Bab 17

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Dua tahun kemudian

Pria berjas hitam dengan potongan berkelas memasuki latar salah satu gedung bersejarah di kota Surabaya untuk menghadiri acara Malam Anugerah Sastra. Suasana di dalam gedung teater Cak Durasim itu begitu ramai dengan diiringi musik keroncong khas Surabaya. Juna pun menyempatkan diri melihat pameran karya seni di galeri Prabangkara. Di sana juga banyak para pengunjung termasuk para pembuat karya seni itu sendiri. Sesekali pria dengan luka di separuh wajah itu melempar senyum kala dirinya disapa oleh sastrawan dan seniman lain. Kedua manik matanya menyapu sekeliling di mana banyak lukisan, puisi, hingga biografi para pencipta karya seni dipajang.

Kedua netra Arjuna menangkap sebuah puisi dalam bingkai kayu berwarna hitam. Puisi milik Lintang. Membuat Arjuna tersenyum tipis mengingat sesosok wanita  yang dua tahun lalu menjadi ratu di hatinya. Ia menggeleng lemah sambil memutar badan untuk melangkah menuju gedung teater sembari mengoreksi diri sendiri.

Perempuan itu masih menguasai hatinya hingga kini.

"Pak Arjuna," sapa seorang lelaki bertubuh kurus yang mengenakan atasan batik bermotif mega mendung dengan papan nama bertuliskan panitia. "Mari, saya antar ke tempat duduk Anda."

Juna mengangguk seraya mengekori panitia menuruni anak tangga berkarpet merah. Lelaki itu berhenti sambil menunjuk sebuah bangku kosong yang terletak di baris kelima dari depan.

"Ini tempat duduk Anda, Pak. Selamat menikmati acaranya," kata lelaki itu.

"Terima kasih."

Kemudian musik keroncong berhenti berganti dengan munculnya dua pembawa acara dengan kostum bertema batik. Suasana semakin riuh saat pembawa acara menyebutkan bahwa acara Malam Anugerah Sastra banyak mengundang para seniman dan sastrawan muda yang mulai terkenal di Indonesia.

"...malam ini kita juga kedatangan tamu istimewa yaitu penulis buku Persona yang dua tahun lalu menjadi salah satu karya terbaik anak bangsa dan hampir semua bukunya menjadi best seller. Kita sambut Arjuna Adhi Wijaya."

Tepuk tangan terdengar meriah kala lampu menyoroti sosok Juna. Pria itu berdiri sambil menunduk sambil tersenyum dan melambaikan tangan kanannya ke segala arah.

Tidak ada lagi topeng yang menutupi sebagian wajahnya. Kini Arjuna menjadi sosok yang lebih positif. Bekas luka bakar tidak lagi menjadi masalah, pandangan orang-orang tidak lagi membuatnya rendah diri.  Karena sejauh ini tidak ada lagi yang mencelanya karena luka itu. Mereka tidak menjadikannya masalah, atau menilainya menjadi sosok yang hina hanya karena rupanya yang tidak sempurna. Beberapa dari mereka hanya bertanya, dari mana Arjuna mendapatkan luka itu.

Acara dilanjutkan dengan tarian khas daerah, musikalisasi puisi, nyanyian, hingga drama teater. Tiba saatnya pembawa acara membacakan penganugerahan karya terbaik. Beberapa pemenang memang seorang seniman yang sudah lama melanglang buana tetapi ada juga para pendatang baru yang tidak kalah dengan seniman senior.

"Nah, untuk karya terbaik puisi tahun ini jatuh kepada ... Lintang Abrizan dengan puisi berjudul Teduh."

Gedung teater pun kembali riuh dengan suara tepuk tangan yang begitu meriah. Seseorang yang ternyata duduk di bangku terdepan berdiri sejenak lalu menyalami beberapa orang yang memberi ucapan selamat. Juna yang melihat Lintang melangkah ke atas panggung hanya bisa tersenyum tipis seraya mengingat kembali tiap bait puisi yang menjadi karya terbaik.

"Saya ucapkan puji syukur kepada Tuhan. Saya tidak menyangka bisa memenangkan penghargaan ini. Untuk istriku tercinta, kupersembahkan ini untukmu. Terima kasih," ucap Lintang yang disusul oleh sorak-sorai penonton.

"Mungkin bisa dibacakan puisinya, Mas Lintang? Supaya hadirin semakin baper," pinta sang MC.

Lintang berdehem lalu tersenyum lebar, menampakkan dekik di pipi kanannya. "Untuk istri saya tercinta," ucapnya, dan kemudian pria itu mulai mengimla puisi. 

Rasa 

Kukira adalah saat aku bersamanya 
Berbagi pilu dan canda tanpa kenal masa 
Tenggelam dalam tawa seolah kebersamaan tak akan sirna 
Hingga percaya sontak terpatri di sukma 
Bahwa aku dan dia adalah selamanya

Namun, hanya luka yang kuterima 
Kala hatinya tak kunjung mampu kutaut 
Ketika asaku baginya hanya sebuah kata 
Hingga tiap jengkal cinta yang kupunya perlahan hilang, melarut 
Melesakkanku dalam sudut tanpa cahaya 
Meninggalkanku dalam hati yang carut marut 

Rasa 

Entah mengapa kini berganti makna 
Sejak kutemui dirimu di sebuah sudut tanpa nama 
Tanpa rencana, hadirmu bak dermaga untuk hatiku berlabuh 
Tanpa diduga, sosokmu layaknya rindang untuk gundahku melepas jenuh 
Selalu ada, tanpa banyak kata 
Hanya bersama, beriringan langkah 
Saling menggenggam dan mendekap 
Mengalirkan bahagia yang begitu mudah terserap

Rasa dan dirimu 
Kini kumiliki dalam sebutan baru

Teduh 

Gerumuh tepuk tangan penonton terdengar lagi. Lintang membungkukkan badan sebentar lalu menuruni panggung. Mau tak mau kedua manik mata Juna mengikuti langkah lelaki itu. Arjuna sedikit menjulurkan leher saat melihat Lintang duduk kembali di sebelah seorang perempuan yang rambutnya digelung. Kedua mata Juna sedikit memicing berusaha menajamkan penglihatannya. Namun, ia tak berhasil kala sosok perempuan itu terhalang oleh lelaki di belakangnya.

"Ah, untuk apa aku melakukan ini? Toh, dia sudah jadi milik orang lain," gumam Juna.

***

Saat jamuan dengan berbagai makanan khas daerah di lobi gedung. Tak sengaja Juna bertemu Lintang yang sedang berfoto dengan beberapa orang. Juna tersenyum tipis saat Lintang menghampiri dirinya.

"Hai, apa kabar Juna?"  tanya Lintang sambil mengulurkan tangan kanannya.

"Baik. Kamu sendiri?" jawab Juna seraya menjabat tangan Lintang.

Pria berlesung pipit itu tersenyum lebar. "Sangat baik."

"Selamat atas puisimu. Sangat indah. Kamu layak menang."

"Terima kasih. Istriku yang menginspirasi," kata Lintang. "Nah, itu dia."

Rasa gugup yang tertahan sejak awal mengikuti acara ini membuat perut Juna terasa tidak nyaman. Dalam hati Juna mengutuk dirinya sendiri kenapa harus bersikap canggung di depan istri Lintang. Jantungnya serasa dipompa paksa, menciptakan keringat di dahi pria bermanik hitam itu meski suhu ruangan cukup dingin.

"Sini, Sayang," kata Lintang saat seorang perempuan datang menghampiri keduanya.

Juna terdiam beberapa saat memandangi perempuan bertubuh langsing dengan gaun berpotongan rendah berwarna hitam dan rambut yang disanggul tinggi. Berulang kali Juna mengedipkan kedua matanya memastikan apa yang dilihatnya tidak salah. Namun,  sosok perempuan itu tetap ada di depannya.

Apa yang telah terjadi? batin Juna.

"Ini istriku, Sandra namanya."

Perempuan berwajah tirus itu tersenyum sambil menjabat tangan Juna.

"Sandra."

"Juna."

Juna menatap Lintang dengan sejuta pertanyaan. Di mana Ayu? Bukankah Lintang seharusnya menikah dengan Ayu? Apa yang terjadi di antara mereka berdua.

"Sayang, bisa minta tolong ambilkan minuman?" pinta Lintang kepada istrinya.

Perempuan berkulit kuning langsat itu mengangguk lalu pergi mengambil minuman. Sejenak Lintang menatap Juna dan berkata, "Pasti kamu bertanya-tanya, bukan?"

Refleks Juna mengangguk. "Saya kira...."

Lintang menggeleng sambil tersenyum menampakkan lesung di pipi kanannya. "Tidak. Kami tidak jadi menikah, Juna."

"Kenapa?"

"Banyak hal yang terjadi. Tapi, sebelumnya aku minta maaf atas apa yang kulakukan dulu. Terutama terkait dengan plagiasi puisimu."

"Tidak apa-apa. Setidaknya kamu sekarang bisa sukses dengan puisimu sendiri, kan?"

Lintang mengangguk. "Ya, tentu. Dari sana aku belajar bahwa kejujuran itu sangat penting. Sebenarnya aku tidak pernah berniat mencuri karyamu. Aku menemukan kertas berisi coretan puisimu lalu aku terbawa emosi karena Ayu tiba-tiba meminta agar pertunangan kami dihentikan. Aku sudah curiga ada sesuatu di antara kalian saat itu. Karenanya, aku ingin mencoba membuat Ayu terkesan dalam lomba cipta puisi itu.

"Dan begitu Ayu tahu aku mencuri karyamu, dia sangat marah. Orang tuanya pun sedikit kecewa meski mereka tidak membenciku. Mereka bahkan masih tetap ingin agar pertunangan kami berlanjut. Tapi aku sadar, aku tidak akan bisa membuat Ayu mencintaiku. Jadi aku menghentikan semuanya."

Juna terdiam, tak tahu harus berkata apa. Lintang lalu melanjutkan.

"Butuh waktu lama bagiku untuk move on dari Ayu, sampai akhirnya aku bertemu Sandra dan aku yakin dialah cinta sejatiku," ucap Lintang. "Dan sekarang aku sangat bahagia dengan keluarga kecilku. Sandra sedang mengandung dua bulan."

Juna mengangguk lalu berkata, "Lalu Ayu? Mengapa dia tidak...?"

"Tidak datang padamu?" tebak Lintang. "Jun, sudah kodratnya wanita itu ingin diperjuangkan, bukan memperjuangkan. Dan aku rasa Ayu ingin memberi jeda di antara kalian. Untuk memdinginkan suasana dan meyakinkan diri sendiri. Bukankah kalian agak sedikit terburu-buru dulu?"

Juna tertegun. Perjodohan di antara Lintang dan Ayu seakan menjadi dorongan yang menggerakkan tindakan mereka, terutama Ayu. Sekarang atau tidak sama sekali. Seolah hanya itu pilihan yang mereka miliki. Padahal jika mereka bersikap lebih sabar, memberi ruang dan waktu yang dibutuhkan, semua pasti akan berakhir indah.

"Lantas di mana Ayu sekarang?"

"Dia sedang merintis galerinya sendiri di Denpasar."

"Apa dia sudah bersama dengan seseorang?"

"Datanglah ke sana dan kamu akan tahu jawabannya."

***

Pagi-pagi buta, Juna sudah memasuki pesawat yang akan membawa dirinya ke Pulau Dewata. Berbekal sebuah alamat, dia memutuskan untuk pergi menemui Ayu. Apa masih ada secercah harapan untuknya? Meski kemungkinannya sangat kecil. Bagaimana tidak, dua tahun pastilah waktu yang cukup bagi perempuan secantik Ayu mencari tambatan hati.

Perjalanan dari Surabaya menuju kota Denpasar memakan waktu tidak sampai satu jam. Sesampainya di bandara I Gusti Ngurah Rai, Arjuna pun bergegas mencari alamat yang dituju dengan menaiki taksi. Semakin cepat ia menemukan tempat itu, semakin cepat pula ia mendapat jawaban atas pertanyaannya.

Ada rasa rindu yang tertahan selama dua tahun dalam diri Juna. Rasa itu semakin membuncah tatkala kedua matanya mengamati setiap galeri seni sekitar kota Denpasar. Ia merasa sangat gugup bahkan kedua tangannya ikut gemetaran tak sabar bertemu sang pujaan hati.

Ayu, apakah kamu juga merindukanku seperti ini? Setiap kali melihat lukisanmu, yang terbayang hanya wajah dan senyumanmu di mataku.

Kedua mata Arjuna memlebar ketika melihat sebuah papan nama yang menggantung manis di sisi kanan Jalan Gajah Mada. Papan nama dengan ukiran khas Bali bertuliskan 'Ayu Gallery'. Taksi yang dinaiki Juna pun berhenti. Setelah membayar dan mengucapkan terima kasih, Juna berdiri sejenak menatap dinding galeri yang memajang ikon berupa topeng separuh berwarna hijau zamrud. Topeng yang dulu Juna kenakan.

Dengan debar dada yang kian mengencang, Arjuna melangkah masuk ke galeri. Lukisan-lukisan yang dipamerkan memiliki ciri khas Ayu. Setiap hari memandang karya wanita itu yang tergantung di dinding ruang kerjanya, membuat Juna hafal cara Ayu menyapukan kuas dan mengkombinasikan warna. Dilihatnya banyak lukisan dengan gaya khas Ayu.

Lama Juna berkeliling, melihat satu lukisan ke lukisan lainnya hingga ia tiba di sebuah lorong yang hanya memajang satu lukisan berukuran besar. Tak salah lagi, itu adalah masterpiece Ayu. Di atas kanvas, terlukis sosok seorang pria dalam balutan tuksedo berdiri menatap bulan sabit dengan latar belakang laut dan dek kapal pesiar. Juna mendekat. Sekarang ia bisa melihat bahwa pria di dalam lukisan itu memakai topeng separuh. Pria itu adalah dirinya.

Juna mengukir senyum, mengetahui Ayu ternyata masih menyimpan kenangan itu. Malam di saat pertama kali mereka berjumpa.  Kedua manik mata Juna tak hentinya meneliti lukisan yang merupakan proyeksi dirinya. Dadanya dipenuhi rasa hangat.

"Selamat siang, ada yang bisa saya bantu?" Suara seorang perempuan membuat Juna memutar tubuh.

Waktu serasa berhenti berdetak ketika Arjuna menatap perempuan itu. Dua tahun telah membuatnya bertambah dewasa. Namun, tak sedikit pun mengurangi kecantikannya. Rambutnya yang panjang dikepang dan disampirkan di satu bahu. Mata hitamnya masih tetap mampu memesona Juna dengan binarnya.

"Kamu...."  Kedua bola mata Ayu melebar. Bibirnya terbuka lalu mengatup lagi. Seolah ia kehilangan kata-kata. Sama seperti Juna.

Pelan tapi pasti, Arjuna berjalan mendekat. Mengikis jarak di antara mereka. Ayu tetap bergeming saat Juna sudah berdiri tepat di depannya dan tangan besar pria itu menyentuh pipinya.

Mata hitam Ayu berkaca-kaca. "Aku pikir kamu tidak akan pernah datang," bisiknya.

Arjuna merengkuh tubuh mungil itu dalam dekapannya. Rasa rindu itu kini tumpah ruah bagai air laut yang menghantam karang. Diciumnya puncak kepala Ayu dengan sayang. Berulang kali ia berusaha tersadar bahwa ini bukanlah mimpi. Ayu di depannya. Ayu menyambutnya. Dan Ayu masih menyimpan dirinya di hati.

"Saya rindu," bisik Juna.

Ayu terisak pelan dalam pelukan Juna. Air mata wanita itu sudah tidak dapat dibendung lagi.

"Apa sudah terlambat ... jika saya memperjuangkanmu sekarang?" tanya Juna.

Ayu menjauhkan tubuh, wajahnya tengadah menatap Juna, lalu bibir tipisnya membentuk senyum lebar yang memperlihatkan gigi gingsulnya.

"Better late than never."

--------------------------

Mau epilog? Komen dulu yang ramai....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro