Bab 4

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Ayu menghela napas, menurunkan tangannya di sisi tubuh. Ketika dia membuka mata, lelaki bertopeng yang sempat ditemuinya tadi siang berjalan mendekat. Ayu benar-benar tidak bisa mengetahui wajahnya, karena bagian kiri yang tidak tertutupi topeng tersamarkan oleh bayangan juga rambut yang memanjang. Setelah cukup dekat, Ayu hanya bisa melihat mata kecokelatan yang memantulkan cahaya lampu di sekitar dek.

“Anda menjatuhkan ini.” Gelang berlian yang Ayu kenali berkelip di tangan si lelaki. Wanita itu meraba pergelangan tangannya yang kosong. “Terlepas setelah Anda menabrak baki.” Saat tangan lelaki itu terjulur untuk meletakkan perhiasan, Ayu kembali dibuat penasaran oleh kulit punggung tangan yang rusak.

Luka bakar. Kali ini dia meneliti wajah misterius di hadapannya. Bayangan masih tidak mengizinkannya untuk melihat secara sempurna. Apakah ini alasannya mengenakan topeng dan menutup diri? Ayu baru menyadari bahwa tatapannya terlalu intens ketika lelaki itu menyentuh topengnya dengan pandangan tidak nyaman, lalu mundur dan hendak berbalik.

“Tunggu.” Ayu berusaha menahan tangannya yang hendak meraih tubuh pria asing. “Maaf, saya tidak bermaksud tidak sopan.” Lelaki itu berhenti, kembali menatap Ayu. Ada getar yang timbul dalam tatapan sayu, membuatnya kehilangan orientasi untuk sesaat. Ayu membersihkan tenggorokan. “Terima kasih, saya tidak sadar kalau ini jatuh.”

“Terlihat sangat jelas tadi, Anda terburu-buru.” Ayu hanya mengangguk, tidak tahu bagaimana harus menanggapi. “Sekarang sepertinya Anda lebih baik.” Meskipun dia tidak bisa melihat wajah lawan bicaranya, dia tahu lelaki itu tersenyum dari nada bicaranya.

“Sedikit angin laut dan waktu, selalu berhasil memberikan ketenangan.” Ayu mulai memakai kembali gelangnya, sayangnya tidak bisa dilakukan dengan mudah. Ibunya selalu membantu memakai perhiasan, untuk memastikan anak perempuannya ini tampil menawan.

“Apa saya mengganggu ketenangan Anda?”

“Tenang tidak harus sunyi.” Ayu mengutip satu penggal puisi dari buku Persona, yang ditulis Beasty, setelah berhasil mengaitkan kembali gelangnya. Dia kembali teringat akan kekesalan yang tadi sudah berhasil dibendung. Kritik pria mesum itu pada lukisannya yang terinspirasi dari Persona. Jika saja kritik itu benar-benar disampaikan terkait lukisannya, dia akan menerima dengan lapang dada. Ayu tahu, dia masih harus lebih banyak belajar. Namun, kritikan pria tua itu terhadap penampilannya?

Ayu mengambil napas, menyandarkan tangan pada pagar pembatas. Tadi dia berharap kesunyian, tetapi dia tidak ingin pria di sampingnya merasa menjadi gangguan. Dia sama sekali tidak terganggu. Paling tidak, pikirannya teralihkan, dengan berbicara.

Sunyi tidak berarti tenang,” pria itu berkata lirih tetapi mencuri perhatian. Debur ombak tak lagi Ayu dengarkan.

Terkadang, sunyi menyimpan kalut dan gemuruh untuk diri sendiri.

Sunyi juga menyimpan luka, pecahan hati yang tidak bisa disusun lagi.

Sunyi menutupi ketakutan, menampik bantuan tanpa ucapan.

Sunyi meredam badai, menggerogoti hingga ke tulang.

Pria misterius itu dengan mudah mengucapkan rangkaian kata kesukaan Ayu. Dengan suara baritonnya, Ayu dibawa ke dimensi yang berbeda. Ruang di sekitar mereka kabur, cahaya hanya berasal dari kilat kecokelatan yang menatap sendu. Lelaki misteriusnya begitu lancar mengimla, tanpa jeda. Seperti semua kata itu, adalah miliknya. Seolah dialah penyusunnya. Lelaki bertopeng itu….

Persona,” ucap Ayu ragu, hatinya berdebar “dalam bahasa Latin, artinya topeng, kan?”

***

Arjuna berdecak, memberikan wanita itu jawaban atas pertanyaan yang tidak diucapkan. Sang wanita mengenali prosanya. “Persona juga berarti peran atau karakter yang dimainkan, di atas panggung, terkadang, juga di kehidupan nyata.” Arjuna menghadap lautan, membiarkan sisi topengnya menjadi pemandangan perempuan bergaun hitam yang berharap kesunyian. Bagi Juna membicarakan Persona selalu menyenangkan.

“Apakah itu berarti persona tidak nyata?”

“Bukan tidak nyata, hanya saja, terkadang tidak menyajikan secara utuh.” Itu yang dia ingin angkat dalam karyanya. Tentang kesalahpahaman yang sering timbul karena hanya menilai permukaan, tanpa mau menyelam lebih dalam.

“Beasty,” kata itu terucap dengan lancar dari bibir tipis bersaput pewarna. Arjuna tidak terkejut wanita itu menyebut nama penanya. Sang pembaca telah menyebut baris pertama dari salah satu puisinya. “Penulis misterius yang mendapat nominasi Buku Paling Menyentuh pada karya pertamanya.” Sanjungan wanita itu tidak membuatnya melayang, dia sudah sering mendapatkannya setahun ini. Karyanya telah sering diperbincangkan, terlebih sosoknya yang tidak pernah muncul di khalayak.

“Apakah Anda tahu siapa saya?"

Pertanyaan itu membuat Arjuna mengerutkan kening. "Apakah Anda seseorang yang seharusnya saya kenal?"

Wanita itu diam dan menggeleng pelan. "Tidak. Lupakan saja." Lalu, senyum gigi gingsul itu kembali terlihat. "Jadi Anda memakai topeng untuk tetap menjaga kesan misterius?”

“Sayangnya tidak.” Tangan kirinya secara tak sadar mengusap punggung tangan kanannya. Tekstur kulit halus karena kehilangan pori-pori memenuhi saraf. Dari ekor mata, Arjuna tahu, mata hitam berbingkai bulu mata lentik itu mengikuti gerakan tangannya. Seharusnya dia tidak melanjutkan obrolan ini. Namun, pandangan wanita itu pada kulit cacatnya berbeda dari kebanyakan orang. Tidak ada raut jijik, jengah, atau pun takut. Manik pekat itu seperti terpikat dengan lekuk buruk rupa di kulitnya.

“Kalau Anda memakai topeng, karena tidak ingin mendapatkan judgement dari orang lain,” ucapan wanita itu tepat mengenai keresahannya, “tenang saja, saya tidak akan melakukannya. Saya tahu rasanya dinilai hanya karena penampilan saja.” Kata-kata yang diucapkan dengan rahang rapat itu terasa menyakitkan. Kali ini, untuk pertama kalinya Juna memandang wanita itu secara dalam; terkejut oleh kalimat terakhir yang terucap dengan amarah, frustrasi, sekaligus putus asa.

Wanita seperti di sampingnya itu, seharusnya tidak memiliki masalah dalam penampilan. Tubuh semampainya yang tidak terlalu tinggi, adalah tubuh impian sebagian besar wanita. Mata hitam pekat, hidung mancung, serta bibir tipisnya tidak akan menyulitkan jika dia ingin berkarir di dunia penyiaran. Wanita seperti ini tidak mungkin bermasalah karena penilaian fisik, pikir Juna. Namun, sedetik kemudian Arjuna menyadari, dia baru saja menilai perempuan itu hanya dari fisiknya.

Juna ingin meminta maaf atas penghakiman dangkalnya, tapi akan terlalu aneh bagi mereka berdua. Lebih baik dia menyimpannya saja.

“Maaf jika lancang, apakah Anda memakai topeng untuk menutupi luka bakar?” Wanita itu bertanya hati-hati, terdengar takut menyinggung Juna. Sayangnya Juna selalu tersinggung jika menyangkut lukanya.

“Untuk menutupi kebodohan, begitu seseorang pernah menyebutnya.” Arjuna mulai mengambil langkah, ingin segera pergi, tidak ingin mengorek luka hatinya sendiri.

“Saya pernah membaca berita, pemilik Hero Publisher, penerbit buku Persona, masuk ke dalam kobaran api untuk menyelamatkan pegawainya.”

Langkah lelaki itu terhenti, tapi rahang dan genggaman tangannya merapat. Dia ingat artikel yang ditulis seorang wartawan dua minggu setelah kebakaran naas itu. Artikel yang dia harapkan tidak pernah terbit.

“Saya penggemar Anda, saya sempat bertanya ke penerbitan tentang Anda, tapi tidak ada yang memberi jawaban tentang identitas Anda. Mereka bilang, mereka tidak diijinkan untuk bicara. Kini setelah bertemu langsung, saya hanya menebak-nebak.”

“Kalau pun tebakan Anda benar, apa yang akan Anda lakukan?” tanya Juna sinis. Sinisme telah menjadi salah satu alatnya untuk melindungi diri, ketika tidak ingin dikasihani.

“Jika seseorang itu menyebutnya kebodohan, Anda sendiri menyebutnya apa?” Pertanyaan dibalas pertanyaan. Biasanya Juna akan menghindar, tapi setelah melihat bagaimana wajah cantik itu berubah keras atas penghakiman fisik, lelaki ini ingin lebih menunjukkan diri.

“Tanggung jawab,” jawab Arjuna yakin. Semua yang terjadi malam itu adalah tanggungjawabnya, meskipun bukan dia penyebabnya. Jika sampai ada orang yang terluka di bawah pimpinannya, maka dialah yang bertanggungjawab.

Lawan bicaranya berkata lantang. “Anda tidak perlu menutupinya dengan apa pun.”

Arjuna tidak pernah merasa memerlukan kalimat penghiburan atas tindakannya terjun dalam bara. Namun, kalimat kedua yang diucapkan perempuan bermata kelam itu, seperti cahaya pertama yang dia lihat dalam langit hitam.

“Saya menyebutnya kebaikan hati, keberanian, pengorbanan, dan kepahlawanan.”

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro