GENDUT ITU

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Judul : Gendut Itu...!?

Author : deanakhmad

Gift yang dipilih : Negeri para Roh.

______________

Perlu kalian tahu, wanita itu di bagi beberapa jenis: Ada Mahmud, Macan, Makan dan juga Malih.

Mahmud, mamah muda. Macem aku pastinya.

Macan, mamah cantik. Eh, aku juga termasuk, sih.

Makan, mamah penggemar makan. Ini yang hobby-nya makan banyak tapi enggak mau terlihat gendut. Kayaknya aku juga termasuk jenis ini, deh.

Malih, mamah yang sholih. Aku belum termasuk kategori jenis ini. Aku masih menggunakan jilbab paris yang segiempat biasa. Bukan yang lebar-lebar sesiku. Seharusnya seperti itu mengenakan jilbab, tapi aku belum bisa seperti itu. Belajar. Belajar ke arah lebih baik. Amin.

Nah, untuk kategori 'makan' ini aku....

Tunggu.

Di mana-mana yang namanya mamah pasti doyan makan. Setiap kali ada makanan nganggur pasti disikat habis yang artinya langsung hlep kek iklan sosis itu, lho. Sekali lahap habis.

Kini aku harus dihadapkan dengan timbangan badan berbasis digital. Artinya keseluruhan berat badanku bakalan ketauan sampe ke bagian terkecil sekalipun upil yang terselubung.

"Udah deh Bun. Cepetan timbang badan!" titah si Ayah yang udah nungguin daku yang H2C antara iya atau enggak naik ke timbangan.

Etdah..., berasa kek nunggu vonis hukuman dari sang hakim.

"T-tapi Yah ... aku H2C, nih!"

"Apaan sih Bun H2C? Ayah enggak ngerti," timpal ayah yang terlihat seperti gak sabaran.

"Harap-harap cemas, Yah!"

"Ya elah Bun, timbang badan aja kali Bun. Bukan mau disuntik virus flu burung."

"Diiih, Ayah mah suka gitu...," gerutuku pelan sembari memanyunkan bibirku.Tanda-tanda ngambek.

Tak ada sahutan. Kini suamiku malah duduk santai di sofa yang berada di samping timbangan tersebut.

Sedikit menghela napas, aku kembali menatap horor benda segi empat yang terbuat dari kaca. Entah dari setan mana? Tiba-tiba Ayah memintaku untuk menimbang berat badanku, yang katanya sudah melebih bobot idealnya.

Ya Salam..., pernah denger gak sih. Kalau orang yang sudah pernah melahirkan bakalan punya body yang elastis alias melar bin mekar nan subur.

Tau gak sih, kalau sekarang tuh ..., jantungku rasanya deg-degan banget. Berasa kek nungguin Lee Min Ho keluar kamar sebelah. Keringat dingin seukuran jupilan-kepingan-jagung mulai netes dari jidat turun ke pipi, lanjut ke tulang selangkah. Gak ada seksi-seksinya.

Ya Allah. Semoga harapan hamba terkabulkan, jika bulan ini berat badanku nggak naik lagi.

"Bun ... mau timbang apa cuma di liatin aja, sih? Dari tadi juga kan Ayah nungguin," eh ... busyet. Dasar suami durhaka.

"Tapi Yah...."

"Ck, apalagi sih Bun?"

"Ntar kalo naik gimana?"

"Yaelah Bun, kalo bobotmu naik kan Bunda bisa diet!" Ulala ..., ini nih yang bikin aku jiper duluan kalo udah denger kata-kata DIET. Habislah sudah.

Dengan berat hati, berat kaki, berat pikiran dan berat di ongkos..., kek mau kemana aja sih cyn pake berat di ongkos? Sedikit menghela napas aku memantapkan hati, jiwa dan pikiranku, untuk langsung menaiki benda kaca di depanku dengan tatapan horor.

Satu ... dua ... tiga ...

Bismillah

Manik mataku masih mengikuti gerakan perubahan dari angka-angka digital yang berada di layar. Masih dengan H2C andalanku. Bahkan aku sampai menahan napas agar kelak timbanganku sedikit berkurang walaupun cuma seons aja. Awkwkwk....

62,59

Mataku membulat, napas kuhembuskan dengan cepat. Masih dalam posisi terkaget-kaget aku menatap layar berwarna putih dengan angka hitamnya.

"Aigoo ... seriusan itu, Bun?" seru putri tunggalku yang berumur delapan tahun.

Aku hanya menatap horor ke arah putri cantikku, Warda, mencebikkan bibirku dengan tatapan menghunus. "Apa sih dek? Bukan ih...."

"Bukan apanya sih, Bun? Orang Bunda masih ada di atasnya, tuh!" Tunjuk Warda dengan dagunya yang lincip kek bapaknya yang blesteran Padang-Pakistan.

Skakmat.

Mampus udah deh aku. Sekalinya ngeles langsung ketauan. Alamak..., bukan pergerakan yang tjantik nan gaul.

Aku menghela napas berat. Diet ... I'm coming.

"Seriusan nih, Yah? Aku harus diet?" tanyaku kembali dengan memberikan tatapan memelas.

Si Ayah malah memegang dagunya sambil mangut-mangut. Alih-alih menanyakan berapa berat badanku yang ada malah pura berpikir. Duileh ayah.

"Bunda keknya harus diet!"

Hola ... keputusan mutlak keluar dari mulut manis yang berbibir tebal nan ranum, membuatku ingin langsung mengecupnya. Tapi, rasanya gak nendang kalau cuma sebuah kecupan, yakinlah bahwa sesuatu hal kecil bakalan merembet kemana-kemana. Dan kalau sudah merembet bisa berabe.

Lagi, aku menghembuskan napas panjang. Ck! Alamat puasa deh ntar. Yawlooh, mengenaskan sekali sih. Sungguh nista kau lemak.

Aku hanya bisa terduduk lemas di sofa. Kembali menatap timbangan berat badan yang suka kembali menunjukan angka nol. Menghunuskan tatapan memelas. Dasar timbangan resek, gara-gara kamu aku harus diet.

Gagal sudah rencana makan pizza impian yang ditaburi: pepperoni, jagung manis, daging kepiting beserta keju mozarela yang sangat banyak. Kemudian dipanggang hingga keju meleleh saat roti pizza yang tipis di angkat.

Ya Salam! Surga dunia euy, siapa yang mau nolak. Dan kini itu hanya menjadi angan-angan yang tak kesampaian, hanya tinggal abunya saja karena sudah terbakar hangus gara-gara satu kata laknat yang terucap dari suami tampanku. Diet!

Mampus aja deh kamu! Sono pergi aja ke Samudera Artik sekalian!

Nyebelin iya!
Ngeselin iya!
Ngebetein juga iya!

Harusnya cukup satu aja yang terangkai. Menyebalkan! Udah kelar deh.

Puk....

Sebuah jas hujan mendarat syantik ke Syahroni di atas pangkuanku. Aku hanya memandang sebentar setelan jas hujan berwarna biru donker, kemudian menatap balik kearah suamiku yang masih sibuk memakai sepatu running-nya.

Wowowo ... jangan-jangan? Oh, tidak! Halaaaaah....

Aku hanya menghela pasrah melihat suami tercintaku sudah berdiri tegak dengan menggunakan setelan celana pendek bahan kaosnya. Kostum ketika dia melakukan acara olahraga lari rutin setiap pagi.

"Harus sekarang, Yah?" lirih pelan sembari berdiri.

Tak ada jawaban, hanya senyuman manis yang bikin kerja jantungku masih saja mengelepar blingsatan kalau melihatnya. Mau tak mau senyuman ayah menular kepadaku. Seraya memberikan secercah harapan baru, aku mulai memakai setelan jas hujan dalam diam. Dan sedikit tak ikhlas.

*********

Ini baru setengah jam berlari-lari kecil mengekori ayah yang terlampaui semangat larinya, masih menggunakan setelan jas hujan aku mengikutinya namun dengan hati setengah ikhlas bahkan gak ikhlas sama sekali.

Dan ... yang paling nyebelin adalah aku harus lari-lari sambil pake jas hujan. Diiiih, mana matching, sih? Yang ada malah di ketawain orang-orang ketika mereka berpapasan denganku.

Mau taruh mana wajah syantikku?

"Kenapa mesti pake jas hujan sih, Yah?"

Kalian tau jawabannya apa? Biar cepet ngeluarin keringat.

Kampret bukan pemirsah? Yang bener aja donk, masa make jas hujan bisa bikin keringat keluar? Lagi-lagi suamiku tercinta menjawabnya 'bahwa saat berlari kamu akan mengeluarkan lebih banyak menghasilkan keringat dengan memakai jas hujan itu' asem banget kan, yak?

Dengan napas ngos-ngosan aku mencoba menstabilkan deru napasku. "Bisa berhenti gak, Yah?" Pintaku pelan, memumpuhkan kedua tangan di atas lutut.

Stop! Aku nggak sanggup! Cukup sudah!

Kenapa sih dengan semua lelaki selalu melihat penampilan fisik? Sepenting itu kah kecantikan dan kelangsingan fisik para wanita.

Aku benci bila mata lelaki memandang miring para wanita yang bertubuh gendut. Mereka juga punya perasaan yang halus bukan. Hanya karena bentuk fisik mereka tak sama dengan yang lainnya maka 'dia' akan tersingkir.

Jika boleh memilih, para wanita tak ingin ada yang namanya tubuh gendut di dunia ini. Mereka: para wanita karir, gadis bersekolah ataupun gadis tanggung. Memilih untuk tetap langsing.

"Yah!?" teriakku membuat ayah menghentikan lari kecilnya dan menghampiriku, "Bunda capek Yah. Istirahat sebentar, ya?" lanjutku yang sudah duduk di pinggiran trotoar.

"Capek ya, Bun?" Aseeeeem, ayah ngasih pertanyaan yang udah jelas-jelas buktinya ada di depan mata.

"Bisa gak sih, Yah. Kalo kita pulang aja? Bunda capek banget," lirihku di sela-sela napas yang sedikit ngos-ngosan.

"Lho, bukannya Bunda sendiri yang mau diet?"

"Iya sih, Yah."

"Terus?"

"Ayah, malu gak punya istri gendut?" lirihku menundukkan kepala.

Ayah meraih tanganku dan meremasnya pelan. "Bun, Ayah gak masalah mau Bunda gendut apa langsing. Ayah juga gak nuntut Bunda harus langsing kek model-model victoria secret..., Ayah ngasih kebebasan buat Bunda mau diet apa enggak."

"Jadi...?"

"Ayah gak malu kalo Bunda gendut, bagi Ayah ... Bunda tetep wanita terseksi," ucap ayah mengerling nakal ke arahku.

"Beneran, Yah?"

Bukannya menjawab ayah malah meraih daguku dan memandang lurus ke mataku, "Bagi Ayah, Bunda adalah wanita tercantik dan gak ada duanya...," Aku spontan menimpuk lengannya yang kemudian mengaduh kesakitan.

"Ayah gombal receh."

"Ayah tau ini receh emang, tapi ... Ayah gak mau Bunda tersiksa karena harus nahan apa yang Bunda pengenin. Asal Bunda bahagia Ayah juga bahagia. Jadi ... Ayah kasih kebebasan buat Bunda mau ngapain. Gak harus langsing buat narik perhatian Ayah, Bunda kek gini aja udah bikin Ayah mupeng."

Dan ucapan Ayah sukses bikin pipiku memerah.

Aku padamu Ayah.


--The End--

deanakhmad 0nly_Reader Jagermaster bettaderogers fffttmh CantikaYukavers Tyaswuri JuliaRosyad9 brynamahestri SerAyue summerlove_12 NyayuSilviaArnaz Intanrsvln EnggarMawarni HeraUzuchii YuiKoyuri holladollam veaaprilia sicuteaabis Bae-nih MethaSaja RaihanaKSnowflake xxgyuu Nurr_Salma opicepaka AnjaniAjha destiianaa aizawa_yuki666 FairyGodmother3 Vielnade28 beingacid nurul_cahaya TiaraWales AndiAR22 somenaa spoudyoo realAmeilyaM meoowii umaya_afs Nona_Vannie irmaharyuni Riaa_Raiye NisaAtfiatmico WindaZizty glbyvyn TriyaRin rachmahwahyu c2_anin deanakhmad whiteghostwriter Icha_cutex

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro