!" Suara Ayu meninggi. "Dan waktu itu kamu dengan bangganya membacakan puisi itu sampai kamu dipuji banyak orang," lanjutnya sinis.

"Ayu, aku bisa jelaskan," sergah Lintang.

"Juna pasti tahu kamu mencuri karyanya, tapi dia memilih untuk diam demi menyelamatkan mukamu di depan banyak orang. Kalau Juna mau dia bisa saja mempermalukanmu di depan umum. Tenyata keputusanku memilih Juna memang benar."

"Yu, bukan seperti itu." Lintang bermaksud menjelaskan, tetapi Ayu justru membuang pandangan. "Iya, aku tahu aku salah. Aku menyesal, aku bahkan menolak untuk membukukan puisi itu."

"Memang seharusnya begitu, dan kewajiban kamu untuk minta maaf pada Arjuna." Ayu diam sebentar, lalu masuk kembali ke ruang tengah di mana kedua orang tuanya masih duduk menunggu. Tanpa menunggu, Ayu berkata, "Juna memang memiliki cacat di wajahnya tapi hatinya bagaikan berlian. Lelaki seperti dia yang rela mengorbankan diri demi orang lain pasti akan mampu membahagiakan Ayu."

"Omong kosong apa lagi ini?"

"Silakan Papa tanya Lintang!"

Lintang menyugar rambutnya. Tampak jelas pria itu tengah dilanda frustrasi. "Akan saya jelaskan, Om, Tante," jawab Lintang.

Suasana seketika hening. Lintang kembali duduk, ia kemudian mengisahkan apa yang terjadi. Wayan dan Sekar mendengarkan tanpa menyela.

"Saya sama sekali tidak ada niat mencuri karya, Om. Itu hanya tindakan impulsif yang didorong oleh rasa kesal dan cemburu." Lintang menutup penjelasannya.

Kedua orang tua Ayu kembali saling pandang, tetapi sebelum mereka berkomentar, Ayu sudah lebih dulu bersuara. "Aku nggak peduli dengan semua pembelaanmu, Lin," ketusnya sambil menatap tajam Lintang. Perempuan itu lalu berganti melihat ke arah orangtuanya. "Dan Ayu harap Papa dan Mama tidak lagi bersikeras melanjutkan pertunangan Ayu dengan Lintang. Ayu mencintai Arjuna. Jika Papa dan Mama bersedia mengenal Juna lebih dalam lagi, Ayu yakin Papa dan Mama akan memahami alasan Ayu memilihnya."

Ayu memandang kedua orangtuanya dengan penuh harap. Namun, ucapan Wayan memadamkan asanya. "Satu atau dua kebaikan Arjuna tidak lantas membuatnya pantas untukmu."

-------------------------

Sssstt.... satu episode lagi, cerita ini tamat.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro