Bab 5

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Saya menyebutnya kebaikan hati, keberanian, pengorbanan dan kepahlawanan."

Seringaian miring tercetak jelas dari bibir pria yang bentuknya sudah tidak simetris. Rentetan kata dari Si Wanita Cantik Bergaun Hitam yang ia temui kemarin malam mengganggunya.  Tangannya mengetat, rahangnya mengeras tegas.

Apakah benar ada wanita secantik itu yang tidak merasa jijik pada luka bakarnya? Apa jangan-jangan wanita itu juga sedang memakai topeng menutupi perasaan ibanya pada apa yang Arjuna alami? Sungguh, seorang Arjuna tidak butuh belas kasih apa pun.

Sekelebat bayangan wanita cantik di masa lalunya muncul dan membuat Arjuna memandang sinis pada pantulan dirinya. Di dalam cermin full body itu, sosok yang dulu gagah perkasa dan selalu dipuja karena rupa kini tak lebih dari refleksi pria berwajah buruk yang dibaluti tuksedo mahal.

Kepergian Tiffany telah menorehkan luka di hati Juna. Membuatnya menghentikan semua tindakan bedah plastik yang memungkinkan untuk memperbaiki kerusakan wajahnya. Untuk apa berwajah tampan jika hanya permukaan itu yang akan dicintai oleh orang-orang?

Rupa akan sirna, tapi kebaikan takkan pudar ditelan masa.

Arjuna kembali mencoba meyakini kutipan dari prosa yang ia tulis sendiri. Wajah rupawannya telah hilang, tapi akankah kebaikannya kelak dikenang?

Arjuna mendecak. Membuang jauh pertanyaan-pertanyaan absurd semacam itu. Ia memasang topengnya. Acara Malam Anugerah Sastra akan segera dimulai. Hanya itu alasan Arjuna ada di kapal pesiar ini.

Tak seperti malam sebelumnya, kali ini Arjuna memilih untuk tidak menempati meja yang diperuntukkan baginya. Sebagai gantinya, lelaki itu hanya berdiri di sudut tergelap restoran kapal yang sudah disulap menjadi venue acara Malam Anugrah Sastra. Dari tempatnya berdiri, Arjuna bisa melihat seluruh tamu undangan yang hadir, termasuk Si Pria East of Eden. Namun, tak terlihat Si Cantik Gigi Gingsul menemani.

Acara dipandu oleh sepasang pembawa acara: lelaki dan perempuan. Hadirin pun dihibur oleh musikalisasi puisi karya WS. Rendra dan Chairil Anwar. Dua legenda sastra di Indonesia. Semua orang larut dalam meriahnya acara, tak ada yang mempedulikan pria aneh dengan topeng separuh di sudut ruangan. Hingga tiba saatnya nominasi untuk kategori Prosa Terpuji dibacakan.

"Pemenang kategori Prosa Terpuji adalah ... Kala Rupa Sirna karya Beasty."

Juna menegakkan tubuh saat nama penanya disebut. Kakinya ingin bergerak maju, tetapi keraguan menahannya. Pembawa acara di depan kembali memanggil namanya karena tak ada satu orang pun yang menuju panggung untuk menerima trofi.

Sang MC pria berkata pada MC wanita, "Sepertinya malam ini belum rezeki kita untuk mengetahui sosok Beasty yang sebenarnya."

"Sepertinya begitu," balas sang MC wanita. "Padahal karya-karyanya aktif mengisi laman sastranusantara.com lho. Atau mungkin dia masih nyalon kali, ya ... biar ganteng. Biasanya orang kalau ke salon kan perlu waktu lama."

Hadirin tertawa atas lelucon garing pembawa acara wanita. Juna mencelos. Ia tahu dengan wajah seperti ini, dirinya tak pantas naik ke atas panggung.

***

Hangat matahari menyapa kulit bersihnya. Ayu sudah menghabiskan waktu di tempat sunyi ini sejak senja pagi mengintip malu-malu. Menjadi saksi pergantian cahaya bulan dengan cahaya mentari yang perlahan timbul membawa vitamin D.

Diintipnya jam tangan dari pergelangan tangan kiri. Ayu tersenyum sendu. Ia sudah menghabiskan dua jam pertama di awal hari untuk sesuatu yang sangat berguna. Tiga puluh menit lagi, ayah-ibu dan Lintang pasti mulai mencarinya. Maka dirinya pun berniat untuk menyudahi goresan pada sketchbook yang sudah dipenuhi sketsa mentah lukisannya.

Malam tadi, tidur Ayu tak nyenyak. Ia memikirkan pria bertopeng separuh itu. Ada rasa kesal yang menggelayuti hatinya. Mengapa Beasty tidak mengenalinya? Jadi, alih-alih memejamkan mata, Ayu justru menghabiskan waktu malamnya dengan membaca buku Persona hingga tuntas. Lagi. Seperti biasa, ia tak pernah bosan mengulangi kumpulan prosa kesukaannya. Dan seperti biasa juga, setelah membaca ulang Ayu selalu mendapat inspirasi. Kali ini pada kutipan halaman terakhir, ia dibuat resah.

Bila wujudmu berbeda, bukan berarti kau tak bisa mengeluarkan cahaya. Bahkan malam yang kelam pun punya cahaya hitam dalam gelap.

Berbekal sepenggal kutipan, sketchbook Ayu terisi penuh oleh lukisan hasil tangannya. Yang berbeda, kali ini tidak pada permukaan kanvas putih. Melainkan buku sketsa yang sudah jarang ia sentuh sejak tamat kuliah namun setia dibawanya ke mana-mana. Berjaga-jaga kalau dibutuhkan. Jujur saja, Ayu tipikal pelukis yang langsung menuangkan ide pada permukaan kanvas. Karena dengan begitu, lukisannya seolah ada dan tampak.

Ayu menghentikan goresan terakhirnya pada sebuah sketsa jubah seorang pria yang menghadap rembulan besar di tengah perahu. Ia harus masuk menemui ayah-ibunya juga Lintang. Jam sarapan sudah akan dimulai di dalam ruang makan kapal.

"Saya kira meninggalkan benda-benda pribadi adalah hobi Anda, hm?"

Ayu menjengkit. Ia yang sudah melangkah hendak memasuki kapal langsung berbalik arah. Ia kenal suara berat ini.

"Maaf?"

Pria yang masih setia menggunakan topeng separuh wajah meski sudah pagi hari itu menunjukkan sebuah peralatan lukis Ayu yang tercecer.

"Ah, Kneaded Eraser ini," sahut Ayu nyengir menampakkan gingsulnya yang membuat Arjuna terpana sejenak. Ayu dengan cepat menggambil uluran penghapus berbentuk lilin tanah liat dari tangan Arjuna. "Terima kasih."

Arjuna hanya mengangguk sembari membenarkan air mukanya ke semula, tegas. "Tapi kalau boleh memberi saran, lukisan Anda akan lebih baik jika diberi warna." Arjuna melirik pada buku di tangan Ayu. "Saya sudah melihat beberapa pajangan lukisan Anda di ruang seni kapal pesiar ini. Sketsa kosong bukan jati diri Anda sekali."

Alis Ayu menukik. "Tentu saja saya akan mewarnainya setelah ini." Ayu tersenyum lebar menerima saran Arjuna. "Sekali lagi, terima kasih." Perempuan itu maju mendekatkan diri pada Arjuna seraya menggulurkan tangan. "Saya Ayu Paramita."

Alih-alih menjabat tangan Ayu, Arjuna malah mengucapkan sebaris kalimat, "Moonlight is moon. Sunlight is sun. AD. Paramita."

Senyum Ayu terkembang sempurna. "Akhirnya Anda ingat," katanya.

"Maaf karena terlambat mengenali Anda," balas Beasty. "Saya baru menyadari Anda adalah AD. Paramita setelah melihat Moonlight at Midnight di galeri. Semoga belum terlambat untuk mengucapkan terima kasih atas lukisan yang Anda kirimkan untuk Beasty."

Ayu menggeleng cepat. Ada kegembiraan yang begitu membuncah di dada karena Beasty akhirnya tahu siapa dirinya, hingga jantungnya berdebar kencang. "Tidak apa-apa. Sejak awal saya memang ingin menjadi anonim."

"Anda menuliskan nama Anda di bawah syair di lukisan terakhir, bagaimana itu bisa disebut anonim?"

Ayu tertawa kecil, menyadari kekonyolannya. "Ya, Anda benar."

Selama ini Ayu telah berkali-kali mengirimkan lukisan yang ia buat karena hatinya tergerak setelah membaca Persona. Sosok Beasty begitu memesonanya melalui untaian kata. Begitu memikatnya.

"Jadi apa saya akan terus memanggil Anda dengan Beasty?"

"Saya Arjuna. Panggil saja Juna."

Pria itu tersenyum, tapi Ayu hanya bisa melihat separuh bibirnya yang melengkung ke atas. Seperti apakah rupa Juna tanpa topeng itu? Seperti apakah sosok di balik nama Beasty yang sebenarnya? Ayu ingin tahu. Ia ingin mengenal Juna lebih dalam lagi.

"Senang berkenalan dengan Anda. Semoga kita bertemu lagi," ucap Juna lirih. Lelaki itu berbalik hendak pergi. Ayu mengeluarkan ekspresi sedikit kecewa. Tetapi cepat-cepat ia tersenyum manis. Pengendalian diri yang baik, bekal yang sudah dipupuk kedua orangtuanya sejak kecil, kan?

"Tunggu!" seru Ayu. "Bagaimana jika saya merasa ucapan terima kasih saja tidak cukup? Lukisan saya tidak gratis."

"Anda meminta bayaran?"

"Makan siang bersama saya besok. Hanya itu bayaran yang saya inginkan. Barangkali kita bisa berteman setelahnya."

Arjuna tampak menimbang-nimbang, tetapi kemudian lelaki itu mengangguk. Desir hangat mengisi relung dada Ayu. Setidaknya setelah kapal ini merapat ke dermaga, mereka bukan lagi orang asing satu sama lain.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro