Bab 8

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Seminggu setelah perjalanan kapal pesiar yang membawa perasaan suka dan duka dalam benak Ayu menjadikan gadis itu tak seceria biasanya. Statusnya sebagai tunangan Lintang membuatnya gundah gulana.

Gadis bermata hitam itu berdiri di balkon kamarnya dengan tatapan sendu memandang langit biru. Semilir angin menggoyangkan anak rambutnya membuat dirinya semakin tenggelam dalam lamunan sampai kilau permata zamrud di jari manis mencuri perhatiannya.

Pernah Ayu mencoba melepaskan cincin itu barang sehari, tetapi ibunya melarang dengan tegas. Dan lagi-lagi semua protes yang ingin ia lontarkan dikalahkan oleh kepatuhannya sebagai anak.

"Melamun?"

"Astaga!" seru Ayu terkejut karena tiba-tiba Lintang sudah berdiri di samping kirinya, tanpa disadari oleh gadis itu.

"Kamu kenapa, Yu?" tanya Lintang sambil memandangi wajah Ayu.

Ayu kembali terdiam cukup lama, membiarkan suara kendaraan dan desir angin memecah keheningan. Ia tidak yakin dengan apa yang ingin dikatakannya sekarang. Semenjak menjadi tunangan Lintang, semuanya terasa berbeda. Persahabatan yang dipupuk semenjak kecil pupus begitu saja karena sebuah perjodohan mendadak.

"Nggak apa-apa. Aku hanya ingin menikmati pemandangan setelah menjalani kegiatan seharian ini."

Yang membosankan. Yang menuntutku harus sempurna.

Dua kalimat itu terpaksa Ayu telan kembali dalam hatinya. Dia takut Lintang akan bertanya-tanya.

Kedua tangan Lintang menyentuh kedua bahu Ayu, memutar tubuh gadis itu agar menghadapnya. Matanya menatap ke dalam mata hitam Ayu. Tangan kirinya memainkan anak rambut Ayu yang bergoyang dan menyisihkannya di belakang telinga.

Lintang tersenyum lalu berkata, "Yang bener?  Kalau kamu ada masalah, setidaknya kamu bisa berbagi denganku, Ayu. Masalah itu takkan selesai dengan sendirinya jika kamu tidak berusaha mencari jalan keluar. Berbagi masalah setidaknya membuatmu tidak terbebani."

"Nggak, pikiranku cuma sedang buntu." Ayu mencoba menutupi keresahannya. "Aku sampai nggak bisa melukis."

Lintang melihat ke balik bahu Ayu. Di sudut balkon ada kanvas yang masih polos, sementara palet cat tergeletak di atas lantai. Lintang mengelus rambut Ayu dengan penuh kasih. "Butuh inspirasi? Ayo ikut aku."

"Ke mana?"

"Ikut saja." Lintang tersenyum lebar hingga lesung pipit di pipi kanannya tercetak jelas. Pria itu sedikit menarik Ayu agar mengikutinya.

Tidak bisa dan tidak ingin menolak, Ayu pasrah saja digandeng layaknya anak kecil yang dipaksa main bersama saat sedang malas. Baru saja beberapa langkah, Lintang berhenti dan melepaskan genggaman tangannya di jemari Ayu, kemudian berbalik ke balkon. Ternyata ia memunguti alat lukis yang sedari tadi hanya menganggur.

Lintang kembali menarik Ayu dengan tangan kirinya, sedangkan alat lukis gadis itu dibawa sedemikian rupa menggunakan tangan kanan dan memanfaatkan fungsi ketiaknya sebagai pengapit. Ayu sedikit tersenyum dibuatnya. Memang Lintang itu manis sekali sikapnya.

Mereka menuruni tangga, berpamitan kepada kedua orang tua Ayu, lalu keluar menuju garasi. Bukan, Lintang tidak berjalan ke mobilnya, melainkan menuju ke arah motor Ayu yang sangat jarang dipakai.

"Naik motor?" tanya Ayu.

"Angin akan membuat pikiran segar," jawab Lintang.

Ayu tidak berkomentar lagi, ia hanya mengamati Lintang yang sibuk menata alat-alat lukis di bagian pijakan kaki motor matic hitamnya. Sesaat kemudian terdengar mesin yang menyala dan aroma pembakaran BBM. Lintang memberi isyarat agar Ayu segera naik. Dengan langkah kurang antusias, Ayu duduk di jok belakang dengan kedua kaki berada di sisi kanan dan kiri motor.

Ayu sebenarnya tidak ingin menebak ke mana Lintang akan membawanya. Akan tetapi dalam hati gadis itu bertanya-tanya karena biasanya Lintang selalu mengendarai mobilnya. Entah angin apa yang membawa eksekutif muda nan tampan itu memilih mengendarai motor.

Motor yang dikendarai Lintang melaju dengan kecepatan sedang. Angin bertiup dari arah depan dan samping, membuat Ayu sedikit melupakan keresahan hatinya. Tidak sampai sepuluh menit perjalanan, Lintang terlihat membelokkan motor memasuki sebuah ruang terbuka hijau.

Ternyata Lintang membawanya ke daerah Renon, tepatnya Lapangan Niti Mandala. Di sana berdiri Monumen Bajra Sandhi yang merupakan salah satu ikon Kota Denpasar.

Setelah memarkir motor, mereka turun dengan alat lukis yang ditenteng Lintang di tangannya. Dengan langkah santai mereka menuju tengah lapangan hijau dan mendekati monumem yang berbentuk seperti candi. Lintang membeli tiket untuk dua orang agar bisa memasuki area monumen.

"Aku mau melukis di pelatarannya aja."

"Nggak mau lihat-lihat dulu di dalam?"

"Nggak lah. Udah pernah juga." Ayu berkata malas.

Ayu benar-benar mengabaikan foto-foto perjuangan yang dipajang di lantai satu monumen. Demikian juga dengan diorama perjuangan rakyat Bali yang mengisi lantai dua, sama sekali tak menarik minatnya. Ayu langsung menuju  pelataran samping di lantai dua. Ia mengeluarkan kanvas dan mulai melukis setelah menemukan tempat yang dirasa nyaman. Mata gadis itu diedarkan ke semua arah.

Ayu memutuskan untuk melukis bunga bugenvil yang banyak tumbuh di pelataran itu. Ia ingin mengambil angle tepat agar bunga itu bisa terlihat berdampingan di sisi sanggah yang dipenuhi canang dan dupa. Tak lupa background kota Denpasar wajib terlihat agar lukisannya tidak menyisakan ruang barang sedikit pun di atas kanvas. Ayu bahkan sejenak lupa akan keberadaan Lintang yang entah ke mana. Gadis itu hanya ingin memanfaatkan moment sebaik mungkin. Semangat Ayu terbangkitkan begitu palet siap dan kuas sudah di tangan. Ia bahkan sama sekali tidak merasa terganggu dengan anak rambutnya yang sudah mulai panjang beberapa kali menempel di depan mata. Hanya sesekali ia mengelap keringat yang membasahi wajah menggunakan tangan kiri.

Ayu menghela napas. Lukisannya sudah setengah jadi, tetapi ia merasa tidak puas karena coretan cat di atas kanvas miliknya terasa begitu hambar dan tidak bernyawa. Sama seperti hatinya yang terasa hampa dan begitu sesak. Ada sesuatu yang hilang tapi gadis itu tidak tahu apa.

Tanpa mencari keberadaan Lintang, Ayu segera membereskan peralatan melukisnya dan turun ke taman, tak jauh dari monumen. Ia duduk termenung di bangku taman. Pikirannya terbang entah ke mana.

Klik!

Suara jepretan kamera ponsel terdengar. Ayu menoleh dan mendapati Lintang sedang memotretnya secara candid dari samping. Kapan lelaki itu datang? Ayu tidak menyadarinya.  "Jangan iseng, Lin!" seru Ayu seraya mengibaskan tangan.

Lintang hanya nyengir.  "Kamu cantik, membuatku tidak bisa tidak mengambil fotomu," puji Lintang sambil memberikan es krim kepada Ayu. "Makanlah, es krim bisa mendinginkan hati dan pikiranmu."

Ayu meletakkan lukisannya dan menerima es krim itu sambil berkata, "Makasih. Kamu baik banget."

"Pria baik untuk perempuan baik, Yu."

Sejenak Ayu kembali terdiam.  Balasan Lintang terdengar seperti isyarat yang mengacu pada status mereka sekarang. Sendok es krim yang sudah hampir masuk ke mulut Ayu, berhenti begitu saja. Rasa gundah itu kembali datang.

"Apa pertunangan kita yang membuatmu resah?" tanya Lintang dengan sedikit nada penekanan.

Ayu bergerak resah tak berani menatap mata Lintang. Tangannya sedikit gemetar memegang mangkuk es krim. Hatinya menjerit ingin mengatakan yang sebenarnya.

"Aku...." Kalimat Ayu menggantung. Gadis itu ingin mengatakan bahwa ia ragu bisa menumbuhkan perasaan lebih pada Lintang, selain perasaan antarsahabat. Tidak lebih dan tidak kurang.

"Apa kamu tahu aku sudah lama naksir kamu?" tanya Lintang sekonyong-konyong.

Ayu terperangah. "Sejak kapan? Aku pacaran sama cowok lain pun kamu nggak terlihat cemburu." Ayu teringat masa SMU-nya saat dirinya berpacaran dengan Daren, seorang pemuda keturunan bule. Lintang saat itu bahkan berhubungan akrab dengan Daren.

"Sejak lama. Aku nggak menunjukkannya karena takut hubungan kita akan jadi canggung. Tapi sekarang aku menyetujui pertunangan ini karena menghormati keinginan orangtuamu dan kupikir inilah saatnya aku berusaha memperjuangkanmu. Kita sudah mengenal satu sama lain sejak lama, Yu. Jika kamu masih ragu ... coba buka hatimu lebih lebar dan lihatlah aku di sini." Lintang menarik napas sejenak lalu berkata, "Cinta bisa tumbuh seiring kebersamaan kita. Aku tahu kamu sedang tidak dengan siapapun. Kamu juga tidak sedang jatuh cinta dengan orang lain, kan?"

Mendengar itu sontak degup jantung Ayu berpacu. Tiba-tiba terlintas satu nama dalam benaknya. Ayu menelan ludah saat dia menyebut nama itu dalam hati. Lubang menganga dalam hatinya seperti menemukan serpihannya kembali. Dia menatap kedua mata Lintang memastikan bahwa perasaanya tidak hanya sebuah ilusi.

Pikirannya seketika bercabang di antara dua sosok pria. Juna dengan segala sisi misteriusnya dan Lintang dengan segala sisi flamboyannya. Memandang Lintang jelas sangat berbeda tidak seperti saat dirinya memandang Juna. Ada perasaan aneh yang menggelitik diri Ayu ketika memandang Juna tapi tidak didapatkannya saat memandang Lintang. Akan tetapi, selama ini Lintang sudah berbuat baik dan selalu ada untuknya.

Dilema.

Apakah Ayu harus bertahan dengan kehampaan ini atau meninggalkan dan melukai orang lain? Lintang dan orangtuanya.

"Kenapa kamu melakukan semua ini, Lin?" tanya Ayu tanpa basa-basi.

"Apa mencintaimu harus dengan sebuah alasan?"

Lintang dengan santai merangkulkan tangannya ke pundak Ayu. Sentuhan semacam ini sudah sering mereka lakukan sepanjang usia persahabatan mereka. Namun, dengan status baru yang mengikat mereka, Ayu jadi sedikit tidak nyaman disentuh akrab seperti ini oleh Lintang. Karena kini ia tahu perasaan Lintang berbeda dengannya.

"Jalani saja dulu. Kamu nggak perlu bersikap berbeda padaku. Santai saja seperti biasa," ujar Lintang sambil mengacak rambut di puncak kepala Ayu. "Kamu tahu aku nggak akan menyakitimu apa pun yang terjadi.  Aku akan selalu membuatmu bahagia, Yu. Melukaimu sama saja menghancurkan hatiku."

Tapi bagaimana jika aku yang akan melukaimu, Lin?

***

Ayu benar-benar hilang selera dalam hidupnya. Walaupun kemarin dia sudah diajak Lintang jalan-jalan ke Renon, suasana hatinya tidak kunjung membaik. Begitu juga dengan mood melukisnya. Padahal biasanya ia selalu mendapat inspirasi jika berada di alam terbuka seperti itu.

Gadis itu menghela napas sambil melangkahkan kedua kakinya menuju cermin rias di sisi kiri kamar bernuansa putih dan biru laut itu. Ayu menatap pantulan dirinya di cermin itu. Wajahnya jelita, kulitnya tetap menunjukkan rona sehat, tetapi kedua manik matanya menyiratkan sebuah kesedihan terpendam.

Di kamar Ayu yang sepi, gadis itu kembali merenung. Gelora kerinduannya pada seseorang semakin membuat pikirannya menggila.

Seperti mawar merah 

Indah, merekah 

Hadirkan kepekatan rasa yang mustahil tertolak

Juna ... berulang kali Ayu menyebut nama itu dalam hati. Aku merindukanmu hingga rasanya sakit bila tak melihat wajahmu.

Ayu lalu berjalan ke arah jendela, tempat alat-alat melukisnya tersimpan. Tangan kanan Ayu terulur mengambil sebuah kanvas. Sedangkan tangan kirinya mengambil palet beserta cat warna. Jemari kanan Ayu dengan lincah menari di atas kanvas membentuk sebuah wajah.

Rambut hitam tebal yang sedikit berantakan, kedua mata yang tajam namun menunjukkan kesedihan, rahang tegas, guratan luka di sisi wajah kanan yang tertutup topeng namun Ayu ganti dengan coretan cat yang abstrak, serta lengkungan senyum di bibir Juna.

Ayu tersenyum saat hasil lukisannya selesai. Wajah itu benar-benar nampak nyata bagi Ayu. Bahkan senyuman Juna yang jarang dilihat orang lain mampu menghipnotis dirinya. Jantungnya seketika menciptakan debar-debar yang terasa menyenangkan.

Juna, aku jatuh cinta.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro