Bab 9

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Arjuna sedang berkutat dengan laporan penjualan buku saat pintu ruangannya diketuk. Tanpa mengalihkan perhatiannya dari layar komputer, Arjuna mempersilakan tamunya masuk. Sesaat kemudian pria itu mengangkat wajahnya untuk mencari tahu siapa yang datang. Ternyata Pak Samsul, pria tua yang ditolongnya pada peristiwa naas sore itu hingga Arjuna harus rela separuh wajahnya rusak. Sedikit berkerut kening Arjuna melihat benda yang dibawa Pak Samsul. Arjuna sedang berusaha mengingat apakah dirinya memesan sesuatu secara online.

"Selamat sore, ada paket untuk Pak Arjuna. Dari AD. Paramita."

"Terima kasih." Arjuna menerima paket itu dan mengamatinya. Dahinya kembali berkerut, menerka apa gerangan isi paket itu. Apakah lukisan lagi?

Arjuna memutuskan untuk segera membuka paket. Dengan rasa penasaran yang tinggi ia mulai mengambil gunting di laci mejanya, lalu membuka lapisan kardus pembungkus. Tidak sampai lima menit paket itu sudah terbuka sempurna. Kedua mata lelaki itu sontak terbelalak untuk beberapa detik sebelum  akhirnya berganti dengan sorot tak percaya. Benda yang kini terpampang di hadapannya terlalu dalam untuk dijabarkan dengan kata-kata.

Dengan napas tertahan Arjuna menyusurkan jari di atas permukaan kanvas. Tepatnya pada bagian goresan abstrak yang menggambarkan sisi wajahnya yang rusak.  Cara Ayu melukis sosok dirinya sungguh menggugah hati. Ada penerimaan dan penghargaan dari wanita itu terhadapnya. Semua itu tergambar di sana. Arjuna bisa merasakannya.

Seolah Ayu merindukannya.

Tak sadar senyum Juna pun tersungging di bibir. Arjuna merapikan kardus pembungkus yang berserakan, lalu membuangnya ke tong sampah di sudut ruangan. Pria bertopeng separuh wajah itu kembali duduk di kursinya. Ia masih tidak menyangka akan mendapat sesuatu yang sukses membuat jantungnya berdebar kencang.

Arjuna bangkit dan bergegas menuju ke luar ruangan setelah sebelumnya menghubungi seseorang melalui pesawat telepon. Ia menuju bagian belakang kantor, mencari Pak Samsul. Dilihatnya pria berseragam biru itu sedang mencuci alat pel. Arjuna mendekat, lalu berkata, "Pak, ada paku sama palu nggak? Kalau ada saya minta paku dan pinjam palunya."

"Ada, Pak. Sebentar saya ambilkan," jawab pria itu. Pak Samsul mencuci tangan dan bergegas pergi. Namun, langkah pria itu terhenti karena panggilan Arjuna. "Ya, bagaimana, Pak?" tanya Pak Samsul saat sudah kembali berhadapan dengan bosnya.

"Tolong antarkan ke ruangan saya nanti, bisa?" pinta Arjuna dengan sopan.

"Siap, Pak Arjuna."

Arjuna berlalu meninggalkan Samsul. Pikiran kini beralih memikirkan Samsul. Setelah kecelakaan itu, Samsul jadi lebih rajin bekerja. Pria itu juga akan dengan segera melaksanakan apa saja yang Arjuna perintahkan, tanpa banyak bertanya, tanpa pernah menolak.  Mungkin Samsul merasa berhutang nyawa sekaligus merasa bersalah karena telah menyebabkan Arjuna menjadi cacat. Apa pun itu, sikap Samsul membuat Juna yakin bahwa tindakannya dulu sudah tepat, tidak sia-sia. Tidak ada penyesalan.

***

"Kebiasan," gerutu Arjuna yang merasa kaget melihat kehadiran sahabatnya. Memang sudah menjadi kebiasaan Aditya yang suka masuk kamar atau ruangan Arjuna tanpa salam maupun sekadar ketukan di pintu. Berulang kali Arjuna mengeluh, berulang kali pula Aditya tak menghiraukan. Pria berpostur tinggi itu hanya menunjukkan deretan gigi putihnya mendengar keluhan sahabatnya.

"Jadi ada apa seorang Arjuna memanggil saya?" Aditya menarik sebuah kursi bersandaran dan kemudian duduk di seberang meja berhadapan dengan Arjuna. Mulut lelaki itu sibuk mengunyah permen karet kesukaannya sambil menunggu Arjuna angkat bicara.

Ketukan pada pintu kembali terdengar.

"Ini paku dan palunya, Pak." Samsul berkata setelah masuk ke ruangan Arjuna. Pria itu kemudian menyerahkan kedua benda yang dibawanya kepada sang atasan. Aditya memasang wajah kebingunan melihat Samsul memberikan palu dan paku pada Arjuna.

"Terima kasih," ucap Arjuna tulus.

"Sama-sama, Pak. Apa mau saya bantu memasang sesuatu?" tanya Samsul. Namun, Arjuna menggeleng.

"Terima kasih, Pak. Biar saya pasang sendiri," jawab Arjuna. Setelah mendengar jawaban bosnya, Samsul pamit dan bergegas keluar ruangan.

"Paku dan palu buat apa, Bro?"

Arjuna tersenyum kepada sahabatnya, kemudian berdiri dan mengambil lukisan pemberian Ayu yang baru didapatkannya. Arjuna menunjukkan lukisan itu pada Aditya. "Buat masang ini," jawab Arjuna. Telunjuk kanannya mengarah pada gambar seorang pria berwajah separuh. Aditya mengamati dengan seksama dan tersenyum cerah.

"Itu dari AD. Paramita lagi?"

"Namanya Ayu." Juna menegaskan. Sepulang dari pelayaran dengan Kapal Ocean Dream, Arjuna bercerita pada Aditya bahwa ia bertemu AD. Paramita, pengirim lukisan yang ditujukan untuk Beasty.

"Jangan cuma diam. Bantuin pasang di dinding!"

"Bilang kek dari tadi." Aditya dengan senang hati menuruti permintaan bos penerbit sekaligus percetakan itu.

Dinding ruang kerja Arjuna sekarang terlihat bagaikan galeri lukisan. Semuanya hasil karya Ayu. Lukisan Ayu adalah bentuk ejawantah tulisannya. Mengetahui bahwa ada benang merah yang menghubungkan karyanya dengan karya Ayu membuat Arjuna kembali merasa berarti.

***

Arjuna dan Aditya sedang menyantap makan siang di ruang kerja Arjuna. Sejak memiliki luka bakar di wajah, Arjuna tidak mau lagi makan siang di kantin atau kafe dekat kantor. Ia tidak tahan melihat tatapan penasaran dari orang-orang. Hanya di depan Aditya dan ibunya, Arjuna berani melepas topeng separuhnya.

"Ehm, apa itu artinya Arjuna yang dulu sudah kembali?" tanya Aditya penuh selidik.

"Kuharap begitu," jawab Arjuna diplomatis.

"Mungkin ini konyol, tapi ... sebagai sahabat aku sangat senang. Selamat!" Aditya mengulurkan tangan pada Arjuna. Namun Arjuna tidak lantas membalas uluran tangan itu.

"Aku justru takut," ujar Arjuna lagi.

"Takut? Arjuna yang kukenal dulu nggak punya kata itu di kamusnya," tukas Aditya. Lelaki itu mendadak seperti kembali kehilangan semangat yang tadi sempat muncul. Ditariknya tangan yang tadi terulur, mulutnya kembali mengunyah dan punggungnya kembali disandarkan pada sandaran kursi.

"Aku takut jika kenyataannya aku ditolak."

"Bro, seorang wanita yang dengan sukarela melukis dan mengirimkannya pada laki-laki itu sudah dijamin perasaannya. Jadi apa yang kamu takutkan? Ayolah, hapus ketakutan itu!" Aditya mencoba memberikan Arjuna semangat. Namun lelaki yang diajaknya bicara seperti tidak dapat mencerna apa yang ia katakan. Aditya menunggu tanggapan Arjuna.

"Dengan wajah seperti ini--"

"Jun, aku bosan mendengar ratapan! Ayolah, kamu nggak sejelek itu."

"Bukan, aku sama sekali tidak sedang meratap."

"Lalu apa?" Aditya menatap Arjuna dengan tajam. Ia tidak mengerti arah pembicaraan sahabatnya.

"Keluarga Ayu. Apa mereka bisa menerimaku? Ayu sudah dipinang seseorang."

"Cinta itu akan terasa berharga dan istimewa saat kita berjuang setengah mati untuk mendapatkannya. Selama janur kuning belum melengkung, masih ada kesempatan," kata Aditya menyemangati.

"Jadi menurutmu aku harus berjuang?"

Aditya mengangguk mantap. "Ayu bilang dia nggak cinta dengan pria yang meminangnya, kan?"

"Tapi..." Kali ini Arjuna benar-benar bimbang. Bolehkah ia berharap bahwa kali ini ia telah menemukan seseorang yang memang ditakdirkan untuknya? Yang akan menemaninya dalam suka dan duka.

"Oh, come on, Bro! Jangan jadi laki-laki lembek. Justru kamu harus menunjukkan pada keluarga Ayu kualitasmu yang oke punya."

"Gitu, ya?" Arjuna masih terdengar ragu.

"Oke, ngomong-ngomong naskah untuk persiapan buku baru sudah sampai mana?" tanya Aditya, "Aku udah nggak sabar untuk memenuhi naskah itu dengan tinta merah." Ya, Aditya adalah sahabat sekaligus editor dari karya-karya Arjuna. Tanpa Aditya, karya-karya Arjuna mungkin tidak akan seterkenal sekarang. Menyadari itu Arjuna sangat mematuhi arahan sahabatnya demi menghasilkan karya berkualitas dan memiliki selling point.

"Ah, itu baru setengah," jawab Arjuna dengan sebuah cengiran. "Jangan khawatir, aku akan segera merampungkannya." Wajah lelaki yang sebagian rusak terkena luka bakar itu terlihat memancarkan semangat baru.

"Minggu depan ada acara bedah buku dan mentoring kepenulisan di event Surabaya Book Fair. Ada beberapa penulis yang diundang, termasuk Beasty. Datanglah! Ini kesempatanmu untuk unjuk gigi."

"Di mana?" tanya Arjuna.

"Alamatnya ada di sini." Aditya mengulurkan sebuah undangan batik berpita yang tampak formal. Arjuna mengambil undangan tersebut dan segera membukanya. Matanya terlihat serius menekuni huruf demi huruf yang tercetak di kertas dengan dominan warna ungu itu.

***

Arjuna memakai jas hitamnya untuk melapisi kaus putih polos yang membalut tubuh tegapnya. Lelaki itu mematut diri di depan cermin. Lalu, perlahan ia menyentuh sisi kanan wajahnya. Juna memejamkan mata, merasakan tekstur kasar kulit cacatnya yang berwarna kemerahan. Ia membuka mata. Jaringan parut akibat luka bakar telah membuat alis kanannya agak botak, ujung kelopak matanya sedikit tertarik ke bawah dan bibirnya tidak lagi simetris. Namun selebihnya, ia terlihat normal.

Mungkin Aditya benar, Arjuna tidak sejelek yang ia pikirkan. Dan jika ini adalah kebaikan hati, keberanian, pengorbanan, dan kepahlawanan, seperti yang Ayu katakan, mengapa Arjuna harus menyembunyikannya?

"Mau ke mana, Nak? Tumben pakai jas," tanya sang ibu yang tiba-tiba sudah berada di kamar Arjuna. Arjuna menoleh dan tersenyum. Ia menghampiri wanita yang sangat disayanginya itu.

"Ada undangan bedah buku, Bu."

Sang ibu mengelus lembut pipi Arjuna. "Ibu bangga sama kamu," ucap wanita bersanggul itu dengan air mata menitik. Arjuna cepat menghapusnya.

"Ibu yang membuatku sehebat ini, terima kasih," ucap Arjuna sambil mengecup tangan wanita di hadapannya. "Tidak ada keberhasilan yang dicapai seorang anak tanpa ibu yang hebat." Kali ini air mata wanita setengah baya itu makin tak bisa ditahan. Ia sesenggukan sehingga Arjuna memutuskan untuk merengkuh tubuh itu ke dalam pelukannya.

"Semoga keberuntungan selalu bersamamu."

Arjuna semakin mengeratkan dekapan.

"Menurut Ibu, apa ini saatnya aku berhenti bersembunyi?"

Arjuna melepaskan sang ibu dari dekapan.

"Untuk apa terus sembunyi? Apa dengan bersembunyi kamu mendapatkan kebahagiaan?"

Arjuna menggeleng, "Tidak. Aku hanya punya ketakutan yang kian hari kian bertambah." Arjuna menarik napas sejenak sambil memejamkan mata.

"Keluarlah!"

"Akan kucoba, Bu. Percayalah, anak Ibu ini tidak akan mempersalahkan siapa-siapa lagi. Terima kasih untuk sudah memdampingiku selama ini," jawab Juna yakin.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro