Bab 7

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Beberapa jam sebelumnya

Lintang memandangi Wayan dan Sekar yang duduk di hadapannya. Raut wajah mereka serius, seolah hendak membicarakan sesuatu yang amat penting. Sesekali tampak Wayan mengusap-usap dagunya dan saling bertukar pandang dengan sang istri.

"Sebenarnya ada apa, Om? Tante? Kenapa kita harus berbicara bertiga tanpa Ayu?" tanya Lintang.

"Begini, Lintang. Om dan Tante sudah mengambil keputusan..."

Sisa kalimat Wayan sontak membuat Lintang terperangah tak percaya. Kaget? Tentu saja. Ia tidak pernah menduga jika dirinya akan dijodohkan dengan Ayu. Bukan karena tak cinta. Hanya saja, semua ini terlalu mendadak.

Lintang sudah memendam rasa pada gadis cantik itu sejak mereka masih belajar di bangku SMP. Cinta monyet yang bertahan sampai dewasa. Sejak dulu pusat dunianya adalah Ayu. Lintang selalu ada untuk Ayu. Menjadi sahabat terbaik, pelindung, tempat berkeluh kesah. Segalanya telah ia lakukan untuk Ayu.

“... bagaimana Lintang? Apa kamu setuju dengan keputusan kami?” tanya Wayan menutup penuturannya.

“Apa ini tidak terlalu mendadak Om, Tante?” Lintang tak tahu harus menjawab apa.

Wayan dan Sekar bersitatap dan tersenyum yakin sebelum Sekar akhirnya menjawab, “Tidak mendadak Lintang, Tante dan Om percaya sama kamu. Jadi kamu setuju?”

“Saya setuju, Om, Tante. Tapi, astaga, saya nggak punya persiapan,” Lintang menampilkan senyum bahagia tetapi kikuk.

"Tante punya solusinya." Sekar mengeluarkan sebuah kotak kecil berlapis beludru merah.

Lintang sudah bisa menduga isinya. "Cincin, Tante?" tanyanya dan dibalas anggukan oleh ibunda Ayu.

"Kamu tahu I Gede Kartasasmita? Dia seorang ahli perhiasan yang juga sedang pelesir di kapal ini. Kapan lalu Tante pernah bertemu dengannya dan Tante berjanji untuk menunjukkan cincin ini padanya." Sekar membuka kotak dan mengeluarkan sebuah cincin berpermata zamrud. "Ini adalah cincin pertunangan Om dan Tante. Tadinya Tante ingin memberikan cincin ini pada anak laki-laki Tante, supaya kelak diberikan pada calon istrinya. Tapi Tante nggak dikaruniai anak laki-laki. Jadi, melalui kamu, Tante ingin agar cincin ini terpasang di jari manis Ayu," papar Sekar.

Lintang tesenyum simpul. Ya, cincin itu pasti akan terlihat sangat indah di jari manis Ayu.

***

Aura ketegangan memenuhi udara di sekeliling meja restoran yang ditempati oleh Ayu, Lintang, dan kedua orangtua Ayu. Sekitar lima detik yang lalu, Lintang baru saja menghancurkan selera makan Ayu dengan menyodorkan sebuah kotak berisi cincin seraya berkata, "Would you marry me?"

"Becandaanmu nggak lucu," komentar Ayu datar. Lintang tidak mungkin serius, kan? Ayu menoleh ke arah mama dan papanya, mencari jawaban. Dan ucapan Wayan semakin membuatnya terkejut.

"Ayu, Papa dan Mama sudah memutuskan. Lintang juga sudah setuju.” Wayan tidak membiarkan Ayu berbicara sedikitpun. Lintang tersenyum mengiyakan, ketika Ayu melirik ke arahnya. “Kalian berdua dijodohkan, dan secepatnya setelah pelayaran ini selesai kalian akan menikah."

"Tapi... kenapa tiba-tiba Ayu dijodohkan?” protes Ayu atas pertunangan yang tiba-tiba. Ia menatap orangtuanya bergantian.

“Lintang adalah lelaki terbaik untukmu. Dia bisa menjagamu agar tidak berkeliaran dengan laki-laki aneh yang selalu bersembunyi di balik separuh topeng,” jawab Sekar dengan nada tak suka.

Ayu terperangah. Apa hubungan Juna dengan semua ini? Mengapa ibunya berkomentar tentang Juna, seolah Juna adalah pembawa penyakit menular yang harus dihindari. Ayu putus asa, ia menoleh pada Lintang. Memohon bantuan pada sahabatnya itu lewat sorot mata. Namun, Lintang justru tersenyum manis dan meraih tangannya.

Ayu hanya bisa membelalak ngeri saat Lintang menyematkan sebuah cincin berpermata zamrud yang dikelilingi oleh berlian ke jari manis tangan kirinya. Cincin itu indah, tetapi Ayu tak bisa mengapresiasi keelokannya. Alih-alih Ayu merasa sesak, seolah permata hijau itu menyerap semua oksigen dari paru-parunya.

***

Juna memerhatikan Ayu yang sedari tadi sudah berkali-kali mengembuskan napas berat. Berkali-kali pula perempuan itu melihat ke arah jari manis tangan kiri di mana sebuah cincin kini melingkar. Juna yakin sekali cincin itu tidak ada di sana kemarin.

"Banyak pikiran?" tanyanya. Ayu menoleh dan tersenyum sendu. "Kamu bilang ingin bertemu. Apa sekarang kamu berubah pikiran dan merasa saya tidak layak menemanimu?"

"Jangan konyol. Kamu tahu pasti aku paling benci dinilai dari fisik semata."

"Lalu ada apa?"

"Apa kamu pernah berada dalam situasi di mana kamu terpaksa melakukan sesuatu yang nggak kamu inginkan?" tanya Ayu tak bersemangat.

Meski tak mengetahui dengan pasti penyebab kegundahan Ayu, Juna mencoba menjawab. "Hidup bukan hanya tentang keinginan kita. Ada perasaan dan kepentingan orang lain yang harus dipertimbangkan. Ada norma-norma yang harus dipatuhi," ujarnya.

"Sangat diplomatis," komentar Ayu. "Khas Beasty sang sastrawan."

Juna terkekeh pelan. "Kamu tidak melukis hari ini?" tanyanya sambil melihat ke kejauhan. Langit senja terlalu sayang untuk dilewatkan, hembusan angin membawa kedamaian, dan deburan ombak mengalirkan ketenangan.

"Hibur aku, Juna. Aku sangat membutuhkannya sekarang," lirih Ayu.

Juna diam, mencoba memikirkan sesuatu yang bisa ia lakukan untuk seorang perempuan istimewa yang mungkin takkan ia temui lagi. Lalu, bibir Juna bergerak menyuarakan rangkaian kata ciptaannya yang terbaru. Sebuah sajak yang kali ini ia tulis untuk Ayu, karena Ayu.

Seperti mawar merah 
Indah, merekah 
Hadirkan kepekatan rasa yang mustahil tertolak 
Selayaknya oase di padang gersang
Itulah dirimu 

Seperti hamparan salju 
Berkawankan angin 
Yang tak lelah mengembuskan dingin 
Tak jenuh berteman sepi 
Meski sendiri terasa menggerogoti 
Itu, aku 

Lalu, dalam satu jalinan waktu 
Takdir jadikan kita bertemu 
Seharusnya, hadirmu terbitkan bahagia di hidupku 
Sebab sendiri tak lagi bernama sepi 
Karena dingin 'kan tersentuh hangatnya rasa 

Kebisuan Ayu jelas bukan respon yang Juna harapkan atas puisinya. Terlebih lagi kristal bening mulai bertumpuk di pelupuk mata berhiaskan maskara.

“Kenapa?"

"Jangan hiraukan. Aku akan baik-baik saja." Akan tetapi, setitik air mata justru jatuh di pipi Ayu. Memandang ke arah laut lepas, wanita itu menangis tanpa suara.

"Kamu pembohong yang buruk." Juna membiarkan Ayu tenang. Setelah wanita itu menyeka air mata, Juna menoleh dan tersenyum pada Ayu. “Ada seseorang yang meminangmu, bukan?" terkanya sembari mengedikkan dagu ke jari manis tangan kiri Ayu.

"Aku tidak tahu apa aku bisa mencintainya," lirih Ayu, membuat Juna menahan napas. Entah mengapa dadanya terasa terimpit mendengar Ayu yang secara tak langsung membenarkan pertanyaannya.

Gadis itu lalu maju beberapa langkah, mendongak menatap Juna. Tanpa Juna sadari tangan Ayu sudah terulur ke belakang kepalanya dan perlahan membuka tali pengikat topeng Juna. Meski sempat menahan pergerakan tangan perempuan itu, Juna yang menggeleng lemah, pada akhirnya mengizinkan.

Topeng terlepas. Inilah Beasty, si buruk rupa.

Sebentar lagi Ayu pasti akan memasang ekspresi jijik, seperti Tiffany. Namun,  Ayu justru membelai lembut bekas luka bakar di wajah Juna dan tatapan mereka bertemu.

Waktu seakan berhenti, tetapi jantung Juna menggedor cepat tulang rusuknya. Arjuna tahu seumur hidup ia takkan pernah melupakan senja ini. Senja terakhir di atas kapal Ocean Dream. Senja di saat ia jatuh cinta lagi.

Mataku tak dapat mendustakan hati

Merahmu 'kan warnai putihku 

Bak darah yang menetes dari luka oleh duri 

Indahmu 'kan koyak damaiku 

Layaknya hangat yang perlahan lelehkan beku 

Bahagia, seharusnya menjadi harapan nyata 

Namun, realita tersaji begitu nyata 

Kau indah, tetapi tak untuk kumiliki 

Kau indah, mungkin hanya untuk kupandangi 

Sebab takut lebih mendominasi hati 

Hingga jiwaku terkuasai persepsi 

Bahwa kisah kita hanyalah mimpi

Atau sekadar pengantar tidur para pecinta yang tak takut mati

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro