Alegori Kebebasan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Nama akun : holladollam

Judul : alegori kebebasan

Hadiah yg ingin dipilih : confess

****


"Ethan, kamu tahu tidak, kenapa kamu dilahirkan?"

Kamisa menoleh ke arah Ethan yang masih sibuk dengan buku bacaannya. Tanpa mengalihkan pandangannya dari halaman buku yang sedang ia tekuni, Ethan mengangguk pelan, "ya."

"Untuk apa?" Kamisa kembali melontarkan pertanyaan. Bukan Kamisa namanya kalau tidak suka bertanya hal-hal yang menurut Ethan sama sekali tidak ada penting-pentingnya.

"Untuk hidup. Dan untuk mati." Ethan menjawab dengan polos, kemudian menyeruput minuman dingin yang sudah hampir habis di dalam gelas plastiknya. Kamisa awalnya tampak diam karena bingung, lalu gadis itu terkekeh geli, "Ah, kamu membosankan!" serunya, sambil memukul bahu Ethan dengan keras.

Ethan melipat ujung kertas untuk menandai halaman yang belum sempat ia selesaikan, kemudian menutup buku tebal itu. Sudah hampir satu jam semenjak ia pertama kali mencoba membedah halaman per halaman dari buku itu, namun Kamisa terus-terusan bertanya dan berbicara sehingga menyebabkan konsentrasinya ter-distraksi.

Akhirnya, Ethan memutuskan untuk melanjutkan bacaannya setelah Kamisa pulang kerumahnya.
"Kamu kapan pulang?" Kali ini gantian Ethan yang bertanya. Ia menilik gadis itu dengan sinis, kemudian menarik nafas dengan berat.

"Sampai aku muak di sini." Bukannya merasa ter-usir, Kamisa malah tersenyum lebar memamerkan susunan gigi-giginya yang tampak rapi. Sudah jelas sekali kalau gadis ini tidak akan pernah pulang ke rumahnya jika Ethan tidak mengusirnya.

Ethan sendiri tidak mengerti kenapa gadis ini sangat senang berkunjung ke rumah Ethan, padahal rasanya sudah ribuan kali Ethan mengusir Kamisa dengan kasar. Tapi tampaknya, sekeras apa pun Ethan mencoba untuk menjauhkan gadis itu dari dirinya, Kamisa sama sekali tak akan merasa terpengaruh. Jadi ia hanya bisa pasrah dan membiarkan Kamisa melakukan hal-hal yang disukainya.

Ethan melengos. "Aku ingin menyelesaikan bacaanku."

"Terus?"

"Kamu mengganggu, tahu?"

"Aku tidak mengganggumu sama sekali." Kamisa membantah. Ethan memutar tubuhnya menghadap gadis mungil di sampingnya itu. Mata bulat Kamisa ternyata cukup mampu membuat hatinya bergetar.

"Kamu dari tadi berbicara. Aku tidak bisa konsentrasi," sahut Ethan.

"Aku suka berbicara sama kamu." Kamisa menatap Ethan tepat di manik mata, membuat Ethan terdiam seribu bahasa. Ethan benci jika harus merasa seperti ini.

"Kamu ... Ah, sudahlah! Aku lelah." Ethan menyerah. Jika sudah berhadapan dengan Kamisa—entah mengapa rasanya ia selalu kalah. Apalagi jika matanya sudah beradu dengan mata bulat milik gadis itu, Ethan bahkan tak sanggup lagi berkata-kata.

"Aku ingin mati." Kata gadis itu tiba-tiba, membuat Ethan mengerutkan dahinya. Lihat, gadis itu mulai lagi! Beberapa saat yang lalu ia tampak sangat ceria dan menyebalkan, namun sekarang ia tampak sangat marah dan putus asa.

Kepala mungil gadis itu menengadah ke atas. Ia menatap langit sambil menyipitkan mata, seolah-olah ia sedang bersiteru dengan apapun yang ada di atas langit.

Inilah hal yang membuat Ethan tak bisa melepaskan Kamisa begitu saja. Tidak pernah ditemuinya seseorang dengan semangat hidup setinggi puncak gunung pada satu titik, lalu beberapa menit setelahnya, ia menyerah dan berkata ingin mati. Hal-hal konstan seperti itu ternyata mampu membuat Ethan jatuh cinta.

"Kamu ingat tidak bagaimana kita pertama kali bertemu?" Kamisa kini mengalihkan pandangannya ke arah Ethan yang masih diam tak bersuara. Ethan mengangguk. Tentu saja ia mengingat semuanya.

Pertemuannya dengan gadis itu diawali oleh pembicaraan yang tidak lazim untuk dua orang yang baru pertama kali bertemu. Saat itu, Ethan sedang berada dalam bus menuju perpustakaan di pusat kota. Seorang gadis mungil yang duduk di sebelahnya tiba-tiba saja mengendus Ethan.

Ethan awalnya ingin marah, namun ia tertegun setelah gadis itu berbicara. "Baumu seperti angin pukul 2 pagi. Bebas dan menyenangkan,"
...dan Ethan selalu terpana dengan keberanian yang semacam itu.

Ethan tak tahu persis seperti apa tepatnya bau angin pada pukul 2 pagi. Pernah sekali gadis itu mengendap-endap masuk ke dalam rumah Ethan, membangunkan pria itu lalu menyeretnya untuk mengelilingi kota pada pukul 2 pagi.

Bukannya merasa nyaman, Ethan malah diserang flu dan demam pada keesokan harinya.
"Kamu bilang bauku seperti angin pukul 2 pagi. Bebas dan menyenangkan."

"Tapi kamu terkena flu dan demam pada waktu aku memaksamu berkeliling. Kamu payah!" Kamisa mendorong bahu Ethan dengan pelan, membuat pria itu sedikit berjengit ke belakang.

"Aku tidak terbiasa dengan angin tengah malam, Kamisa." Ethan membuat alasan. Kamisa menggeleng, lalu tertawa kecil, "Kamu hanya terlalu lama bersembunyi dalam zona amanmu. Kamu tidak pernah ingin bebas."

Ethan menatap gadis itu lama, sebelum akhirnya tersadar bahwa Kamisa memang selalu berbeda. Ada banyak sekali pembicaraan yang Ethan sendiri bahkan tidak mengerti maksudnya, namun entah bagaimana terasa sangat pas di telinganya. Tidak ada hal-hal normal setelah ia bertemu dengan Kamisa beberapa tahun yang lalu.

"Aku tidak menganut prinsip kebebasan yang sama denganmu. Kamu selalu berbicara yang tidak masuk akal."

"Memangnya prinsip kebebasanmu seperti apa?"

"Ketika tidak ada siapa-siapa yang mengatur hidupku. Itu namanya kebebasan."
Kamisa mencibir, "itu bukan kebebasan. Itu artinya kamu semakin tenggelam dengan zona amanmu. Kebebasan itu seperti mereka. Lihat sekumpulan jiwa itu, Ethan! Mereka terbang mengembara ke langit, bahkan aku tidak yakin Tuhan dapat mengenali mereka," Kamisa menunjuk-nunjuk ke arah udara lembab sore itu dengan jari telunjuknya. Tentu saja tidak ada apa-apa disana.

Kamisa hanya terlalu banyak berimajinasi, sampai terkadang Ethan tidak mengerti apa isi kepala gadis itu. Ia selalu mengatakan hal-hal yang tidak masuk akal. Seperti ribuan jiwa tanpa raga yang terbang memenuhi udara kosong, dan jiwa-jiwa terperangkap dalam tubuh. Ada banyak sekali hal-hal aneh lainnya yang membuat kepala Ethan pusing tujuh keliling.

"Aku iri sekali pada mereka."

"Siapa?"

"Jiwa-jiwa yang bebas itu. Hidup ini benar-benar tidak adil." Kamisa melempar pecahan kerikil kecil ke dalam danau. Pecahan kerikil itu menciptakan riak gelombang pada air danau.

"Kenapa tidak adil?"

"Lihat saja, Tuhan memberimu Ruh tapi ia memenjarakannya dalam tubuh. Tidak adil, bukan? Padahal seharusnya Ruh bisa bebas kemana saja tanpa ada batasan. Tubuh itu penjara, Ethan. Kamu seharusnya bisa melakukan apa saja, tapi tubuh ini penjara. Ia membatasimu dari hal-hal yang menakjubkan,"
Ethan memutar bola mata dengan malas, "Tuhan tidak membatasimu terhadap hal-hal yang menakjubkan, Kamis. Tuhan hanya menjagamu dari hal-hal berbahaya."

"Lihat, kamu selalu membantahku."

"Aku hanya mengutarakan alasan yang relevan. Ayolah, Kamis! Berhenti memikirkan hal-hal yang diluar batas kemampuanmu. Berhenti menyalahkan hidup. Kamu hanya perlu menjalankan hidup seperti orang lain, lalu mati. Sesederhana itu," Ethan mengomentari gadis itu.

Yang dikomentari, hanya tertawa geli seolah-olah Ethan sedang bercanda.

"Kamu lucu. Tidak, tidak, maksudku 'kita'. Kita sangat berbeda, tapi entah kenapa aku merasa senang berbicara dengan kamu. Tidak ada orang yang mau mendengarkanku sebelumnya. Kamu baik." Kali ini Kamisa terlihat lebih serius. Air mukanya benar-benar tidak bisa ditebak Ethan.

Perubahan mood yang konstan membuat pria itu lelah, namun hal itu justru yang membuatnya tertarik setengah mati.

"Ini terakhir kali aku di penjara, Ethan. Besok aku akan bebas. Aku akan pergi." Kamisa mengedipkan sebelah matanya dengan ekspresi cerah, lalu ia tersenyum kembali. Rambut panjangnya yang bergelombang diterpa angin, membuat gadis itu tampak jauh lebih cantik.

Siapa sangka gadis mungil dengan wajah bak malaikat ini hidupnya sangat berantakan dan tidak ada aturan? Ditambah, ia sangat misterius.

Sudah hampir tiga tahun lamanya Ethan mengenal Kamisa, namun masih banyak sekali hal yang Ethan tidak pernah tahu dari gadis itu. Seolah-olah, Kamisa terdiri dari jutaan lapisan yang di tiap lapisan, selalu ada lipatan lainnya untuk di telaah lebih dalam.

"Memangnya kamu mau kemana?"

"Pergi bersama jiwa-jiwa bebas itu." Kamisa kembali menunjuk ke arah udara kosong, lalu tersenyum sarat sambil tetap menatap Ethan. Ethan balas menatapnya, menyadari bahwa mungkin ada sesuatu yang tidak ia suka pada jawaban itu. Ada sejumput perasaan kehilangan yang tiba-tiba saja muncul menyergap rongga dadanya, namun saat itu ia masih belum cukup mengerti. Ternyata, sore itu telah menjadi pertemuan terakhirnya dengan Kamisa. Gadis itu sekarang telah pergi jauh.

Kamisa, telah sepenuhnya mendapatkan kebebasan seperti yang diinginkannya. Ethan tersenyum perih, menatap ke arah udara kosong, berusaha untuk menemukan Kamisa diantara jutaan jiwa bebas yang sedang terbang memenuhi langit. Ia tak menemukan apapun disana, hanya semilir angin pada udara lembab yang membuatnya jengah.

Dimana pun Kamisa, ia pasti akan menemukan gadis itu.

...lalu ia menarik pelatuk ke arah kepalanya.

--END--

rachmahwahyu WindaZizty whiteghostwriter irmaharyuni deanakhmad NisaAtfiatmico c2_anin glbyvyn Nona_Vannie AndiAR22 umaya_afs megaoktaviasd Icha_cutex 0nly_Reader bettaderogers Vielnade28 spoudyoo meoowii Riaa_Raiye

umenosekai RaihanaKSnowflake iamtrhnf summerlove_12 beingacid nurul_cahaya TiaraWales somenaa destiianaa aizawa_yuki666 realAmeilyaM FairyGodmother3 TriyaRin opicepaka

Jagermaster fffttmh CantikaYukavers Tyaswuri JuliaRosyad9 brynamahestri HeraUzuchii SerAyue NyayuSilviaArnaz Intanrsvln EnggarMawarni YuiKoyuri holladollam veaaprilia sicuteaabis Nurr_Salma xxgyuu AnjaniAjha Bae-nih MethaSaja

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro