Bukan Brother Complex

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Author : sicuteaabis

Judul   : Bukan Brother Compleks

Hadiah yang dipilih : Collen hoover

******

Untuk pertama kalinya tubuh Satria bergetar hebat, tangannya terkepal erat di samping tubuhnya. Matanya yang baru saja terpejam erat, kini terbuka dengan berkabut perih. Ia bisa menahan rasa sakitnya ditampar meski puluhan kali. Merasakan denyutan perih lukanya yang membakar di pipinya, bahkan ia sanggup jika bekasnya akan menghias dirinya sepanjang hidup, tapi ternyata bukan itu yang lebih menyakitkan baginya, hatinya, perasaannya yang terluka berat.

Nathan adalah sosok ideal, seorang kakak yang selama ini dipuja Satria, sampai saat ini. semua pandangnya berubah, Nathan menjadi sosok yang begitu menyeramkan. Untuk pertama kalinya pria dewasa berwajah tampan itu baru saja dengan sekuat tenaga mengangkat tangannya dan mengayunkannya pula ke atas pipi Satria, hanya karena Satria menolak untuk kembali pulang bersamanya.

Satria kabur karena ia merasa bosan dan kesal,  Sosok Nathan saat ini, sudah lebih dari posesif dan over protective. Mengekang kebebasan Satria sebagai remaja. Semua hal menyangkut Satria harus dengan izin dan pengawasannya. Satria yang penurut lama-kelamaan menjadi muak dan memilih kabur sesekali sebagai opsinya daripada harus meminta izin dan tidak diberikan, tapi nyatanya untuk hari ini, ia sungguh sial karena ketahuan.

"Kenapa, masih di sana! Cepat masuk ke dalam mobil."

Satria yang mendengar perintah keras itu. Bukannya menuruti perintah Nathan. Ia malah pergi dan berbalik ke arah temannya. "Anterin gue balik sekarang!" Sambil menepuk bahunya.
"Sat'.. "Juna merasa bingung. Ada Nathan yang juga sedang menatapnya tajam." lu yakin mau balik ama gue, kakak lu gimana?" lirih Juna.
Satria berbalik kesal pada Juna." Lu mau anterin gue apa ngga, hah?!"

Juna mengangguk cepat, menelan ludah. Adik ama kakak sama nyereminnya kalo udah marah. Semua orang bakalan salah kaprah sampai cari masalah dengan mereka. Jika sudah begini, akhirnya Juna menurut juga. Ia segera menyalakan mesin motornya tanpa diperintah lagi.

Namanya bukanlah Nathan, jika dia sampai menyerah dan membiarkan adik kesayangannya malah pergi dengan orang lain, di tengah malam buta begini pula. Sudah cukup beberapa kali, Ia lengah dan membiarkan Satria hilang dari pengawasannya. Sekarang tidak akan lagi.

"Pulang denganku!" tegas Nathan sambil menarik kuat tangan Satria yang baru mau menaiki motor temannya itu.

"Tidak, lepaskan tanganmu!" Satria berontak. Ia tidak rela harus mengikuti kakaknya yang sedang kalap seperti ini, tapi nyatanya cekalan tangan Nathan sangat kuat, beberapa kali Satria meronta tidak juga terlepas, malah tangannya semakin sakit.

Satria yakin setelah ini cekalan tangan kakaknya akan membekas. "Kakak! Lepas, ini sakit. Aku sudah bilang tidak ingin pulang denganmu, kau tidak dengar, huh! Ku jelaskan kau kakak terberengsek yang pernah ku punya!"

"Aku tidak peduli, terserah kau saja tapi kau harus tetap pulang denganku!" salak Nathan lebih menakutkan dibanding Satria. Sekali sentak, tubuh Satria terlempar ke dalam jok mobil, "Dan apa kau belajar memanggil kakakmu brengsek dari mereka, bagus sekali!" sarkatis Nathan, kemudian membanting pintu mobilnya keras dan tertutup rapat.

Di dalam mobil Satria semakin berteriak tidak terima, ia mencoba membuka pintu atau kaca mobil agar bisa keluar, yang ternyata tidak bisa. Delikan marahnya tidak berarti apa-apa untuk Nathan. Ia dengan tenang hanya duduk di tempat kemudinya.

.

Teman-teman Satria hanya bisa menghela nafas. Mereka menatap nanar Satria yang berada di dalam mobil, melewati mereka begitu saja. Tidak menyangka kejadiannya akan seperti ini,  mereka hanya berkumpul untuk bersenang-senang, merayakan pesta ultah salah satu teman mereka. Reno, sahabat dekat Satria. Tidak ada hal negatif apapun yang mereka lakukan.

Bahkan, di tempat mereka nongkrok ini. Masih ada beberapa teman cewek yang juga masih di sana. Termasuk Okti, "Gue ngga percaya, itu kakaknya Satria!" Salah satu cewe yang baru tadi di ajak pedekate oleh Satria. Sebelum kakaknya datang  . "Dia keren tapi nyeremin banget, sih!"

"Berisik! Udah kita bilangkan dari tadi, " Ikbal mendesah dan bersandar di samping motornya, "sekarang gimana?"

"Kita ngga bisa gimana-gimana saat ini! " ujar Juna, "berdoa saja yang terbaik buat Satria."

"Hah, tapi aku ngga yakin Satria bakalan baik-baik saja, lihat saja yang baru saja yang di lakukan kakaknya!" tutur Reno dengan wajah khawatir, yang lain pun mengangguk setuju sama yang lain.

"Brother Compleks, huh." cicit Okti teman-teman menatapnya, meski suara yang dikeluarkannya kecil mereka masih bisa mendengar.

"Hm, Brother Compleks," seru mereka setuju.

.

"Masuk kamarmu dan jangan keluar dari sana sebelum ku suruh!" seruan Nathan setelah mereka menginjakkan kaki di rumah. Tanpa menatap lagi Satria, ia berjalan ke dapur.

Pemuda dua puluh tujuh tahun itu mendesah panjang di sana, tangannya terkepal erat, memukul meja kuat. Mencoba menahan emosi dirinya, ia sadar sudah keterlaluan dan hilang kendali.

Mendesah lelah, terbayang kembali saat tanpa sadar tangannya telah menampar Satria dan mendengar makian Satria yang dilayangkan padanya. Ia juga sama terluka seperti adiknya juga membuat hatinya terluka.

Sama halnya Nathan, Satria kini sedang diliputi emosinya. Ia marah mencoba untuk tidak terisak, sakit yang bukan karena fisiknya, tapi lebih pada perasaannya yang sangat terluka. Kakaknya Nathan, sudah sangat berlebihan dari sebelumnya. Malah, sangat keterlaluan. Ia tidak tahan lagi, kakaknya pikir dirinya siapa. Tuhan, dewa atau orang tuanya sekali pun tidak ada yang bisa bersikap seperti itu pada dirinya. Ia muak sekarang.

Sudah sering kakaknya itu mengatur hidupnya dan hal yang tadi cukup melampaui batas. Satria tidak bisa terima lagi. Apa kakaknya tidak pernah sadar selama ini, Satria berusaha baik-baik saja dengan sikap berlebihan dan keposesifannya.

Satria sesak dan kesulitan untuk bernafas tiap kali menghadapi teman-temannya yang sering menggunjingkan kakaknya karena tabiatnya itu. Bahkan, mereka bilang itu adalah penyakit kejiwaaan yang aneh, mereka selalu mengatakan pada Satria jika kakaknya itu Brother Compleks.

"Ngga, gue udah ngga tahan meski satu hari lagi hidup bareng dia, ya ... ya." Satria mengangguk keras, dirinya  membulatkan tekad. " Saat ini juga, gue akan balik ama papa dan Mama, ngga akan pernah balik lagi ke mari, si brengsek itu pantas ngedapetin itu semua," geram Satria.

Dengan terburu-buru Satria menarik tas ranselnya dari atas almari, memasukkan beberapa helai pakaian dan beberapa hal yang diperlukannya. Hanya dalam kurang dari setengah jam, semua sudah selesai.  Ia mulai menggendong tasnya keluar dari kamar, sebelum benar-benar turun ia sempat melirik jam dinding. Jam dua pagi, tidak masalah.

Nathan terpengkur di atas sofa. Matanya tertutup lelah, ia tidak bisa beristirahat begitu saja di dalam kamar, jadi ia memilih berada di sini, tapi sesaat sebelum ia menyebrangi alam mimpi telinganya terusik dengan suara langkah seseorang. Matanya langsung terbuka, mencari asal suara. Satria sedang berjalan cepat dengan tas dibahunya.

"Satria! " panggilan yang cukup keras, tapi tidak membuat orang yang dipanggil ingin berbalik. Karena hal itu, Nathan berjalan ke arahnya Satria. Tidak peduli dengan apa, Ia tarik tas Satria terlebih dulu dan melemparnya entah ke mana. Sekarang emosinya kembali tersulut.

Satria terkejut, wajahnya berubah pucat, hatinya berdenyut nyeri begitu saja melihat keberingasan sang kakak.  Satria tidak percaya ini, tapi hal ini juga yang semakin menguatkannya untuk pergi . Tidak ada lagi Nathan yang di kenalnya.

"Kau berniat pergi lagi!" Nathan menarik nafasnya, ia tidak ingin berkata kasar lagi pada Satria. Ia menekan suaranya lebih rendah, "Mau ke mana lagi tengah malam begini?"

"Ini bukan urusan kakak! Karena mulai sekarang Aku akan pergi dari sini, dan tinggal bersama Papa dan Mama lagi," ujar Satria tegas, ia mendorong bahu Nathan untuk melewatinya, mengambil tasnya yang tergeletak tidak jauh dari sana.

"Berhenti! "Nathan menahan lengan Satria dan membuatnya berbalik, memeluknya begitu erat, sangat erat, suara itu terdengar lirih dan penuh penyesalan, "Maafkan kakak, Ok! Kakak salah."

Satria mendorong keras tubuh Nathan. Ia tidak ingin terpengaruh apa pun perkataan kakaknya lagi. Ini pertama dan terakhir kalinya bagi Nathan melukai dirinya tidak akan ada lain kali." Aku sudah tidak peduli sama apa yang kakak omongin, sekarang aku cuma mau pergi dari sini, dan tidak berharap bakal balik lagi ke sini!"

"Satria, jangan pernah berpikir sampai ke sana..."

"Aku serius, aku kecewa sama kakak setengah mati," teriak Satria sambil menarik kerah baju Nathan mengguncangnya dengan keras, meluapkan perasaan marahnya. "Malah aku juga ingin sekali bisa benci kakak!"

"Satria," Nathan menahan tangan Satria, matanya yang tajam berkilat menatap bola mata Satria yang berkaca-kaca, "Kau boleh membenci kakak, tapi jangan pernah berpikir bisa meninggalkan kakak!"

"Kenapa tidak! Aku akan melakukan apa yang bisa kulakukan." ujar Satria yakin, tapi setelah ucapan tersebut, Satria tertegun ia bisa melihat kilat berbeda di mata Nathan. Kesedihan.

Satria menelan ludah pahit, perasaannya kini jauh dari kata nyaman. Ia mencoba menarik dirinya kembali untuk menjauh, tapi tidak berhasil. Nathan menahan pergelangan tangannya kuat, dan menarik tubuhnya. Satria meronta, mendorong dada kakaknya sejauh mungkin.

"Cukup, Aku pergi!" mohon Satria.

"Ngga akan kakak biarin, kamu buat pergi!" Nathan menggeleng kencang, menekan kepala Satria ke depan dadanya, tangan satunya lagi menekan pinggangnya. "Kakak sangat mencintaimu!"

Degup Jantung Satria terasa berhenti berdetak, sebuah pernyataan yang tidak pernah terduga. Hingga Satria tersadar, ia kembali berontak mencoba melepas pelukan mereka. Tidak berhasil, bahkan saat Satria mendaratkan pukulan-pukulannya di punggung Nathan.

Nathan meringis tidak tapi tidak membiarkan pelukannya lepas, saat ada kesempatan, tangan Nathan menjambak rambut Satria hingga mendongkak menghadapnya, tanpa kata ia lepas hasratnya yang bertahun-tahun telah ia pendam. Melumat bibir Satria dalam.

Satria menangis dan menjerit dalam hati, perlakuan apa yang sudah di dapatkannya ini. Ia jijik dan muak dengan kakaknya lebih dari tadi. Sampai, akhirnya ia mendapatkan kesempatan, setelah kakaknya puas menciumnya. Dengan kepalan jemari yang kuat, ia daratkan pukulan tepat  pada rahang Nathan.

"Kakak menjijikan, ... " Satria mengusap bibirnya dari jejak saliva Nathan.

"Aku benci kakak! Sejak kapan kakak punya perasaan gila seperti itu padaku!"

"Satria, maafkan kakak!" Nathan mengulurkan tangannya kembali, ia mendekat perlahan, tapi Satria sudah mundur beberapa langkah

"Mungkin kali ini kau bisa saja membenci kakak sampai puas, tapi jangan pernah menolak perasaan kakak!"

"Berhenti, jangan mendekat!" teriak Satria yang disusul dengan langkah kakinya yang berlari cepat menaiki tangga, memasuki kamarnya kembali dan menguncinya rapat-rapat.

Satria terpengkur, berusaha menenangkan dirinya sendiri. Ia hapus dengan kasar  air matanya yang meleleh dan memikirkan bagaimana ia akan keluar dan menjauh dari sang kakak.

"Papa, Mama! " Satria mengambil ponselnya di saku dan segera menekan nomor ponsel mama Satria. Sambungan pertama tidak terjawab sama sekali, kedua dan ketiga berakhir sama juga, Satria hampir menyerahlah Sambungannya terangkat.

"Mah, Mama. tolong jemput Satria sekarang!"
Di seberang sana, Ibu Satria cukup kebingungan mendengar permintaan sang anak di tengah malam seperti ini pula. "Ada apa dulu, jemput ke mana? Lalu di mana Nathan?"

Satria menggigit bibirnya, mencoba menghilangkan kegelisahannya, tapi tidak berhasil. "Mah, Satria mohon. Kak Nathan ngga akan biarin Satria pergi! Sekarang juga jemput Satria di sini."

Seorang ibu mana yang tidak langsung khawatir mendengar suara anaknya yang lemah juga sedang menahan isakannya. "Baik! Tunggu Mama dan Papa, tapi Satria kamu baik-baik saja, bukan!?"

"Satria baik Mah, dan cepatlah datang! terima kasih."

.

Di lantai bawah, Nathan sedang mengerang kesal karena kebodohannya lagi-lagi, bagaimana ia bisa menyatakan perasaan di saat seperti tadi, tapi Nathan juga sudah tidak tahan lagi menyembunyikan perasaan ini setelah sekian lama.

Nathan dan Satria bukanlah saudara sekandung, papa Nathan menikah kembali dengan mama Satria, saat umur Nathan sepuluh tahun lebih tua dari Satria yang saat itu masih bocah polos, mungkin tujuh tahunan. Nathan tersenyum sendiri mengingat hal itu terjadi, pertama kalinya bertemu dengan calon adik tirinya, ia sudah jatuh hati.

Sampai waktu mereka terus berlalu, perasaan Nathan semakin jelas, saat melihat pertumbuhan Satria yang semakin menawan di matanya, tapi sayang Satria bukan lagi bocah yang bisa ia peluk dan cium sesuka hatinya. Satria yang mulai jadi ABG sering kali menolak dan marah dengan kehadirannya.

Nathan Wijaya hampir gila dengan semua itu, kemudian dengan paksaan karena kebutuhannya bekerja. Nathan membawa Satria tinggal berdua jauh dari kedua orang mereka agar dirinya lebih mudah mengawasi Satria, tapi semua makin sulit dan banyak membuatnya hilang akal dan kendali, semua berantakkan. Karena Satria adalah remaja yang tidak bisa ia kekang sesuka hati.

.

Matahari pagi ternyata sudah datang menyapa, rasa dingin malam berganti dengan udara sejuk pagi, langit gelap malam pun mulai menghilang digantikan langit kebiruan. Menyapa manusia yang tengah dirudung luka.

Hampir semalaman, Nathan tidak tertidur. Kepalanya sedikit berdenyut pusing, tapi ia abaikan saja. Pagi ini ia akan buat sarapan dan bicara baik-baik lagi dengan Satria, semua masalahnya dengan Satria harus selesai dengan baik. Tekad Nathan dengan senyuman manisnya.

Nathan masih berkutat di dapur, ia memasak nasi goreng kesukaan Satria, saat bunyi bel dering. Masih sangat pagi, kurang dari jam setengah tujuh.' Siapa yang bertamu?'

Bunyi bel semakin nyaring, segera ia matikan kompornya dan berjalan menyebrangi ruang tamu, menatap lantai atas, ia tidak ingin tidur Satria terganggu hanya karena bunyi yang nampak tidak sabaran.

Cklekk

Pintu terbuka, Nathan mengerutkan keningnya berpikir untuk apa orang tuanya ada di sini, kemudian membuka lebar-lebar pintu. "Ma, Pa.. Silahkan masuk?"

"Di mana Satria, Kak!? "tanya Mama to the point. Matanya memutar mencari sosok putranya.

"Mungkin masih tidur! Ada apa, Ma."

"Mama, Papa ..." Dari atas tangga, Satria turun dengan cepat, berlari ke arah ibunya menubrukan dirinya kepelukannya.

"Ya, Tuhan, Satria. Kenapa buat Mama kaget! Sebenarnya kamu kenapa, sih!"

Satria menggeleng kencang, "Ngga ada, Satria cuma pengen Papa dan Mama jemput Satria untuk pulang."

Pernyataan Satria membuat Nathan terpaku juga terpuruk di dalam hati. Ia seperti sedang merasakan di tusuk ribuan jarum, matanya nanar memandang semua orang terutama Satria.

"Apa maksud kamu, Satria!"

Satria berbalik menghadap suara yang baru saja memanggilnya," Udah aku bilangkan, aku bakalan pergi dari sini."

Mama dan Papa Satria saling melirik tidak mengerti, ada apa dengan kedua putra mereka. Mereka tidak pernah terlihat seperti ini sebelumnya.

Raut wajah Nathan berubah keruh, menggelap, menggertak giginya menahan emosi di dalam hati. Ia perhatikan kembali sosok Satria.

"Ma, Papa, ayo kita pergi sekarang!"

"Tunggu dulu, Papa harus tahu apa yang terjadi dengan kalian?" sergah pak Wijaya.

"Tidak ada apa-apa, Pa! Satria hanya ingin tinggal dengan kalian lagi." ujar Satria, ia tidak berharap orang tuanya tahu perilaku Nathan.

"Satria akan tetap di sini," tegas Nathan, ia menarik kuat Satria menjauh dari orang tuanya, tapi Satria meronta dan mulai tersulut emosi.

"Pah, Kak Nathan sudah tidak waras, ia ngekang semua kebebasan Satria," teriak Satria dan lepas kendali, "Dia mulai gila ... Pa, Mah. Bahkan, memukul Satria dan melakukan pelecehan. Kak Nathan, lepaskan aku!"

Mama Satria terbelalak mendengar penuturan anaknya, sedangkan papa Satria mulai mencoba melepas tarikan Nathan pada Satria.

"Nathan berhenti, lepaskan adikmu." sergah papa, ia berhasil menarik Satria ke belakang tubuhnya. "Apa yang sudah kau lakukan Nathan, berhenti di situ."

Nathan bisa gila, jika jauh dari Satria. Ia tidak bisa melepaskannya begitu saja, Nafas hidupnya hanya Satria. Tidak ada apa pun atau siapa pun yang bisa menghalanginya untuk tetap bersama Satria, kecuali kematian.

Nathan mengulurkan tangannya pada Satria, "Kakak jangan memperkeruh suasana atau aku harus mengatakan semuanya ..."

"Kau sudah mengatakan semuanya, Satria," lirih Nathan, ia kemudian melirik kedua orang tua mereka, " Aku sudah lama gila,.. Pa, Ma, gila karena mencintai anak kalian Satria."

Keadaan berubah sunyi senyap. Tidak menyangka dengan pengakuan Nathan. Satria menggeram marah.

"Kakak selama ini Bukan Brother Compleks, lebih gila dari itu.. Kakak Gay!"

"Hm,.. " Senyum sinis Nathan terukir, ia mengangguk dengan mudah," Dan kamulah penyebabnya!"

"Nathan Wijaya!" Luapan suara amarah keluar dari pak Wijaya sendiri. "Sadar dengan apa yang kamu ucapkan!"

"Aku sadar, sangat sadar. Selama ini aku berusaha menahan semua ini, tapi tidak lagi..."

"Nathan berhenti bicara..."

"Kenapa, Pa?"

"Apa kurang jelas semua, Nathan? Perasaanmu bukan hal yang wajar?"

Nathan terkekeh sendiri, matanya berubah sendu, "Semua hal menjadi wajar bagiku, ini hatiku, milikku, perasaanku yang bebas jatuh cinta pada siapa? Ntah itu wanita atau pria, atau bahkan pada saudara tiriku—"

"Nathan, bisanya kau bicara seperti itu? " tamparan tangan pak Wijaya melayang ke wajah Nathan.

"Papa!" Mama Satria dan Satria berteriak bersamaan, terkejut tamparan Pak. Wijaya sangat keras.

Nathan hanya mengusap perih sudut bibirnya yang berdarah, karena hal ini tanpa sadar Satria mendekati Nathan. Memperhatikan luka tamparan itu.

"Apa kamu juga kesakitan seperti ini, Satria? Saat Kakak menamparmu?" tanya Nathan begitu dalam pada mata Satria. Ia mengusap lembut pipi Satria semalam.

"Tidak sampai sesakit itu, tapi sikap dan perkataan Kakaklah yang paling menyakitiku." Satria melemah. Mana tega ia melihat kakaknya terluka seperti itu.

"Maafkan Kakak! Jangan pergi jauh dari Kakak?"

"Kakak akan melupakan perasaan gila itu, dan membebaskanku hidup bergaul dengan siapa saja?"

"Hm,.. Kakak butuh seumur hidup untuk mengubur perasaan ini, kakak sudah bebaskan hatimu untuk membenci kakak! Selama kamu tidak jauh dari mata ini."

"Satria, Kita pergi! " Mama Satria menarik putranya menjauh," Dan, Nathan Mama harap kamu bisa berpik—"

"Aku sudah lebih dari berpikir tentang semua ini, aku gila. Kalian pikir berapa lama aku menahan semua ini?" teriak Nathan pilu, tergugu bersimpuh. Satria tidak bisa melihat Nathan yang selama ini melindunginya jadi rapuh seperti ini.

"Kakak! Berhenti aku mohon, jangan seperti ini." Satria mendekap Nathan erat, air matanya lolos begitu saja.

"Kau ingin membebaskan Kakak yang terpuruk ini!" tanya Nathan tepat menatap mata Satria.

"Hanya dua pilihan untukmu, satu bebaskan aku dengan perasaan cintaku padamu Satria, terima aku dan jangan pernah lari dari sisiku atau bebaskan kehidupanku dengan kematian di tanganmu ini!" Nathan meraih kedua tangan Satria, mengecupnya lembut.

"Dan kau akan bebas dari diriku selamanya. Mana yang kau pilih?"

"Kakak terlalu arogan, egois tidak pernah berpikir bagaimana dengan perasaanku?" Satria menghempaskan tangannya, berdiri menjulang di depan Nathan.

"Itu semua memang sifatku, Sayang!" kikik Nathan antara sedih dan merana. "Soal perasaanmu, Kakak akan buat kau memiliki perasaan sepertiku!"

"Kita pergi, Satria! " tegas Mama dan Papa Satria.

"Kalian membawa Satria, aku mati?" Dengan serius Nathan mengeluarkan pistol dari sakunya.

"Nathan."

"Jadi, apa yang kau pilih, Satria! Haruskah aku membebaskan diriku sendiri, hm?"

"Jangan lakukan apapun, Kak!" Mama Satria mendekat mencoba membujuk, ia sudah menyayangi Nathan seperti anaknya sendiri, ia tidak ingin anak-anaknya ada yang terluka.

"Kakak masih bisa merubah nasib dan perasaan kakak pada Satria, hidup bahagia berpasangan dengan orang lain--"

"Baiklah, aku mati saja! " Enteng Nathan, tanpa ada rasa gentar ataupun kalut dalam kata-katanya, ia mulai bersiap menarik pelatuk.

Semua orang semakin resah, memejamkan mata, ketakutan merayap dalam hati. Selama mereka mengenal seorang Nathan, ia adalah orang yang paling serius dengan ucapannya dan orang yang tidak akan berhenti sampai tujuannya tercapai, Egois dengan apa yang di milikinya.

Satria bergerak maju, menjatuhkan lututnya di lantai menghadap Nathan, ia lempar pistol di tangan kakaknya. Ia menyerah, meski bagaimanapun tidak ada yang akan mampu melihat salah satu keluargamu mati. 'kali ini aku menyerah atau kelak kau sendirilah yang akan menyerah membebaskan  perasaan gilamu itu, Kak!'

Nathan tersenyum bahagia, ia menarik Satria dalam pelukannya. Kedua orang tua mereka hanya mampu menatap dalam diam. Melihat senyum Nathan dengan tatapan kemenangan.

'Nathan Wijaya selalu memiliki kebebasannya sendiri termasuk bebas merampas Satria dari siapa pun untuk jadi miliknya seorang. '

--END--

Jagermaster fffttmh CantikaYukavers Tyaswuri JuliaRosyad9 brynamahestri veaaprilia sicuteaabis Bae-nih MethaSaja xxgyuu SerAyue NyayuSilviaArnaz EnggarMawarni YuiKoyuri Intanrsvln AnjaniAjha HeraUzuchii holladollam Nurr_Salma

umenosekai iamtrhnf beingacid TiaraWales TriyaRin RaihanaKSnowflake FairyGodmother3 opicepaka realAmeilyaM summerlove_12 nurul_cahaya somenaa destiianaa aizawa_yuki666

meoowii rachmahwahyu WindaZizty AndiAR22 NisaAtfiatmico deanakhmad irmaharyuni whiteghostwriter c2_anin umaya_afs megaoktaviasd glbyvyn Vielnade28 0nly_Reader bettaderogers spoudyoo Icha_cutex Nona_Vannie Riaa_Raiye

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro