Broken Angel

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Author : Nurr_Salma

Judul : Broken Angel.

Gift yang dipilih : confess

****

Malam semakin larut dengan hujan yang tak kunjung berhenti, seakan kehidupan telah dikuasai oleh kedinginan yang tak dapat dikalahkan. Sudah semalaman air mengguyur kota ini, membuat orang-orang tak kunjung menampakkan diri keluar rumah sebagaimana mestinya. Tapi aku? Walaupun hari ini hujan, aktivitasku tetap berjalan seperti biasa. Rasa jenuh tiap kali menimpaku saat  di dalam rumah, memandang hamparan langit bertabur bintang dengan di temani angin yang mendekap dalam dinginnya udara.

Malam ini terasa sepi, tapi tak apa, aku tidak membutuhkan keramaian. Keramaian hanya membuatku menderita, menjerit kesakitan hingga menggangu jiwa. Otakku masih bekerja dengan normal, bahkan raga ini masih bergerak dengan semestinya, tapi kenapa aku berpikiran bahwa aku ini sudah gila!

Apalagi penglihatan dan pendengaranku masih berfungsi dengan baik, hanya saja, aku beranggapan bahwa aku telah lama menjadi seorang tuna netra dan tuna rungu, dan satu hal penting terakhir, aku masih hidup, Tapi seperti orang mati!

Ini yang aku rasakan! Menyakitkan, dan menyenangkan. Menyedihkan tapi menghibur. Apa yang terjadi? Aku tidak tahu! Hatiku memberontak merasa tak tahan dengan kehidupan, seperti tawanan yang tak penah bahagia.

Prangg!!!!
.
.
.
.
.
.
.
.
Suara gaduh dari arah ruang tamu membuatku segera berlari. Aku tak berani mendekat ke tempat dimana suara bising itu terdengar.

"Kau sudah keterlaluan Mas, lihat bahkan kau berani membawanya ke rumah," ucap Ibu yang samar-samar aku melihat beliau menangis.

"Ini rumah saya, jadi terserah saya melakukan apapun tanpa persetujuanmu." Suara Ayah itu menggema hingga memenuhi seluruh ruang tamu.

"Rumahmu? Bahkan rumah ini adalah tanah peninggalan dari orang tuaku, Mas. Jangan asal berbicara!" ucap Ibuku menyangkal ucapan Ayah.

"Tanah? Hanya lahan kosong tak lebih dari itu, rumah ini berdiri atas uang dan perkerjaan yang saya miliki," ucap Ayah menyentak kasar tangan Ibu saat beliau ingin melayangkan tangannya ke wajah Ayah.

"Kau.... Kau ingin menamparku begitu? Berani sekali seperti itu!" Jika saja kepalaku tidak mendongak mendengar perkelahian Ayah dan Ibu dari kejauhan ini, sudah aku pastikan bahwa cairan  bening itu  akan keluar dengan sendirinya. Lebih sakit lagi saat melihat kedua adikku perpelukan menahan rasa takut di sudut ruangan sana, aku menghampiri mereka dan berusaha untuk menenangkanya.

"Masuk ke kamar kakak, yuk, Lala sama Kyna." Mereka hanya mengangguk  sembari menangis, bahkan tangisan Lala dan Kyna tak mampu membuat orang tuaku berhenti sejenak menyelesaikan perkelahian mereka.

"Kalian kenapa? Udah yah nangisnya, ada Kakak. Sekarang Lala sama Kyna tidur, yah. Kakak temank." Aku membimbing mereka untuk berbaring, menarik selimut hingga menutupi sampai sebatas dada.

"Tapi Kak Dinda, Ayah dan Ibu sedang---"

"Lala gak usah mikirin itu, yah. Sekarang Lala di sini saja." Aku sengaja menyangkal ucapannya, karena aku tau Lala ingin mengatakan apa.

"Tapi Kyna takut Kak, mereka selalu seperti itu di depan Kyna," ucap Kyna dengan isakan yang belum ia hentikan.

"Iya Kakak tau, tapikan udah ada Kak Dinda jadi Kyna jangan takut lagi, yah," ucapku mencoba memberikan pengertian pada Kyna.

"Tapi Kak, Kyna-----"

"Udah yah, sekarang kalian tidur deh. Yakin Ayah dan Ibu baik-baik saja." kedua bocah itu mengganguk patuh dan mereka memejamkan mata, lalu tertidur dengan  hembusan napas yang teratur.

Aku memandang wajah polos mereka berdua, anak berusia 5 dan 3 tahun itu harus menelan pil pahit perkelahian orang tuanya setiap hari. Bahkan aku saja tak bisa berbuat banyak, hanya menyaksikan dari kejahuan tanpa bisa memisahkan mereka. Karena beberapa hari yang lalu aku memberanikan diri untuk memisahkan mereka yang sedang berkelahi itu, tapi apa? Ayah justru memakiku.

"Ayah, Ibu, sudah hentikan. Kenapa kalian selalu saja bertengkar?" ucapku pada saat itu di antara mereka.

"Kau mengerti apa anak kecil, kau bahkan tak tau apapun tentang orang dewasa." Ayahku justru semakin marah hingga membentak, nyaliku seketika menciut tak berani berkata.

"Aku memang tak tau apapun, Yah. Tapi bukan seperti ini caranya untuk menghadapi masalah," ucapku tanpa mengurangi rasa hormat karena orang tua yang berhadapan denganku ini adalah Ayah.

"Halah, anak sekecilmu tau apa, hah? Pergi kau ke kamarmu, dasar anak tak tau diri! bocah ingusan saja berani menasehati," ucap Ayah seakan tak terima ucapanku barusan, tanpa mengucapkan apapun aku berlari menuju kamar memuntahkan segala air mata yang sedari tadi aku tahan.

Saat itulah aku tak lagi berani memisahkan mereka, takut mendekat apalagi meleraikan mereka. Aku tau, bahkan aku sangat sadar! aku hanya anak kecil yang berusia lima belas tahun. Tapi salahkah  aku menengahkan mereka yang sedang berselisih paham? Atau  bolehkah aku berteriak? Bolehkah aku menumpahkan segala gundah-gulana yang terendam di dalam hatiku? Bolehkah?! Aku sungguh lelah!

*********

Suara detingan sendok dan garpu saling bersaut-sautan memenuhi seluruh ruangan, tak ada satu pun percakapan yang terlontar di ruang makan. Aku menatap ragu Ayah dan ibu yang terlihat masih bersitegang, tapi aku harus mengatakanya, aku ini bukan robot yang bisa mereka mainkan sesukanya. Aku ingin bebas, aku berhak memilih hidupku seperti apa!

"Ibu, pulang sekolah nanti, Dinda izin telat yah. Dinda ingin latihan musik buat lomba bulan depan." ucapku pelan, takut-takut akan terjadi hal-hal yang tak di inginkan.

"Yasudah, selesainya langsung pulang yah, Nak," ucap Ibu kali ini mendukungku, aku menghelakan napas bersyukur, senang rasanya jika seperti ini.

"Tidak. Tidak ada yang boleh kemana-kemana, termaksud kau Dinda!" baru saja aku terbebas, tapi Ayah justru tak memberiku ruang untuk sekedar menghirup udara luar.

"Baiklah, Ayah, Ibu, Dinda berangkat sekolah yah. Assalamualaikum," ucapku mencium punggung tangan mereka secara bergantian, aku tak lagi berani menyangkal. Karena hal itu dapat memicu kembali pertengkaran mereka, lebih baik aku menurut saja toh lomba itu masih sebulan lagi. Aku  membopong tas rasel merah itu dan segera bergegas meninggalkan rumah.

Aku melangkahkan kaki menyusuri jalan setapak, tapi bukan untuk ke sekolah. Melainkan ke sebuah danau yang tak begitu jauh jaraknya dengan sekolah, aku duduk di sebuah kursi panjang dengan suasana sepi yang sangat mendominan. Satu kerjapan saja, air mata langsung menyerobos membasahi setiap detail pipi hingga dagu. Aku hanya kesal! Kesal dengan semua yang mereka lakukan, aku membenci semuanya.

Aku lelah seperti ini, selalu saja menurut tanpa bisa membantah. Mereka egois! Dan aku benci itu. Mereka tidak pernah mengerti perasaanku, kalian jahat! Aku terus menangis seakan mata ini tak lelah untuk mengeluarkan air mata.

Selesai mengeluarkan seluruh tangis, dengan cepat aku langsung berangkat menuju sekolah yang berada di samping danau. Untung saja aku masih dibolehkan masuk, walau sudah terlambat beberapa menit. Aku memasuki kelas yang terlihat belum ada guru yang mengajar, duduk di kursi paling belakang adalah kebiasaanku selama di kelas.

Bu Lenny datang dengan membawa beberapa buku di gengamannya. Pelajaran pun dimulai, suasana tenang tanpa keributanlah yang menciptakan rasa nyaman berada di sekolah. Bertemu dengan teman-teman yang membuatku sejenak melupakan masalah yang ada.

Waktu kian bergulir, tak terasa jam pulang sekolah tiba. Aku berjalan menyusuri komplek perumahan, kebetulan rumahku tak jauh dari sekolah, hingga saat di depan rumah aku merasakan ada keganjalan. Tidak biasanya rumah sepi dan hening seperti ini, dimana Ibu? Lala dan Kyna?

"Assalamualaikum," ucapku saat memasuki rumah, tak ada sahutan. Mungkin mereka sedang keluar, atau Lala dan Kyna sedang main di taman.

Hiks.. Hiks... Hikss...

Aku mendengar suara tangisan, berjalan perlahan menyusuri arah  suara itu berada. Kamar ibu? Tangisan itu ada di dalam ruangan beliau. Aku membuka perlahan handle pintu itu, Aku melihat Ibu bersandar pada sisi ranjang, dengan menekut kedua lututnya sembari menangis tersendu-sendu.

"Ibu... Ibu kenapa?" tanyaku saat sudah di hadapan Beliau.

"Ibu, jangan nangis seperti ini. Ada apa?" tanyaku lagi saat tak mendapatkan jawaban dari Ibu.

"Ayahmu, dia jahat..." aku menatap Ibu sendu, kenapa pertengkaran lagi yang selalu kulihat? Bisakah sehari saja aku bebas dari ini semua.

"Ada apa Ibu, kenapa dengan Ayah?" aku kembali bertanya.

"Dia membohongiku! Wanita berbisa itu telah meracuni pikiran Ayah." aku memejamkan mata, kenapa rasanyanya sesakit ini, saat melihat Ibu menangis meraung kesakitan.

"Sekarang Ibu istirahat yah, jangan banyak pikiran. Gak baik untuk kesehatan ibu," ucapku sambil membimbing beliau untuk berbaring pada ranjangnya.

"Ayahmu pergi dengan jalang itu, perempuan sialan tak tau diri itu," ucap Ibu memberontak mengeluarkan emosinya.

"Ibu tenang yah, Ayah akan pulang kok. Ibu enggak usah khawatir." aku berusaha menenangkan beliau, kenapa sikap Ibu berubah apa yang terjadi?

Perlahan Ibu mengangguk, mungkin pikirannya sudah mulai tenang. Aku mencium keningnya saat Ibu sudah memejamkan mata, menyelimuti beliau yang sepertinya mulai tergangu jiwanya karena pertengkaran yang selama ini terjadi bahkan hampir setiap hari.

Beliau adalah malaikatku, malaikat tanpa sayap yang selama ini selalu menyayangi. Bahkan dulu Ayah dan Ibu selalu harmonis tak pernah berdebat apalagi bertengkar. Tapi, semenjak Ayah dibutakan dengan kekuasaan dan harta, Ayahku mulai berubah, tak ada lagi kehangatan yang terasa.

Aku berjalan mundur saat Ibu sudah tertidur, keluar dari kamar beliau dengan air mata yang sedari tadi aku tahan di pelupuk. Aku bergegas memasuk kamar, satu kerjapan saja air mata ini terjun bebas membasuhi pipi.

Aku benci perkelahian, tapi mereka selalu melakukannya dihadapanku. Membuatku merana, ketakutan gemetar di setiap detik. Kalian mengetahuinya, tapi kalian selalu melakukannya padaku. Tidaklah kalian malu denganku?!

Kadang aku berpikir, apa ini yang namanya mendidik anak? Kalian berteriak, memperebutkan hak asuh, berkata kasar, menguak selingkuhan masing-masing, memecahkan perabot, memukul satu sama lain, dan menangis tersedu-sedu sebagai penutupnya.

Apa yang mereka mau?! Aku mohon, hentikan ini. Aku lelah. Kalian tidak pernah memikirkan perasaanku. Kalian egois. Aku benci kalian. Sekalipun kalian orang tuaku, tapi cara mendidik kalian salah. Aku ingin terbebas dari kalian. Aku takut pada makian kasar kalian, aku takut pada pecahan-pecahan keramik yang berceceran di atas lantai, aku takut mendengar isakan dari Ibu, aku takut melihat pukulan Ayah yang melayang begitu saja pada wajah Ibu. Aku takut, lebih baik aku menjadi orang gila dan tinggal di rumah jiwa, dan mati secara cepat, itu mungkin lebih baik, ketimbang aku terus menyaksikan pertengkaran kalian yang sedikit pun belum terlihat dimana batas ujungnya. Aku takut!! Aku ingin terbebas dari semua ini. Yah, aku butuh kebebasan.

Aku ingin bebas dari mereka, bebas dari segala aturan mereka. Bebas dari semua makian, pukulan, hingga pecahan. Aku ingin bahagia tanpa terbelenggu kekerasan, aku butuh kebebasan.

~END~

rachmahwahyu WindaZizty Nona_Vannie deanakhmad irmaharyuni c2_anin NisaAtfiatmico bettaderogers 0nly_Reader AndiAR22 whiteghostwriter Icha_cutex glbyvyn spoudyoo Icha_cutex umaya_afs megaoktaviasd Vielnade28 Riaa_Raiye

umenosekai aizawa_yuki666 destiianaa beingacid nurul_cahaya TiaraWales iamtrhnf RaihanaKSnowflake FairyGodmother3 realAmeilyaM opicepaka somenaa summerlove_12 TriyaRin

Jagermaster fffttmh CantikaYukavers Tyaswuri JuliaRosyad9 brynamahestri veaaprilia sicuteaabis holladollam Nurr_Salma xxgyuu AnjaniAjha MethaSaja Intanrsvln YuiKoyuri EnggarMawarni SerAyue NyayuSilviaArnaz HeraUzuchii Bae-nih

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro